Terbentuknya Pemerintah
Darurat RI di Sumatera tidak serta merta timbul begitu saja namun sebelumnya
memang sudah dipersiapkan antisipasi-antisipasi di pandang perlu mengingat
alotnya perundingan Belanda-Indonesia yang sedang terjadi saat itu. Melihat kondisi
seperti itu segala kemungkinan bisa saja terjadi dan sebelum semuanya terjadi
maka perlu diperhitungkan kemungkinan yang mungkin bisa terjadi apabila
perundingan tersebut kembali dilanggar dan terjadi seperti agresi militer I
sebelumnya. Pasukan Divisi Siliwangi pernah merasakan pahitnya sebagai akibat dari
dilanggarnya sebuah perundingan, mulai dari pecahnya agresi militer I sampai
dengan harus meninggalkan sanak saudara dan tanah kelahirannya melakukan hijrah
ke Jawa Tengah dan Yogyakarta berdasarkan perintah dari para pemimpin republik
ini. Meskipun terasa berat namun harus dilaksanakan. Lebih dari 25.000 orang
berangkat hijrah dari Jawa Barat. Mengingat apa yang telah dialami oleh
Siliwangi serta mengingat semakin sempitnya wilayah RI di pulau Jawa serta sebagai
naluri militer mengatakan bahwa perundingan yang terjadi sekarang ini apakah
juga tidak akan berdampak seperti yang mereka alami sebelumnya. Atas dasar
itulah kemudian muncul sebuah ide yaitu membuat pangkalan darurat atau
pangkalan cadangan (Reserve Basis) bagi Pemerintah Pusat Republik Indonesia
apabila terjadi kebuntuan/sengaja dibuntukan oleh salah satu pihak yang
akhirnya bukannya tidak mungkin terjadi lagi agresi militer yang ke II. Menurut
catatan Islam Salim (Islam Salim adalah putra dari H.Agus Salim yang pada saat
itu berpangkat Kapten dan menjabat sebagai Asisten khusus/Ajudan Kol.Hidayat
yang ikut menyertai Mohammad Hatta saat melakukan inspeksi di Sumatera dalam
rangka persiapan Pangkalan Darurat Pemerintah Pusat RI.), ide tentang perlunya antisipasi
apabila sewaktu-waktu Belanda melakukan agresi militer ini atas usul dari
Letkol Daan Jahja. Ide ini muncul pada
saat pasukan dan staf Divisi Siliwangi setelah melakukan hijrah dari Jawa Barat
ke Jawa Tengah dan Yogyakarta sebagai salah satu konsekwensi dari persetujuan
Renville. Pada saat di Yogyakarta yaitu di Hotel Merdeka (sekarang hotel Garuda
In) berkumpul Letkol Daan Jahja, Mayor Oetarjo dan Kapten Islam Salim sedang
duduk bersama sambil ngobrol-ngobrol, dalam suasana itu tiba-tiba Letkol Daan
Jahja menungkas : “Enak-enak ngopi, nggak
mikirin kemungkinan penyerangan Belanda lagi ! bagaimana pemerintah pusat kita
mau bergerilya di Jawa Tengah yang sempit dan padat ini ! karena tanpa suatu
Pemerintahan Pusat, perjuangan bersenjata betapapun dahsyat akan merupakan
sekedar suatu pemberontakan suatu bangsa melawan kekuasaan yang syah.” Setelah
melalui pertukaran pemikiran secara informal dengan Mayor Oetarjo, Kapten Islam
Salim dan beberapa mahasiswa dari Prapatan 10 dan dari diskusi mereka itu
kemudian Daan Jahja pada bulan Maret 1948 kemudian maju dan menyampaikan
memorandum tentang usulan perlunya dipersiapkan segera suatu pangkalan darurat/pangkalan
cadangan bagi pemerintah pusat RI, dan tempat yang diusulkan adalah wilayah
Sumatera Tengah kepada Wapres/PM/Menhan Mohammad Hatta dalam suatu kesempatan.
Ini dengan pertimbangan bahwa wilayah Jawa Tengah merupakan wilayah yang
terlalu sempit untuk kebebasan bergerak bagi Pemerintah Pusat RI menghadapi
agresi militer Belanda yang bisa terjadi sewaktu-waktu.
Setelah membaca situasi yang digambarkan dalam memorandum
yang diajukan oleh Letkol Daan Jahja tersebut Wapres Mohammad Hatta menyetujui
hal tersebut dan kemudian antara bulan Mei-Juli 1948 rencana pun disusun.
Sebagai langkah awal 2 orang menteri kemudian ditempatkan di Bukittinggi, yaitu
Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Loekman Hakim. Selanjutnya Wapres Mohammad
Hatta kemudian mengirim dua rombongan perwira TNI untuk melakukan penjajagan
dan persiapan disana. Rombongan perwira TNI yang pertama dipimpin oleh Letkol
Daan Jahja dengan anggota-anggotanya yaitu Mayor Oetarjo, Mayor Tjakradipura,
Kapten Joen Joenoes dan Letnan Sofjan Djoenaed. Rombongan ini berangkat ke
Sumatera dengan menggunakan pesawat Dakota UNCI. Kemudian setelah itu disusul
rombongan ke dua yang dipimpin oleh Letkol AE Kawilarang dengan membawa Mayor
Akil Prawiradiredja, Kapten Ibrahim Adjie, Kapten Jusuf Ramli. Letnan Kasad
Hutabarat dan Letnan Abu Umar. Rombongan ini berangkat dengan menggunakan
pesawat carteran Catalina. Mengapa para perwira yang melakukan
persiapan-persiapan basis cadangan tersebut (kecuali Mayor Oetarjo yang berasal
dari Markas Besar Tentara di Yogyakarta) terdiri dari para perwira Divisi
Siliwangi ? kemungkinan hal tersebut karena hijrahnya Divisi Siliwangi ke Jawa
Tengah dan Yogyakarta sehingga terjadi penciutan tanggung jawab teritorial
sehingga sejumlah perwira dapat diperbantukan guna tugas-tugas khusus diluar
kesatuan dan daerah operasi kesatuannya.
Pada saat mereka tiba di Sumatera dan mulai melakukan
hubungan dengan PTTS (Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera) yang saat itu
dipegang oleh Mayor Jenderal Soehardjo terutama mengenai langkah-langkah
persiapan tentang basis cadangan untuk pemerintah pusat, namun ternyata hal
tersebut tidak mendapatkan pengertian serta
kesempatan bekerja dari PTTS serta rombongan tersebut hanya dibiarkan di
Bukitinggi dengan tanpa bisa melakukan kegiatan apapun, bahkan disana sedang
terjadi perang saudara antar TNI. Melihat situasi seperti itu Letkol Daan Jahja
terpaksa kembali ke Yogyakarta untuk melaporkan keadaan yang sedang terjadi
serta kendala yang dihadapi dalam usaha persiapan pembangunan basis cadangan
Pemerintah Pusat RI. Melihat rencana persiapan basis cadangan dihadapi mengalami
kendala yang tidak dapat diatasi oleh dua gelombang rombongan perwira tersebut
maka Mohammad Hatta pun merasa perlu untuk berangkat ke Sumatera. Keberangkatan
Wakil Presiden ini di dampingi oleh Wakil I KSAP yang juga mantan Wakil
Panglima Divisi Siliwangi yaitu Kolonel Hidayat beserta ajudannya yang diambil
Kapten Islam Salim, seorang perwira yang diperbantukan kepada Staf Angkatan
Perang RI dan di tugaskan dalam Sekretariat Panitia Pusat Gencatan Senjata RI
di Yogyakarta. Pada awal bulan November 1948 Wapres Mohammad Hatta pun melakukan
inspeksi untuk melihat kondisi serta persiapan-persiapan yang telah dilakukan
disana. Dalam inspeksi ini Mohammad Hatta di dampingi oleh Kolonel Hidayat yang
saat itu sebagai Wakil I KASAP beserta ajudannya yaitu Kapten Islam Salim. Ikut
sertanya Kolonel Hidayat dalam rombongan inspeksi tersebut pada awalnya adalah
mendampingi Wapres dalam rangka inspeksi dengan maksud untuk menyelesaikan
masalah pembentukan basis cadangan di Bukittinggi, namun karena adanya perang
saudara yaitu antara pasukan Mayor Liberty dengan pasukan Mayor Bedjo di
Tapanuli maka rombongan Wapres tersebut dengan
di dampingi pula oleh Mayor Oetarjo dan David Munte dari Corps Mahasiswa sebagai
penerjemah apabila dibutuhkan di jalan pun berangkat ke Sibolga, Tapanuli. “Waktu itu saya selaku Wakil I Kepala Staf
APRI dengan pangkat Kolonel, ditugaskan oleh pimpinan APRI di Yogyakarta untuk
membenahi “policy” yang dipakai oleh Panglima Sumatera, Mayjend Soehardjo.
Tetapi misi saya tidak digubris” ungkap Hidayat Martaatmadja dalam sebuah
kesempatan. Hal tersebut kemungkinan salah satunya adalah faktor kepangkatan dimana
Hidayat satu klik dibawah Soehardjo (karena saat itu belum dikenal pangkat
Brigadir Jenderal) sehingga secara psikologis maupun kesetaraan jelaslah
Soehardjo “kurang mau mendengar” saran-saran “juniornya” secara kepangkatan.
Menghadapi situasi seperti itu maka setelah mengadakan pertemuan kilat dengan
para pejabat sipil dan militer setempat Wapres/PM/Menhan Drs. Mohammad Hatta bersama
Wakil I KSAP Kolonel Hidayat kemudian mengeluarkan perintah penghentian tembak
menembak kepada kedua belah pihak tersebut serta mengangkat Letkol A.E.Kawilarang
sebagai Komandan Sub-Teritorium VII/Tapanuli-Sumatera Timur Selatan dan Mayor
Oetarjo sebagai kepala stafnya dan Mayor Akil Prawiradiredja sebagai Komandan
Sub-Teritorium Riau, yang bersama Sub-Teritorium VII merupakan wilayah
dampingan Sumatera Tengah yang seperti yang akan direncanakan sebelumnya
sebagai basis cadangan Pemerintah Pusat RI kelak apabila terjadi agresi militer
Belanda yang ke 2 selain mengatasi kemelut di daerah Tapanuli tersebut. Bersamaan
dengan itu Kolonel Hidayat yang pada saat itu menjabat Wakil I KASAP kemudian
ditunjuk dan diangkat sebagai Panglima Tentara Teritorium Sumatera (PTTS) menggantikan
Mayjend Soehardjo Hardjowardojo yang kemudian ditarik ke Yogyakarta. Mulai saat
itu Kolonel Hidayat memiliki dua jabatan secara rangkap, yaitu Wakil I KASAP
yang sekaligus juga sebagai PTTS. Sebelum Wapres/PM/Menhan Mohammad Hatta kembali
ke Ibukota Yogyakarta diadakan pertemuan/pembicaraan khusus terlebih dahulu dengan Mr.Sjafruddin Prawira
Negara dan Mr.Teuku Hassan, koordinator Provinsi Sumatera terutama ini
yang berkaitan dengan dengan
persiapan-persiapan Pangkalan Darurat Pemerintah Pusat Republik Indonesia dan
juga sekaligus memperkenalkan Kolonel Hidayat sebagai PTTS yang baru
menggantikan Mayjend Soehardjo Hardjowardojo.