Djokjakarta

Thursday 20 April 2017

Peran Para Perwira Siliwangi Di Balik PDRI


Terbentuknya Pemerintah Darurat RI di Sumatera tidak serta merta timbul begitu saja namun sebelumnya memang sudah dipersiapkan antisipasi-antisipasi di pandang perlu mengingat alotnya perundingan Belanda-Indonesia yang sedang terjadi saat itu. Melihat kondisi seperti itu segala kemungkinan bisa saja terjadi dan sebelum semuanya terjadi maka perlu diperhitungkan kemungkinan yang mungkin bisa terjadi apabila perundingan tersebut kembali dilanggar dan terjadi seperti agresi militer I sebelumnya. Pasukan Divisi Siliwangi pernah merasakan pahitnya sebagai akibat dari dilanggarnya sebuah perundingan, mulai dari pecahnya agresi militer I sampai dengan harus meninggalkan sanak saudara dan tanah kelahirannya melakukan hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta berdasarkan perintah dari para pemimpin republik ini. Meskipun terasa berat namun harus dilaksanakan. Lebih dari 25.000 orang berangkat hijrah dari Jawa Barat. Mengingat apa yang telah dialami oleh Siliwangi serta mengingat semakin sempitnya wilayah RI di pulau Jawa serta sebagai naluri militer mengatakan bahwa perundingan yang terjadi sekarang ini apakah juga tidak akan berdampak seperti yang mereka alami sebelumnya. Atas dasar itulah kemudian muncul sebuah ide yaitu membuat pangkalan darurat atau pangkalan cadangan (Reserve Basis) bagi Pemerintah Pusat Republik Indonesia apabila terjadi kebuntuan/sengaja dibuntukan oleh salah satu pihak yang akhirnya bukannya tidak mungkin terjadi lagi agresi militer yang ke II. Menurut catatan Islam Salim (Islam Salim adalah putra dari H.Agus Salim yang pada saat itu berpangkat Kapten dan menjabat sebagai Asisten khusus/Ajudan Kol.Hidayat yang ikut menyertai Mohammad Hatta saat melakukan inspeksi di Sumatera dalam rangka persiapan Pangkalan Darurat Pemerintah Pusat RI.), ide tentang perlunya antisipasi apabila sewaktu-waktu Belanda melakukan agresi militer ini atas usul dari Letkol Daan Jahja.  Ide ini muncul pada saat pasukan dan staf Divisi Siliwangi setelah melakukan hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah dan Yogyakarta sebagai salah satu konsekwensi dari persetujuan Renville. Pada saat di Yogyakarta yaitu di Hotel Merdeka (sekarang hotel Garuda In) berkumpul Letkol Daan Jahja, Mayor Oetarjo dan Kapten Islam Salim sedang duduk bersama sambil ngobrol-ngobrol, dalam suasana itu tiba-tiba Letkol Daan Jahja menungkas : “Enak-enak ngopi, nggak mikirin kemungkinan penyerangan Belanda lagi ! bagaimana pemerintah pusat kita mau bergerilya di Jawa Tengah yang sempit dan padat ini ! karena tanpa suatu Pemerintahan Pusat, perjuangan bersenjata betapapun dahsyat akan merupakan sekedar suatu pemberontakan suatu bangsa melawan kekuasaan yang syah.” Setelah melalui pertukaran pemikiran secara informal dengan Mayor Oetarjo, Kapten Islam Salim dan beberapa mahasiswa dari Prapatan 10 dan dari diskusi mereka itu kemudian Daan Jahja pada bulan Maret 1948 kemudian maju dan menyampaikan memorandum tentang usulan perlunya dipersiapkan segera suatu pangkalan darurat/pangkalan cadangan bagi pemerintah pusat RI, dan tempat yang diusulkan adalah wilayah Sumatera Tengah kepada Wapres/PM/Menhan Mohammad Hatta dalam suatu kesempatan. Ini dengan pertimbangan bahwa wilayah Jawa Tengah merupakan wilayah yang terlalu sempit untuk kebebasan bergerak bagi Pemerintah Pusat RI menghadapi agresi militer Belanda yang bisa terjadi sewaktu-waktu.

Setelah membaca situasi yang digambarkan dalam memorandum yang diajukan oleh Letkol Daan Jahja tersebut Wapres Mohammad Hatta menyetujui hal tersebut dan kemudian antara bulan Mei-Juli 1948 rencana pun disusun. Sebagai langkah awal 2 orang menteri kemudian ditempatkan di Bukittinggi, yaitu Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Loekman Hakim. Selanjutnya Wapres Mohammad Hatta kemudian mengirim dua rombongan perwira TNI untuk melakukan penjajagan dan persiapan disana. Rombongan perwira TNI yang pertama dipimpin oleh Letkol Daan Jahja dengan anggota-anggotanya yaitu Mayor Oetarjo, Mayor Tjakradipura, Kapten Joen Joenoes dan Letnan Sofjan Djoenaed. Rombongan ini berangkat ke Sumatera dengan menggunakan pesawat Dakota UNCI. Kemudian setelah itu disusul rombongan ke dua yang dipimpin oleh Letkol AE Kawilarang dengan membawa Mayor Akil Prawiradiredja, Kapten Ibrahim Adjie, Kapten Jusuf Ramli. Letnan Kasad Hutabarat dan Letnan Abu Umar. Rombongan ini berangkat dengan menggunakan pesawat carteran Catalina. Mengapa para perwira yang melakukan persiapan-persiapan basis cadangan tersebut (kecuali Mayor Oetarjo yang berasal dari Markas Besar Tentara di Yogyakarta) terdiri dari para perwira Divisi Siliwangi ? kemungkinan hal tersebut karena hijrahnya Divisi Siliwangi ke Jawa Tengah dan Yogyakarta sehingga terjadi penciutan tanggung jawab teritorial sehingga sejumlah perwira dapat diperbantukan guna tugas-tugas khusus diluar kesatuan dan daerah operasi kesatuannya.

Pada saat mereka tiba di Sumatera dan mulai melakukan hubungan dengan PTTS (Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera) yang saat itu dipegang oleh Mayor Jenderal Soehardjo terutama mengenai langkah-langkah persiapan tentang basis cadangan untuk pemerintah pusat, namun ternyata hal tersebut tidak mendapatkan pengertian serta  kesempatan bekerja dari PTTS serta rombongan tersebut hanya dibiarkan di Bukitinggi dengan tanpa bisa melakukan kegiatan apapun, bahkan disana sedang terjadi perang saudara antar TNI. Melihat situasi seperti itu Letkol Daan Jahja terpaksa kembali ke Yogyakarta untuk melaporkan keadaan yang sedang terjadi serta kendala yang dihadapi dalam usaha persiapan pembangunan basis cadangan Pemerintah Pusat RI. Melihat rencana persiapan basis cadangan dihadapi mengalami kendala yang tidak dapat diatasi oleh dua gelombang rombongan perwira tersebut maka Mohammad Hatta pun merasa perlu untuk berangkat ke Sumatera. Keberangkatan Wakil Presiden ini di dampingi oleh Wakil I KSAP yang juga mantan Wakil Panglima Divisi Siliwangi yaitu Kolonel Hidayat beserta ajudannya yang diambil Kapten Islam Salim, seorang perwira yang diperbantukan kepada Staf Angkatan Perang RI dan di tugaskan dalam Sekretariat Panitia Pusat Gencatan Senjata RI di Yogyakarta. Pada awal bulan November 1948 Wapres Mohammad Hatta pun melakukan inspeksi untuk melihat kondisi serta persiapan-persiapan yang telah dilakukan disana. Dalam inspeksi ini Mohammad Hatta di dampingi oleh Kolonel Hidayat yang saat itu sebagai Wakil I KASAP beserta ajudannya yaitu Kapten Islam Salim. Ikut sertanya Kolonel Hidayat dalam rombongan inspeksi tersebut pada awalnya adalah mendampingi Wapres dalam rangka inspeksi dengan maksud untuk menyelesaikan masalah pembentukan basis cadangan di Bukittinggi, namun karena adanya perang saudara yaitu antara pasukan Mayor Liberty dengan pasukan Mayor Bedjo di Tapanuli  maka rombongan Wapres tersebut dengan di dampingi pula oleh Mayor Oetarjo dan David Munte dari Corps Mahasiswa sebagai penerjemah apabila dibutuhkan di jalan pun berangkat ke Sibolga, Tapanuli. “Waktu itu saya selaku Wakil I Kepala Staf APRI dengan pangkat Kolonel, ditugaskan oleh pimpinan APRI di Yogyakarta untuk membenahi “policy” yang dipakai oleh Panglima Sumatera, Mayjend Soehardjo. Tetapi misi saya tidak digubris” ungkap Hidayat Martaatmadja dalam sebuah kesempatan. Hal tersebut kemungkinan salah satunya adalah faktor kepangkatan dimana Hidayat satu klik dibawah Soehardjo (karena saat itu belum dikenal pangkat Brigadir Jenderal) sehingga secara psikologis maupun kesetaraan jelaslah Soehardjo “kurang mau mendengar” saran-saran “juniornya” secara kepangkatan. Menghadapi situasi seperti itu maka setelah mengadakan pertemuan kilat dengan para pejabat sipil dan militer setempat Wapres/PM/Menhan Drs. Mohammad Hatta bersama Wakil I KSAP Kolonel Hidayat kemudian mengeluarkan perintah penghentian tembak menembak kepada kedua belah pihak tersebut serta mengangkat Letkol A.E.Kawilarang sebagai Komandan Sub-Teritorium VII/Tapanuli-Sumatera Timur Selatan dan Mayor Oetarjo sebagai kepala stafnya dan Mayor Akil Prawiradiredja sebagai Komandan Sub-Teritorium Riau, yang bersama Sub-Teritorium VII merupakan wilayah dampingan Sumatera Tengah yang seperti yang akan direncanakan sebelumnya sebagai basis cadangan Pemerintah Pusat RI kelak apabila terjadi agresi militer Belanda yang ke 2 selain mengatasi kemelut di daerah Tapanuli tersebut. Bersamaan dengan itu Kolonel Hidayat yang pada saat itu menjabat Wakil I KASAP kemudian ditunjuk dan diangkat sebagai Panglima Tentara Teritorium Sumatera (PTTS) menggantikan Mayjend Soehardjo Hardjowardojo yang kemudian ditarik ke Yogyakarta. Mulai saat itu Kolonel Hidayat memiliki dua jabatan secara rangkap, yaitu Wakil I KASAP yang sekaligus juga sebagai PTTS. Sebelum Wapres/PM/Menhan Mohammad Hatta kembali ke Ibukota Yogyakarta diadakan pertemuan/pembicaraan khusus  terlebih dahulu dengan Mr.Sjafruddin Prawira Negara dan Mr.Teuku Hassan, koordinator Provinsi Sumatera terutama ini yang  berkaitan dengan dengan persiapan-persiapan Pangkalan Darurat Pemerintah Pusat Republik Indonesia dan juga sekaligus memperkenalkan Kolonel Hidayat sebagai PTTS yang baru menggantikan Mayjend Soehardjo Hardjowardojo.


       Dan apa yang khawatirkan pun terjadi, tanggal 19 Desember 1948 pagi Ibukota Yogyakarta diserang pasukan Belanda. Berita tentang kejatuhan Ibukota dan tertawannya para pemimpin Pemerintah Pusat RI diterima di Bukittinggi secara samar-samar. Setelah mendengar salah  satu pemimpin militer / KSAP juga tertawan maka Kolonel Hidayat yang juga menjabat sebagai Wakil I KSAP maka berdasarkan aturan militer dengan sendirinya menjabat sebagai pejabat sementara KSAP. Mengingat perlunya kesinambungan pemerintahan RI tetap harus berdiri dan di pertahankan serta untuk menghindari kesempatan Belanda dengan propagandanya menganggap bahwa pemerintahan RI sudah tidak ada dan perjuangan dianggap sebagai “suatu bangsa dalam pemberontakan terhadap kekuasaan asing yang sah” maka Kolonel Hidayat dengan di dampingi oleh ajudannya yaitu Kapten Islam Salim merasa perlu untuk mendatangi Menteri Kemakmuran Mr.Syafruddin Prawiranegara untuk membahas tentang pengumuman  pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera. Desakan ini bukannya tanpa dasar tetapi karena urgensi yang terjadi saat itu. Pada awalnya Mr.Syafruddin Prawiranegara bimbang dan ragu-ragu, hal ini dikarenakan belum diterimanya “perintah resmi” dari Pemerintah Pusat RI di Yogyakarta meskipun sebelumnya dia sudah mengetahui adanya rencana pembentukan Pemerintah Darurat RI apabila Pemerintah Pusat tidak berfungsi dan tidak dapat menjalankan tugasnya lagi akibat suatu serangan Belanda. Atas dasar desakan serta dorongan dari Angkatan Perang Republik Indonesia cq Kolonel Hidayat akhirnya Mr.Syafruddin Prawiranegara bersedia membentuk PDRI. Untuk selanjutnya Kolonel Hidayat pun menyerahkan sepenuhnya pembentukan pembentukan PDRI termasuk kabinet nantinya kepada Mr.Syafruddin Prawiranegara. Akhirnya Mr.Syafruddin pun berangkat ke desa Halaban dan pada tanggal 22 Desember 1948 terbentuklah PDRI lengkap dengan menteri-menteri kabinetnya.

No comments:

Post a Comment