Penugasan Pertama
Tahun
lalu, ketika saya menerima tugas pertama setelah mengikuti latihan
dasar kemiliteran di Militer Akademi Kotabaru bersama beberapa teman
asrama dan sekolah (SGP) Jalan Jati Yogyakarta, saya dan mbak Kushartini
dikirim ke Mojoagung Mojokerto Jawa Timur untuk mengirim sejumlah bahan
makanan kering (dendeng) dan obat-obatan bersama sepasukan anggota
Ikatan Pelajar Indonesia bagian Pertahanan yang dipimpin oleh Purbatin.
Kami berangkat menggunakan kereta api pagi yang menarik dua gerbong.
Sampai di Solo, perjalanan aman. Menjelang masuk hutan jati Mantingan,
Purbatin memerintahkan masinis menghentikan kereta dan ia turun bersama
empat anggota pasukan untuk memeriksa keadaan. Menurut cerita yang
mereka dengar, tiga kawasan hutan yaitu Mantingan, Saradan dan Caruban
dikuasi oleh gerombolan perampok kejam. Sekitar satu jam kemudian,
kereta itu berjalan. Hal yang sama terjadi di kawasan hutan Saradan dan
Caruban. Menjelang maghrib, kereta memasuki stasiun madiun dan berhenti
sekitar dua jam untuk menaik-turunkan barang dan menambah air.
Kesempatan ini kami gunakan untuk membersihkan badan dan menghilangkan
penat.
Perjalanan
ke stasiun Mojokerto dilanjutkan. Sepanjang perjalanan, saya dan mbak
Kushatini sesekali memejamkan mata. Sementara itu, beberapa anggota
pasukan nampak asyik membicarakan cerita pertempuran di sekitar Surabaya
yang menelan korban ratusan pejuang. Yang terkena luka tembak, pecahan
mortir atau tertusuk bayonet sebagian dirawat di Rumah Sakit Darurat PMI
yang menjadi tujuan utama perjalanan kami dari Markas Pusat Pelajar di
Jalan Tugu Kulon 70 Yogyakarta. Menurut keterangan yang kami terima
sebelum berangkat, tempat perawatan korban pertempuran Surabaya ada di
lingkungan SGB Katholik (bruderan).
Kami
sampai di stasiun Mojokerto dini hari, Di sana telah menunggu beberapa
anggota TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar, nama pasukan Ikatan
Pelajar Indonesia Bagian Pertahanan di Jawa Timur). Kami dan barang
bawaan segera dinaikkan ke atas dua truk militer tanpa upacara khusus.
Mas Isman, begitu Purbatin memanggil nama komandan pasukan TRIP yang
menyambut kedatangan kami di stasiun memberi aba-aba agar truk segera
dijalankan. Di tengah pekatnya malam itu, saya tak dapat melihat keadaan
di luar. Sekitar sejam perjalanan, kami telah memasuki kompleks rumah
sakit. Saya dan mbak Kushartini ditempatkan di ruang depan bersama
beberapa orang perawat. Sedangkan Purbatin dan pasukannya ditempatkan di
asrama yang cukup jauh dari bangsal perawatan.
Setelah
mandi dan menyantap makanan yang telah disiapkan oleh kepala perawat,
kami beristirahat di kamar. Saya tak mampu memejamkan mata karena di
ruang sebelah suara-suara erang kesakitan tak pernah berhenti. Hari
pertama kami dibebaskan dari semua tugas merawat korban di bangsal
perawatan. Mbak Kushartini tidur dan mulai terdengar suara dengkurnya.
Perjalanan yang sangat melelahkan selama hampir sehari semalam. Saya
baru dapat tidur di siang hari sampai sore.
Melihat
keadaan korban pertempuran 10 November 1945, hati ini seperti tertusuk
benda sangat tajam. Kekejaman penjajahan dan peperangan terlihat sangat
jelas, tak membedakan siapapun mereka. Ada yang remuk kaki dan beragam
luka tembak. Penugasan seminggu di rumah sakit darurat PMI sangat
berkesan, tapi tak menyurutkan niat kami untuk berbakti kepada Ibu
Pertiwi. Sebuah harga yang sangat mahal, tak sebanding dengan apapun.
Penugasan Kedua
Hari
terakhir ujian kenaikan kelas II baru saja usai, saya ingin bergegas ke
kamar asrama yang letaknya bersebelahan dengan ruang kelas. Belum
sempat melangkah jauh, seseorang memanggil nama saya. Segera saja saya
melangkah, menuju arah sumber suara. Ternyata yang memanggil adalah
Kepala Sekolah yaitu Ibu R.A. Oemijatie (baca Umiyati), adik kandung
dr. Sutomo, salah satu pendiri Budi Utomo. Beliau berperawakan kecil,
tapi lincah dan tegas. Hampir semua siswi SGP tahu tentang kemampuan
beliau dalam menjiwai masing-masing pribadi.
Setelah
mengetuk pintu dan dipersilakan masuk, saya segera mendekat. Ibu
Umiyati tampak memegang sepucuk surat. Beliau lalu membuka pembicaraan.
“
Atiatoen … ini ada surat untukmu dari Markas Pusat. Buka dan bacakan
untuk Ibu “, kemudian beliau menyerahkan surat itu kepada saya. Tentu
sebuah surat tugas, saya menduga-duga isinya. Surat itu dibuka dengan
pisau perlahan-lahan, kuatir sobek. Pendek saja isinya. Yaitu perintah
untuk segera menyelenggarkan dapur umum dan tugas kepalang-merahan di
Gereja Kristen Jawa Jalan Stasiun (sekarang Jl. Pemuda) Kebumen untuk
Front Barat. Yang menandatangani mbak Sri Daruni, Kepala Staf Putri
Markas Pusat Pelajar Yogyakarta.
Dari
stasiun tugu, kereta api yang sebagian besar penumpangnya adalah para
pelajar mulai bergerak perlahan. Di gerbong itu ada beberapa teman satu
sekolah yang berasal dari Wates dan Purworejo. Di salah satu bangku tak
jauh dari tempat duduk saya, terlihat sosok kecil yang tak asing dan
selalu menjadi teman perjalanan yang menyenangkan. Bagyo, nama ini kelak
menjadi pelawak terkenal di jamannya. Siswa SGL (Sekolah Guru
Laki-laki) ini suaranya lantang dengan dialek khas Banyumasan. Sayang
sekali, kereta yang membawa rombongan kami hanya sampai di Stasiun
Kutoarjo. Perjalanan ke Kebumen saya lanjutkan dengan berjalan kaki dan
naik delman karena tak ada moda angkutan lain.
Kepada
ayah, saya menanyakan keberadaan dua kakak kandung. Mas Achmad Dimjatie
saat itu telah berpangkat Letnan TRI dan mas Affandi yang sering keluar
masuk markas Tentara Pelajar Kebumen di Kauman (sekarang jadi gedung
SMP Muhammadiyah I Kebumen) bersama Agustinus, putra pendeta Gereja
Kristen di dekat stasiun. Kebetulan, sewaktu ibu kandung berjualan beras
di pasar, Bapak Pendeta Reksodihardjo adalah seorang pelanggan setia.
Jadi, hubungan kami telah berlangsung sejak lama dari masa kanak-kanak.
Setelah ibu meninggal tahun 1939, yang menyambung tali silaturahmi
adalah mas Pandi (Affandi).
”
Pak… selama masa libur ini saya ditugaskan di markas darurat yang ada
di rumah dinas pendeta, bapaknya Agustinus’, kata saya sambil
menyodorkan surat tugas yang rencananya besok hari akan saya serahkan
kepada kepala markas atau wakilnya.
” Sama siapa kamu di sana Toen ?”, tanya ayah.
”
Teman-teman SGP dari Kebumen.. termasuk dik Wasil (Umi Wasilah) dan dik
Cini (Rasini)”, jawab saya menyebut nama dua orang yang telah dikenal
ayah.
”
Di lumbung ada beberapa ikat padi yang bisa ditumbuk. Yang lain, kamu
cari sendiri. Ayah sementara waktu akan mengungsi di rumah ibu tiri. Ini
ada sedikit uang yang bisa kamu pakai untuk membeli garam dan bumbu
buat keperluan asrama teman-temanmu di gereja sana”, ayah menyodorkan
sejumlah uang yang nilainya cukup banyak.
Surat
tugas diterima mas Tjiptardjo, wakil kepala markas. Mas Moedojo sedang
ke Purworejo malakukan kordinasi dengan kepala markas TP di sana, mas
Pratik (Imam Pratignyo). Dari penjelasan mas Tjip, saya mendapatkan
informasi bahwa Markas Pusat Pelajar di Tugu Kulon tengah menyiapkan
sebagian besar anggota pasukan yang akan dikirim ke front Barat di
sepanjang garis demarkasi yang berbatasan dengan Kali Kemit. Ada yang
dikirim melalui markas Karanganyar sebagai pusat komando terdepan. Tapi
ada juga yang langsung menuju Puring dan Kuwarasan yang diperkirakan
akan menjadi ajang pertempuran besar antara pasukan Republik Indonesia
dan tentara pendudukan Belanda serta sekutunya. Markas darurat ini
berfungsi sebagai pusat kendali operasi langsung di bawah komando Markas
Pusat Pelajar. Karena itu disediakan asrama untuk menampung sementara
waktu pasukan yang akan diterjunkan ke titik-titik pertahanan pasukan
Republik Indonesia, Mungkin hanya untuk satu dua hari, tapi jumlah
mereka ratusan atau ribuan.
Penjelasan
singkat wakil kepala markas memberi gambaran yang cukup dalam
menyelenggarakan menu bagi para pelajar pejuang kemerdekaan ini. Baik
yang disajikan selama mereka menginap maupun sebagai bekal dalam bentuk
nasi bungkus (noek). Uang yang saya terima dari mas Tjip
diperkirakan tak cukup untuk membeli bahan-bahan makanan meski telah
ditambah dengan pemberian ayah. Sebagai penanggung-jawab, saya meminta
bantuan pak Pendeta Rekso agar menyiapkan penanak nasi dan pencari kayu
bakar. Beliau menunjuk mbak Fatonah yang tinggal di belakang gereja
sebagai penanak nasi. Sementara itu, nama si pencari kayu dan keperluan
dapur lain tak ingat lagi. Ia seorang lelaki asal Desa Legok di sebelah
Barat sungai Luk Ulo.
Di
antar teman-teman yang bertugas di asrama, mbak Umiyatun adalah yang
tertua. Dia adik kandung mas Martono, komandan Batalyon 300 dan wakil
kepala Markas Pusat. Selama bertugas sekitar tiga minggu, mbak Umiyatun
sempat dua kali pulang ke rumahnya di Desa Meles, Karanganyar. Dik Cini
yang sekampung, tak pernah menengok rumahnya yang ada di desa itu juga.
Kedua teman ini masih berkerabat cukup dekat. Saya, dik Wasil dan mbak
Hartati yang tinggal tak jauh dari asrama dan markas, sesekali menengok
rumah masing-masing. Bahkan, rumah mbak Hartati hanya berjarak kurang
dari seratus meter. Karena yang mendapat latihan dasar militer dan
kepalangmerahan hanya saya, ketrampilan yang saya peroleh kemudian saya
tularkan di sela-sela waktu istirahat. Saya tak pernah memakai atribut
lengan (ban) PMI. Yang selalu memakai yaitu Rasini, Umi Wasilah
dan Umiyatun. Ketiganya sering bercengkerama dengan anggota pasukan yang
memang usianya sebaya.
Saya
lebih suka membantu Yu Fathonah di dapur atau mencari bahan sayur dan
lauk untuk sediaan hari berikutnya. Pada saat menyiapkan masakan
(sayur) untuk makan malam, kami kehabisan kelapa. Saya minta anggota
pasukan yang tengah duduk di teras asrama untuk memetik dari pohon yang
ada di kebun belakang rumah kami di Pasarpari.
” Siapa yang bisa memetik kelapa, ikut saya !”, Atiatoen setengah berteriak.
Seorang
pemuda berperawakan tinggi mendekat dan menyatakan kesediaannya.
Ternyata dia adalah Linus Djentamat dari Kalimantan. Sepanjang jalan,
saya dan Hartati tak banyak bicara. Begitu juga dengan Linus. Sesampai
di kebun belakang rumah, Linus langsung memanjat pohon kelapa yang tidak
terlalu tinggi, sekitar 6 atau 7 meter dengan cekatan.
” Berapa butir yang tua dan muda mbak?”, teriak Linus di atas.
” Yang tua satu tandan… yang masih muda terserah …”, jawab Atiatoen lantang.
Setelah
semua kelapa dikumpulkan, beberapa anggota pasukan yang menyusul ikut
rombongan kami ada yang langsung menancapkan linggis dan mengupas kulit
kelapa dengan cekatan. Seorang lainnya memanjat pohon nangka yang juga
ada di kebun belakang rumah kami. Kelapa dan nangka dibawa dengan
pikulan dan kami bergegas kembali ke gereja (asrama). Tak pernah
menyangka, peristiwa ini adalah jumpa pertama dan terakhir dengan Linus
Djentamat yang pendiam.
Seperti
kebanyakan remaja menjelang usia dewasa, anggota pasukan Tentara
Pelajar yang dikirim ke Front Barat bersikap wajar. Sesekali
mengeluarkan ucapan kotor dan suka menggoda kami baik ketika di dalam,
apalagi di luar dapur. Di satu siang yang terik dan panas, seseorang
yang dipanggil dengan sebutan Lowo masuk ke dalam dapur dan membuat onar
dengan mengambil ubi rebus yang baru saja diturunkan dari tungku. Masih
sangat panas. Tanpa pamit dia mengambil beberapa dan menaruhnya di atas
daun pisang yang selalu kami siapkan untuk bungkus menu harian.Sambil
tertawa terbahak-bahak dia berkata:
”
Terima kasih buat singkong rebusnya ya…. Mbak !”, dia berlalu dan
menari kecil di depan teman-teman perempuan yang tengah menyobek
lembaran daun pisang untuk pembungkus nasi.
” Dasar kampret …tukang copet !”, Rasini menghardik Lowo dengan nada keras.
Bukan malu atau marah, Lowo justru bertambah keras tertawanya. Dan terus menggoda.
Minggu
terakhir Agustus 1947 semakin banyak anggota pasukan yang dikirim dari
Markas Pusat Yogyakarta maupun sejumlah daerah yang dikerahkan dari
markas Purworejo. Dari penuturan mas Tjiptardjo diperoleh kabar bahwa
pasukan terakhir akan diberangkatkan dari stasiun Tugu pada tanggal 29
Agustus. Mereka kebanyakan dari Perpis (Pelajar Sulawesi) dan Pelajar
Kalimantan. Sedangkan dari Purworejo akan datang pasukan SA/CSA dan TGP.
TRIP Jawa Timur dan TP Solo mengirim sejumlah kecil pasukannya. Boleh
disebut bahwa Front Barat adalah satu dari beberapa lokasi pengerahan
pasukan pelajar pejuang kemerdekaan ini terbesar di tahun 1947.
Kalau
tak salah ingat, malam 30 Agustus adalah malam terakhir asrama markas
darurat menjadi tempat menginap sementara pasukan Tentara Pelajar. Malam
yang cukup dingin untuk ukuran awal musim penghujan. Tidak seperti
biasanya, dapur umum menyediakan makan malam dan nasi 50 bungkus tapi
dengan porsi sama dengan hari-hari sebelumnya yang disiapkan 100 nasi
bungkus (noek). Rombongan terakhir adalah pasukan yang dikirim
Yogya dan Purworejo. Tingkah laku mereka seolah ingin melepas semua
”beban”. Ada yang berteriak seperti kesurupan dan beragam tingkah “aneh”
lainnya.
Kepada Umiyatun dan Rasini, Atiatoen sempat menyatakan gundahnya.
”Nganeh-anehi (sangat aneh) tingkah mereka ya mbak..?”, yang dijawab singkat oleh keduanya. ” He eh… ”.
” Jangan-jangan………… ini sebuah pertanda buruk.. ”, kata Atiatoen dengan nada lebih pelan.
” Itulah…dik Toen. Saya juga kuatir ..”, sela Umiyatun.
Entah
sebuah kebetulan atau keberuntungan, beberapa warga masyarakat yang
sudah tahu bahwa aula GKJ jadi asrama markas mas TP (sebutan mereka
kepada anggota pasukan pelajar pejuang kemerdekaan) mengirim dalam
jumlah banyak bahan makanan (singkong dan ketela pohon/ubi jalar),
pisang kapok dan raja uter yang enak disantap hangat dengan cara
dikukus. Peristiwa serupa berulang pada malam 31.
Selama
tiga hari (1 – 3 September 1947) markas dan asrama libur. Dari utusan
mas Dimjatie, saya mendapat kabar buruk. Firasat kami ternyata benar.
Banyak teman kami gugur di medan laga, Front Barat. Tepatnya di Desa
Sidobunder, Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen. Satu korban atas nama
Suryoharyono yang akrab dipanggil Hary di semayamkan di teras aula
asrama sebelum dibawa ke Yogya bersama jenasah lainnya. Bapak Pendeta
Reksodihardjo yang menyiapkan peti jenasahnya.
Sebagaimana
ditulis mas Djokowoerjo Sastradipradja yang ditugasi
menemukan(kembali), mendata dan membawa korban Palagan Sidobunder ke
markas Karanganyar, ada 24 anggota pasukan Tentara Pelajar yang gugur.
Hanya 20 orang yang diakui dan dicatat dalam buku sejarah terbitan Pusat
Sejarah dan Tradisi TNI yang berjudul “ Peran Tentara Pelajar dalam
Perang Kemerdekaan dan Pembangunan, tahun 1995. Sisanya yang 4 orang,
karena dianggap kurir atau alasan lain, tidak termasuk dalam daftar.
***
Semboyan :
1. ” Kesetiaan kami kepada bangsa dan Negara dari buaian sampai ke liang lahat”.
2. ”Kami tak akan kembali ke bangku sekolah sebelum penjajah enyah dari bumi pertiwi”.
Kata Mutiara :
1. Pelan tapi pasti. Bukan yang banyak itu baik, tapi yang baik pastilah yang banyak (alm. Ibu R.A. Oemijatie, Kepala SGP Yogyakarta dalam buku harian Atiatoen).
2. Memang baik jadi orang penting, tapi jauh lebih penting adalah menjadi orang baik (alm. Bang Imad, Dr. Imadudin – Dosen ITB)