Djokjakarta

Tuesday 17 March 2015

Kesejarahan Mako Polresta Yogyakarta



Markas Kepolisian Resort Kota Yogyakarta (Mako Polresta) Jalan Reksobayan Nomor 1 Yogyakarta dibangun pertama kali untuk Gedung Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Gedung ini didirikan ± 1919 oleh Departement Onderwijs Eeredients. MULO merupakan kelanjutan HIS (Hollandsch Inlandsch School). Semula kursus ini hanya dua tahun, kemudian diubah menjadi tiga tahun. Pada awalnya, sekolah ini hanya diperuntukkan anak­anak Belanda saja. Kursus MULO ini mempunyai dua tujuan, yaitu:
  1. Menjadi tingkat bawah (onderbouw) dari sekolah-sekolah kejuruan menengah.
  2. Menjadi onderbouw dari pengajaran menengah
MULO yang ada ternyata tidak dapat menampung keinginan rakyat pribumi yang sadar akan kebutuhan pendidikan. Untuk itulah berkat badan usaha swasta yang ada di Yogyakarta pada waktu itu mendirikan MULO yang dapat menampung keinginan rakyat pribumi untuk melanjutkan sekolah pendidikan yang lebih tinggi. Badan-badan tersebut yaitu yayasan yang didirikan oleh Misi, Tending, Muhammadiyah, Netral, maupun Taman Siswa. Hal ini sangat menguntungkan bagi warga yang ekonominya lemah, bila mereka berhasil menyelesaikan sekolah akan mempunyai kedudukan yang sama dengan yang bersekolah di MULO pemerintahan.

Pada tahun 1935 Governement MULO ini pindah ke gedung yang terletak di Jalan Serayu, Kotabaru (sekarang dipakai gedung SMP Negeri 5). Gedung MULO lama dipergunakan sebagai kantor Algemene Politie Yogyakarta yang sebelumnya menempati gedung di Jalan KH. Ahmad Dahlan. Bekas kantor Algemene Politie Yogyakarta kemudian dipakai sebagai Rumah Sakit PKU Muhammadiyah.

Pada Jaman pendudukan Jepang gedung yang terletak di Jalan Reksobayan Nomor 1 dipakai sebagai kantor Polisi Jepang (Keisatsu Sho). Penggunaan kantor ini sebagai Kantor Keisatsu Sho selama tiga tahun. Sejak Indonesia merdeka, bangunan polisi Jepang digunakan sebagai Kantor Polisi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketika Jawatan Kepolisian Negara Republik Indonesia pindah dari Purwokerto ke ibu kota Yogyakarta pada tanggal 1 Desember 1947, gedung tersebut diadakan tambahan bangunan untuk Kantor Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan bagian–bagian dari Jawatan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Setelah Belanda menduduki ibu kota RI Yogyakarta tanggal 19 Desember 1948 sampai dengan 29 Juni 1949 gedung ini digunakan sebagai markas tentara Belanda yang tergabung dalam IVG. Sejak pemerintahan RI kembali ke ibu kota Republik Indonesia tanggal 6 Juli 1949, gedung ini dikuasai lagi oleh Jawatan Kepolisian Negara. Kemudian gedung tersebut digunakan sebagai kantor Polisi Seksi I Yogyakarta. Selanjutnya berturut-turut menjadi Markas Polres Yogyakarta, Markas Kepolisian Resort Kota Yogyakarta dan sekarang digunakan Markas Kepolisian Kota Besar Yogyakarta. Sedangkan Kantor Jawatan Kepolisian Negara yang tadinya bermarkas di Yogyakarta pindah ke Jakarta, sejak ibukota RI berada di Jakarta.

Peranan Gedung Mako Polresta Dalam Mempertahankan Kemerdekaan

Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945 menetapkan, bahwa Polisi termasuk dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri. Jadi tidak mengherankan jika susunan organisasi Kepolisian pada waktu itu mirip dengan susunan organisasi Departemen Dalam Negeri. Hal ini hanya meneruskan susunan Kepolisian pada jaman Hindia Belanda.

Peristiwa-peristiwa yang sangat penting pada waktu itu, adalah tentara Belanda makin merajalela dan aksi-aksi terror untuk melanggengkan kolonialisme di Indonesia. Pendaratan pasukan Marinir Belanda di Pelabuhan Tanjung Priok tanggal 30 Desember 1945, menambah gentingnya keadaan. Hal ini menyebabkan tugas-tugas kepolisian bertambah berat untuk menjaga keamanan wilayah RI.

Untuk melancarkan tugas-tugas kepolisian yang semakin berat, maka tata organisasi kepolisian diubah berdasarkan penetapan pemerintahan tahun 1946 No. 11/SD. Berdasarkan surat penetapan ini, mulai tanggal 1 Juli 1946 Jawatan Kepolisian Negara Republik Indonesia dikeluarkan dari lingkungan Kementerian Dalam Negeri menjadi dijadikan Jawatan tersendiri langsung di bawah pimpinan Perdana Menteri. Selanjutnya setiap tanggal 1 Juli diperingati sebagai hari Bhayangkara. Markas Kepoliisian RI pada waktu itu berpusat di Purwokerto. Adapun tugas-tugasnya adalah melayani dan memimpin polisi di daerah-daerah.

Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan serangan serentak terhadap daerah-daerah RI yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I. Jawa diserang dengan pasukan senjata lengkap dan modern yang terdiri dari tiga devisi, demikian juga di wilayah Sumatera.
Agresi Militer Belanda I menyebabkan berhentinya pembangunan kepolisian RI. Hal ini disebabkan Polisi Negara turut serta dalam pembelaan pertahanan negara di samping menunaikan tugas keamanan biasa selama Agresi Militer Belanda I. Dalam kondisi darurat pimpinan Jawatan Kepolisian Negara di Purwokerto dipegang oleh Wakil Kepolisian Negara, sedangkan Kepala Kepolisian Negara berada di Yogyakarta. Setelah Purwokerto diduduki Belanda, maka wakil Kepolisian Negara memindahkan kedudukannya keluar kota, yaitu di Candi Wulan.

Pada tanggal 1 Agustus 1947, Polisi Negara dimiliterisasikan berdasarkan Ketetapan Dewan Negara Nomor 112 tanggal 1947. Meskipun demikian kewajiban Kepolisian Negara sebagai Polisi keamanan negara tetap berlaku. Diikutsertakannya Polisi dalam usaha pertahanan tidak saja didasarkan pada Ketetapan Dewan Pertahanan Negara Nomor 112 tanggal 1 Agustus 1947, tetapi didasarkan pula pada pasal 20 dan 25 dari UU keadaan bahaya dan instruksi Kepala Negara Nomor 49 tahun 1946. Untuk kepentingan pertahanan tersebut maka Dewan Pertahanan Negara memasukan Kepolisian Negara sebagian atau keseluruhannya menjadi kesatuan tentara. Pangkat Kepolisian Negara disesuaikan dengan pangkat ketentaraan.

Pada tanggal 1 Desember 1947, Jawatan Kepolisian Negara dipindahkan kedudukannya ke ibukota Yogyakarta. Di Yogyakarta disusun pusat kepolisian lengkap dengan bagian-bagiannya. Jawatan Kepolisian berkantor bersama­-sama dengan Polisi Daerah Istimewa Yogyakarta di gedung Jalan Reksobayan Nomor 1. Agar gedung tersebut mampu menampung dua kantor Kepolisian, maka diadakan tambahan bangunan di halaman bagian tengah di bangunan baru ini, Kepala Kepolisian Negara berkantor.

Pada tanggal 19 Desember 1948, pukul 05.30 pagi Belanda melancarkan agresi militer II dengan pasukan lintas udara menyerang lapangan terbang Maguwo dengan menjatuhkan bom-bom selama 1 jam. Kemudian Belanda menurunkan pasukan payungnya dan segera dapat menduduki Maguwo dan sebagian menyerbu kota Yogyakarta. Penyerangan tersebut merupakan pelanggaran perjanjian Renville yang ditandatangani tanggal 17 Januari 1948.
Pada waktu itu di gedung Kepolisian Jalan Reksobayan Nomor 1 sibuk mengatur siasat untuk menghadapi pasukan Belanda. Komisaris Besar Polisi RI. Jendral Mohammad Suryopranoto memutuskan untuk memerintahkan seksi­-seksi Mobile Brigade untuk memperlambat masuknya tentara Belanda ke kota Yogyakarta. Di Gedong Kuning terjadilah pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Mobile Brigade . Karena tidak adanya koordinasi dengan kesatuan–kesatuan lainnya, maka pasukan Mobile Brigade dapat dipukul mundur oleh pasukan Belanda. Kepala Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta bersama stafnya, di antaranya Komisaris Polisi II Subagio, Inspektur Polisi I Kuswadi, Seno Kartonegara dan Mobile Brigade mengundurkan diri ke Gamping. Unsur bantuan logistik mundur ke Rewulu.

Pada hari itu juga ibukota Negara RI Yogyakarta jatuh ke tangan musuh. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta memutuskan tetap tinggal di Yogyakarta dengan kemungkinan akan ditangkap dan ditawan oleh Belanda. Adapun alasannya agar mudah ditemui oleh Komisi Tiga Negara dan kegiatan diplomasi dapat berjalan terus. Sebagai akibat dari keputusan tersebut, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, beserta menteri Kabinet Hatta ditangkap dan ditawan Belanda. Presiden Soekarno ditawan di Prapat, kemudian dipindahkan ke Bangka berkumpul dengan Wakil Presiden Moh.Hatta. Pada agresi Belanda II wakil Kepala Kepolisian Negara R. Sumarto juga ditangkap Belanda.

Sebelum tentara Belanda menguasai kota Yogyakarta Kabinet sempat mengadakan sidang dan mengambil keputusan untuk memberikan mandat melalui radiogram kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syarifudin Prawiranegara yang berada di Sumatra agar membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Jika Mr. Syarifuddin Prawiranegara gagal maka kepada Menteri Keuangan Mr. Maramis, L.N. Palar dan Dr. Sudarsono yang sedang berada di India diberi kuasa untuk membentuk Pemerintah Republik Indonesia di India. Perintah Presiden Soekarno tersebut dapat dilakukan dengan baik oleh Mr. Syarifudin Prawiranegara. Pada akhir tahun 1948 telah terbentuk Kabinet Pemerintah Darurat Republik Indonesia dengan Perdana Menteri Mr. Syarifudin Prawiranegara. Jadi meskipun Presiden, Wakil Presiden, dan beberapa orang menteri berhasil ditangkap dan ditawan   Belanda, Pemerintahan Republik Indonesia tetap berdiri.

Sesuai rencana yang telah disetujui pemerintah, seluruh kekuatan TNI termasuk Polisi yang masih di dalam kota Yogyakarta diperintahkan untuk keluar melakukan perang gerilya yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman. Jawatan Kepolisian Negara Darurat dibentuk di Godean oleh Komisaris Besar Polisi Sosrodanukusumo. Pada Markas Besar Komando Jawa, dibentuk Staf Keamanan yang terdiri Wakil Jawatan Kepolisian Negara dan Komando Corps Polisi Militer. Kecuali itu masing-masing Gubenur mempunyai staf keamanan. Pada pemerintahan tersebut, tanggal 15 Mei 1949 dibentuklah suatu alat kepolisian yang bernama Polisi Pemerintahan Militer (PPM). Polisi Pemerintahan Militer ini merupakan penggabungan dari Polisi Negara dan Corps Polisi Militer (CPM).

Selama pendudukan kota Yogyakarta tanggal 19 Desember 1948 s.d. 29 Juli 1949 kantor Kepolisian Negara dan Kantor Polisi Daerah Istimewa Yogyakarta di Jalan Reksobayan Nomor 1 ditempati Belanda dan dijadikan markas Tentara Belanda yang bergabung dengan IVG. Gedung ini selain digunakan sebagai kantor juga digunakan untuk menawan para pemimpin Republik Indonesia dan rakyat yang dicurigai. Pasukan tentara Belanda yang bergabung dalam IVG. IVG merupakan dinas rahasia yang bertugas untuk mengetahui seluk beluk perjuangan bangsa Indonesia.

Belanda mengira dengan menduduki kota Yogyakarta, TNI sudah hancur berantakan. Dengan demikian kampaye militerisasi sudah selesai, tinggal melaksanakan oprasi pembersihan. Dugaan Belanda ternyata meleset, pada serangan pertama TNI tidak hancur dan gerakan maju Belanda dibiarkan untuk memberikan ruang dan waktu bagi pelaksanaan wingate dan penyusunan Wehrkreise. Dalam waktu sebulan TNI telah selesai melakukan konsolidasinya dan mulai menyerang secara teratur kepada musuh. Seluruh Jawa dan Sumatra menjadi satu daerah gerilya yang menyeluruh dan tekanan terhadap pasukan Belanda ditingkatkan secara terus-menerus. Penghadangan konvoi-konvoi perbekalan dan tentara Belanda semakin berhasil.
Serangan umum terhadap kota-kota yang diduduki Belanda mulai dilaksanakan. Puncak Serangan Umum tersebut adalah Serangan Umum terhadap kota Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 1949 di bawah pimpinan Komandan Brigade X, Letnan Kolonel Suharto (mantan Presiden RI). Serangan Umum tidak dilakukan pada malam hari, melainkan di siang hari dan kota Yogyakarta diduduki TNI selama 6 (enam) jam. Berkat serangan ini pasukan Belanda dan IVG terpaksa meninggalkan kota Yogyakarta. Gedung di Jalan Reksobayan Nomor 1 Yogyakarta kembali ke tangan TNI.

Berkat perjanjian Roem-Royen maka tanggal 29 Juni 1949 pasukan Belanda mengundurkan diri dari kota Yogyakarta. Yogyakarta sebagai pusat kekuasan Republik Indonesia dan ibu kota telah tegak kembali di bawah kepemimpinan sementara Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Pada tanggal 27 Desember 1949 secara resmi Belanda menyerahkan Kedaulatan Indonesia kepada RIS di Amsterdam, Jakarta dan Yogyakarta. Secara formil Belanda telah mengakui Kemerdekaan Indonesia dan kedaulatan penuh Negara Indonesia di seluruh bekas jajahan wilayah Hindia Belanda.

Sumber :  https://www.facebook.com/notes/wisnu-jakas/kesejarahan-mako-polresta-yogyakarta/537187429726932

No comments:

Post a Comment