Tahi Bonar (T.B.) Simatupang lahir di Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, pada 28 Januari 1920, merupakan anak kedua dari delapan putra-putri pasangan suami-istri Sutan Mangaraja Soaduan Simatupang dan Mina Boru Sibutar. Ayahnya bekerja sebagai pegawai pemerintah dan sering berpindah tempat tugas, dari Sidikalang pindah ke Siborong-borong, kemudian ke Pematang Siantar.
TB
Simatupang menempuh pendidikannya di Hollands Indianse School (HIS)
Pematangsiantar dan menyelesaikan pendidikan di HIS pada tahun 1934. Kemudian
TB Simatupang dan kemudian mengikuti pendidikan di sekolah yang berada di bawah
asuhan Zending, yakni Christelijke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO
Kristen) ke Tarutung, hingga tamat tahun 1937. Tak hanya sampai di situ, putra
daerah tersebut itu mengejar cita-citanya dengan melanjutkan pendidikan di
Christelijke Algemene Middelbare School (AMS Kristen) di Jakarta dan tamat
tahun 1940. Saat di AMS inilah muncul keinginannnya untuk mematahkan mitos yang
ditanamkan oleh gurunya saat bersekolah di AMS Jakarta, TB Simatupang pun
bertekad bulat untuk mewujudkan negara Indonesia dan militer yang bersatu.
Sang guru,
seorang keturunan Belanda, menanamkan kepada Simatupang dan siswa pribumi lain
bahwa Indonesia tidak mungkin bersatu dan memiliki angkatan perang untuk
merdeka.
Setelah
menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya, semula TB Simatupang bermaksud
untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Kedokteran, namun kemudian dibatalkannya.
Perhatiannya lebih tertuju untuk mengikuti pendidikan militer di Koninklijke
Militaire Academie (KMA) yang baru dibuka Pemerintah Belanda di Bandung
pengganti KMA Breda yang terpaksa ditutup karena Negeri Belanda diduduki
Jerman. Dan akhirnya TB Simatupang diterima di Koninklije Militaire Academie
(KMA) - adalah lembaga pendidikan militer bagi calon-calon personel Koninklijke
Nederlands Indische Leger (KNIL) - di Bandung. Dengan memasuki KMA Bandung,
Simatupang tercatat sebagai taruna Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO).
Simatupang memilih kecabangan zeni dengan perhitungan bahwa pengetahuan di
bidang ini akan tetap berguna seandainya diberhentikan dari dinas militer. Ia
juga menjadi salah satu pribumi yang mencicipi pendididikan kemiliteran Belanda
sebuah pendidikan kemiliteran yang ia butuhkan untuk mewujudkan militer
Indonesia yang lebih baik.
Perang Dunia
II yang berkobar di Eropa, merembet pula ke Asia, dimulai dengan serangan
Jepang terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, Desember
1941. Pemerintah Hindia Belanda pun mengumumkan perang terhadap Jepang.
TB
Simatupang bisa menyelesaikan belajar di KMA pada 1942, bertepatan dengan
masuknya tentara Jepang ke Indonesia yang kemudian merebut kekuasaan dari pihak
Belanda.
Dalam rangka
perang itu, Sersan T.B. Simatupang ditugasi di bagian perhubungan Resimen 1
KNIL di Jakarta. Pada waktu Jepang menduduki Jakarta, Simatupang ditangkap dan
ditahan di Sukabumi.
Setelah
bebas dari tahanan Jepang, Simatupang mengadakan perjalanan ke berbagai tempat
untuk mengetahui aspirasi yang berkembang di lingkungan masyarakat sehubungan
dengan perubahan situasi. Dengan mantan Mayor KNIL Oerip Soemohardjo di Yogya,
Simatupang membicarakan kemungkinan yang dapat dilakukan oleh bekas KNIL.
Namun, yang cukup menentukan ialah pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di
Jakarta. Dari pembicaraan dengan tokoh anti Jepang ini, Simatupang mendapat
keyakinan bahwa kekuasaan Jepang tidak akan bertahan lama. Oleh karena itu,
perlu dilakukan persiapan untuk menghadapi situasi pascaperang. Pada masa ini,
melalui bacaan berbagai buku, Simatupang mulai mendalami masalah-masalah perang
dan revolusi.
Karier
militer yang terhenti selama masa pendudukan Jepang, dilanjutkan Simatupang
sesudah Indonesia memperoleh kemerdekaan. Simatupang lebih berperan sebagai
perwira staf daripada perwira lapangan dan dikenal sebagai pemikir militer,
bahkan diplomat militer. Bekas Mayor KNIL Oerip Soemohardjo yang diangkat
pemerintah menjadi Kepala Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kelak
berkembang menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), mengangkat Simatupang
sebagai Kepala Organisasi Markas Besar Umum. Simatupang juga ditugasi menyusun
konsep Sumpah Prajurit.
Tugas
menyusun organisasi bukanlah tugas yang mudah, sebab angkatan perang baru saja
dilahirkan dan minim pengalaman. Namun, Simatupang berhasil melaksanakannya
berkat kecanduannya membaca berbagai buku karya pengarang asing mengenai
organisasi militer. Organisasi yang dirancang Simatupang tidak terbatas hanya
pada organisasi Markas Besar, tetapi juga organisasi divisi, resimen, dan
batalion.
Ia menjadi
penasihat militer delegasi RI dalam perundingan-perundingan yang menghasilkan
Perjanjian Renville. Ia aktif dalam perundingan lanjutannya di Kaliurang, 24
kilometer di utara Yogyakarta.
Sebagai
seorang pemikir militer, Simatupang menganalisis berbagai kemungkinan untuk
mengadapi Belanda. Menyadari bahwa Angkatan Perang RI, ditinjau dari segi
persenjataan, tidak akan mungkin menghadapi pasukan Belanda yang cukup terlatih,
bersenjata lengkap dan modern, Simatupang menggagaskan sistem wehrekreise
(distrik pertahanan). Simatupang menganalisis gerak dan strategi pasukan
Belanda, yaitu strategi penghancuran. Simatupang berusaha menemukan
kontrastrategi yang tepat untuk menghadapi strategi penghancuran dengan
strategi penjemuan, yakni melakukan perang rakyat yang lama. Setiap wehrekreise
meliputi satu keresidenan, dipertahankan oleh tentara dan rakyat. Konsep ini
diterapkan pada waktu Belanda melancarkan agresi militer kedua.
Pada saat
setelah agresi Belanda ke II tanggal 19 Desember 1948 TB Simatupang berserta
rombongan berjalan dari desa ke desa yang lain untuk menghindari serangan
Belanda dan sesekali melakukan konsolidasi untuk menyusun kembali kekuatan.
Hingga akhirnya rombongan ini sampai ke dusun Banaran yang letaknya terpencil
dan ada hambatan alamiah untuk bisa mencapainya. Karena pertimbangan itulah
maka dusun Banaran (sekarang masuk wilayah Padukuhan Kliwunglon) Banjarsari
Kecamatan Samigaluh Kulon Progo ini lalu dijadikan pangkalan gerilya. Dari
pangkalan inilah Kolonel TB Simatupang menjalankan tugasnya selaku Wakil KSAP
II dalam mengkoordinasikan perlawanan kepada Belanda.
Di tempat
ini Simatupang memasang sender radio berukuran kecil (PHB) dan juga TB
Simatupang menaungi beberapa orang CDO (Code Officer) yang berkedudukan di
Dekso diantaranya Letnan II Soemarkidjo dan Letnan Md. Soedijatmo yang
membentuk Bagian Code yang berkedudukan dibawah PHB Angkatan Perang yang
dipimpin oleh Mayor Dartodjo. Dengan cara menghubungkan sender ini dengan
sender yang lebih besar di Wonosari, Simatupang mengadakan komunikasi dengan
Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Sumatera Barat untuk menyampaikan berbagai
informasi mengenai perkembangan situasi di Jawa. Simatupang juga mengadakan kontak
dengan wakil RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam
kedudukan sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Simatupang mengadakan
perjalanan keliling mengunjungi pasukan-pasukan yang tersebar di berbagai
tempat. Selain menemui tokoh-tokoh militer, Simatupang juga menemui tokoh-tokoh
sipil untuk membahas perkembangan situasi.
Berkat
hubungan baik antara rombongan Kolonel TB Simatupang dengan masyarakat yang
berada disekitar dusun Banaran sangatlah baik sehingga rakyat selalu bersedia
untuk mengantar dan mengambil surat di tempat tertentu semisal mengantar
salinan kawat yang dilakukan dari Dukuh ke Banaran. Bahkan mereka bersedia juga
untuk jaga malam. Sementara itu Ali Budiharjo selalu memberikan nasehat-nasehat
mengenai soal-soal yang bersifat non militer kepada TB Simatupang.
Pada saat
serangan Umum 1 maret 1949 TB Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan Banaran,
desa Banjarsasi Keamatan Samigaluh Kulon Progo untuk diminta untuk menghubungi
pemancar radio AURI di Playen, agar setelah serangan dilancarkan, berita
mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.
Dalam kapasitasnya sebagai Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang, Simatupang
lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI dibandingkan perwira AD
lain.
Sebagaimana
telah ditetapkan, bahwa perintah-perintah yang sangat penting dan rahasia harus
disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan yang bersangkutan, maka
rencana penyerangan atas Yogyakarta yang berada di wilayah Wehrkreis I di bawah
pimpinan Letkol. Soeharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III
Kolonel Bambang Soegeng. Kurir segera dikirim kepada Kol. Soeharto untuk
memberitahu kedatangan Panglima Divisi serta mempersiapkan pertemuan.
Ikut dalam
rombongan Panglima Divisi, selain Letkol. Dr. Hutagalung, antara lain juga Dr.
Kusen (dokter pribadi Bambang Soegeng), Bambang Soerono (adik Bambang Soegeng),
Letnan Amron Tanjung (ajudan dari Hutagalung), seorang mantri kesehatan dan
seorang supir dari Dr. Kusen. Pertama-tama singgah di tempat Kol. Wijono
memberikan tugas untuk mencari pemuda-pemuda berbadan tinggi dan tegap yang
fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Perancis. Setelah itu Panglima beserta
rombongan mengunjungi Kol. Simatupang di Pedukuhan Banaran. Dalam catatan
harian tertanggal 18-2-'49, Simatupang menulis: "Kolonel Bambang Soegeng
yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia adalah Gubernur Militer daerah
Yogyakarta-Kedu-Banyumas-Pekalongan-sebagian dari Semarang) datang dan bermalam
di Banaran. Soegeng adalah orang yang emosional dan bagi dia tidaklah memuaskan
apabila Yogyakarta nanti dikembalikan begitu saja kepada kita. Idenya ialah:
Yogya harus
direbut dengan senjata. Paling sidikit dia ingin bahwa Yogyakarta kita serang
secara besar-besaran agar menjadi jelas bagi sejarah bahwa sekalipun Yogyakarta
ditinggalkan oleh Belanda, namun kita tidak menerima kota itu sebagai hadiah
saja. Paling sedikit dia mau membuktikan bahwa kita mempunyai kekuatan untuk
menjadikan kedudukan Belanda di kota tidak tertahan (onhoudbar).
Demikianlah
kurang lebih jalan pikiran dan perasaan dari Bambang Soegeng yang dapat saya
tangkap dari pembicaraan-pembicaraan dengan dia waktu berada di Banaran.
"Saya
jelaskan bahwa hari dan cara penyerahan Yogyakarta kepada kita belum lagi
ditentukan, sehingga masih ada cukup waktu untuk melancarkan serbuan atas
Yogyakarta.
Sama sekali
tidak ada larangan untuk menyerang dan ditinjau dari segi diplomasi, maka saya
anggap bahwa setiap serangan yang spektakuler, justru dapat memperkuat
kedudukan kita.
Dengan
Kolonel Soegeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya
untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya."
Dari Banaran
rombongan meneruskan perjalanan ke pegunungan Menoreh, wilayah Wehrkreis III
untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Soeharto.
Sebelumnya, Bambang Soegeng beserta rombongan masih sempat mampir di Pengasih,
tempat kediaman mertua Bambang Soegeng.
Pertemuan
dengan Letkol. Soeharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Dalam pertemuan
yang dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah, hadir lima orang yaitu
Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Soegeng, Perwira
Teritorial Letkol. Dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung,
Komandan Wehrkreis III/Brigade X Letkol. Soeharto beserta ajudan.
Kepada
Soeharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25
Februari dan 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian
setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait seperti bagian PEPOLIT
Kementerian Pertahanan. Kepada Komandan Wehrkreis I juga telah diberikan
perintah untuk melibatkan Belanda dalam pertempuran di
luar wilayah
III antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret, agar Belanda tidak dapat
mengirimkan bantuan pasukan ke Yogyakarta.
Pada 25
Februari 1949 Simatupang memulai perjalanan dan membuat catatan: "Besoknya
tanggal 28 Februari kami tiba di sebuah desa dekat Playen yang bernama Banaran.
Di Pulau Jawa banyak desa-desa yang bernama Banaran, Kalibawang dan seterusnya.
Pemancar radio yang mula-mula berada di lapangan terbang AURI dekat Wonosari
telah dipindahkan di suatu tempat tidak jauh dari Banaran ini. Sehari menjelang
1 Maret, dalam perjalanan ke Jawa Timur Kolonel Simatupang singgah ke Playen
membawa berita tentang Serangan Umum Satu Maret yang akan dilaksanakan esok
harinya. Saya menerima teks dan brifing secukupnya di rumah paling depan,
sebelum lorong yang menuju ke rumah keluarga Pawirosoetomo dengan di
wanti-wanti untuk menyiarkannya besok malamnya, setelah terjadi Serangan Umum
yang akan dilancarkan pada waktu subuh tanggal 1 Maret 1949.
Dari perwira
AURI di sini, yang menjadi tuan rumah kami hari itu, saya dengar bahwa selain
daripada pemancar Wonosari ada juga beberapa pemancar kita yang kuat yakni di
Kotaraja, di sekitar Bukittinggi. Kebanyakan dari pemancar-pemancar ini adalah
pemancar-pemancar dari AURI dan dalam hal memelihara hubungan, radio AURI telah
memberikan sumbangan yang besar selama perang rakyat ini.
Rupanya
perwira AURI yang ditemui Simatupang di Playen adalah Boediardjo. Dari kalimat
Simatupang: "...Dengan Kolonel Soegeng masih saya bicarakan berapa
kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan
seterusnya" dan mencocokkannya dengan tulisan Boediardjo, kelihatannya
Simatupang cukup banyak terlibat dalam persiapan serangan tersebut; dan bahwa Simatupang
telah mempersiapkan teks pada 28 Februari, sehari sebelum serangan terjadi dan
meminta teks tersebut segera disiarkan setelah serangan dilaksanakan.
Keterangan
Simatupang ini cocok dengan penuturan Boediardjo (Menteri Penerangan RI
1968-1973, Pangkat terakhir Laksamana Madya Udara) mencatat:
"...Pangkalan
di Playen itulah yang kemudian terbukti berjasa, ketika berhasil menyiarkan
berita keberhasilan Serangan Umum Satu Maret 1949 ke luar negeri.
Tulisan Pak
Simatupang tersusun jelas, dalam bahasa yang bagus dan rapi. Sayang sekali saya
tidak berani menyimpan teks itu, setelah disiarkan. Seperti biasa, kami
hancurkan semua dokumen, ketika mengadakan evakuasi.
Siaran itu
berhasil menembus blokade informasi Belanda. Dari Playen siaran ditangkap dan
diteruskan oleh teman-teman di Bukit Tinggi. Dari sana diteruskan ke Aceh,
kemudian secara estafet ke Burma dan akhirnya India. Dari New Delhi, All India
Radio menyiarkan ke seluruh penjuru dunia pada malam hari itu juga. Alangkah
bahagianya kami, dua hari berikutnya kami memantau berita All India Radio yang
menyiarkan teks radiogram kami. Isinya sama,kata demi kata.
Tetapi Islam
Salim mencatat, bahwa Perwakilan RI di PBB menerima berita bukanlah dari New
Delhi, melainkan dari Indonesia Office di Singapura. Islam Salim menulis:
"Prakarsa UNCI untuk Perjanjian Roem-Royen di atas, diambil sesuai dengan
keputusan PBB dalam Sidang Umumnya di Paris, yang menghendaki agar kedua pihak
yang bertikai kembali ke meja perundingan, karena Sidang Umum PBB telah
mengkonstatir kegagalan Agresi Kolonial Belanda dengan tetap tegaknya Negara
RI. Hal ini, antara lain, didasarkan atas press release Press Officer
Perwakilan RI di PBB Soedjatmoko, tentang terjadinya serangan umum 1 Maret 1949
di Yogyakarta, di daerah Brigade X/Wehrkreise III di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Soeharto, yang beritanya diterima melalui Mayor Wibowo dari Indonesia
Office di Singapura.
Sengketa
Indonesia dan Belanda menarik perhatian Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bagsa (DK PBB). Melalui campur tangan dewan ini kedua pihak mengadakan
perundingan yang melahirkan Roem-Roijen Statement. Sesuai dengan isi pernyataan
itu, pada bulan Agustus 1949 dilakukan penghentian tembak menembak.
Tahun 1949
serta menjadi salah satu perwira yang mewakili Angkatan Bersenjata dalam
delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda. Misi utamanya
adalah mendesak Belanda membubarkan KNIL serta mengukuhkan TNI sebagai kekuatan
inti Angkatan Perang RIS (APRIS). Simatupang berhasil dalam adu argumentasi
dengan jenderal-jenderal senior Belanda.
Gen.-Maj. D.R.A. van Langen, Kol. J.H.M.U.L.E. Ohl, Kolonel Simatupang,
dan Kolonel Suganda di lapangan udara Andir di bulan Maret 1950.
Tidak lama kemudian, dengan
meninggalnya Jenderal Sudirman pada tahun 1950, ia dilantik sebagai Kepala Staf
Angkatan Perang (KSAP) RI dan pangkatnya dinaikkan menjadi Jenderal Mayor. Usai
perjuangan kemerdekaan yang dinamakannya sebagai "loncatan pertama",
pemikiran utama Simatupang, lalu menyusun konsep memfungsikan ABRI dalam
"loncatan kedua" sebagai dinamisator pembangunan di masa damai Konsep
inilah yang kemudian diperkenalkan oleh AH Nasution dengan nama Dwifungsi ABRI.
Pada tahun 1951, Simatupang juga menyusun rumusan Saptamarga. Seperti juga
Sumpah Prajurit, Saptamarga pun menjadi landasan perjuangan Angkatan Perang RI.
Usaha rasionalisasi dan
profesionalisasi ABRI yang dilaksanakan TB Simatupang-dengan tujuan
meningkatkan mutu tentara-mengundang kritik para politikus yang didukung
Sukamo.
Sebagai KSAP, Simatupang terlibat
dalam konflik antara Angkatan Perang, khususnya Angkatan Darat, dan Parlemen
akibat campur tangan Parlemen yang terlalu berlebihan dalam masalah intern
Angkatan Darat. Pada tanggal 17 Oktober 1952, KSAP Simatupang, KSAD Kolonel
Nasution dan beberapa perwira lain menghadap Presiden Soekarno meminta agar
parlemen dibubarkan dan segera diadakan pemilihan umum. Permintaan itu ditolak
oleh Presiden.
Akibat peristiwa itu di lingkungan Angkatan
Darat timbul perpecahan antara golongan yang pro dan yang anti. Dampaknya berakhir
dengan dihapuskannya jabatan KSAP (1954) diganti dengan Gabungan Kepala Staf.
Setelah dihapuskannya KSAP TB Simatupang lalu diangkat sebagai Penasihat
Militer di Departemen Pertahanan. Sebelum itu ia ditawari jabatan duta besar
tetapi ditolaknya. Ia memanfaatkan waktunya selama lima tahun sesudah itu
dengan mengajar di Sekolah Staf Angkatan Darat dan di Akademi Hukum Militer.
Pada 21 Juli 1959, dalam usia 39
tahun, dipensiunkan secara resmi.
Letjen TNI (Purn) T.B. Simatupang
meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 1 Januari 1990 dalam usia 70 tahun.
Jenazahnya di makamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas
jasa-jasa dan pengabdiannya terhadap bangsa dan negara, pada tahun 1995
Pemerintah RI menganugerahi tanda jasa Bintang Mahaputra Adipradana. Pada 8
November 2013 Letjen (Purn) Tahi Bonar (TB) Simatupang dianugerahi gelar
Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia