Djokjakarta

Monday, 14 April 2014

Peran Benteng Sumbing di Kabupaten Wonosobo pada Serangan Umum 1 Maret 1948

Kabupaten Wonosobo Masa Serangan Umum 1949

Kabupaten Wonosobo memiliki sejarah tersendiri pada awal berdirinya Negara Indonesia. Lereng Gunung Sumbing di Kabupaten Wonosobo pada masa Perang Gerilya menjadi benteng pertahanan penting bagi pejuang Indonesia. Lereng Gunung Sumbing yang sekarang menjadi bagian Kabupaten Wonosobo menjadi markas Pimpinan Militer dan Pimpinan Sipil Teritorium Jawa saat menghadapi Belanda yang membonceng ke Sekutu, yang ingin menjajah kembali Indonesia setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.
http://dijual-domain-murah.blogspot.com



Berikut ini adalah gambaran keaadaan Tentara Indonesia sekitar Perang Gerilya. Gambar-gambar  di bawah  yang bisa dilihat nanti adalah scan dari foto asli yang saya dapat dari Arsip milik Kakek saya, yaitu Almarhum Bapak Sangidi Hadisoetirto yang saat itu ditunjuk sebagai salah satu Bupati di Pemerintahan Militer Teritorium Jawa, dilengkapi oleh kesaksian dari Letkol. (Purn.) TNI AD DR. Wiliater Hutagalung (alias Harun) yang pada bulan September 1948 telah diangkat menjadi Perwira Teritorial dalam Perang  untuk menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima-Panglima Divisi/Gubernur Militer serta Komandan-Komandan Pasukan di Jawa.

Kakek saya sendiri, yaitu Bapak Sangidi Hadisoetirto saat itu menggunakan nama samaran Ki Sarung Wulung, karena berpura-pura menjadi Kiai di Lereng Sumbing, dan biasa memakai Sarung berwarna Ungu (Sarung Wulung itu artinya Sarung Ungu). Ternyata Para Pimpinan Militer dan Pimpinan Sipil semua punya sebutan Rahasia sendiri-sendiri, dan tidak memakai nama aslinya untuk menjaga keselamatan dirinya dan keluarga. Seperti Panglima Besar Jenderal Sudirman disebut sebagai Pak De. Sedangkan Perwira Teritorial Letkol Dr. Wiliater Hutagalung memakai nama samaran Harun.  Juga ada kode-kode dari Kesatuan Tentara, seperti Singolopo untuk menyebutkan Divisi Militer yang bermarkas di Benteng Sumbing, Sibango untuk menyebutkan jajaran Pemerintah Darurat Militer Teritorium Jawa di bawah Gubernur Militer Kolonel Bambang Sugeng, Gunung Malang untuk menyebutkan wilayah di bawah Kakek saya, yaitu Bupati Sangidi, kemudian untuk Batalyon-Batalyon Tentara ada istilah-istilah antara lain  Tandjung Sari, Tegal Sari, Gowong, Tjipedak, Pengkol, Gobjagan, Kalipru, Beberapa kode-kode dari nama Kesatuan Tentara ini juga akan saya tunjukkan beberapa contohnya  dari foto-foto Arsip Kakek saya nantinya.

Secara garis besar dari kesaksian Letkol Dr. W. Hutagalung yang saat itu menjadi Perwira Teritorial mendampingi Gubernur militer adalah sebagai berikut :

Memang Indonesia telah memproklamirkan Kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun setelah itu, Belanda kembali berusaha menjajah Indonesia. Akibat teror pada para Pejabat Tinggi RI, pemerintahan Indonesia yang tadinya di Jakarta dipindahkan ke Yogyakarta.

Namun ternyata Belanda tidak tinggal diam, Yogyakarta pun akhirnya diduduki oleh Belanda. Beruntung sebelum ditangkap oleh Belanda, Bung Karno sempat memberikan kuasa kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara untuk mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera; dan seandainya gagal, diinstruksikan mendirikan pemerintah Exil di India. Namun ternyata pendirian Pemerintah Darurat Indonesia dapat didirikan di Sumatera di bawah pimpinan Mr. Syarifuddin Prawiranegara.

Untuk menjaga kelangsungan Pemerintahan, dan menunggu kesempatan baik untuk menyerang balik Belanda yang menguasai Ibukota Yogyakarta waktu itu, maka Panglima Besar Jenderal Sudirman, para Pimpinan Sipil dan Pimpinan Militer RI yang tersisa melarikan diri dari Yogyakarta dan mengobarkan apa yang disebut Perang Gerilya.

Di bawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman, Militer dibagi menjadi 2 Teritorium, yaitu Teritorium Jawa dan Teritorium Sumatera. Untuk Pimpinan Militer dan Pimpinan Sipil Teritorium Jawa, markasnya di Lereng Gunung Sumbing, tersebar di desa-desa yang letaknya sangat tinggi, yaitu di desa-desa sekitar Pulosaren, Kaliurang, agar tidak tertangkap oleh Belanda.

Pada saat itu, Pemerintahan yang berlaku adalah Pemerintahan Militer karena keadaannya Darurat Perang dan pemerintahan dijalankan dari markas di tempat pengungsian.

Secara garis besar struktur organisasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :

  • Panglima Besar Jenderal Sudirman sebagai Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia 
  • Kolonel T.B. Simatupang sebagai Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang bermarkas di Pedukuhan Banaran, Desa Banjarsari (sebenarnya Kolonel Hidayat adalah Wakil I Kepala Staf Angkatan Perang, namun karena sebelum Pendudukan Belanda atas Yogyakarta beliau sempat diterbangkan ke Sumatera untuk mendampingi PDRI, maka kemudian beliau ditunjuk sebagai Panglima dan Teritorium Sumatera)
Dibawahnya ada :
  1. Kolonel A.H. Nasution sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Jawa membawahi beberapa Panglima Divisi (Panglima Divisi merangkap jabatan sebagai Gubernur Militer.)
  2. Kolonel Hidayat sebagai Panglima dan Teritorium Sumatera ( di Sumatera mendampingi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di bawah Mr. Syarifuddin Prawiranegara)
Pimpinan Pemerintah Darurat Militer yang berlaku di Teritorium Jawa Tengah (Yogya dan sekitarnya) adalah  sebagai berikut:
  • Gubernur Militer adalah Panglima Divisi III Kolonel Bambang Soegeng
  • Penasihat  Gubernur Militer adalah   Mr. Wongsonegoro ( sebenarnya beliau Gubernur Sipil Jawa Tengah, karena diputuskan selama Keadaan Darurat Perang, yang berlaku adalah keputusan Pimpinan Militer, maka beliau menjadi penasihat Gubernur Militer)
  • Residen Salamoen
  • Residen Boediono
  • Bupati Sangidi 
  • Bupati Sumitro Kolopaking  
  • Komandan Resimen Letkol. Sarbini 
  • Perwira Teritorial adalah Letkol Dr. W. Hutagalung sebagai penghubung antara Panglima Divisi/Gubernur Militer, dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman, dan Kepala-Kepala Pasukan di pelosok-pelosok.
Mereka membuat keputusan garis-garis besar perjuangan dan pembagian kerja. Para Camat dan Lurah diberi arahan agar dapat memberi bantuan kepada Pasukan Militer yang singgah atau melewati wilayahnya. Untuk menjaga ketertiban, hukuman bagi pelaku tindakan kriminal ditetapkan berupa denda, pukulan badan, atau hukuman mati sebagai pengganti penjara.

Di pelosok-pelosok tersebar Pasukan-Pasukan Tentara RI yang dibawahi  oleh Komandan-Komandan Pasukan antara lain di Gunung Sumbing terdapat Pasukan yang dipimpin oleh Ahmad Yani, Pasukan T. Ronggolawe alias Tentara Pelajar yang direkrut oleh Kolonel GPH Djatikusumo. Sedangkan Pasukan yang membawahi wilayah Yogyakarta adalah Brigade X/Wehrkreis III yang dipimpin oleh Letkol Soeharto.

Motto bagi Gerilyawan adalah"Gerilyawan di tengah rakyat, ibarat ikan di dalam air". Jangan sampai ada laporan, adanya gerilyawan yang mencuri. Rakyat perlu diyakinkan, bahwa tentara tidak hanya menghabiskan makanan dan pengganggu di desa, melainkan untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi semua orang, termasuk rakyat di desa-desa di sana. Pada suatu saat, ada salah satu Komandan Batalyon yang dilaporkan bertindak memperkaya diri sendiri, langsung diberhentikan dan diganti. Akibatnya kepercayaan masyarakat kepada Tentara Indonesia sangat tinggi. Bahkan ada Lurah di satu desa  yang sampai berkata, "Sedangkan anak gadis kita relakan, asalkan kita melihat bahwa tentara bertempur melawan Belanda.

Awal Februari 1949, datang surat dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang menyampaikan bahwa dari berita-berita yang diperolehnya, Belanda gencar mempropaganda dunia Internasional untuk menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi, dan bahwa dunia Internasional mulai termakan oleh propaganda itu. Belanda menolak Resolusi PBB tanggal 28 Januari 1949 untuk mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Amerika Serikat dan anggota Dewan Keamanan PBB masih ragu untuk memberikan dukungan kepada Indonesia, karena kurang pasti bagi mereka mengenai eksitensi Republik Indonesia saat itu. Sultan Hamengku Buwono IX minta agar militer segera bertindak untuk mengcounter propaganda Belanda itu.

Saat menerima surat dari Sri Sultan tersebut, maka Panglima Besar Jenderal Sudirman segera memberikan instruksi ke markas Gubernur Militer/Panglima Divisi III di Gunung Sumbing untuk memikirkan langkah-langkah kongkret yang harus dilakukan guna mengcounter propaganda Belanda itu. Diperlukan langkah untuk meyakinkan dunia internasional terutama Amerika dan Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, ada pemerintahan, ada organisasi, dan ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, harus diadakan serangan spektakuler yang tidak bisa disembunyikan oleh Belanda, agar dapat diketahui oleh UNCI (United Nations Commission on Indonesia), dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda dan Perancis untuk dapat bertemu dan berbicara langsung dengan anggota UNCI dan wartawan asing.

Maka diadakan rapat di markas Gubernur Militer yang dihadiri oleh Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng, Penasihat Gubernur Militer (yang sebenarnya adalah Gubernur Sipil Jawa Tengah)  Mr. Wongsonegoro, Residen Salamoen, Residen Budiono, Bupati Sangidi, Bupati Sumitro Kolopaking, Komandan Resimen Letkol Sarbini, dan Perwira Teritorial Letkol Dr.W. Hutagalung. Dibahas kota apa yang akan diduduki, apakah tetap Yogyakarta, Semarang, atau kota lain. Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng memastikan dan menggarisbawahi serangan harus dilakukan ke Yogyakarta antara tanggal 25 Februari 1949 dan 1 Maret 1949 dengan pertimbangan antara lain, bahwa diketahui beberapa anggota/pengamat militer dari UNCI (United Nations Commission for Indonesia) direncanakan masih ada di Yogyakarta, dan bersama wartawan-wartawan asing akan berada di Hotel Merdeka pada tanggal 1 Maret 1949. Disamping itu Kolonel Bambang Sugeng sangat yakin dapat menduduki Yogyakarta untuk beberapa jam karena anak buahnya dari Divisi III benar-benar menguasai lapangan. Disamping itu Yogyakarta berada di bawah penguasaan Divisi III di bawah komandonya sehingga koordinasinya akan lebih mudah.

Keputusan rapat disampaikan ke Panglima Besar Sudirman yang disampaikan langsung oleh salah seorang Komandan Pasukan. Selain itu, Gubernur Militer juga mengeluarkan instruksi Rahasia kepada seluruh Komandan-Komandan Pasukan di sekitar Yogyakarta, untuk mengadakan serangan terhadap pos-pos pertahanan Belanda antara 25 Februari 1949 sampai 1 Maret 1949, guna menjauhkan Tentara Belanda dari Yogyakarta. Untuk koordinasi serangan di dalam kota Yogyakarta, Panglima Divisi III/Gubernur Militer mendatangi langsung Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang yaitu Kolonel T.B. Simatupang dan Mr. Ali Budiardjo yang bermarkas di pedukuhan Banaran, desa Banjarsari untuk menyampaikan hasil keputusan rapat, dan meminta bantuan untuk koordinasi dengan AURI yang mempunyai pemancar radio dan dukungan koordinasi dengan Panglima Divisi II, yaitu Kolonel Gatot Subroto yang menguasai Solo agar mendukung serangan pada 1 Maret 1949. Setelah itu Gubernur Militer/Panglima Divisi didampingi Perwira Teritorial menyusup untuk memberikan perintah dan berkoordinasi langsung kepada Komandan Brigade X, Letkol Soeharto yang membawahi wilayah sekitar Yogyakarta yang akan menjadi Komandan Pelaksana Operasi Pendudukan Yogyakarta selama beberapa jam pada tanggal 1 Maret 1949. Gubernur Militer yang didampingi Perwira Teritorial harus menyusup dan bertemu langsung  maksudnya adalah agar koordinasi lengkap dan tidak ada salah penyampaian. Untuk menjaga agar tidak terendus oleh mata-mata, maka penunjuk jalan hanya mengantarkan dari satu desa ke desa selanjutnya, kemudian penunjuk jalan diganti. Berangkat pagi buta, berhenti bila banyak orang di sawah atau di ladang, kemudian meneruskan perjalanan sore hari sampai malam. Seorang kurir dikirim mendahului untuk memberitahukan kepada Letkol Soeharto akan kedatangan Gubernur militer/Panglima Divisi III bersama Perwira Teritorial.

Selain itu kepada Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian Pendidikan Politik Tentara (PEPOLIT) yang bersama Bagian Penerangan Kementerian Pertahanan,  yang bermarkas di tepi kali Tinalih, diperintahkan menyiapkan 5 (lima) pemuda Tentara Pelajar yang berbadan tinggi, gagah, serta bisa  berbahasa Inggris, Belanda, dan Perancis. Mereka akan dilengkapi dengan seragam tentara, dari mulai topi, pakaian, sepatu, dan tanda pangkat Tentara Nasional Indonesia. Tugas mereka pada 1 Maret 1949 setelah Yogyakarta diduduki, adalah segera masuk ke Hotel Merdeka dan menemui UNCI serta wartawan-wartawan asing guna menerangkan bahwa Republik Indonesia masih ada dan kuat, sehingga Dunia Internasional yakin untuk mendukung Resolusi PBB 28 Januari 1949, untuk mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Dalam pelaksanaan mereka diminta berkoordinasi langsung dengan Komandan Pelaksana Operasi, yaitu Letkol Soeharto, agar tujuan pendudukan Yogyakarta beberapa jam ini berhasil dan bisa segera menarik dukungan Internasional terhadap kedaulatan Indonesia. Singkat cerita, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 berhasil tercapai tujuannya.

Konon sebelum Kakek kami wafat, Pak Harto yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia, pernah mengirim utusan seorang Kolonel dari istana untuk datang menemui Kakek kami di rumahnya di Mertoyudan Magelang, meminta dukungan agar Kakek saya mau menyatakan bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 terjadi atas jasa beliau. Namun karena salah ucap sehingga menyinggung perasaan Kakek saya, utusan dari Pak harto itu diusir oleh Kakek saya. Yang saya tahu, sebenarnya Kakek saya tidak menampik akan jasa besar Pak Harto sebagai Komandan Brigade X/Komandan Pelaksana Operasi pada Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk merebut Yogyakarta, namun masalahnya jasa Komandan-Komandan Pasukan lain di sekitar Yogyakarta yang juga ikut menyukseskan Serangan Umum 1 Maret 1949 dengan melakukan serangan-serangan kepada pos-pos pertahanan Belanda disekitar Yogyakarta sejak 25 Februari 1949 sampai 1 Maret 1949, yaitu guna menjauhkan dan mengalihkan perhatian Tentara Belanda dari kota Yogyakarta juga sama besarnya dan tidak bisa diabaikan. Tanpa kerjasama bahu-membahu antara Komandan-Komandan Pasukan Tentara Indonesia di sekitar Yogyakarta waktu itu, operasi pendudukan Yogyakarta beberapa jam pada 1 Maret 1949 yang dilancarkan Pasukan Brigade X/Wehrkreis III di bawah pimpinan Letkol Soeharto pasti tidak akan berhasil karena Belanda lebih kuat.

Di lain pihak, inisiator sebenarnya dari Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang telah mengirim Surat pada Februari 1949 untuk minta kepada Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk melakukan tindakan militer guna mengcounter propaganda Belanda yang menyatakan bahwa Indonesia sudah tidak ada. Tentu militerlah yang merencanakan detil-detil dari tindakan pelaksanaannya.

Kelihatannya dari awal Sultan Hamengku Buwono IX dan Panglima Besar Jenderal Sudirman sudah merencanakan semuanya dengan rapi. Terbukti sudah diketahui sebelumnya bahwa pada tanggal 1 Maret 1949 para anggota/pengamat militer UNCI dan wartawan-wartawan asing akan ada di Hotel Merdeka, dan merekalah yang harus ditemui oleh 5 orang Tentara Pelajar dengan atribut Tentara Indonesia lengkap yang disiapkan oleh Kolonel Wiyono dari PEPOLIT. Saya yakin kalau saat itu UNCI dan wartawan-wartawan asing tidak melihat dengan mata kepala sendiri para Tentara Pelajar dengan bebas menemui mereka di Hotel Merdeka dan menjelaskan bahwa Republik Indonesia masih eksis  dengan Bahasa Inggris, Belanda, dan Perancis, tentu Belanda dengan mudah akan menyangkal adanya peristiwa pendudukan Yogyakarta tersebut yang hanya dapat berlangsung selama beberapa jam saja itu.

Ada kemungkinan menjelang dan saat-saat puncak Serangan Umum 1 Maret 1949, Sultan Hamengku Buwono IX sebagai penggagas ikut mendampingi langsung dan memberikan masukan kepada militer, yaitu terutama kepada Panglima Divisi Kolonel Bambang Soegeng yang ditunjuk oleh Jenderal Sudirman untuk merencanakan detil serangan dan kepada Letkol Soeharto yang ditunjuk sebagai Komandan Pelaksana Operasi. Sebab Gubernur Militer/Panglima Divisi telah menyusup dan berada di sekitar Yogyakarta untuk mendampingi Letkol Soeharto sejak sekitar seminggu sebelum 25 Februari 1949, adalah waktu yang cukup lama untuk dapat bertemu dengan Sri Sultan di suatu tempat rahasia guna mematangkan Serangan Umum tersebut. Saya sangat percaya pada pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di kemudian hari yang menyatakan bahwa beliau pernah sempat bertemu langsung dengan Letkol Soeharto sebelum Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk memberi arahan. Dan mungkin karena pengakuan Bung Karno dan Bung Hatta seputar jasanya dalam operasi milter itulah maka kemudian di Kabinet selanjutnya, yang terbentuk 4 Agustus 1949 maka Sri Sultan Hamengku Buwono IX diangkat menjadi Menteri Pertahanan RI.

Ada kesimpangsiuran mengenai siapa dalang sebenarnya dari Serangan Umum 1 Maret 1949, yaitu ada pendapat bahwa penggagas Serangan Umum 1 Maret 1949 bukan Sultan Hamengku Buwono IX, tapi saya yakin sebuah operasi militer seperti Serangan Umum 1 Maret 1949 tidak mungkin dilaksanakan tanpa melalui Garis Komando dan sepengetahuan sebelumnya dari Panglima Besar Jenderal Sudirman, dan Kolonel TB. Simatupang selaku Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang yang saat itu berada di Jawa Tengah, bahkan berada tak jauh dari Yogyakarta. Apalagi untuk keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949 diperlukan keterlibatan AURI yang berada diluar Garis Komando Divisi III. Adalah wajar kalau bahkan seorang Panglima Divisi III/Gubernur Militer sekali pun (sebagai pimpinan Militer Angkatan Darat di Jawa Tengah) membutuhkan  persetujuan atasannya, yaitu Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel TB. Simatupang dan Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk melibatkan personel dan fasilitas AURI dalam sebuah Operasi Militer, dan untuk koordinasi dengan Panglima Divisi Militer II Kolonel Gatot Subroto yang menguasai Solo, agar bantuan militer Belanda dari Solo yang dekat Yogyakarta juga terhambat masuk Yogyakarta.

Demikian sekilas cerita yang saya dapat seputar Benteng Sumbing di Kabupaten Wonosobo sekitar Serangan Umum 1 Maret 1949. Berikut adalah cuplikan dari sebagian foto-foto dari Arsip foto milik kakek saya tentang Perjuangan Grilya di Benteng Sumbing, tentu tak bisa saya muat semua karena album aslinya sangatnya tebal  :


Gambar Benteng Sumbing, di bawah adalah foto Kakek saya, yaitu Bupati Sangidi sedang menyamar menjadi seorang Kiai dengan julukan Ki Sarung Wulung


Di Bawah ini adalah hasil Perjuangan Grilya saat serah terima Kota Magelang dan sekitarnya dari Tentara Sekutu :


Gambar Anggota UNCI (United Nations Commission for Indonesia) yang akhirnya dapat diyakinkan untuk mendukung Kedaulatan Republik Indonesia melalui Serangan Umum 1 Maret 1949 :













Salah satu dokumentasi dari Tentara Indonesia :



Berikut ini adalah contoh dari beberapa lembar yang masing-masing berisi Staf dari Pimpinan-Pimpinan Pemerintah Darurat Militer di Jawa saat itu. Semua disebut dengan kode agar tidak terdeteksi oleh Belanda. Foto Kakek saya , Bupati Sangidi (di depan kedua dari kiri), saat beliau berfoto dengan para staf  Gobjagan.


Berikut adalah foto dari  pimpinan   Pasukan Tentara di daerah Gowong :



Dan ini adalah dokumentasi dari Pimpinan Pasukan Tentara di Tanjung Sari :


Di bawah ini dokumentasi lain dari Tentara Indonesia di sekitar Yogyakarta sekitar tahun 1949 :



Dan terakhir, di bawah ini adalah fotokopi dari Katabelece dari Bapak Sarbini yang pada saat Gerilya masih berpangkat Letkol dan menjadi Komandan Resimen, setelah itu kemudian diangkat menjadi Menteri Veteran dan Demobilisasi (sayang saya belum menemukan surat aslinya dari katabelece ini di lemari arsip keluarga). Di sana jelas disebutkan oleh beliau terhadap Kakek saya,  "kawan pada waktu gerilya di daerah Sumbing."



Dari surat di atas jelas sekali peran Lereng Gunung Sumbing di Kabupaten Wonosobo dulunya memang sebagai pusat Perang Gerilya Tentara Indonesia dalam melawan Belanda dan Sekutunya yang berusaha kembali untuk menjajah Indonesia.

Sumber :  http://kabupaten-wonosobo-dieng.blogspot.com/2013/03/kabupaten-wonosobo-masa-serangan-umum.html

No comments:

Post a Comment