Djokjakarta

Friday, 14 February 2014

Siasat Aloha Gagak

3 OPERASI DAN 3 SASARAN DALAM 1 PALAGAN
“…naar Djokja” teriak pasukan linud KST sebelum mereka masuk ke pesawat Dakota. Setelah semua siap, Jenderal Spoor beri salamnya yang terakhir. “Pagi nanti saya akan terbang bersama kalian” teriaknya.
Pagi itu, 19 Desember 1949, Pangkalan Udara Andir di Bandung jadi pangkalan aju bagi Grup Tempur M yang terdiri dari 2 kompi pasukan payung baret merah KST yang jadi ujung tombak “Operatie KRAAI” untuk merebut Jogya dari Republiken.
Sementara di hari yang sama, beberapa prajurit Siliwangi sedang bersiap untuk lakukan serah terima siaga. Salah satunya di kantor Staf Divisi Siliwangi di Kleco. Perwira jaga sedang bersiap untuk lakukan serah terima siaga waktu telepon di kantor SDS berdering. “Belanda menyerang. Kita pulang” kata Panglima Divisi Siliwangi, Letnan Kolonel Daan Yahya.
Serbuan Belanda itu, sudah diantisipasi dengan cermat oleh TNI. Segera setelah Magoewo jatuh, Jenderal Sudirman langsung memberi “Perintah Kilat” ke seluruh Angkatan Perang untuk menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.
LINGGAJATI KE AKSI MILITER
Perjanjian Linggajati sukses terlaksana dengan TERPAKSA-nya Belanda untuk akui kekuasaan Republik Indonesia secara de facto atas Jawa, Madura dan Sumatera. Hasil lainnya adalah akan dilaksanakannya sebuah PROSES TRANSISI dan dibentuknya UNI Indonesia Belanda.
Kedua pihak yang berunding, Belanda dan Indonesia, punya tujuan yang berbeda. Untuk Indonesia, perundingan Linggajati jadi langkah awal untuk menjadi sebuah negara dimana modal utamanya adalah WILAYAH. Selanjutnya, bisa lakukan reorganisasi aparat2 pemerintahan yang diperlukan untuk dukung Republik yang baru merdeka.
Tentu saja dengan diakui-nya kedaulatan atas WILAYAH, gengsi Republik jadi mentereng. Republik Indonesia bisa berpartisipasi untuk galang solidaritas negara2 lain, berpartisipasi secara aktif dalam pergaulan internasional.
Gimana dengan Belanda? Dari Perjanjian Linggajati, Belanda merasa inilah kesempatan yang sudah lama ditunggu. Kesempatan untuk menghancurkan Republik yang dilahirkan secara revolusioner. Rencana melikuidasi Republik itu dilakukan dengan buat aneka rencana dan persyaratan yang jadi addendum di Perjanjian Linggajati.
Di Belanda, Perjanjian Linggajati juga dikecam karena dianggap beri Republik kekuasaan yang besar selama masa transisi. Tapi cermatnya LetJen Simon Spoor perhatikan pasal2 Perjanjian Linggajati, pasal 16, yang menuliskan Belanda memimpin pasukan GENDARMERIE. Kira2 artinya “polisi dengan kemampuan tempur”.
Dari pasal 16 itu, Belanda punya keyakinan bahwa Republik tak punya tentara dengan kualitas tempur yang baik. Nahhhh…dari situlah LetJen Simon Spoor merancang 2 operasi tempur untuk mulai melikuidasi Republik dengan cara menghabisi TNI terlebih dahulu.
Supaya tak diprotes dan dikutuk PBB maka Operasi Militer itu disamarkan dengan “Operasi Polisionil” dengan sandi “Operatie PRODUCT” dan “Operatie KRAAI”.
OPERATIE KRAAI
Setelah sukses dengan “Operatie PRODUCT” yang sukses merebut aneka sumber ekonomi di Jawa dan Sumatera guna segera cari income bagi keseimbangan keuangan Belanda yang alami defisit parah sesudah PD 2, tahap final adalah mengeliminasi, melikuidasi Republik selamanya.
Kenapa? Karena kebuntuan perundingan antara Republik dan Belanda dan memanfaatkan masa reses hingga 1 Januari 1949 dan adanya anggapan bahwa dengan melikuidasi TNI maka Republik akan tunduk dengan usul2 Belanda dan dunia internasional akhirnya akan membiarkan Belanda ambil alih Indonesia.
Operatie KRAAI sudah mulai diuji kelayakannya sejak awal Januari 1948, lalu mulai di-update di Oktober 1948 dengan cara menghitung seluruh kekuatan angkatan bersenjata, KL dan KNIL.
Untuk kepentingan dan kelancaran Operatie KRAAI, LetJen Spoor meminta semua batalyon dan resimen yang ada di Jawa dan Sumatera dalam kekuatan penuh. Kekuatan darat itu didukung dengan bantuan udara dan kapal2 meriam dan kapal2 pendarat milik angkatan laut.
Maka inilah Rencana Operatie KRAAI itu:
1. 1.  Pada hari H, sebuah operasi linud dilakukan guna merebut Jogya lewat lapangan terbang  Magoewo
2. 2.  Kolone tempur sebesar 1 Brigade bergerak dari Salatiga ke Solo. Kolone tempur itu diberi waktu 2  hari untuk kuasai Solo.
3. 3. Kolone Tempur sebesar 1 Batalyon dari Demak merebut Rembang dengan target Cepu.
4. 4. H+4, seluruh pasukan Belanda di Jogya melakukan opreasi gabungan untuk hancurkan konsentrasi TNI di dataran Magelang.
Selain itu “Operatie DUIF” dijalankan dengan tujuan kuasai wilayah Republik di Jawa Timur utamanya konsentrasi pasukan TNI di sekitar Malang, Kediri dan Madiun. Caranya dengan menjepit pasukan TNI dari arah barat laut dan tenggara. Untuk operasi di Jawa Timur ini, Brigade Marinir mendarat di Tuban. Dan mulai bergerak ke Cepu dengan tujuan Kediri.
Operasi2 itu bertujuan untuk kuasai Jawa dan seluruh gerak pasukan di Jawa mendapat prioritas tinggi untuk didukung supaya penghancuran dan pengepungan markas militer, juga perebutan daerah2 kunci yang dilakukan dengan keunggulan mobilitas dan daya tembak tinggi mencapai tujuan utamanya: LIKUIDASI REPUBLIK INDONESIA.
Naar Djokja
Target utama Operatie KRAAI adalah merebut Jogyakarta yang dianggap sebagai sentra gravita Republik Indonesia dengan sebuah “Serangan Kilat” seperti yang dilakukan Wehrmacht waktu serbu Rusia di tahun 1940.
Sedikit modifikasi dilakukan. Elemen penting faktor KETERKEJUTAN adalah pasukan linud bukan resimen tank. Pasukan linud itu merebut Magoewo, lalu sebuah jembatan udara dilakukan dengan Magoewo berfungsi sebagai titik tumpuan.
Segera setelah Magoewo siap, maka jembatan udara dilakukan dengan 37 pesawat Dakota dari lapangan udara Kali Banteng di Semarang dengan 126 sortie penerbangan yang sukses angkut 1 Batalyon Infanteri, jip, amunisi dan logistik untuk 3 hari.
Namun karena adanya perlawanan heroik dari TNI pimpinan Letnan Kolonel Slamet Rijadi di sebelah utara Boyolali, maka Kolonel Van Langen yang menunggu perkuatan pasukan dari korp Kavaleri dan Zeni tempur untuk menambah daya gempur dan daya dobrak untuk rebut Jogya memutuskan untuk membagi kekuatan pasukannya dengan gunakan rel KA sebagai acuan.
Kolonel Van Langen tak mau kehilangan momentum, maka dia meminta Batalyon KST bergerak ke Jogya dengan gunakan jalan2 alternatif disebelah selatan rel KA. Batalyon 1-15 RI pimpinan Major Scheers punya tanggung jawab untuk kuasai Jogya dengan sektor serangan sebelah utara rel KA.
Bagi DanYon KST, Kolonel Van Beek, merebut Jogya dengan gunakan jalan2 alternatif adalah tugas yang mudah. Karena dia pernah tinggal di Jogya. Ayahnya adalah pegawai pabrik gula Madukismo.
Tugas lain dari Kolonel Van Langen adalah dimintanya Kolonel Van Beek, untuk tangkap Sukarno, Hatta dan Sudirman. Tugas itu sukses dieksekusi di jam 1500. Dan Kolonel Van Beek tak hanya sukses tangkapi Soekarno dan M. Hatta. Hampir semua pejabat tinggi RI juga ditangkap: Haji Agus Salim, Ali Sastroamidjojo, Susanto dan Kusnan.
Hanya Jendral Sudirman yang tak sukses ditangkap. Panglima Besar Sudirman bergerak lebih cepat. Setelah memberi perintah kilat melalui RRI, beliau segera pimpin perang gerilya selama 7 bulan dengan menjelajah daerah selatan Jogyakarta. Dimulai dari Jogya, Playen, Wonogiri, Kediri, Gunung Wilis, Goliman, Bajulan, Banyutowo, Sedayu, Pringapus, Sobo dan kembali ke Jogya di bulan Juli 1949.
Jam 1730, Jogya, dikuasai Belanda. Wakil Tinggi Mahkota dr. Beel mengumumkan bahwa Republik Indonesia adalah sebuah organisasi kenegaraan yang telah dihapus dari muka bumi. Buktinya adalah ditangkapnya pemimpin2 Republik dan dihancurkannya TNI.
PERINTAH SIASAT NOMOR SATU PANGLIMA BESAR
Operatie Product membuat para perencana pertempuran TNI terbuka matanya. Ketika sebuah BLITZKRIEG mampu menghancurkan pertahanan statis dan linier dari TNI. Belanda sukses rebut aneka daerah yang bernilai ekonomi tinggi dan menggunakan keberhasilan merebut daerah yang lebih luas dari hasil operasi militer itu sebagai bukti bahwa Republik Indonesia bukanlah sebuah negara. Pemimpin2nya dianggap hanya para petualang politik amatir. TNI dianggap sebagai “Gerombolan” pengacau ketentraman.
Tujuan setiap peperangan adalah mematahkan kemauan musuh dan memaksanya menerima kehendak kita. Pihak yang unggul dalam hal kekuatan, perlengkapan, persenjataan, dan pendidikan akan mencapai tujuan itu dengan cara menghancurkan lawan. Keunggulan itu dimiliki Belanda. Itu sebabnya Belanda memilih cara militer.
Gimana dgn Republik? Kurang senjata, sedikit perlengkapan yang cukup untuk hancurkan lawan dalam waktu singkat. Terbanyak adalah sumber daya manusia yang modalnya semangat belaka.
Untuk itulah strategi yang ditempuh adalah TNI adalah menghindari kekuatan ofensif lalu bersama rakyat melakukan perlawanan yang ditujukan untuk menghabisi kekuatan musuh dan mematahkan kemauannya dalam perjuangan yang lama.
Juga disiapkan sebuah struktur organisasi teritorial, misalnya Komando Militer Daerah, Komando Distrik Militer, dan Komando Onderdistrik Militer. Organisasi teritorial itu diperlukan untuk persiapkan pertahanan rakyat total guna terus menerus lakukan perlawanan dan pertahankan RI secara de facto.
Strategi itu berdasarkan sebuah analisa bahwa bila Belanda menyerang, ia akan lebih dulu kuasai kota2, jalan2 perhubungan dan daerah2 yang nilai ekonomi-nya tinggi. Dan diperlukan minimal 10 divisi untuk kuasai Jawa sampai tingkat kecamatan. Pada kenyataannya, Belanda hanya diperkuat 3 sampai 4 divisi.
Perintah Siasat No.1/48
Diawal tahun 1948, jumlah anggota APRI adalah 350.000 ribu orang. Karena Republik tak mampu menanggung biaya operasionil-nya maka dilakukan program Reorganisasi dan Rasionalisasi.
Rencana Re-Ra itu dijalankan dengan sebuah tujuan supaya angkatan perang Republik Indonesia lebih efektif. “Tentara yang efisien dengan satu komando akan menjadi alat negara yang ampuh dan “KEBAL” terhadap agitasi kekuatan politik di luar tentara” kata Wapres M. Hatta. Tujuan akhirnya tentu saja untuk dukung RI supaya lebih mampu hadapi tekanan2 Belanda.
Re-Ra dilaksanakan mulai dari Kementrian Pertahanan, Markas Besar Tentara sampai eselon terbawah. Hasilnya luar biasa. Di Jawa hanya tersisa 4 divisi dari sebelumnya 7 divisi. Lalu terbentuknya 2 Komando Wilayah yaitu Markas Besar Komando Jawa dan Markas Besar Komando Sumatera.
Setelah Re-Ra selesai dilakukan, maka Panglima Besar Jenderal Sudirman melakukan sosialisasi Perintah Siasat No.1/48 dengan para panglima, komandan brigade, komandan Sub-Teritorium Command (STC) dan komandan batalyon di jajaran TNI yang sudah direkonstruksi dalam sebuah seminar.
Perintah Siasat No.1 berisi ketentuan2 pembagian tugas dan tanggung jawab bagi panglima2 teritorium dan komandan2 brigade serta subteritorium. Ketentuan itu adalah urutan langkah dalam menghadapi serangan Belanda. Perlawanan TNI akan dilakukan secukupnya untuk berikan waktu dan ruang kepada pasukan TNI dan aparat pemerintah untuk lakukan perang wilayah.
Pasukan2 yang berasal dari daerah federal, yang sebelum perjanjian Renville diduduki Belanda, harus lakukan aksi Wingate, menyusup kembali ke daerah asalnya.
Secara strategis, seluruh Jawa, dari Banten sampai Besuki direncanakan sebagai medan gerilya dengan tujuan akhir takluknya Belanda dalam peperangan itu.
Nah…Perintah Siasat No.1 Panglima Besar dijalankan dengan disebarnya Perintah Kilat No.1 melalui RRI. Artinya Panglima Besar Sudirman sudah punya firasat bahwa Belanda bakal serbu Jogya dan membatalkan persetujuan gencatan senjata.
BALIK KA LEMBUR
Ada sebuah poin dari Perintah Kilat Jenderal Sudirman di jam 0800 pada tanggal 19 Desember 1948 yang disiarkan lewat RRI Yogyakarta. Di poin ke 4 Jenderal Sudirman berkata “Semua Angkatan Perang mendjalankan rentjana jang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda”
Itu sebabnya, Panglima Divisi Siliwangi, Letnan Kolonel Daan Yahya menelepon Staf Divisi Siliwangi untuk segera laksanakan infiltrasi lintas medan terpanjang dan terbesar dalam sejarah kemiliteran Republik Indonesia.
Tugas utama Divisi Siliwangi adalah kembali ke Jawa Barat yang harus “DITINGGAL” karena Republik harus patuhi Perjanjian Renville lalu membagi Jawa Barat setelah sukses lewati perbatasan Jawa Tengah. Divisi Siliwangi harus membangun pangkal perlawanan dengan tujuan memperluas medan pertempuran dari barat ke timur Jawa.
Pangkal perlawanan dibagi dalam “Wehrkreise” dan “Sub Wehrkreise” dengan komandan Brigade menjabat sebagai Komandan Wehkreise dan Komandan Batalyon menjabat sebagai Komandan Sub Wehkreise.
Analoginya sebagai berikut: “Wehrkreise” setingkat dengan daerah seluas 4 Kabupaten (Karesiden) dan “Sub Wehrkreise” setingkat dengan Kabupaten.
Operasi ALOHA
Penggelaran pasukan secara massif, brigade2 TNI dari Divisi Siliwangi, Divisi Diponegoro, Divisi Brawijaya, adalah antitesa dari operasi militer Belanda yang juga dilakukan secara massif dengan tambahan senjata dan logistik yang baik.
Ini contohnya: Operatie KRAAI memerlukan sumber daya militer yang sangat besar dari Belanda. Daya tempur yang dikerahkan untuk mendobrak konsentrasi Republik berskala massif: pasukan linud, jembatan udara, 4 kolone pasukan untuk rebut Jogya dan kota2 di sekitarnya.
Dengan tujuan untuk menglikuidasi Republik Indonesia dan aparaturnya, TNI, sebelum 1 Januari 1949 dimana perundingan yang disponspori PBB dimulai lagi, maka operasi militer digelar dengan EFEKTIF dan EFISIEN dengan tidak meninggalkan prinsip KEJUTAN, KECEPATAN, dan DAYA GEMPUR TINGGI.
Mari kita baca lagi poin ke 4 PERINTAH KILAT Jenderral Sudirman: “Semua Angkatan Perang mendjalankan rentjana jang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda”
Begitu Operatie KRAAI dimulai, maka divisi Siliwangi dengan 3 Brigadenya: XII, XIII, dan XIV mulai bergerak dari Sragen, Solo, Jogyakarta, Magelang dan Muntilan untuk laksanakan operasi INFILTRASI LINTAS MEDAN sesuai dengan petunjuk dari Markas Besar Tentara Republik Indonesia menuju ke wilayah2 yang jadi tujuan untuk membangun pangkal perlawanan.
Setelah lewati barikade Divisi “7 December” di batas antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, maka brigade2 Divisi Siliwangi langsung menyebar ke daerah2 yang jadi tanggung jawabnya untuk membangun pangkal perlawanan.
Brigade XII berpangkalan di daerah Bogor – Bandung, Brigade XIII di daerah Karesidenan Cirebon – Karawang, Brigade XIV di daerah Priangan Timur.
Waktu sepanjang 1,5 bulan diperlukan untuk capai tujuan dengan jarak tempuh rata2 sejauh 300 km per Brigade
TINJAUAN TEORITIS
Operatie KRAAI adalah operasi yang diinspirasi BLITZKRIEG Wehrmacht waktu lakukan Operasi BARBARROSA. Bedanya adalah, pendobrak pertahanan Rusia adalah resimen2 tank dan infantri bermotor (Panzergrenadier), sementara KL gunakan pasukan LINTAS UDARA.
Tentu saja pijakan teoritis disediakan oleh Mahaguru Ilmu Peperangan, Von Clauzewitz yang menuliskan teoremanya di buku yang berjudul “Vom Krieg”.
Inilah teorinya: Mass concentrated formations of troops and guns, is the key to victory. A military power must mass it forces at the enemies “centre of gravity”
Operatie KRAAI bertujuan menghancurkan (vernichtung) Republik Indonesia di Jogyakarta yang saat itu jadi ibukota negara. Dengan sekali pukul maka semua pimpinan lembaga negara dan militer diringkus dan perlawanan Republik dalam bentuk perang gerilya akan sirna. Jenderal Spoor percaya bahwa kendali komando perlawanan gerilya berasal dari Jogyakarta.
Dan di awal Januari 1949, dimana perundingan dimulai setelah reses, Republik Indonesia sudah sirna dari peta dunia.
Setelah terbukti tak siap hadapi Belanda di Operatie PRODUCT, TNI sudah merasa bahwa perundingan LINGGAJATI akan menemui kebuntuan karena Belanda merasa bahwa perundingan2 tidak membawa hasil.
Dengan Perintah Siasat No.1 / 48, TNI sudah menyiapkan sebuah rencana strategis untuk hadapi agressi militer babak kedua yang bisa diduga tetapi tak tahu kapan tepatnya terjadi.
Lalu apakah ada dasar teoritis dari Perintah Siasat No.1 / 48? Adalah Kolonel T.B Simatupang yang membuat sebuah “Think Tank” dengan nama Yudhagama. Aktifis2 Yudhagama adalah perwira2 muda yang menguasai bahasa Inggris dan bahasa Jerman dan dengan tekun membaca karya Von Clausewitz, Bassil Liddel Hart, Hans Delbruch, dan pengalaman2 PD II dari BrigJen Orde Wingate yang memimpin Infiltrasi Lintas Medan Jarak Jauh di Birma.
Nahhhh…teori Hans Dalbruck dan pengalaman Orde Wingate lah yang begitu menarik perhatian perwira2 muda itu…
Hans Delbruch menuliskan observasinya tentang pembentukan tentara Bradenburg Prussia yang diberi sebuah distrik (Kreise) yang jadi tanggung jawabnya. Di distrik itu, tentara dibantu milisi teritorial dan petani menghimpun kekuatan secara mandiri. Keberhasilan Raja Prussia Frederick Agung juga jadi sentra observasinya.
Raja Prussia Frederick Agung sering gunakan taktik ERMATTUNGS STRATEGIE yang punya prinsip “Musuh dihancurkan karena kejemuan dan demoralisasi karena perang yang lama”. Jadi pertempuran hanyalah salah satu faktor perang, karena hal itu memberikan keuntungan politik.
Untuk ILM, taktik pasukan Resimen British India pimpinan BrigJen Orde Wingate waktu menyusup ke wilayah kekuasaan Jepang di Birma.
Dari kedua nara sumber itu maka dikembangkanlah sebuah strategi yang sesuai dengan kemampuan angkatan perang Republik yang masih serba kekurangan tapi surplus SDM.
Front Pertempuran diperlebar dan diperluas dengan memperhitungkan secara tepat kekuatan lawan. Dan setiap unit tentara, dari brigade, batalyon hingga kompi memiliki daerah sasaran yang dijadikan pangkal pertempuran (Wehrkreise dan Sub Wehrkreise).
Kekuatan massif offensif Belanda dengan taktik “LEMPARAN LEMBING” yang langsung menghancurkan sentra gravita Republik dilawan dengan fleksibiltas taktik “PENYUSUPAN” yang massif. Jadi Republik tidak kehilangan asset2 utama dari angkatan perang, yaitu tentara.

Lalu dengan praktekkan teori Delbruch, ERMATTUNGS KRIEG, angkatan perang bisa mendukung usaha2 diplomasi utusan2 RI di aneka perundingan dengan tujuan KEMERDEKAAN INDONESIA SELAMANNYA…(pour)

Sumber : http://sejarah.kompasiana.com/2013/10/09/siasat-aloha-gagak-599813.html

No comments:

Post a Comment