Djokjakarta

Monday 30 March 2015

Sejarah Pasukan Hantu Maut Indonesia Pada Agresi Militer di Yogyakarta

Pasukan Hantu Maut bukanlah makhluk halus dari alam lain yang membuat bulu kuduk merinding. Pasukan Hantu Maut adalah pasukan gerilyawan Republik Indonesia yang berasal dari pemuda kampung Pujokusuman, Brontokusuman, Prawirotaman dan Karang Kajen Yogyakarta. Pasukan ini ditugaskan untuk melawan pasukan NICA Belanda di Yogyakarta pada waktu Clash II (Agresi Militer Belanda kedua).


Mungkin tidak banyak orang tahu Ndalem Pujokusuman adalah bekas markas perang. Kebanyakan orang hanya tahu bahwa Ndalem Pujokusaman adalah tempat berlatih tari.

Berawal dari semangat juang 30 orang pemuda Pujokusuman yang bersepakat dan berikrar, jika sampai Belanda masuk dan menduduki kota Yogyakarta mereka bersama-sama akan keluar kampung Pujokusuman untuk membentuk pasukan guna melawan dan mangusir penjajah Belanda. GBPH Poedjokoesoemo yang merupakan putra Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, akhirnya membentuk Pasukan Hantu Maut.


Pasukan Hantu Maut ini dibentuk setelah Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengadakan serangan ke kota Yogyakarta yang kedua pada tanggal 9 Januari 1949. Hantu Maut sendiri berarti pasukan perlawanan sebagai hantu yang akan memberi dan menyebarkan maut bagi tentara pendudukan Belanda.

Pasukan Hantu Maut ini awalnya bernamakan pasukan gerilya Samber Gelap dengan modal tujuh pucuk senjata yang merupakan hasil rampasan ketika rakyat Yogyakarta melucuti senjata pasukan Jepang pada tanggal 7 Oktober 1948 di Kota Baru. Sebagian pemuda dari kampung Keparakan Lor dan Keparakan Kidul turut bergabung ke dalam pasukan Samber Gelap. Anggota pasukan Samber Gelap kemudian disebar masuk ke kota untuk mengambil dan mencari senjata-senjata yang masih tertinggal di kota dan berhasil mendapatkan 11 pucuk senjata.


Akhirnya pemuda-pemuda dari kampung Brontokusuman, Prawirotaman, dan Karang Kajen mulai menggabungkan diri pada pasukan Samber Gelap. Dengan bergabungnya pemuda-pemuda tersebut, maka dibuatlah kesepakatan untuk mengganti nama pasukan yang berseragam kaos oblong hijau dan celana putih itu menjadi Pasukan Hantu Maut.

Pada tanggal 29 Juni 1949, Pasukan Hantu Maut mendapat tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban di sebelah utara rel kereta api (stasiun Tugu) samapai batas kota sebelah utara. Setelah pemerintahan kembali pada pemerintahan sipil, maka pasukan Hantu Maut yang dulunya yang telah dimiliterisasi diberi kesempatan untuk kembali ke instansi, sekolah atau bagi yang meneruskan ke pendidikan militer dan sudah lulus tes maka akan ditempatkan di Batalion yang sudah ditentukan dan bagi yang tidak lolos tes akan dikembalikan kepada masyarakat dengan surat penghargaan.


Perang sudah berakhir. Indonesia sudah mulai membangun dirinya lagi. Kini, para mantan anggota pasukan Hantu Maut bersama pejuang-pejuang lainnya mendirikan organisasi dengan nama Kerukunan Keluarga Pejuang Eks SWK 101 WK III Yogyakarta. Organisasi ini bertujuan untuk mempererat persaudaraan dan kekeluargaan untuk gotong royong, memikirkan para anggotanya yang masih memerlukan bantuan.

Sumber:http://www.kaskus.co.id/thread/51a5fc5c1bcb17a970000007/sejarah-pasukan-hantu-maut-indonesia-pada-agresi-militer-di-yogyakarta/

Sunday 29 March 2015

Banjarasri Markas Republik


Pejuang di Kulonprogo berusaha keras menghalangi masuknya tentara Belanda. Jembatan jembatan banyak dijebol. Termasuk jembatan Kali Papah yang berada di sekitar Kantor Pegadaian Sentolo yang menuju Kaliagung saat ini. Pepohonan ditebang untuk diletakkan di tengah jalan. Setidaknya tentara musuh akan sangat kesulitan melewati rintangan rintangan ini. Memperlambat laju pergerakan mereka.
Sementara itu pertempuran yang terus berlangsung menyebabkan semakin banyak dibutuhkan peralatan perang. Di Banjarasri terdapat tempat pembuatan peralatan perang TNI, seperti peluru, detonator, granat, pistol dan senjata lainnya. Termasuk hasil rampasan dari tentara musuh.
Proses perbaikan dan pembuatan senjata dilakukan di rumah rumah penduduk secara terpencar, antara lain rumah milik Panjangrejo, Manguntukimin, Secopawiro, Kromowijoyo, Kromoinangun, Joyopawiro dan Joyoukoro.
Strategisnya letak desa Banjarasri memungkinkan para pejuang melakukan pertahanan, mengatur strategi politik dan militer dengan cukup aman. Belanda kesulitan menemukan lokasi ini mengingat kontur tanah yang menanjak dan hutan Kalibawang dan Samigaluh saat itu masih sangat lebat.
Posisi Banjarasri yang strategis secara geografis juga ditunjang keadaan desa yang tertata rapi stuktur administratifnya. Adanya Missionaris Katolik yang datang ke wilayah Kalibawang sejak awal abad ke – 20 menjadi salah satu faktor Banjarasri menjadi markas yang ideal. Tidak heran apabila wilayah ini menjadi pusat konsentrasi pengungsi dari kota.
Struktur pejabat desa yang tersusun rapi memungkinkan mereka mengurusi pengungsi, pertahanan sipil, perbekalan dan penerangan dengan baik. Apalagi ditambah keberadaan Rumah Sakit Santo Yusuf. Adanya rumah sakit sangat membantu pejuang dan warga yang saat itu didera sakit penyakit dan luka akibat peperangan.
Hal ini tentu menjadi modal penting bagi Desa Banjarasri untuk mendukung pergerakan mempertahankan kemerdekaan. Sejarah mencatat bahwa Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia berhutang budi pada desa kecil di utara Kulonprogo ini. Saat Agresi Militer Belanda II pecah, Jaksa Agung Tirtowinoto dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Besar Polisi Sosrodanukusumo mengungsi bersama rakyat ke desa Banjarasri.
Di Banjarasri mereka mendirikan Pos Kejaksaan Agung dan Pos Kepolisian guna melanjutkan mekanisme pemerintahan negara meskipun dalam pengungsian. Adapun rumah yang digunakan adalah rumah milik Pawirosuwarno. Kedua pejabat ini bersikap layaknya rakyat biasa. Tidak ada yang berbeda antara mereka dengan rakyat sekitar. Hanya saja militer benar benar memastikan keamanan keduanya.
Siapa tidak kenal Nama besar Abdul Haris Nasution atau lebih familiar dengan nama Jenderal Besar A. H. Nasution lalu Tahi Bonar Simatupang atau lebih dikenal dengan nama Jenderal T. B. Simatupang dan Alex Evert Kawilarang atau banyak dipanggil Kolonel A. E. Kawilarang yang kelak mendirikan cikal bakal Koppasus? Mereka adalah sebagian petinggi TNI yang ternyata pernah bermukim di Kalibawang dan Samigaluh untuk menyusun strategi perang.
Pada Februari 1948, A. H. Nasution menjadi Wakil Panglima Besar TNI atau orang kedua setelah Jendral Soedirman. Sebulan kemudian jabatan Wakil Panglima Besar dihapus dan ia ditunjuk menjadi Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Pada tahun 1948 ini A. H. Nasution mendirikan MBKD (Markas Besar Komando Jawa) di Perbukitan Borogunung, masih di Desa Banjarasri, Kalibawang, menyusul dikuasainya Yogyakarta oleh Belanda.
Pertimbangannya adalah perbukitan Borogunung memudahkan tentara memantau pergerakan musuh yang mungkin saja akan menyusup. Rumah seorang warga bernama Nitirejo dipergunakan menjadi markas, sedangkan lokasi kesekretariatan MBKD menumpang di rumah Suparja di dusun Padoan, Banjarharjo. Di penghujung tahun 1949, A. H. Nasution diangkat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
Sedikit ke selatan Kalibawang, sekitar 20 Desember 1948 pagi hari T. B. Simatupang mengungsi ke arah Kulonprogo menggunakan rakit menyeberangi Sungai Progo. Setelah itu tibalah ia di Dekso sebelum akhirnya menuju Desa Banaran, Banjarsari, Samigaluh.
Saat itu T. B. Simatupang menjabat wakil II Kepala Staff Angkatan Perang. Kepala Angkatan Perang kala itu dijabat Jenderal Soedirman, ia merangkap menjadi Panglima Besar Angkatan Perang. Sementara itu, perlu dicatat bahwa sebelum menuju Banjarasri, Kalibawang, A. H. Nasution juga singgah di Dekso setelah perjalanan dari Jawa Timur menggunakan kereta api dan turun sebelum kereta memasuki Kota Yogyakarta.
Di Banjarasri, A. H. Nasution yang dikenal sebagai ahli perang gerilya, meneruskan kegiatan Pos MBKD, dikenal dengan nama Pos X-2. Dari sini A. H. Nasution mengirimkan informasi dan perintah kepada Pos MBKD dan pejuang di tempat lain. Berita tersebut dikirim menggunakan radiogram yang dioperasikan menggunakan tenaga baterai yang dibuat sendiri. Untuk keperluan ini setiap pukul 15.00 sampai 17.00 bergantian dua orang penduduk Borogunung memutar pedal baterai untuk menyalakan pesawat radio. Pengiriman berita kepada Pos MBKD di tempat lain menjadikan Presiden Soekarno dan Moh. Hatta yang diasingkan ke Bangka dapat mendengar update terkini mengenai keadaan negara.
Mengingat keberadaan A. H. Nasution dan Pos MBKD sangat dirahasiakan, hubungan beliau dengan rakyat menjadi sangat terbatas. Orang orang yang hendak menemui beliau harus melalui seleksi ketat dan berbelit, bahkan berita yang akan masuk ke markas disampaikan dengan cara beranting dari bawah menuju ke atas. Surat surat penting dari MBKD Borogunung disampaikan kepada kurir untuk dibawa ke alamat tujuan dengan pengawalan seorang tentara. Cerita unik dari perjalanan A. H. Nasution ketika memasuki Banjarasri adalah pengakuannya kepada warga bahwa ia hanya seorang guru dari Sumatra bernama Abdul Haris yang tidak bisa pulang karena tersesat.
Setelah 3,5 bulan berlalu akhirnya A. H. Nasution bersama para staffnya meninggalkan Dusun Borogunung, Desa Banjarasri. Tepat 7 Juli 1949 ia melanjutkan perjalanan perjuangannya melawan Belanda dengan tantangan yang mungkin lebih berat.
Bangsa Indonesia akhirnya menikmati kemerdakaan. Tahun ini, Agustus 2014 merupakan peringatan 69 tahun bangsa Indonesia di alam kemerdekaan. Jauh sebelum itu, pejuang kemerdekaan mengorbankan segala kepentingan untuk bangsa dan negara. Jauh di pelosok pelosok negeri, termasuk di Desa Banjarasri, perjuangan gigih dilakukan.
Kini di desa Banjarasri tepat  berdiri sebuah monumen. Di depan sebuah rumah milik warga. Monumen MBKD Pos X-2 1948-1949 terpancang dengan gagah. Diresmikan 29 Juni 1982 atas prakarsa mantan Presiden Soeharto. Sri Sultan Hamengkubuwono IX mendapat kehormatan untuk meresmikan monumen penuh kenangan. Monumen berbentuk tugu batu yang didirikan untuk mengenang jerih payah warga dan pejuang kemerdekaan dalam memperjuangkan hak bangsa ini, hak untuk merdeka dan menentukan nasibnya sendiri.
Akhirnya disadari bahwa peran rakyat sangat penting. Mulai dari menjaga keamanan dan kerahasiaan, menyediakan tempat tinggal dan logistik. Bukti bahwa bersatunya rakyat dan tentara dipadu dengan semangat juang tinggi pasti memunculkan kekuatan yang luar biasa.
Dari sebuah desa kecil yang kini hidup tenang, damai dan bersahaja. Desa yang menjadi saksi sejarah pergolakan militer dan politik demi tegaknya ibu pertiwi. Desa yang menjaga kestabilan negara ketika republik baru saja diproklamirkan. Desa Banjarasri masih sangat asri, seperti tidak pernah terjadi apa apa di masa lalu.
Sumber : http://watespahpoh.net/2014/banjarasri-markas-republik.html

Tuesday 17 March 2015

Kesejarahan Mako Polresta Yogyakarta



Markas Kepolisian Resort Kota Yogyakarta (Mako Polresta) Jalan Reksobayan Nomor 1 Yogyakarta dibangun pertama kali untuk Gedung Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Gedung ini didirikan ± 1919 oleh Departement Onderwijs Eeredients. MULO merupakan kelanjutan HIS (Hollandsch Inlandsch School). Semula kursus ini hanya dua tahun, kemudian diubah menjadi tiga tahun. Pada awalnya, sekolah ini hanya diperuntukkan anak­anak Belanda saja. Kursus MULO ini mempunyai dua tujuan, yaitu:
  1. Menjadi tingkat bawah (onderbouw) dari sekolah-sekolah kejuruan menengah.
  2. Menjadi onderbouw dari pengajaran menengah
MULO yang ada ternyata tidak dapat menampung keinginan rakyat pribumi yang sadar akan kebutuhan pendidikan. Untuk itulah berkat badan usaha swasta yang ada di Yogyakarta pada waktu itu mendirikan MULO yang dapat menampung keinginan rakyat pribumi untuk melanjutkan sekolah pendidikan yang lebih tinggi. Badan-badan tersebut yaitu yayasan yang didirikan oleh Misi, Tending, Muhammadiyah, Netral, maupun Taman Siswa. Hal ini sangat menguntungkan bagi warga yang ekonominya lemah, bila mereka berhasil menyelesaikan sekolah akan mempunyai kedudukan yang sama dengan yang bersekolah di MULO pemerintahan.

Pada tahun 1935 Governement MULO ini pindah ke gedung yang terletak di Jalan Serayu, Kotabaru (sekarang dipakai gedung SMP Negeri 5). Gedung MULO lama dipergunakan sebagai kantor Algemene Politie Yogyakarta yang sebelumnya menempati gedung di Jalan KH. Ahmad Dahlan. Bekas kantor Algemene Politie Yogyakarta kemudian dipakai sebagai Rumah Sakit PKU Muhammadiyah.

Pada Jaman pendudukan Jepang gedung yang terletak di Jalan Reksobayan Nomor 1 dipakai sebagai kantor Polisi Jepang (Keisatsu Sho). Penggunaan kantor ini sebagai Kantor Keisatsu Sho selama tiga tahun. Sejak Indonesia merdeka, bangunan polisi Jepang digunakan sebagai Kantor Polisi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketika Jawatan Kepolisian Negara Republik Indonesia pindah dari Purwokerto ke ibu kota Yogyakarta pada tanggal 1 Desember 1947, gedung tersebut diadakan tambahan bangunan untuk Kantor Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan bagian–bagian dari Jawatan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Setelah Belanda menduduki ibu kota RI Yogyakarta tanggal 19 Desember 1948 sampai dengan 29 Juni 1949 gedung ini digunakan sebagai markas tentara Belanda yang tergabung dalam IVG. Sejak pemerintahan RI kembali ke ibu kota Republik Indonesia tanggal 6 Juli 1949, gedung ini dikuasai lagi oleh Jawatan Kepolisian Negara. Kemudian gedung tersebut digunakan sebagai kantor Polisi Seksi I Yogyakarta. Selanjutnya berturut-turut menjadi Markas Polres Yogyakarta, Markas Kepolisian Resort Kota Yogyakarta dan sekarang digunakan Markas Kepolisian Kota Besar Yogyakarta. Sedangkan Kantor Jawatan Kepolisian Negara yang tadinya bermarkas di Yogyakarta pindah ke Jakarta, sejak ibukota RI berada di Jakarta.

Peranan Gedung Mako Polresta Dalam Mempertahankan Kemerdekaan

Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945 menetapkan, bahwa Polisi termasuk dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri. Jadi tidak mengherankan jika susunan organisasi Kepolisian pada waktu itu mirip dengan susunan organisasi Departemen Dalam Negeri. Hal ini hanya meneruskan susunan Kepolisian pada jaman Hindia Belanda.

Peristiwa-peristiwa yang sangat penting pada waktu itu, adalah tentara Belanda makin merajalela dan aksi-aksi terror untuk melanggengkan kolonialisme di Indonesia. Pendaratan pasukan Marinir Belanda di Pelabuhan Tanjung Priok tanggal 30 Desember 1945, menambah gentingnya keadaan. Hal ini menyebabkan tugas-tugas kepolisian bertambah berat untuk menjaga keamanan wilayah RI.

Untuk melancarkan tugas-tugas kepolisian yang semakin berat, maka tata organisasi kepolisian diubah berdasarkan penetapan pemerintahan tahun 1946 No. 11/SD. Berdasarkan surat penetapan ini, mulai tanggal 1 Juli 1946 Jawatan Kepolisian Negara Republik Indonesia dikeluarkan dari lingkungan Kementerian Dalam Negeri menjadi dijadikan Jawatan tersendiri langsung di bawah pimpinan Perdana Menteri. Selanjutnya setiap tanggal 1 Juli diperingati sebagai hari Bhayangkara. Markas Kepoliisian RI pada waktu itu berpusat di Purwokerto. Adapun tugas-tugasnya adalah melayani dan memimpin polisi di daerah-daerah.

Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan serangan serentak terhadap daerah-daerah RI yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I. Jawa diserang dengan pasukan senjata lengkap dan modern yang terdiri dari tiga devisi, demikian juga di wilayah Sumatera.
Agresi Militer Belanda I menyebabkan berhentinya pembangunan kepolisian RI. Hal ini disebabkan Polisi Negara turut serta dalam pembelaan pertahanan negara di samping menunaikan tugas keamanan biasa selama Agresi Militer Belanda I. Dalam kondisi darurat pimpinan Jawatan Kepolisian Negara di Purwokerto dipegang oleh Wakil Kepolisian Negara, sedangkan Kepala Kepolisian Negara berada di Yogyakarta. Setelah Purwokerto diduduki Belanda, maka wakil Kepolisian Negara memindahkan kedudukannya keluar kota, yaitu di Candi Wulan.

Pada tanggal 1 Agustus 1947, Polisi Negara dimiliterisasikan berdasarkan Ketetapan Dewan Negara Nomor 112 tanggal 1947. Meskipun demikian kewajiban Kepolisian Negara sebagai Polisi keamanan negara tetap berlaku. Diikutsertakannya Polisi dalam usaha pertahanan tidak saja didasarkan pada Ketetapan Dewan Pertahanan Negara Nomor 112 tanggal 1 Agustus 1947, tetapi didasarkan pula pada pasal 20 dan 25 dari UU keadaan bahaya dan instruksi Kepala Negara Nomor 49 tahun 1946. Untuk kepentingan pertahanan tersebut maka Dewan Pertahanan Negara memasukan Kepolisian Negara sebagian atau keseluruhannya menjadi kesatuan tentara. Pangkat Kepolisian Negara disesuaikan dengan pangkat ketentaraan.

Pada tanggal 1 Desember 1947, Jawatan Kepolisian Negara dipindahkan kedudukannya ke ibukota Yogyakarta. Di Yogyakarta disusun pusat kepolisian lengkap dengan bagian-bagiannya. Jawatan Kepolisian berkantor bersama­-sama dengan Polisi Daerah Istimewa Yogyakarta di gedung Jalan Reksobayan Nomor 1. Agar gedung tersebut mampu menampung dua kantor Kepolisian, maka diadakan tambahan bangunan di halaman bagian tengah di bangunan baru ini, Kepala Kepolisian Negara berkantor.

Pada tanggal 19 Desember 1948, pukul 05.30 pagi Belanda melancarkan agresi militer II dengan pasukan lintas udara menyerang lapangan terbang Maguwo dengan menjatuhkan bom-bom selama 1 jam. Kemudian Belanda menurunkan pasukan payungnya dan segera dapat menduduki Maguwo dan sebagian menyerbu kota Yogyakarta. Penyerangan tersebut merupakan pelanggaran perjanjian Renville yang ditandatangani tanggal 17 Januari 1948.
Pada waktu itu di gedung Kepolisian Jalan Reksobayan Nomor 1 sibuk mengatur siasat untuk menghadapi pasukan Belanda. Komisaris Besar Polisi RI. Jendral Mohammad Suryopranoto memutuskan untuk memerintahkan seksi­-seksi Mobile Brigade untuk memperlambat masuknya tentara Belanda ke kota Yogyakarta. Di Gedong Kuning terjadilah pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Mobile Brigade . Karena tidak adanya koordinasi dengan kesatuan–kesatuan lainnya, maka pasukan Mobile Brigade dapat dipukul mundur oleh pasukan Belanda. Kepala Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta bersama stafnya, di antaranya Komisaris Polisi II Subagio, Inspektur Polisi I Kuswadi, Seno Kartonegara dan Mobile Brigade mengundurkan diri ke Gamping. Unsur bantuan logistik mundur ke Rewulu.

Pada hari itu juga ibukota Negara RI Yogyakarta jatuh ke tangan musuh. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta memutuskan tetap tinggal di Yogyakarta dengan kemungkinan akan ditangkap dan ditawan oleh Belanda. Adapun alasannya agar mudah ditemui oleh Komisi Tiga Negara dan kegiatan diplomasi dapat berjalan terus. Sebagai akibat dari keputusan tersebut, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, beserta menteri Kabinet Hatta ditangkap dan ditawan Belanda. Presiden Soekarno ditawan di Prapat, kemudian dipindahkan ke Bangka berkumpul dengan Wakil Presiden Moh.Hatta. Pada agresi Belanda II wakil Kepala Kepolisian Negara R. Sumarto juga ditangkap Belanda.

Sebelum tentara Belanda menguasai kota Yogyakarta Kabinet sempat mengadakan sidang dan mengambil keputusan untuk memberikan mandat melalui radiogram kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syarifudin Prawiranegara yang berada di Sumatra agar membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Jika Mr. Syarifuddin Prawiranegara gagal maka kepada Menteri Keuangan Mr. Maramis, L.N. Palar dan Dr. Sudarsono yang sedang berada di India diberi kuasa untuk membentuk Pemerintah Republik Indonesia di India. Perintah Presiden Soekarno tersebut dapat dilakukan dengan baik oleh Mr. Syarifudin Prawiranegara. Pada akhir tahun 1948 telah terbentuk Kabinet Pemerintah Darurat Republik Indonesia dengan Perdana Menteri Mr. Syarifudin Prawiranegara. Jadi meskipun Presiden, Wakil Presiden, dan beberapa orang menteri berhasil ditangkap dan ditawan   Belanda, Pemerintahan Republik Indonesia tetap berdiri.

Sesuai rencana yang telah disetujui pemerintah, seluruh kekuatan TNI termasuk Polisi yang masih di dalam kota Yogyakarta diperintahkan untuk keluar melakukan perang gerilya yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman. Jawatan Kepolisian Negara Darurat dibentuk di Godean oleh Komisaris Besar Polisi Sosrodanukusumo. Pada Markas Besar Komando Jawa, dibentuk Staf Keamanan yang terdiri Wakil Jawatan Kepolisian Negara dan Komando Corps Polisi Militer. Kecuali itu masing-masing Gubenur mempunyai staf keamanan. Pada pemerintahan tersebut, tanggal 15 Mei 1949 dibentuklah suatu alat kepolisian yang bernama Polisi Pemerintahan Militer (PPM). Polisi Pemerintahan Militer ini merupakan penggabungan dari Polisi Negara dan Corps Polisi Militer (CPM).

Selama pendudukan kota Yogyakarta tanggal 19 Desember 1948 s.d. 29 Juli 1949 kantor Kepolisian Negara dan Kantor Polisi Daerah Istimewa Yogyakarta di Jalan Reksobayan Nomor 1 ditempati Belanda dan dijadikan markas Tentara Belanda yang bergabung dengan IVG. Gedung ini selain digunakan sebagai kantor juga digunakan untuk menawan para pemimpin Republik Indonesia dan rakyat yang dicurigai. Pasukan tentara Belanda yang bergabung dalam IVG. IVG merupakan dinas rahasia yang bertugas untuk mengetahui seluk beluk perjuangan bangsa Indonesia.

Belanda mengira dengan menduduki kota Yogyakarta, TNI sudah hancur berantakan. Dengan demikian kampaye militerisasi sudah selesai, tinggal melaksanakan oprasi pembersihan. Dugaan Belanda ternyata meleset, pada serangan pertama TNI tidak hancur dan gerakan maju Belanda dibiarkan untuk memberikan ruang dan waktu bagi pelaksanaan wingate dan penyusunan Wehrkreise. Dalam waktu sebulan TNI telah selesai melakukan konsolidasinya dan mulai menyerang secara teratur kepada musuh. Seluruh Jawa dan Sumatra menjadi satu daerah gerilya yang menyeluruh dan tekanan terhadap pasukan Belanda ditingkatkan secara terus-menerus. Penghadangan konvoi-konvoi perbekalan dan tentara Belanda semakin berhasil.
Serangan umum terhadap kota-kota yang diduduki Belanda mulai dilaksanakan. Puncak Serangan Umum tersebut adalah Serangan Umum terhadap kota Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 1949 di bawah pimpinan Komandan Brigade X, Letnan Kolonel Suharto (mantan Presiden RI). Serangan Umum tidak dilakukan pada malam hari, melainkan di siang hari dan kota Yogyakarta diduduki TNI selama 6 (enam) jam. Berkat serangan ini pasukan Belanda dan IVG terpaksa meninggalkan kota Yogyakarta. Gedung di Jalan Reksobayan Nomor 1 Yogyakarta kembali ke tangan TNI.

Berkat perjanjian Roem-Royen maka tanggal 29 Juni 1949 pasukan Belanda mengundurkan diri dari kota Yogyakarta. Yogyakarta sebagai pusat kekuasan Republik Indonesia dan ibu kota telah tegak kembali di bawah kepemimpinan sementara Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Pada tanggal 27 Desember 1949 secara resmi Belanda menyerahkan Kedaulatan Indonesia kepada RIS di Amsterdam, Jakarta dan Yogyakarta. Secara formil Belanda telah mengakui Kemerdekaan Indonesia dan kedaulatan penuh Negara Indonesia di seluruh bekas jajahan wilayah Hindia Belanda.

Sumber :  https://www.facebook.com/notes/wisnu-jakas/kesejarahan-mako-polresta-yogyakarta/537187429726932

Wednesday 11 March 2015

Perakit bom yang jadi pahlawan nasional


Merdeka.com - Meski namanya lebih dikenal sebagai seorang pendidik dan ilmuwan, Prof. Dr. Ir. Herman Johannes juga tercatat berjasa dalam perang revolusi kemerdekaan RI. Berkat sumbangsihnya membantu Tentara Keamanan Rakyat (TKR), mantan Rektor UGM itu mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 2009.

Prof Johannes lahir di Rote, NTT, pada 28 Mei 1912 dan meninggal di Yogyakarta, 17 Oktober 1992 pada umur 80 tahun. Hari ini, Senin (28/5), adalah seratus tahun hari lahir Prof Johannes, suami dari Annie Marie Gilbertine Amalo dan ayah dari Helmi Johannes, presenter berita televisi di VOA.

Dalam ' Herman Johannes: Tokoh yang Konsisten dalam Sikap dan Perbuatan', dikisahkan sang profesor pada 4 November 1946 pernah menerima Surat Perintah yang ditadatangani Kapten (Kavaleri) Soerjosoemarno.

Surat itu mengatasnamakan Kepala Staf Umum Kementerian Keamanan Rakyat Letjen Urip Sumohardjo. Isinya agar Prof Johannes segera hadir dan melapor ke Markas Tertinggi Tentara di Yogyakarta.

Setelah memenuhi panggilan tersebut, Prof Johannes mengerti bahwa ia diminta membangun sebuah laboratorium persenjataan bagi TNI, karena pemerintah Indonesia saat itu sedang mengalami krisis persenjataan.

Permintaan ini diterimanya dengan satu syarat, yakni jika laboratorium itu sudah bisa berdiri dan berproduksi, maka penanganannya harus dilanjutkan orang lain. Herman Johannes tetap ingin melanjutkan kariernya di bidang pendidikan.

Di bawah pimpinan Prof Johannes, laboratorium persenjataan yang terletak di bangunan Sekolah Menengah Tinggi (SMT) Kotabaru ini selama perang kemerdekaan berhasil memproduksi bermacam bahan peledak, seperti bom asap dan granat tangan. Atas perannya itu, Prof Johannes diberi pangkat mayor oleh TKR.

Keahlian Prof Johannes sebagai fisikawan dan kimiawan ternyata berguna untuk memblokade gerak pasukan Belanda selama Agresi Militer I dan II. Bulan Desember 1948, Letkol Soeharto sebagai Komandan Resimen XXII TNI yang membawahi daerah Yogyakarta meminta Prof Johannes memasang bom di jembatan kereta api Sungai Progo.

Karena ia menguasai teori jembatan saat bersekolah di THS Bandung, Prof Johannes bisa membantu pasukan Resimen XXII membom jembatan tersebut. Januari 1949, Kolonel GPH Djatikoesoemo meminta Prof Johannes bergabung dengan pasukan Akademi Militer di sektor Sub-Wehrkreise 104 Yogyakarta.

Dengan markas komando di Desa Kringinan dekat Candi Kalasan, lagi-lagi Prof Johannes diminta meledakkan Jembatan Bogem yang membentang di atas Sungai Opak. Jembatan akhirnya hancur dan satu persatu jembatan antara Yogya-Solo dan Yogya-Kaliurang berhasil dihancurkan Johannes bersama para taruna Akademi Militer.

Aksi gerilya ini melumpuhkan aktivitas pasukan Belanda sebab mereka harus memutar jauh mengelilingi Gunung Merapi dan Gunung Merbabu melewati Magelang dan Salatiga untuk bisa masuk ke wilayah Yogyakarta.

Pengalamannya bergerilya membuat Prof Johannes juga ikut serta dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949 yang menyerbu kota Yogyakarta di pagi buta dan bisa menduduki ibukota Republik selama enam jam.
 
Sumber :  http://www.merdeka.com/peristiwa/perakit-bom-yang-jadi-pahlawan-nasional-100-tahun-herman-johannes.html