Djokjakarta

Monday 14 July 2014

Monumen / Tetenger Di Daerah Sleman Yogyakarta masa Class II




Monumen Kwayuhan


Merupakan sekolah Polisi yang pertama yang berdiri pada masa pendudukan Belanda. Pada awalnya sekolah ini menempati rumah-rumah penduduk, didirikah oleh Bapak R. Moh. Zein Suryopranoto di dusun Kwayuhan, Sendangmulyo, Minggir.
Pada perkembangan selanjutnya, ketika rumah-rumah penduduk tersebut dikembalikan kepada penduduk, untuk selanjutnya dibuatkan bangunan yang berbentuk aula untuk mengenang adanya sekolah polisi tersebut, yang sekarang dipergunakan sebagai balai desa di desa Sendangagung, Minggir.
Sementara itu pertempuran antara tentara Belanda dan laskar rakyat terjadi di dusun Nanggulan.
Alamat : dusun Kwayuhan, Sendangagung, Minggir


Monumen Palbapang




Pada waktu Class II tahun 1949, tentara Belanda menduduki kota Yogyakarta, sehingga pasukan–pasukan tentara RI menyingkir keluar kota. Satu batalyon tentara yang menyingkir/ lari dari kota Yogyakarta bermarkas di dukuh Tempel, Desa Lumbungrejo tepatnya di Balai desa Lumbungrejo. Baru sekitar tiga hari di desa Lumbungrejo mereka mengirimkan dua tentara penghubung ke kota untuk mencari informasi situasi. Tetapi dua tentara penghubung tertangkap Belanda di daerah Palbapang, keduanya dibunuh dengan dipenggal kepalanya oleh Belanda. Sehingga pejuang yang bermarkas di desa Lumbungrejo kehilangan kontak/informasi tentang keberadaan tentara Belanda. Kemudian desa Lumbungrejo diserbu tentara Belanda dari arah kota secara mendadak dan terjadi kekacauan karena kehilangan penghubung, pasukan pejuang kita bergerak mundur ke arah Selatan (arah Godean) tetapi ada 8 orang yang tertinggal di utara jalan raya di perempatan Palbapang dan bersembunyi di parit bawah jalan raya. Pada saat itu ada kuda yang terjebak didepan konvoi tentara Belanda. Karena menghalangi jalannya konvoi maka kuda ditembak oleh Belanda dan bangkainya diseret ke pinggir/parit, sehingga pejuang yang sedang bersembunyi di selokan/parit bawah jalan ketahuan Belanda dan gugur ditembak. Penduduk sekitar tidak berani merawat mayat karena Belanda bermarkas di sebelah timur jembatan Krasak. Kurang lebih selama 3 bulan mayat pejuang yang tidak dirawat tersebut hilang terbawa air parit/selokan (air hujan). Identitas ke delapan pejuang yang gugur tidak diketahui pasti, sehingga pada saat pendirian monumen nama yang tercantum dalam monumen bukan nama yang sebenarnya gugur di Palbapang.
Nama-nama yang gugur yang tertera di monumen :
1. Komari
2. Radimin
3. Abu Darto
4. Kasimin
5. Dulhadi
Alamat : Dusun Palbapang Tempel, Lumbungrejo, Tempel, Sleman



Monumen Perjuangan Mlati


Pada hari Sabtu Legi Bulan Februari 1949 Pos-pos Belanda di daerah Jombor, Mlati, Cebongan sampai Jumeneng dihancurkan oleh Pejuang Republik Indonesia. Karena Belanda merasa kesal oleh ulah pejuang tersebut maka bermaksud membersihkan kawasan Mlati Dukuh, Tegal Mraen sampai wilayah Kronggahan. Namun pejuang RI yang dibantu oleh pemuda-pemuda Mlati yang sudah militan karena dilatih oleh kadet Militer Akademi dari Kota Baru yang bernama Kadet Minggo berusaha mengadakan perlawanan dengan cara penyergapan secara tiba-tiba. Karena kalah senjata maka sebanyak 14 pejuang gugur bahkan penduduk ynag dicurigai langsung ditembak dan ada yang dibayonet. Misalnya Bpk Sastro Sardjono dibayonet perutnya namun masih hidup. Sedangkan Sdr Bagong gugur. Kemarahan Belanda juga dipicu adanya jembatan-jembatan di kawasan Kronggahan dan sekitarnya yang dihancurkan pejuang RI. Untuk itu jembatan-jembatan selalu dijaga ketat oleh serdadu Belanda. Untuk mengurangi tekanan dari gerilyawan maka daerah Mlati, Kronggahan, Cebongan sampai Jumeneng dihancurkan. Salah satu korban yang gugur adalah Sersan Yusuf dari Batalyon 151.
Nama-nama korban yang gugur:
Di Cebongan Gugur Sersan Yusuf.
Di daerah Mlati 14 pasukan yaitu:
1. Wignyo Warsito
2. Joyo Iyun
3. Setridirjo
4. Wongsoarjo
5. Karsodimejo
6. Bagong
7. Somoirono
8. Mangunkaryo
9. Manguntaruno
10. Barimah
11. Wongsodirjo
12. Kartowiguno
13. Kartodikromo
14. Tubin.
Alamat : Mlati Jati, Sendangadi, Mlati, Sleman 

Monumen Perjuangan Prambanan


Perlawanan dengan Belanda dipimpin oleh Sudjono dari Batalyon IV Brigadir X Infantri yang ditugasi membuyarkan konsentrasi Belanda di Wilayah Timur. Pasukan ini berhasil mengganggu konsentrasi Belanda yang akan menyerang Ibu Kota RI Yogyakarta. Karena mereka berbaur dengan rakyat, Belanda mengalami kesulitan melacak. Di wilayah ini banyak didirikan lumbung-lumbung padi dan ada gudang Gula Tanjungtirto yang digunakan sebagai markas, sehingga suplay makanan dari rakyat sangat mendukung dalam gerilya. Semangat gerilya pasukan RI pantang menyerah terbukti dengan bisa menghancurkan 1 panser Wagen yang berpatroli di wilayah ini. Karena tidak bisa dipatahkan oleh Belanda maka daerah ini dibumihanguskan. Namun yang menjadi korban malah rakyat sebanyak 25 orang. Untuk menghalangi jalan Belanda, sepanjang jalan Prambanan-Piyungan dipasang rintangan dan trek bom.
Alamat : Potrojayan Madurejo Prambanan

Monumen Pertempuran Serut

Pada awal bulan Juni 1949, di dekat dusun Serut Prambanan tentara Pelajar Kemerdekaan Batalyon 151, Brigade 10 Divisi III Diponegoro, serta regu tentara gerilya Brigade 17 TNI kompi 4 melakukan serangan terhadap kompeni Belanda yang menuju Wonosari.
Monumen ini diresmikan oleh gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X pada hari Sabtu, 2 Oktober 2004.
Alamat : Serut, Madurejo, Prambanan

Monumen Kanigoro



Penyerbuan pasukan Belanda di gunung Kanigoro, Ambarketawang, Gamping oleh gerilyawan, tetapi karena faktor kondisi fisik yang sudah lemah dan peralatan yang kurang memadai, maka pasukan laskar rakyat ini mengalami kekalahan. Pertempuran ini juga meluas ke Watulangkah yang merupakan tempat dapur umum untuk memberi makanan pasukan kita. Dalam pertempuran tersebut yang gugur ditempat ini sebanyak 41 orang pejuang dan dtelah dibangun monumen untuk memperingatinya. Di Watulangkah selain didirikan dapur umum, juga sebagai tempat mengadili apabila ada mata-mata lengkap.

Pelaku yang masih hidup : Bapak Caroko Pawoko (Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat Desa Ambarketawang)
Alamat : dusun Kanigoro, Ambarketawang, Gamping


Monumen Kesehatan


Pada waktu klass Belanda ke II tahun 1949 lumbung padi milik Bpk Noto Sukardjo dijadikan Rumah sakit darurat/ gerilya. Rumah sakit ini digunakan untuk menampung gerilyawan Indonesia yang menjadi korban pertempuran dengan Belanda. Tenaga medis yang pernah bertugas antara lain : Dr. Ely Zakir, Suster Popy/ Istri Bpk. Sastroamijoyo.
Alamat : Tanjung, Donoharjo, Ngaglik

Monumen Geneng




Monumen perjuangan di dusun Sentul, Geneng, Sidoagung, Godean, Sleman, merupakan monumen bahwa telah terjadi pertempuran antara pasukan gerilya melawan tentara Belanda pada tanggal 6 Mei 1949 dengan komandan kompi Bapak Kapten Widodo (Jono). Dusun Sentul diserang dengan mortir oleh tentara Belanda dari Cebongan, tepatnya di sebelah barat kantor Kecamatan Mlati sekarang. Pada saat itu hari Jum’at Legi, pasar Godean baru hari pasaran, sehingga suasana pasar sangat ramai dan akibat serangan mortir jatuh banyak kurban luka-luka dan tewas. Latar belakang diserangnya Godean karena adanya pasukan gerilya yang bermarkas di dusun-dusun sekitar pasar Godean antara lain : Dusun Sentul Geneng, dusun Godean IV, dan dusun Senuko.
Pada pagi harinya Belanda menyerang dengan mortir, kemudian mendatangi pasar Godean untuk mengecek dan menyisir hasil serangannya. Pasukan TNI RI dan rakyat (Kompi Kesatuan 151) kemudian menghadang pasukan Belanda di dusun Senuko dan Sentul Geneng, sehingga terjadi pertempuran sengit. Penduduk dan pasukan yang gugur antara lain :
1. Ahmad Zaini dari TNI AD
2. Sukirdjo penduduk sipil
3. Jae Sumantoro dari TNI AU
4. Sukirdjan penduduk sipil
5. Amir Patinama dari Brimob
6. Goploh dari Laskar Rakyat
Di Dusun Godean IV, rumah-rumah yang menjadi dapur umum antara lain :
1. Rumah Bapak Karyotomo (almarhum) di Godean IV, Sidoagung, Godean.
2. Rumah bapak Joyo Sudarmo di Jetis, Sidoagung, Godean.
Alamat : dusun Sentul Geneng, Sidoagung, Godean, Sleman



Monumen Pojok


Memperingati kejadian pada tanggal 2 April 1949.
Terjadi pertempuran antara pasukan rakyat dengan pasukan Belanda di desa Kebonagung, tepatnya di dusun Pojok. Peristiwa pertempuran ini terjadi berawal dari diketahuinya markas kesatuan Tentara Pelajar oleh pasukan Belanda yang berada di desa Sendangarum, Minggir. Akhirnya tentara rakyat mundur ke arah barat menuju Sendangagung dan bergabung dengan Laskar Rakyat dan Tentara Nasional Indonesia.
Kemudian dengan bergabungnya kekuatan Tentara Pelajar dengan TNI dalam menghadapi Belanda, terjadi pertempuran kembali di wilayah Sendangagung yang berpusat di Kebonagung.
Pelaku yang masih hidup:
1. Harjosumarto
2. Suhadi
3. Siswosumarto
Alamat : Pojok, Kebonagung, Sendangagung, Minggir

Monumen Jambon

Deskripsi: berbentuk tugu dengan simbol topi baja, bambu runcing sebagai simbol laskar rakyat yang telah gugur. Didirikan di atas pondasi/ batur persegi empat. Nama-nama korban pertempuran tercantum di monumen.
Sejarah: Pada tanggal 13 Januari 1949 di Dusun Morangan, Sindumartani, Ngemplak, dengan dipimpin Sudiro dan Munawar para pejuang mengadakan penyerangan ke pos-pos Belanda di Gondang Legi Desa Donoharjo, Ngaglik. Penyerangan tersebut sangat merugikan Belanda baik secara materiil maupun moril yang tidak sedikit. Sehingga Belanda sangat marah. Kemudian dengan dibantu serangan dari udara, Belanda berhasil memukul mundur para pejuang Republik Indonesia yang mengakibatkan gugurnya 7 orang yaitu:
1. KH. Muh Muhdi
2. Zuber
3. Dakiri
4. Dulkahar
5. Bakrun
6. Nawardi
7. Jawabi
Alamat : Monumen Jambon terletak di dusun Jambon, Sindumartani, Ngemplak

Monumen Kebangarum


Deskripsi Monumen :
1. Berbentuk tugu dengan simbol topi baja, bambu runcing sebagai simbol laskar rakyat yang telah gugur. Didirikan di atas pondasi/batur persegi empat. Tertulis nama beberapa korban pertempuran.
2. Prasasti Kembangarum, dari batu andesit, berbentuk persegi panjang, posisi berdiri. Berisi tulisan bentuk puisi tentang perjuangan .

 Sejarah :
Monumen ini memperingati terjadinya peristiwa pertempuran di dusun Kembangarum oleh Belanda yang menggempur dusun Kembangarum dari arah Medari dan Turi dengan mortir, tepatnya dari SMPN Turi yang pada waktu itu digunakan sebagai markas Belanda. Peristiwa ini terjadi tanggal 4 Januari 1949, hari Selasa Pahing. Kompi Batalyon 151 yang dipimpin Kapten FX. Haryadi dan KODM Turi menghadang pleton serdadu Belanda yang datang dari Medari, di utara dusun Kembangarum. Kemudian pasukan Belanda kewalahan, mundur ke selatan dan mendapat bantuan kemudian membalas serangan dengan mortir dari arah Medari dan Turi. Kompi 151 dan Kapt Haryadi lari ke arah dusun Tunggul dan gugur. Penduduk yang menjadi korban dan gugur di Kembangarum :
1. Sukitri
2. Pawiro Karyo
Rumah Bapak Wongsopawiro di dusun Randusongo, Donokerto, Turi pada waktu klass ke II digunakan sebagai markas Tentara Pelajar Detasement III Brigade XVII. Tentara Pelajar yang bermarkas di rumah ini a.l Bapak Martono ( mantan Menteri transmigrasi ) dan Bapak Kusdiyo.
Pada tanggal 21 Maret 1949 laskar Tentara Pelajar antara lain Bapak Martono, Bapak Kusdiyo dan kawan-kawan mendapat tugas menyerang ke kota. Kemudian terjadi pertempuran di dusun Gondanglutung, tentara TP terkepung dan dalam posisi terjepit, sehingga Bapak Kusdiyo gugur, sedang Bapak Martono terluka di bagian kepala. Bapak Kusdiyo dimakamkan di dusun Randusongo, Donokerto, Turi. Kemudian pada tanggal 18 Desember 1979 ( hari Selasa Pahing ) makamnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Jogjakarta.
Alamat : Dusun Randusongo, Donokerto, Turi, Sleman

 

Monumen Klaci


Deskripsi : merupakan lapangan sepak bola dengan patung pejuang pada tembok depan bagian atas.
Sejarah : Pada saat klass II tahun 1948-1949 Tentara Genie Pelajar (TGP) bermarkas di dusun Klaci II Margodadi Seyegan. Sebagai ungkapan terima kasih setelah masa kemerdekaan mantan anggota TGP yang telah menjabat di pemerintahan membangun Monumen TGP, yang berbentuk stadion dengan patung pejuang yang terbuat dari perunggu untuk menggambarkan tokoh pejuang yang pernah bermarkas di dusun Klaci. Monumen diresmikan pada tanggal 17 Oktober 1982.
Alamat : Klaci, Margodadi, Seyegan

Monumen Kurahan

Deskripsi :
berbentuk tugu dengan simbol topi baja, bambu runcing sebagai simbol laskar rakyat yang telah gugur. Didirikan di atas pondasi/ batur persegi empat. Tertulis nama korban pertempuran.
Sejarah :
Dusun Karangberan, Margodadi, Seyegan, Sleman pada waktu klass ke II dijadikan markas gerilya Tentara Pelajar yang dipimpin oleh Kapten Martono dan Slamet Wibowo. Tepatnya di rumah Bapak Pawirodiharjo di Kandangan, Margodadi, Seyegan. Karena keberadaan markas ini, Belanda menyerang mendadak dan pihak Tentara Pelajar dan rakyat banyak jatuh korban. Rakyat ikut bertempur membantu Tentara Pelajar dan gerilyawan dengan menggunakan senjata tradisional. Kemudian didirikan monumen di dusun Kurahan, tepatnya didepan SD Kandangan II. Dari Tentara Geni Pelajar gugur sepuluh orang yaitu :
1. Kopral Jemu (TNI)
2. Kopral Giyoto (TNI)
3. Kopral Basrin (TNI)
4. Sersan Suwardi (TNI)
5. Pratu Wagimin (TNI)
6. Suwardo (Pasukan Polisi)
7. Sukro (Laskar Rakyat)
8. Sumarjo (Laskar Rakyat)
9. Ngadimin (Laskar Rakyat)
10. Ali Dimejo (Laskar Rakyat)
Alamat : Desa Margodadi, Seyegan didirikan monumen Palagan di dusun Kurahan tepatnya di SD Kandangan I

Monumen Pulerejo

Deskripsi :
Berbentuk tugu dengan simbol topi baja, bambu runcing sebagai simbol laskar rakyat yang telah gugur. Didirikan di atas pondasi/batur persegi empat. Tertulis nama beberapa korban pertempuran.
Sejarah :
Dusun Pulerejo di serang tentara Belanda dan membumihanguskan rumah-rumah penduduk pada tanggal 7 Januari 1949, mengakibatkan 7 warga dusun Pulerejo gugur. Untuk memperingati peristiwa penyerbuan dan gugurnya warga ini, oleh masyarakat dusun Pulerejo dibangun monumen yang berisi 7 nama penduduk yang gugur dan diresmikan oleh Bupati Sleman Bapak Ibnu Subiyanto pada tanggal 17 Agustus 2002.
Penduduk yang gugur :
1. Amatrejo
2. Mulyorejo
3. Basir
4. Karmin
5. Suradiyo
6. Muhtoha
7. Sutinah.
Alamat : Pulerejo, Donokerto, Turi, Sleman


Monumen Sambilegi


Deskripsi : berbentuk tugu setinggi kurang lebih 1,5 meter, diatas batur seluas 16 meter. Dasar tugu merupakan alas berlapis tiga. Relief yang tertera pada tugu merupakan lambang laskar rakyat, yaitu obor yang menyala, bambu runcing dan senapan bersilang, padi dan kapas, serta dibingkai rantai yang tidak putus.
Sejarah : dalam upaya menghambat pergerakan pasukan Belanda dari pangkalan Adi Sucipto, laskar rakyat mengadakan perlawanan di dusun Sambilegi, Maguwoharjo. Dalam peristiwa ini telah gugur 10 orang pejuang. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1948
Monumen ini dibangun oleh Pemda Sleman untuk memperingati pertempuran yang terjadi di dusun Sambilegi tersebut.
Daftar yang gugur :
1. Bkri Laskar
2. Parto Surijo
3. Arjo Sentono
4. Harjo Sentono
5. Karso Pawiro
6. Kasan Pawiro
7. Sadinomo
8. Kariyo Loso
9. Basiro
10. Sastrohariono
Alamat : Dusun Sambilegi, Maguwoharjo, Depok


Monumen Sanggrahan

Deskripsi: tugu segi empat, berdiri di atas batur, dasar tugu merupakan alas berlapis tiga. Bagian depan tugu tertulis nama Kopral Samiyo.
Sejarah: Agressi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948 membuat Angakatan Muda Berbah (AMB) dan Pemerintah Militer Kecamatan (PMKT) mengadakan penyerbuan pada Belanda di Dusun Sanggrahan Tegaltirto Berbah. Sehingga meletuslah pertempuran. AMB dan PMKT adalah pasukan yang solid karena dilatih oleh Kadet Militer Akademi MA dari Kota Baru yang disebar ke desa-desa. Dalam hal ini AMB dipimpin oleh Subagyo.
Karena dusun Krikilan dan Sanggrahan dipandang oleh Belanda sangat rawan karena dekat dengan Pangkalan Udara Adisucipto maka selalu diadakan patroli. Bahkan Belanda bermaksud membumihanguskan desa tersebut. Namun perlawanan tetap dilanjutkan oleh pejuang kita walaupun kebutuhhan persenjataan serta logistik lainnya masih kurang. Setelah Belanda pergi dari Yogyakarta jumlah korban rakyat yang meninggal kurang lebih 52 orang, 96 rumah terbakar serta harta yang tak terhitung nilainya. Untuk mengenang para pahlawan dibangunlah monumen. Korban yang tertulis dalam monumen adalah Kopral Samiyo.
Alamat : Sanggrahan, Tegaltirto, Berbah, Sleman


Monumen Simon Slamet

Deskripsi Monumen :
Berupa bangunan di atas tanah seluas 400 mtr, berbentuk dinding empat persegi panjang di atas batur seluas 5 x 4 mtr , dengan atap bentuk joglo.
Makam Sdr. Simon Slamet terletak di sebelah kiri ( utara ) monumen, di atasnya dibangun atap ( cungkup ) dan ditancapkan bambu runcing dengan bendera Merah Putih. Sekeliling monumen di beri pagar berupa dinding batu bata setinggi 1 mtr.
Sejarah :
Monumen perjuangan ini didirikan sebagai peringatan atas gugurnya Simon Slamet dari laskar rakyat yang gugur dalam pertempuran melawan tentara Belanda di dusun Palagan Nganggrung pada tanggal 26 April 1949.
Peristiwa dilatarbelakangi oleh pertempuran yang terjadi pada hari Selasa Kliwon, sebelum peristiwa Daleman. Laskar rakyat dan tentara menyerang serdadu Belanda di Dusun Baratan dan wilayah Ngaglik. Penyerangan dimulai dengan tanda memukul kentongan yang bersahut-sahutan. Banyak jatuh korban di pihak Belanda.
Berdasarkan pengalaman ini, pihak Belanda pada hari Jum’at Kliwon tanggal 26 April 1949, waktu dini hari (subuh) mengecoh rakyat daerah Daleman, dengan cara memukul kentongan seolah tanda untuk mengajak rakyat menyerang Belanda. Masyarakat dusun Nganggrung, Daleman dan Nangsri tertipu, bergegas keluar rumah dengan senjata seadanya. Belanda sudah siaga di sepanjang rel lori di utara dusun Nganggrung dan menembaki rakyat. Bapak Simon Slamet yang berlari ke atas rel, karena tidak tahu keberadaan Belanda, ditembak dan gugur di tempat. Korban luka yaitu Bapak Soeyono yang tertembak di bagian kaki.
Bapak Simon Slamet dimakamkan di TPU dusun Daleman, kemudian pada tahun 1987 atas inisiatif warga dan sebagai penghargaan atas jasanya, makamnya dipindahkan di sebelah barat dusun Daleman dan dibuatkan monumen di atas tanah kas desa seluas + 400 m2.
Alamat : Daleman, Girikerto, Turi ,Sleman


Monumen Tetenger Brayut

Deskripsi : berbentuk tuga segi empat, terletak di atas batur bertingkat. Bagian depan terdapat undakan. Berlambang obor menyala, senjata bersilang, padi dan kapas, dicat merah.
Sejarah : Pada pagi hari sekitar pukul 05.00 tanggal 6 Mei 1949 para pejuang pimpinan Soeparjo Suryo di Brayut dikejutkan berita yang dibawa seorang Polisi Pager Praja yang bernama Supeni, bahwa dari arah Yogyakarta ada sepasukan Belanda menuju Turi.
Bakir, sebagai komandan penyerangan segera membangunkan anak buahnya, yang semalam ada 35 orang, tetapi ternyata pagi itu hanya ada 9 orang. Yang lain jelas tidak mungkin karena sudah bangun dan entah kemana. Karena kekuatan hanya 1 regu, jelas tidak mungkin menghadapi Belanda. Sebagai langkah pengamanan mereka menenggelamkan senjatanya dan mundur ke arah utara. Ternyata Belanda tidak hanya dari arah selatan, tetapi juga dari arah utara dan timur.
Pasukan Bakir akhirnya dapat bergabung dengan pasukan Sriyono melindungi rakyat Brayut sambil memberikan perlawanan kepada Belanda. Dalam pertemputan Brayut yang menjadi korban sebanyak 14 lorang. Daftar korban :
1. Sarjiman
2. R. Budiwiyono
3. Darmo Suprapto
4. Prawirodimejo
5. Kromo
6. Suridikromo
7. Cokrowiharjo
8. Jono
9. Kusen
10. Haryono
11. Suprapto
12. R. Supraptoharjo
13. Wongso Paijo
14. Dalijo
Monumen Brayut dibangun untuk mengenang pertempuran akibat penyerbuan Belanda ke dusun Brayut untuk mencari para pejuang yang bersembunyi di dusun tersebut. Monumen dibangun oleh Pemda Sleman.
Alamat : dusun Brayut, Pendowoharjo, Sleman


Monumen Tunggularum

Deskripsi :
1. Gedung pertemuan, bentuk atap joglo, dan berupa ruangan terbuka ( aula ), tanpa dinding, tampak depan bentuk kuncungan, dengan pilar-pilar sebagai penyangga.
2. Monumen Tunggularum : bentuk tugu bambu runcing yang berdiri di atas batur / pondasi segi empat dan bentuk bintang sebagi dasar berdirinya bambu runcing. Pada sisi–sisi dinding terdapat relief berupa senjata dan topi tentara.
Sejarah :
Pada hari Kamis Wage 6 Januari 1949, pasukan Kapten FX.Haryadi di kejar dan dikepung oleh Pasukan Belanda dari Turi yang mendapat bantuan pasukan dari Magelang. Pasukan Kapten FX. Haryadi yang menyingkir ke Dusun Tunggul setelah pertempuran di Turi, tidak dapat bertahan lama terhadap gempuran tentara Belanda. Kapten FX. Haryadi gugur ditembak pasukan Belanda. Untuk mengenang peristiwa gugurnya Kapten Haryadi, keluarga WK III Jakarta membangun gedung pertemuan KaptenFX.Haryadi yang diresmikan oleh Menko Polkam Jend ( Purn ) Susilo Sudarman pada tanggal ………… Kemudian Pemda Sleman juga membangun monumen berbentuk tugu bambu runcing, dinamakan monumen Tunggularum sebagai tetenger peristiwa gugurnya Kapten FX. Haryadi dan seorang penduduk yaitu Bapak Kariyodimejo.
Alamat : Dusun Tunggularum, Wonokerto, Turi, Sleman


Monumen Watu Bale

Deskripsi: Tugu prasasti yang merupakan peringatan atas terjadinya pertempuran yang terjadi di Watubale
Sejarah:
Pada hari Senin Wage Bulan April 1949, ratusan tentara Belanda mengadakan operasi di daerah sekitar pabrik tembakau. Sekitar jam 5 pagi Belanda telah berada di rumah-rumah bekas pabrik tembakau Sorogedug dengan mengadakan tembakan-tembakan di daerah yang akan dioperasi di lereng gunung Watubale Ngumbulsari dan sekitarnya yang diduga Belanda tempat tersebut sebagai markas para gerilyawan. Setelah sampai di sungai sebelah Timur Jogonalan tentara Belanda diserang poleh gerilyawan yang dipimpin oleh komandan regu Sumpeno dengan kekuatan 30 orang. Di tempat tersebut terjadi pertempuran sebentar karena waktunya masih pagi benar. Maka terjadilah pertempuran dengan senjata tajam.
Tentara Belanda setelah sampai di sebelah timur makam Tono berhenti dan berkumpul dengan melihat gambar lokasi. Pada kesempatan yang baik itu komandan seksi Adisucipto memerintahkan kepada para pengawalnya yaitu Bpk. Dirun untuk menembak gerombolan tentara yang sedang berkumpul tersebut dan salah satu tentara Belanda tertembak. Secara tiba-tiba Belanda kacau dan lari berpencar serta mengadakan tembakan balasan dengan senjata berat tekidanto.
Setelah tembak-menembak 1 jam datanglah bantuan dari seksi pratelo yang ditempatkan di Desa Grogol agar siap mencegat bila Belanda datang dari markas Piyungan. Tentara kita mempunyai perhitungan bahwa untuk mempercepat jalannya pertempuran perlu diadakan pasukan berani mati (Jibakutai). Dengan kesadaran dan keiklhasan berkorban demi negara maka ada 8 orang yang mengajukan diri yaitu:
1. Hadisujtipto
2. T. Tjiptosudarmo
3. Dirun Sastromiyardjo
4. Marjuni
5. Purwadi
6. Ponijo
7. Eko
8. Wagiman.
Kerugian yang diderita oleh kedua belah pihak:
Dari Belanda:
Menurut laporan dari rakyat yang dilalui Belanda di kampung Sembir dan Sorogedug ada 33 jenazah. Adapun satu tentara Belanda yang tertinggal di dekat makam Tono, sehabis pertempuran jenazah tersebut dikubur oleh masyarakat setempat di desa Sawo. Setelah keadaan normal kembali jenazah diambil oleh petugas dari Pemerintah Belanda.
Korban dari pihak Republik:
1. Purwadi
2. Notosuharto
3. Atmopawiro
4. Sastrodimejo
5. Sokariyo
6. Tukijan
7. Setrojumeno.
Alamat : Watubale, Sumberharjo, Prambanan


Monumen Watulangkah

Deskripsi: Berupa sebuah batu andesit dengan batu marmer di tengahnya, dikelilingi pagar rantai yang sudah rusak, berisi tulisan/ prasasti: Tetenger sebagai tempat bekas markas staf Kwartier Sub Wherkreise 103 pimpinan Let.Kol. Soehoed dari tanggal 19 – 12 – 1948 s.d 29 – 6 – 1949.
Sejarah : Sebagai tanda terima kasih kepada masyarakat dusun Plempuh, Watulangkah dan tetenger bahwa di dusun ini pernah berjasa sebagai markas tentara Wherkreise 103, maka oleh salah seorang anggotanya yaitu Bapak R. Shaidi yang beralamat di Gowongan didirikan monumen pada tahun 1998.
Alamat : Watulangkah, Ambarketawang, Gamping


Monumen Cepet


Pada tanggal 2 Januari 1949 pasukan Belanda yang bermarkas di Watuadeg diserang pasukan KODM Pakem pimpinan Letda Asropah dan pasukan TP pimpinan Kapten Martono. Pasukan Belanda lari ke arah selatan, sampai di dusun Cepet jam 06.30 dihadang pasukan Subadri dari Gatep. Pertempuran terjadi sampai jam 10.00 wib. Korban dari pihak Belanda 4 orang.
Kemudian pada tanggal 11 Januari 1949 terjadi pertempuran kembali antara Tentara Republik dengan pasukan Belanda. Dalam pertempuran ini gugur 2 orang dari Tentara Republik, yaitu :
1. Letda Kasijan.
2. Agen Polisi Soekardjo. Alamat : Cepet, Purwobinangun, Pakem

Monumen Argomulyo

Deskripsi : berbentuk tugu dengan simbol topi baja, bambu runcing sebagai simbol laskar rakyat yang telah gugur. Didirikan di atas pondasi/ batur persegi empat. Tertulis 10 nama korban pertempuran, yaitu :
1. Suharjo
2. Sukarman
3. Arjowinangun
4. Wahadi
5. Driyo Pawiro
6. Sukaryo
7. Sami
8. Kasido
9. Marsum
10. M. Jaidu.
Sejarah :
Terjadi penyerbuan oleh tentara Belanda pada bulan Maret 1949, di sekitar Argomulyo, Cangkringan. Pasukan Belanda membumihanguskan rumah-rumah penduduk di dusun-dusun sekitar Argomulyo. Kemudian pasukan Belanda menangkap Lurah Argomulyo yang bernama Suharjo dan Carik Desa Argomulyo yang bernama Sukarman, yang kemudian ditembak di persawahan dan gugur. Selain kedua perangkat desa tersebut, terdapat 8 orang penduduk yang gugur.
Setelah peristiwa pertempuran tersebut, pasukan laskar rakyat dan Kadet Akademi Militer yang dipimpin Kolonel Jatikusumo, Kolonel Perngadi dan Letnan Sardjono menyerang Belanda. Dari pihak Belanda banyak jatuh korban dan pasukan Belanda mundur ke Kaliurang. Untuk mengenang jasa para pahlawan yang gugur maka didirikan monumen perjuangan di Argomulyo, Cangkringan. Tepatnya di depan Balai Desa Argomulyo.
Sebelum terjadi penyerbuan di Argomulyo, Pasukan Belanda mengadakan patroli menyisir ke kampung-kampung dari arah selatan berjalan ke arah dusun Penting. Mengetahui hal tersebut, laskar rakyat dan penduduk di sekitar Jabalkat berjaga-jaga, menghadang dan berlindung di parit-parit pinggir jalan dusun Tanjung dan Kiyaran. Ketika melewati dusun ini, terjadi tembak-menembak antara pasukan Belanda dan Laskar rakyat. Dalam pertempuran ini bapak Wanayik atau Sayid Barnadian dari laskar rakyat gugur tertembak Belanda disebelah barat lapangan Jabalkat, kemudian dimakamkan di dusun Duwet, Wukirsari, Cangkringan. Nama bpk Wanayik belum tercantum dalam monumen Argomulyo, sementara dari pihak Desa dan masyarakat akan membangun monumen, tetapi belum terwujud karena kendala dana.
Alamat : Argomulyo, Cangkringan, Sleman