Di tengah
peperangan, nyaris tak ada aturan yang berlaku. Yang kuat yang berkuasa,
yang pegang senjata bisa menindas dan merampok rakyat.
Tapi tak
harus selalu seperi itu. Buktinya, dalam perang kemerdekaan banyak kisah
teladan para prajurit TNI. Kejujuran mereka bikin geleng-geleng kepala.
Jika mau bisa saja mereka lari membawa uang negara dan memperkaya diri
sendiri. Tapi hal itu tak dilakukan.
Ada juga
kisah tentara yang tak mau makan makanan hasil rampasan karena
menganggapnya tidak halal. Luar biasa, di tengah perang dan kelaparan,
iman masih bisa dipegang.
Berikut
kisah kejujuran tentara seperti dituturkan Kolonel (Purn) Alex Evert
Kawilarang dalam biografi Untuk Sang Merah Putih karya Ramadhan KH yang
diterbitkan Pustaka Sinar Harapan.
1. Tolak makan makanan haram
Biasanya
dalam perang, tentara makan rampasan perang itu hal biasa. Kadang malah
mengambil ternak milik penduduk untuk disantap. Tapi teladan langka
ditunjukan oleh seorang Perwira bernama Letnan Gojali.
Tahun 1946,
Kepala Staf Resimen Divisi II TNI Mayor Alex Evert Kawilarang menumpas
gerombolan perampok di Cibarusah Bogor. Setelah baku tembak mereka
mengalahkan para perampok yang meresahkan warga.
Setelah
berjaga semalaman, Kawilarang mencari sarapan. Dia melihat ada anak
buahnya yang makan pisang di markas itu, Kawilarang lalu ikut makan.
Tapi yang
membuatnya heran, seorang anak buahnya yang bernama Letnan Muda Gojali,
tak ikut makan. Kawilarang pun bertanya apa Gojali tidak lapar?
"Neen
Mayoor, die pisang is gekocht met gerampokt geld. Ik eet dat niet (Tidak
mayor, pisang itu dibeli dari uang hasil rampokan, saya tidak mau
makan," jawab Gojali.
Kawilarang kagum mendengar jawaban Gojali. Kepercayaan pada anak buahnya itu makin besar.
2. Tak tergiur guci berisi harta karun emas permata
Anak buah
Mayor Kawilarang melakukan penggalian di bekas markas Jepang di sekitar
Cigombong. Mereka mencari senjata Jepang yang biasanya disembunyikan
dengan cara dikubur dalam tanah.
Tapi
bukannya senjata, para prajurit TNI itu malah menemukan sebuah guci
besar. Lebih mengejutkan, isi guci itu ternyata penuh emas dan permata
dan berkilauan.
Walau bisa
kaya tujuh turunan, para tentara jujur itu tak mau mengambilnya. Mereka
lalu lapor dan menyerahkan harta itu pada Kawilarang, komandan mereka.
Kawilarang juga jujur, dia tak mau makan emas permata peninggalan
Jepang. Dia berniat menyerahkan harta temuan pasukannya pada pemerintah
Indonesia yang saat itu masih morat-marit.
Kawilarang
tahu harus mengutus siapa. Dia memanggil Letnan Muda Gojali yang jujur.
Kawilarang mengutus Gojali menyerahkan harta karun itu ke Kementerian
Dalam Negeri di Purwokerto.
Gojali melaksanakan tugasnya dengan baik. Dia menyerahkan harta karun pada Sumarman yang kala itu menjabat Sekretaris Mendagri.
Berapa nilai
harta karun tersebut, sebuah majalah pernah mencoba menghitung berdasar
bukti-bukti otentik yang ditemukan. Isinya tak kurang dari tujuh
kilogram emas dan empat kilogram permata. Nilainya kala itu saja
diperkirakan Rp 6 miliar. Bandingkan besarnya jumlah itu dengan gaji
seorang tentara yang kala itu berkisar Rp 50.
3. Kurir penuh bahaya antarkan uang ke Bogor
Kisah
kejujuran lain terjadi tahun 1947, saat Kawilarang masih berpangkat
Mayor. Dia masih menjabat Kepala Staf Brigade di Bogor. Kala itu TNI
harus bergerilya setelah Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda I.
Kawilarang
meminta bantuan pada Kolonel TB Simatupang untuk biaya pasukan Brigade
di Bogor. Markas Besar TNI kemudian mengirimkan uang itu dari Jakarta ke
Bogor lewat kurir.
Perjalanan
kurir ini luar biasa bahayanya. Selain terancam pasukan Belanda, mereka
juga diintai oleh perampok dari republik sendiri. Tapi tak ada yang
takut kala itu. Kawilarang pun terharu saat uang bantuan itu diterimanya
utuh.
"Hal yang luar biasa. Uang itu lengkap, tak kurang satu sen pun," kata dia.
4. Uang gaji tak dibawa kabur
23 Januari
1950, tentara Divisi Siliwangi di Bandung tengah berbahagia. Untuk
pertama kalinya mereka akan menerima gaji. Setelah Indonesia merdeka,
memang TNI belum sempat menerima gaji rutin. Mereka selalu direpotkan
oleh Agresi Militer Belanda I dan II. Tak ada yang berpikir gaji,
semuanya mementingkan mempertahankan Indonesia dan berjuang demi bangsa.
Maka hari
itu semua perwira keuangan Divisi Siliwangi berkumpul di kamar divisi
keuangan. Tiba-tiba terdengar tembakan di luar markas. Tentara Angkatan
Perang Ratu Adil (APRA) pimpinan Kapten Westerling menyerang Bandung.
Dengan keji
pemberontak ini menembaki semua anggota TNI yang ditemui. Situasi lebih
buruk karena menjelang penyerahan kekuasaan dari Belanda, TNI dilarang
membawa senjata jika berada di kota.
Pasukan APRA
bergerak melewati Braga, hampir menuju markas Divisi. Maka Kepala
Keuangan Siliwangi bertindak cepat. Dia membagikan uang pada stafnya,
yang memasukkan uang ke dalam kantong dan segera melompat menyelamatkan
diri. Mereka diperintahkan kembali ke markas esok hari setelah situasi
aman dengan membawa uang itu.
"Keesokan
harinya semua kembali ke staf dengan membawa uang untuk pasukan-pasukan
dan dinas-dinas untuk melaksanakan secara resmi timbang terima uang itu.
Ternyata tidak kurang satu sen pun. Begitulah tanggung jawab anggota
TNI," kata Kolonel AE Kawilarang yang pernah menjadi Panglima Teritorium
III Siliwangi.
Bayangkan
berapa besar uang itu. Ketika itu paling tidak Divisi Siliwangi
mempunyai 8.000 prajurit. Tapi tak seorang pun punya niat membawa kabur
uang tersebut.
"Waktu itu
jangan coba anggota keuangan kembali ke pasukannya tanpa uang dengan
alasan yang bukan-bukan. Pasti hukum rimba berlaku. Dan tidak ada sogok
menyogok waktu itu," kata Kolonel Kawilarang.
No comments:
Post a Comment