Djokjakarta

Thursday, 28 August 2014

Letjen TNI (Purn) Tahi Bonar (T.B.) Simatupang




Tahi Bonar (T.B.) Simatupang lahir di Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, pada 28 Januari 1920, merupakan anak kedua dari delapan putra-putri pasangan suami-istri Sutan Mangaraja Soaduan Simatupang dan Mina Boru Sibutar. Ayahnya bekerja sebagai pegawai pemerintah dan sering berpindah tempat tugas, dari Sidikalang pindah ke Siborong-borong, kemudian ke Pematang Siantar.
TB Simatupang menempuh pendidikannya di Hollands Indianse School (HIS) Pematangsiantar dan menyelesaikan pendidikan di HIS pada tahun 1934. Kemudian TB Simatupang dan kemudian mengikuti pendidikan di sekolah yang berada di bawah asuhan Zending, yakni Christelijke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO Kristen) ke Tarutung, hingga tamat tahun 1937. Tak hanya sampai di situ, putra daerah tersebut itu mengejar cita-citanya dengan melanjutkan pendidikan di Christelijke Algemene Middelbare School (AMS Kristen) di Jakarta dan tamat tahun 1940. Saat di AMS inilah muncul keinginannnya untuk mematahkan mitos yang ditanamkan oleh gurunya saat bersekolah di AMS Jakarta, TB Simatupang pun bertekad bulat untuk mewujudkan negara Indonesia dan militer yang bersatu.
Sang guru, seorang keturunan Belanda, menanamkan kepada Simatupang dan siswa pribumi lain bahwa Indonesia tidak mungkin bersatu dan memiliki angkatan perang untuk merdeka.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya, semula TB Simatupang bermaksud untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Kedokteran, namun kemudian dibatalkannya. Perhatiannya lebih tertuju untuk mengikuti pendidikan militer di Koninklijke Militaire Academie (KMA) yang baru dibuka Pemerintah Belanda di Bandung pengganti KMA Breda yang terpaksa ditutup karena Negeri Belanda diduduki Jerman. Dan akhirnya TB Simatupang diterima di Koninklije Militaire Academie (KMA) - adalah lembaga pendidikan militer bagi calon-calon personel Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) - di Bandung. Dengan memasuki KMA Bandung, Simatupang tercatat sebagai taruna Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO). Simatupang memilih kecabangan zeni dengan perhitungan bahwa pengetahuan di bidang ini akan tetap berguna seandainya diberhentikan dari dinas militer. Ia juga menjadi salah satu pribumi yang mencicipi pendididikan kemiliteran Belanda sebuah pendidikan kemiliteran yang ia butuhkan untuk mewujudkan militer Indonesia yang lebih baik.
Perang Dunia II yang berkobar di Eropa, merembet pula ke Asia, dimulai dengan serangan Jepang terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, Desember 1941. Pemerintah Hindia Belanda pun mengumumkan perang terhadap Jepang.
TB Simatupang bisa menyelesaikan belajar di KMA pada 1942, bertepatan dengan masuknya tentara Jepang ke Indonesia yang kemudian merebut kekuasaan dari pihak Belanda.
Dalam rangka perang itu, Sersan T.B. Simatupang ditugasi di bagian perhubungan Resimen 1 KNIL di Jakarta. Pada waktu Jepang menduduki Jakarta, Simatupang ditangkap dan ditahan di Sukabumi.
Setelah bebas dari tahanan Jepang, Simatupang mengadakan perjalanan ke berbagai tempat untuk mengetahui aspirasi yang berkembang di lingkungan masyarakat sehubungan dengan perubahan situasi. Dengan mantan Mayor KNIL Oerip Soemohardjo di Yogya, Simatupang membicarakan kemungkinan yang dapat dilakukan oleh bekas KNIL. Namun, yang cukup menentukan ialah pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta. Dari pembicaraan dengan tokoh anti Jepang ini, Simatupang mendapat keyakinan bahwa kekuasaan Jepang tidak akan bertahan lama. Oleh karena itu, perlu dilakukan persiapan untuk menghadapi situasi pascaperang. Pada masa ini, melalui bacaan berbagai buku, Simatupang mulai mendalami masalah-masalah perang dan revolusi.
Karier militer yang terhenti selama masa pendudukan Jepang, dilanjutkan Simatupang sesudah Indonesia memperoleh kemerdekaan. Simatupang lebih berperan sebagai perwira staf daripada perwira lapangan dan dikenal sebagai pemikir militer, bahkan diplomat militer. Bekas Mayor KNIL Oerip Soemohardjo yang diangkat pemerintah menjadi Kepala Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kelak berkembang menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), mengangkat Simatupang sebagai Kepala Organisasi Markas Besar Umum. Simatupang juga ditugasi menyusun konsep Sumpah Prajurit.
Tugas menyusun organisasi bukanlah tugas yang mudah, sebab angkatan perang baru saja dilahirkan dan minim pengalaman. Namun, Simatupang berhasil melaksanakannya berkat kecanduannya membaca berbagai buku karya pengarang asing mengenai organisasi militer. Organisasi yang dirancang Simatupang tidak terbatas hanya pada organisasi Markas Besar, tetapi juga organisasi divisi, resimen, dan batalion.
Ia menjadi penasihat militer delegasi RI dalam perundingan-perundingan yang menghasilkan Perjanjian Renville. Ia aktif dalam perundingan lanjutannya di Kaliurang, 24 kilometer di utara Yogyakarta.
Sebagai seorang pemikir militer, Simatupang menganalisis berbagai kemungkinan untuk mengadapi Belanda. Menyadari bahwa Angkatan Perang RI, ditinjau dari segi persenjataan, tidak akan mungkin menghadapi pasukan Belanda yang cukup terlatih, bersenjata lengkap dan modern, Simatupang menggagaskan sistem wehrekreise (distrik pertahanan). Simatupang menganalisis gerak dan strategi pasukan Belanda, yaitu strategi penghancuran. Simatupang berusaha menemukan kontrastrategi yang tepat untuk menghadapi strategi penghancuran dengan strategi penjemuan, yakni melakukan perang rakyat yang lama. Setiap wehrekreise meliputi satu keresidenan, dipertahankan oleh tentara dan rakyat. Konsep ini diterapkan pada waktu Belanda melancarkan agresi militer kedua.
Pada saat setelah agresi Belanda ke II tanggal 19 Desember 1948 TB Simatupang berserta rombongan berjalan dari desa ke desa yang lain untuk menghindari serangan Belanda dan sesekali melakukan konsolidasi untuk menyusun kembali kekuatan. Hingga akhirnya rombongan ini sampai ke dusun Banaran yang letaknya terpencil dan ada hambatan alamiah untuk bisa mencapainya. Karena pertimbangan itulah maka dusun Banaran (sekarang masuk wilayah Padukuhan Kliwunglon) Banjarsari Kecamatan Samigaluh Kulon Progo ini lalu dijadikan pangkalan gerilya. Dari pangkalan inilah Kolonel TB Simatupang menjalankan tugasnya selaku Wakil KSAP II dalam mengkoordinasikan perlawanan kepada Belanda.
Di tempat ini Simatupang memasang sender radio berukuran kecil (PHB) dan juga TB Simatupang menaungi beberapa orang CDO (Code Officer) yang berkedudukan di Dekso diantaranya Letnan II Soemarkidjo dan Letnan Md. Soedijatmo yang membentuk Bagian Code yang berkedudukan dibawah PHB Angkatan Perang yang dipimpin oleh Mayor Dartodjo. Dengan cara menghubungkan sender ini dengan sender yang lebih besar di Wonosari, Simatupang mengadakan komunikasi dengan Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Sumatera Barat untuk menyampaikan berbagai informasi mengenai perkembangan situasi di Jawa. Simatupang juga mengadakan kontak dengan wakil RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam kedudukan sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Simatupang mengadakan perjalanan keliling mengunjungi pasukan-pasukan yang tersebar di berbagai tempat. Selain menemui tokoh-tokoh militer, Simatupang juga menemui tokoh-tokoh sipil untuk membahas perkembangan situasi.
Berkat hubungan baik antara rombongan Kolonel TB Simatupang dengan masyarakat yang berada disekitar dusun Banaran sangatlah baik sehingga rakyat selalu bersedia untuk mengantar dan mengambil surat di tempat tertentu semisal mengantar salinan kawat yang dilakukan dari Dukuh ke Banaran. Bahkan mereka bersedia juga untuk jaga malam. Sementara itu Ali Budiharjo selalu memberikan nasehat-nasehat mengenai soal-soal yang bersifat non militer kepada TB Simatupang. 
Pada saat serangan Umum 1 maret 1949 TB Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsasi Keamatan Samigaluh Kulon Progo untuk diminta untuk menghubungi pemancar radio AURI di Playen, agar setelah serangan dilancarkan, berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan. Dalam kapasitasnya sebagai Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang, Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI dibandingkan perwira AD lain.
Sebagaimana telah ditetapkan, bahwa perintah-perintah yang sangat penting dan rahasia harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan yang bersangkutan, maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang berada di wilayah Wehrkreis I di bawah pimpinan Letkol. Soeharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel Bambang Soegeng. Kurir segera dikirim kepada Kol. Soeharto untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi serta mempersiapkan pertemuan.
Ikut dalam rombongan Panglima Divisi, selain Letkol. Dr. Hutagalung, antara lain juga Dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Soegeng), Bambang Soerono (adik Bambang Soegeng), Letnan Amron Tanjung (ajudan dari Hutagalung), seorang mantri kesehatan dan seorang supir dari Dr. Kusen. Pertama-tama singgah di tempat Kol. Wijono memberikan tugas untuk mencari pemuda-pemuda berbadan tinggi dan tegap yang fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Perancis. Setelah itu Panglima beserta rombongan mengunjungi Kol. Simatupang di Pedukuhan Banaran. Dalam catatan harian tertanggal 18-2-'49, Simatupang menulis: "Kolonel Bambang Soegeng yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia adalah Gubernur Militer daerah Yogyakarta-Kedu-Banyumas-Pekalongan-sebagian dari Semarang) datang dan bermalam di Banaran. Soegeng adalah orang yang emosional dan bagi dia tidaklah memuaskan apabila Yogyakarta nanti dikembalikan begitu saja kepada kita. Idenya ialah:
Yogya harus direbut dengan senjata. Paling sidikit dia ingin bahwa Yogyakarta kita serang secara besar-besaran agar menjadi jelas bagi sejarah bahwa sekalipun Yogyakarta ditinggalkan oleh Belanda, namun kita tidak menerima kota itu sebagai hadiah saja. Paling sedikit dia mau membuktikan bahwa kita mempunyai kekuatan untuk menjadikan kedudukan Belanda di kota tidak tertahan (onhoudbar).
Demikianlah kurang lebih jalan pikiran dan perasaan dari Bambang Soegeng yang dapat saya tangkap dari pembicaraan-pembicaraan dengan dia waktu berada di Banaran.
"Saya jelaskan bahwa hari dan cara penyerahan Yogyakarta kepada kita belum lagi ditentukan, sehingga masih ada cukup waktu untuk melancarkan serbuan atas Yogyakarta.
Sama sekali tidak ada larangan untuk menyerang dan ditinjau dari segi diplomasi, maka saya anggap bahwa setiap serangan yang spektakuler, justru dapat memperkuat kedudukan kita.
Dengan Kolonel Soegeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya."
Dari Banaran rombongan meneruskan perjalanan ke pegunungan Menoreh, wilayah Wehrkreis III untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Soeharto. Sebelumnya, Bambang Soegeng beserta rombongan masih sempat mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Soegeng.
Pertemuan dengan Letkol. Soeharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Dalam pertemuan yang dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah, hadir lima orang yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Soegeng, Perwira Teritorial Letkol. Dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreis III/Brigade X Letkol. Soeharto beserta ajudan.
Kepada Soeharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait seperti bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan. Kepada Komandan Wehrkreis I juga telah diberikan perintah untuk melibatkan Belanda dalam pertempuran di
luar wilayah III antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret, agar Belanda tidak dapat mengirimkan bantuan pasukan ke Yogyakarta.
Pada 25 Februari 1949 Simatupang memulai perjalanan dan membuat catatan: "Besoknya tanggal 28 Februari kami tiba di sebuah desa dekat Playen yang bernama Banaran. Di Pulau Jawa banyak desa-desa yang bernama Banaran, Kalibawang dan seterusnya. Pemancar radio yang mula-mula berada di lapangan terbang AURI dekat Wonosari telah dipindahkan di suatu tempat tidak jauh dari Banaran ini. Sehari menjelang 1 Maret, dalam perjalanan ke Jawa Timur Kolonel Simatupang singgah ke Playen membawa berita tentang Serangan Umum Satu Maret yang akan dilaksanakan esok harinya. Saya menerima teks dan brifing secukupnya di rumah paling depan, sebelum lorong yang menuju ke rumah keluarga Pawirosoetomo dengan di wanti-wanti untuk menyiarkannya besok malamnya, setelah terjadi Serangan Umum yang akan dilancarkan pada waktu subuh tanggal 1 Maret 1949.
Dari perwira AURI di sini, yang menjadi tuan rumah kami hari itu, saya dengar bahwa selain daripada pemancar Wonosari ada juga beberapa pemancar kita yang kuat yakni di Kotaraja, di sekitar Bukittinggi. Kebanyakan dari pemancar-pemancar ini adalah pemancar-pemancar dari AURI dan dalam hal memelihara hubungan, radio AURI telah memberikan sumbangan yang besar selama perang rakyat ini.
Rupanya perwira AURI yang ditemui Simatupang di Playen adalah Boediardjo. Dari kalimat Simatupang: "...Dengan Kolonel Soegeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya" dan mencocokkannya dengan tulisan Boediardjo, kelihatannya Simatupang cukup banyak terlibat dalam persiapan serangan tersebut; dan bahwa Simatupang telah mempersiapkan teks pada 28 Februari, sehari sebelum serangan terjadi dan meminta teks tersebut segera disiarkan setelah serangan dilaksanakan.
Keterangan Simatupang ini cocok dengan penuturan Boediardjo (Menteri Penerangan RI 1968-1973, Pangkat terakhir Laksamana Madya Udara) mencatat:
"...Pangkalan di Playen itulah yang kemudian terbukti berjasa, ketika berhasil menyiarkan berita keberhasilan Serangan Umum Satu Maret 1949 ke luar negeri.
Tulisan Pak Simatupang tersusun jelas, dalam bahasa yang bagus dan rapi. Sayang sekali saya tidak berani menyimpan teks itu, setelah disiarkan. Seperti biasa, kami hancurkan semua dokumen, ketika mengadakan evakuasi.
Siaran itu berhasil menembus blokade informasi Belanda. Dari Playen siaran ditangkap dan diteruskan oleh teman-teman di Bukit Tinggi. Dari sana diteruskan ke Aceh, kemudian secara estafet ke Burma dan akhirnya India. Dari New Delhi, All India Radio menyiarkan ke seluruh penjuru dunia pada malam hari itu juga. Alangkah bahagianya kami, dua hari berikutnya kami memantau berita All India Radio yang menyiarkan teks radiogram kami. Isinya sama,kata demi kata.
Tetapi Islam Salim mencatat, bahwa Perwakilan RI di PBB menerima berita bukanlah dari New Delhi, melainkan dari Indonesia Office di Singapura. Islam Salim menulis: "Prakarsa UNCI untuk Perjanjian Roem-Royen di atas, diambil sesuai dengan keputusan PBB dalam Sidang Umumnya di Paris, yang menghendaki agar kedua pihak yang bertikai kembali ke meja perundingan, karena Sidang Umum PBB telah mengkonstatir kegagalan Agresi Kolonial Belanda dengan tetap tegaknya Negara RI. Hal ini, antara lain, didasarkan atas press release Press Officer Perwakilan RI di PBB Soedjatmoko, tentang terjadinya serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, di daerah Brigade X/Wehrkreise III di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto, yang beritanya diterima melalui Mayor Wibowo dari Indonesia Office di Singapura.
Sengketa Indonesia dan Belanda menarik perhatian Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bagsa (DK PBB). Melalui campur tangan dewan ini kedua pihak mengadakan perundingan yang melahirkan Roem-Roijen Statement. Sesuai dengan isi pernyataan itu, pada bulan Agustus 1949 dilakukan penghentian tembak menembak.
Tahun 1949 serta menjadi salah satu perwira yang mewakili Angkatan Bersenjata dalam delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda. Misi utamanya adalah mendesak Belanda membubarkan KNIL serta mengukuhkan TNI sebagai kekuatan inti Angkatan Perang RIS (APRIS). Simatupang berhasil dalam adu argumentasi dengan jenderal-jenderal senior Belanda.

 Gen.-Maj. D.R.A. van Langen, Kol. J.H.M.U.L.E. Ohl, Kolonel Simatupang, dan Kolonel Suganda di lapangan udara Andir di bulan Maret 1950.

Tidak lama kemudian, dengan meninggalnya Jenderal Sudirman pada tahun 1950, ia dilantik sebagai Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) RI dan pangkatnya dinaikkan menjadi Jenderal Mayor. Usai perjuangan kemerdekaan yang dinamakannya sebagai "loncatan pertama", pemikiran utama Simatupang, lalu menyusun konsep memfungsikan ABRI dalam "loncatan kedua" sebagai dinamisator pembangunan di masa damai Konsep inilah yang kemudian diperkenalkan oleh AH Nasution dengan nama Dwifungsi ABRI. Pada tahun 1951, Simatupang juga menyusun rumusan Saptamarga. Seperti juga Sumpah Prajurit, Saptamarga pun menjadi landasan perjuangan Angkatan Perang RI.
Usaha rasionalisasi dan profesionalisasi ABRI yang dilaksanakan TB Simatupang-dengan tujuan meningkatkan mutu tentara-mengundang kritik para politikus yang didukung Sukamo.
Sebagai KSAP, Simatupang terlibat dalam konflik antara Angkatan Perang, khususnya Angkatan Darat, dan Parlemen akibat campur tangan Parlemen yang terlalu berlebihan dalam masalah intern Angkatan Darat. Pada tanggal 17 Oktober 1952, KSAP Simatupang, KSAD Kolonel Nasution dan beberapa perwira lain menghadap Presiden Soekarno meminta agar parlemen dibubarkan dan segera diadakan pemilihan umum. Permintaan itu ditolak oleh Presiden.
Akibat peristiwa itu di lingkungan Angkatan Darat timbul perpecahan antara golongan yang pro dan yang anti. Dampaknya berakhir dengan dihapuskannya jabatan KSAP (1954) diganti dengan Gabungan Kepala Staf. Setelah dihapuskannya KSAP TB Simatupang lalu diangkat sebagai Penasihat Militer di Departemen Pertahanan. Sebelum itu ia ditawari jabatan duta besar tetapi ditolaknya. Ia memanfaatkan waktunya selama lima tahun sesudah itu dengan mengajar di Sekolah Staf Angkatan Darat dan di Akademi Hukum Militer.
Pada 21 Juli 1959, dalam usia 39 tahun, dipensiunkan secara resmi.
Letjen TNI (Purn) T.B. Simatupang meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 1 Januari 1990 dalam usia 70 tahun. Jenazahnya di makamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas jasa-jasa dan pengabdiannya terhadap bangsa dan negara, pada tahun 1995 Pemerintah RI menganugerahi tanda jasa Bintang Mahaputra Adipradana. Pada 8 November 2013 Letjen (Purn) Tahi Bonar (TB) Simatupang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia

Wednesday, 6 August 2014

Overste Slamet Riyadi

Op vrijdag, 2 september ontmoetten enkele Nederlandse officieren en Luit. Kol. Slamet Ryadih elkaar te Bawen. Deze TNI officier, die vergezeld werd door zijn Luit.-Adj. en enkele dardanellen, was onderweg naar Djokje, waarheen hij was teruggeroepen van de Cease-fire besprekingen te Semarang. De Nederlanders vergezelden hem tot Tempel, de laatste Nederlandse militaire post, tot waar zij hem vrijgeleide hadden gegeven. Na aankomst te Tempel begeeft Luit.-Kol. Slamet Ryadih zich met de andere TNI-officieren te voet over de brug over de Kali Krasak, die de grens vormt tussen Republikeins en Federaal-gebied. Op de chtergrond aan de overkant van de brug zijn versperringen en barricades van de aldaar gelegerde Republikeinse post duidelijk zichtbaar




Op vrijdag, 2 september ontmoetten enkele Nederlandse officieren en Luit. Kol. Slamet Ryadih elkaar te Bawen. Deze TNI officier, die vergezeld werd door zijn Luit.-Adj. en enkele dardanellen, was onderweg naar Djokje, waarheen hij was teruggeroepen van de Cease-fire besprekingen te Semarang. De Nederlanders vergezelden hem tot Tempel, de laatste Nederlandse militaire post, tot waar zij hem vrijgeleide hadden gegeven. Na aankomst te Tempel begeeft Luit.-Kol. Slamet Ryadih zich met de andere TNI-officieren te voet over de brug over de Kali Krasak, die de grens vormt tussen Republikeins en Federaal-gebied. Op de chtergrond aan de overkant van de brug zijn versperringen en barricades van de aldaar gelegerde Republikeinse post duidelijk zichtbaar

Op vrijdag, 2 september ontmoetten enkele Nederlandse officieren en Luit. Kol. Slamet Ryadih elkaar te Bawen. Deze TNI officier, die vergezeld werd door zijn Luit.-Adj. en enkele dardanellen, was onderweg naar Djokje, waarheen hij was teruggeroepen van de Cease-fire besprekingen te Semarang. De Nederlanders vergezelden hem tot Tempel, de laatste Nederlandse militaire post, tot waar zij hem vrijgeleide hadden gegeven. Toen Luit.-Kol. Slamet Ryadih te Tempel arriveerde ontmoette hij daar enkele TNI officieren uit Salam (de laatste TNI-post), die toevallig bij hun Nederlandse collega's op bezoek waren


Op vrijdag, 2 september ontmoetten enkele Nederlandse officieren en Luit. Kol. Slamet Ryadih elkaar te Bawen. Deze TNI officier, die vergezeld werd door zijn Luit.-Adj. en enkele dardanellen, was onderweg naar Djokje, waarheen hij was teruggeroepen van de Cease-fire besprekingen te Semarang. De Nederlanders vergezelden hem tot Tempel, de laatste Nederlandse militaire post, tot waar zij hem vrijgeleide hadden gegeven. Het escorte van Luit.-Kol. Slamet Ryadih in een Nederlandse militaire jeep


Op vrijdag, 2 september ontmoetten enkele Nederlandse officieren en Luit. Kol. Slamet Ryadih elkaar te Bawen. Deze TNI officier, die vergezeld werd door zijn Luit.-Adj. en enkele dardanellen, was onderweg naar Djokje, waarheen hij was teruggeroepen van de Cease-fire besprekingen te Semarang. De Nederlanders vergezelden hem tot Tempel, de laatste Nederlandse militaire post, tot waar zij hem vrijgeleide hadden gegeven. Luit. Kol. Slamet Ryadih te Bawen in gesprek met Kapitein Kroon van de "V"-Brigade te Solo


Sumber : gahetna.nl