Pejuang
di Kulonprogo berusaha keras menghalangi masuknya tentara Belanda.
Jembatan jembatan banyak dijebol. Termasuk jembatan Kali Papah yang
berada di sekitar Kantor Pegadaian Sentolo yang menuju Kaliagung saat
ini. Pepohonan ditebang untuk diletakkan di tengah jalan. Setidaknya
tentara musuh akan sangat kesulitan melewati rintangan rintangan ini.
Memperlambat laju pergerakan mereka.
Sementara
itu pertempuran yang terus berlangsung menyebabkan semakin banyak
dibutuhkan peralatan perang. Di Banjarasri terdapat tempat pembuatan
peralatan perang TNI, seperti peluru, detonator, granat, pistol dan
senjata lainnya. Termasuk hasil rampasan dari tentara musuh.
Proses
perbaikan dan pembuatan senjata dilakukan di rumah rumah penduduk
secara terpencar, antara lain rumah milik Panjangrejo, Manguntukimin,
Secopawiro, Kromowijoyo, Kromoinangun, Joyopawiro dan Joyoukoro.
Strategisnya
letak desa Banjarasri memungkinkan para pejuang melakukan pertahanan,
mengatur strategi politik dan militer dengan cukup aman. Belanda
kesulitan menemukan lokasi ini mengingat kontur tanah yang menanjak dan
hutan Kalibawang dan Samigaluh saat itu masih sangat lebat.
Posisi
Banjarasri yang strategis secara geografis juga ditunjang keadaan desa
yang tertata rapi stuktur administratifnya. Adanya Missionaris Katolik
yang datang ke wilayah Kalibawang sejak awal abad ke – 20 menjadi salah
satu faktor Banjarasri menjadi markas yang ideal. Tidak heran apabila
wilayah ini menjadi pusat konsentrasi pengungsi dari kota.
Struktur
pejabat desa yang tersusun rapi memungkinkan mereka mengurusi
pengungsi, pertahanan sipil, perbekalan dan penerangan dengan baik.
Apalagi ditambah keberadaan Rumah Sakit Santo Yusuf. Adanya rumah sakit
sangat membantu pejuang dan warga yang saat itu didera sakit penyakit
dan luka akibat peperangan.
Hal
ini tentu menjadi modal penting bagi Desa Banjarasri untuk mendukung
pergerakan mempertahankan kemerdekaan. Sejarah mencatat bahwa Kepolisian
Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia berhutang
budi pada desa kecil di utara Kulonprogo ini. Saat Agresi Militer
Belanda II pecah, Jaksa Agung Tirtowinoto dan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia Komisaris Besar Polisi Sosrodanukusumo mengungsi bersama
rakyat ke desa Banjarasri.
Di
Banjarasri mereka mendirikan Pos Kejaksaan Agung dan Pos Kepolisian
guna melanjutkan mekanisme pemerintahan negara meskipun dalam
pengungsian. Adapun rumah yang digunakan adalah rumah milik
Pawirosuwarno. Kedua pejabat ini bersikap layaknya rakyat biasa. Tidak
ada yang berbeda antara mereka dengan rakyat sekitar. Hanya saja militer
benar benar memastikan keamanan keduanya.
Siapa
tidak kenal Nama besar Abdul Haris Nasution atau lebih familiar dengan
nama Jenderal Besar A. H. Nasution lalu Tahi Bonar Simatupang atau lebih
dikenal dengan nama Jenderal T. B. Simatupang dan Alex Evert Kawilarang
atau banyak dipanggil Kolonel A. E. Kawilarang yang kelak mendirikan
cikal bakal Koppasus? Mereka adalah sebagian petinggi TNI yang ternyata
pernah bermukim di Kalibawang dan Samigaluh untuk menyusun strategi
perang.
Pada
Februari 1948, A. H. Nasution menjadi Wakil Panglima Besar TNI atau
orang kedua setelah Jendral Soedirman. Sebulan kemudian jabatan Wakil
Panglima Besar dihapus dan ia ditunjuk menjadi Kepala Staf Operasi
Markas Besar Angkatan Perang RI. Pada tahun 1948 ini A. H. Nasution
mendirikan MBKD (Markas Besar Komando Jawa) di Perbukitan Borogunung,
masih di Desa Banjarasri, Kalibawang, menyusul dikuasainya Yogyakarta
oleh Belanda.
Pertimbangannya
adalah perbukitan Borogunung memudahkan tentara memantau pergerakan
musuh yang mungkin saja akan menyusup. Rumah seorang warga bernama
Nitirejo dipergunakan menjadi markas, sedangkan lokasi kesekretariatan
MBKD menumpang di rumah Suparja di dusun Padoan, Banjarharjo. Di
penghujung tahun 1949, A. H. Nasution diangkat menjadi Kepala Staf TNI
Angkatan Darat.
Sedikit
ke selatan Kalibawang, sekitar 20 Desember 1948 pagi hari T. B.
Simatupang mengungsi ke arah Kulonprogo menggunakan rakit menyeberangi
Sungai Progo. Setelah itu tibalah ia di Dekso sebelum akhirnya menuju
Desa Banaran, Banjarsari, Samigaluh.
Saat
itu T. B. Simatupang menjabat wakil II Kepala Staff Angkatan Perang.
Kepala Angkatan Perang kala itu dijabat Jenderal Soedirman, ia merangkap
menjadi Panglima Besar Angkatan Perang. Sementara itu, perlu dicatat
bahwa sebelum menuju Banjarasri, Kalibawang, A. H. Nasution juga singgah
di Dekso setelah perjalanan dari Jawa Timur menggunakan kereta api dan
turun sebelum kereta memasuki Kota Yogyakarta.
Di
Banjarasri, A. H. Nasution yang dikenal sebagai ahli perang gerilya,
meneruskan kegiatan Pos MBKD, dikenal dengan nama Pos X-2. Dari sini A.
H. Nasution mengirimkan informasi dan perintah kepada Pos MBKD dan
pejuang di tempat lain. Berita tersebut dikirim menggunakan radiogram
yang dioperasikan menggunakan tenaga baterai yang dibuat sendiri. Untuk
keperluan ini setiap pukul 15.00 sampai 17.00 bergantian dua orang
penduduk Borogunung memutar pedal baterai untuk menyalakan pesawat
radio. Pengiriman berita kepada Pos MBKD di tempat lain menjadikan
Presiden Soekarno dan Moh. Hatta yang diasingkan ke Bangka dapat
mendengar update terkini mengenai keadaan negara.
Mengingat
keberadaan A. H. Nasution dan Pos MBKD sangat dirahasiakan, hubungan
beliau dengan rakyat menjadi sangat terbatas. Orang orang yang hendak
menemui beliau harus melalui seleksi ketat dan berbelit, bahkan berita
yang akan masuk ke markas disampaikan dengan cara beranting dari bawah
menuju ke atas. Surat surat penting dari MBKD Borogunung disampaikan
kepada kurir untuk dibawa ke alamat tujuan dengan pengawalan seorang
tentara. Cerita unik dari perjalanan A. H. Nasution ketika memasuki
Banjarasri adalah pengakuannya kepada warga bahwa ia hanya seorang guru
dari Sumatra bernama Abdul Haris yang tidak bisa pulang karena tersesat.
Setelah
3,5 bulan berlalu akhirnya A. H. Nasution bersama para staffnya
meninggalkan Dusun Borogunung, Desa Banjarasri. Tepat 7 Juli 1949 ia
melanjutkan perjalanan perjuangannya melawan Belanda dengan tantangan
yang mungkin lebih berat.
Bangsa
Indonesia akhirnya menikmati kemerdakaan. Tahun ini, Agustus 2014
merupakan peringatan 69 tahun bangsa Indonesia di alam kemerdekaan. Jauh
sebelum itu, pejuang kemerdekaan mengorbankan segala kepentingan untuk
bangsa dan negara. Jauh di pelosok pelosok negeri, termasuk di Desa
Banjarasri, perjuangan gigih dilakukan.
Kini
di desa Banjarasri tepat berdiri sebuah monumen. Di depan sebuah rumah
milik warga. Monumen MBKD Pos X-2 1948-1949 terpancang dengan gagah.
Diresmikan 29 Juni 1982 atas prakarsa mantan Presiden Soeharto. Sri
Sultan Hamengkubuwono IX mendapat kehormatan untuk meresmikan monumen
penuh kenangan. Monumen berbentuk tugu batu yang didirikan untuk
mengenang jerih payah warga dan pejuang kemerdekaan dalam memperjuangkan
hak bangsa ini, hak untuk merdeka dan menentukan nasibnya sendiri.
Akhirnya
disadari bahwa peran rakyat sangat penting. Mulai dari menjaga keamanan
dan kerahasiaan, menyediakan tempat tinggal dan logistik. Bukti bahwa
bersatunya rakyat dan tentara dipadu dengan semangat juang tinggi pasti
memunculkan kekuatan yang luar biasa.
Dari
sebuah desa kecil yang kini hidup tenang, damai dan bersahaja. Desa
yang menjadi saksi sejarah pergolakan militer dan politik demi tegaknya
ibu pertiwi. Desa yang menjaga kestabilan negara ketika republik baru
saja diproklamirkan. Desa Banjarasri masih sangat asri, seperti tidak
pernah terjadi apa apa di masa lalu.
Sumber : http://watespahpoh.net/2014/banjarasri-markas-republik.html
No comments:
Post a Comment