Markas Kepolisian Resort Kota Yogyakarta (Mako Polresta) Jalan Reksobayan Nomor 1 Yogyakarta dibangun pertama kali untuk Gedung
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Gedung ini didirikan ± 1919 oleh
Departement Onderwijs Eeredients. MULO merupakan kelanjutan
HIS (Hollandsch Inlandsch School).
Semula kursus ini hanya dua tahun, kemudian diubah menjadi tiga tahun.
Pada awalnya, sekolah ini hanya diperuntukkan anakanak Belanda saja.
Kursus MULO ini mempunyai dua tujuan, yaitu:
- Menjadi tingkat bawah (onderbouw) dari sekolah-sekolah kejuruan menengah.
- Menjadi onderbouw dari pengajaran menengah
MULO
yang ada ternyata tidak dapat menampung keinginan rakyat pribumi yang
sadar akan kebutuhan pendidikan. Untuk itulah berkat badan usaha swasta
yang ada di Yogyakarta pada waktu itu mendirikan MULO yang dapat
menampung keinginan rakyat pribumi untuk melanjutkan sekolah pendidikan
yang lebih tinggi. Badan-badan tersebut yaitu yayasan yang didirikan
oleh Misi, Tending, Muhammadiyah, Netral, maupun Taman Siswa. Hal ini
sangat menguntungkan bagi warga yang ekonominya lemah, bila mereka
berhasil menyelesaikan sekolah akan mempunyai kedudukan yang sama dengan
yang bersekolah di MULO pemerintahan.
Pada tahun 1935
Governement MULO ini pindah ke gedung yang terletak di Jalan Serayu,
Kotabaru (sekarang dipakai gedung SMP Negeri 5). Gedung MULO lama
dipergunakan sebagai kantor Algemene Politie Yogyakarta yang sebelumnya
menempati gedung di Jalan KH. Ahmad Dahlan. Bekas kantor Algemene
Politie Yogyakarta kemudian dipakai sebagai Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah.
Pada Jaman pendudukan Jepang gedung yang terletak di Jalan Reksobayan Nomor 1 dipakai sebagai kantor Polisi Jepang (
Keisatsu Sho). Penggunaan kantor ini sebagai Kantor
Keisatsu Sho
selama tiga tahun. Sejak Indonesia merdeka, bangunan polisi Jepang
digunakan sebagai Kantor Polisi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketika
Jawatan Kepolisian Negara Republik Indonesia pindah dari Purwokerto ke
ibu kota Yogyakarta pada tanggal 1 Desember 1947, gedung tersebut
diadakan tambahan bangunan untuk Kantor Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan bagian–bagian dari Jawatan Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Setelah Belanda menduduki ibu kota RI
Yogyakarta tanggal 19 Desember 1948 sampai dengan 29 Juni 1949 gedung
ini digunakan sebagai markas tentara Belanda yang tergabung dalam
IVG.
Sejak pemerintahan RI kembali ke ibu kota Republik Indonesia tanggal 6
Juli 1949, gedung ini dikuasai lagi oleh Jawatan Kepolisian Negara.
Kemudian gedung tersebut digunakan sebagai kantor Polisi Seksi I
Yogyakarta. Selanjutnya berturut-turut menjadi Markas Polres Yogyakarta,
Markas Kepolisian Resort Kota Yogyakarta dan sekarang digunakan Markas
Kepolisian Kota Besar Yogyakarta. Sedangkan Kantor Jawatan Kepolisian
Negara yang tadinya bermarkas di Yogyakarta pindah ke Jakarta, sejak
ibukota RI berada di Jakarta.
Peranan Gedung Mako Polresta Dalam Mempertahankan Kemerdekaan
Dalam
sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19
Agustus 1945 menetapkan, bahwa Polisi termasuk dalam lingkungan
Departemen Dalam Negeri. Jadi tidak mengherankan jika susunan organisasi
Kepolisian pada waktu itu mirip dengan susunan organisasi Departemen
Dalam Negeri. Hal ini hanya meneruskan susunan Kepolisian pada jaman
Hindia Belanda.
Peristiwa-peristiwa yang sangat penting
pada waktu itu, adalah tentara Belanda makin merajalela dan aksi-aksi
terror untuk melanggengkan kolonialisme di Indonesia. Pendaratan pasukan
Marinir Belanda di Pelabuhan Tanjung Priok tanggal 30 Desember 1945,
menambah gentingnya keadaan. Hal ini menyebabkan tugas-tugas kepolisian
bertambah berat untuk menjaga keamanan wilayah RI.
Untuk
melancarkan tugas-tugas kepolisian yang semakin berat, maka tata
organisasi kepolisian diubah berdasarkan penetapan pemerintahan tahun
1946 No. 11/SD. Berdasarkan surat penetapan ini, mulai tanggal 1 Juli
1946 Jawatan Kepolisian Negara Republik Indonesia dikeluarkan dari
lingkungan Kementerian Dalam Negeri menjadi dijadikan Jawatan tersendiri
langsung di bawah pimpinan Perdana Menteri. Selanjutnya setiap tanggal 1
Juli diperingati sebagai hari Bhayangkara. Markas Kepoliisian RI pada
waktu itu berpusat di Purwokerto. Adapun tugas-tugasnya adalah melayani
dan memimpin polisi di daerah-daerah.
Pada tanggal 21 Juli
1947 Belanda melancarkan serangan serentak terhadap daerah-daerah RI
yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I. Jawa diserang dengan
pasukan senjata lengkap dan modern yang terdiri dari tiga devisi,
demikian juga di wilayah Sumatera.
Agresi Militer Belanda I
menyebabkan berhentinya pembangunan kepolisian RI. Hal ini disebabkan
Polisi Negara turut serta dalam pembelaan pertahanan negara di samping
menunaikan tugas keamanan biasa selama Agresi Militer Belanda I. Dalam
kondisi darurat pimpinan Jawatan Kepolisian Negara di Purwokerto
dipegang oleh Wakil Kepolisian Negara, sedangkan Kepala Kepolisian
Negara berada di Yogyakarta. Setelah Purwokerto diduduki Belanda, maka
wakil Kepolisian Negara memindahkan kedudukannya keluar kota, yaitu di
Candi Wulan.
Pada tanggal 1 Agustus 1947, Polisi Negara
dimiliterisasikan berdasarkan Ketetapan Dewan Negara Nomor 112 tanggal
1947. Meskipun demikian kewajiban Kepolisian Negara sebagai Polisi
keamanan negara tetap berlaku. Diikutsertakannya Polisi dalam usaha
pertahanan tidak saja didasarkan pada Ketetapan Dewan Pertahanan Negara
Nomor 112 tanggal 1 Agustus 1947, tetapi didasarkan pula pada pasal 20
dan 25 dari UU keadaan bahaya dan instruksi Kepala Negara Nomor 49 tahun
1946. Untuk kepentingan pertahanan tersebut maka Dewan Pertahanan
Negara memasukan Kepolisian Negara sebagian atau keseluruhannya menjadi
kesatuan tentara. Pangkat Kepolisian Negara disesuaikan dengan pangkat
ketentaraan.
Pada tanggal 1 Desember 1947, Jawatan
Kepolisian Negara dipindahkan kedudukannya ke ibukota Yogyakarta. Di
Yogyakarta disusun pusat kepolisian lengkap dengan bagian-bagiannya.
Jawatan Kepolisian berkantor bersama-sama dengan Polisi Daerah Istimewa
Yogyakarta di gedung Jalan Reksobayan Nomor 1. Agar gedung tersebut
mampu menampung dua kantor Kepolisian, maka diadakan tambahan bangunan
di halaman bagian tengah di bangunan baru ini, Kepala Kepolisian Negara
berkantor.
Pada tanggal 19 Desember 1948, pukul 05.30 pagi
Belanda melancarkan agresi militer II dengan pasukan lintas udara
menyerang lapangan terbang Maguwo dengan menjatuhkan bom-bom selama 1
jam. Kemudian Belanda menurunkan pasukan payungnya dan segera dapat
menduduki Maguwo dan sebagian menyerbu kota Yogyakarta. Penyerangan
tersebut merupakan pelanggaran perjanjian Renville yang ditandatangani
tanggal 17 Januari 1948.
Pada waktu itu di gedung Kepolisian Jalan
Reksobayan Nomor 1 sibuk mengatur siasat untuk menghadapi pasukan
Belanda. Komisaris Besar Polisi RI. Jendral Mohammad Suryopranoto
memutuskan untuk memerintahkan seksi-seksi Mobile Brigade untuk
memperlambat masuknya tentara Belanda ke kota Yogyakarta. Di Gedong
Kuning terjadilah pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan
Mobile Brigade . Karena tidak adanya koordinasi dengan kesatuan–kesatuan
lainnya, maka pasukan Mobile Brigade dapat dipukul mundur oleh pasukan
Belanda. Kepala Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta bersama stafnya,
di antaranya Komisaris Polisi II Subagio, Inspektur Polisi I Kuswadi,
Seno Kartonegara dan Mobile Brigade mengundurkan diri ke Gamping. Unsur
bantuan logistik mundur ke Rewulu.
Pada hari itu juga
ibukota Negara RI Yogyakarta jatuh ke tangan musuh. Presiden Soekarno
dan Wakil Presiden Moh. Hatta memutuskan tetap tinggal di Yogyakarta
dengan kemungkinan akan ditangkap dan ditawan oleh Belanda. Adapun
alasannya agar mudah ditemui oleh Komisi Tiga Negara dan kegiatan
diplomasi dapat berjalan terus. Sebagai akibat dari keputusan tersebut,
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, beserta menteri Kabinet
Hatta ditangkap dan ditawan Belanda. Presiden Soekarno ditawan di
Prapat, kemudian dipindahkan ke Bangka berkumpul dengan Wakil Presiden
Moh.Hatta. Pada agresi Belanda II wakil Kepala Kepolisian Negara R.
Sumarto juga ditangkap Belanda.
Sebelum tentara Belanda
menguasai kota Yogyakarta Kabinet sempat mengadakan sidang dan mengambil
keputusan untuk memberikan mandat melalui radiogram kepada Menteri
Kemakmuran Mr. Syarifudin Prawiranegara yang berada di Sumatra agar
membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Jika Mr.
Syarifuddin Prawiranegara gagal maka kepada Menteri Keuangan Mr.
Maramis, L.N. Palar dan Dr. Sudarsono yang sedang berada di India diberi
kuasa untuk membentuk Pemerintah Republik Indonesia di India. Perintah
Presiden Soekarno tersebut dapat dilakukan dengan baik oleh Mr.
Syarifudin Prawiranegara. Pada akhir tahun 1948 telah terbentuk Kabinet
Pemerintah Darurat Republik Indonesia dengan Perdana Menteri Mr.
Syarifudin Prawiranegara. Jadi meskipun Presiden, Wakil Presiden, dan
beberapa orang menteri berhasil ditangkap dan ditawan
Belanda, Pemerintahan Republik Indonesia tetap berdiri.
Sesuai
rencana yang telah disetujui pemerintah, seluruh kekuatan TNI termasuk
Polisi yang masih di dalam kota Yogyakarta diperintahkan untuk keluar
melakukan perang gerilya yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal
Sudirman. Jawatan Kepolisian Negara Darurat dibentuk di Godean oleh
Komisaris Besar Polisi Sosrodanukusumo. Pada Markas Besar Komando Jawa,
dibentuk Staf Keamanan yang terdiri Wakil Jawatan Kepolisian Negara dan
Komando Corps Polisi Militer. Kecuali itu masing-masing Gubenur
mempunyai staf keamanan. Pada pemerintahan tersebut, tanggal 15 Mei 1949
dibentuklah suatu alat kepolisian yang bernama Polisi Pemerintahan
Militer (PPM). Polisi Pemerintahan Militer ini merupakan penggabungan
dari Polisi Negara dan Corps Polisi Militer (CPM).
Selama
pendudukan kota Yogyakarta tanggal 19 Desember 1948 s.d. 29 Juli 1949
kantor Kepolisian Negara dan Kantor Polisi Daerah Istimewa Yogyakarta di
Jalan Reksobayan Nomor 1 ditempati Belanda dan dijadikan markas Tentara
Belanda yang bergabung dengan IVG. Gedung ini selain digunakan sebagai
kantor juga digunakan untuk menawan para pemimpin Republik Indonesia dan
rakyat yang dicurigai. Pasukan tentara Belanda yang bergabung dalam
IVG. IVG merupakan dinas rahasia yang bertugas untuk mengetahui seluk beluk perjuangan bangsa Indonesia.
Belanda
mengira dengan menduduki kota Yogyakarta, TNI sudah hancur berantakan.
Dengan demikian kampaye militerisasi sudah selesai, tinggal melaksanakan
oprasi pembersihan. Dugaan Belanda ternyata meleset, pada serangan
pertama TNI tidak hancur dan gerakan maju Belanda dibiarkan untuk
memberikan ruang dan waktu bagi pelaksanaan
wingate dan penyusunan
Wehrkreise.
Dalam waktu sebulan TNI telah selesai melakukan konsolidasinya dan
mulai menyerang secara teratur kepada musuh. Seluruh Jawa dan Sumatra
menjadi satu daerah gerilya yang menyeluruh dan tekanan terhadap pasukan
Belanda ditingkatkan secara terus-menerus. Penghadangan konvoi-konvoi
perbekalan dan tentara Belanda semakin berhasil.
Serangan umum
terhadap kota-kota yang diduduki Belanda mulai dilaksanakan. Puncak
Serangan Umum tersebut adalah Serangan Umum terhadap kota Yogyakarta
pada tanggal 1 Maret 1949 di bawah pimpinan Komandan Brigade X, Letnan
Kolonel Suharto (mantan Presiden RI). Serangan Umum tidak dilakukan pada
malam hari, melainkan di siang hari dan kota Yogyakarta diduduki TNI
selama 6 (enam) jam. Berkat serangan ini pasukan Belanda dan IVG
terpaksa meninggalkan kota Yogyakarta. Gedung di Jalan Reksobayan Nomor 1
Yogyakarta kembali ke tangan TNI.
Berkat perjanjian
Roem-Royen maka tanggal 29 Juni 1949 pasukan Belanda mengundurkan diri
dari kota Yogyakarta. Yogyakarta sebagai pusat kekuasan Republik
Indonesia dan ibu kota telah tegak kembali di bawah kepemimpinan
sementara Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Pada tanggal 27 Desember 1949
secara resmi Belanda menyerahkan Kedaulatan Indonesia kepada RIS di
Amsterdam, Jakarta dan Yogyakarta. Secara formil Belanda telah mengakui
Kemerdekaan Indonesia dan kedaulatan penuh Negara Indonesia di seluruh
bekas jajahan wilayah Hindia Belanda.
Sumber : https://www.facebook.com/notes/wisnu-jakas/kesejarahan-mako-polresta-yogyakarta/537187429726932