“…naar Djokja” teriak
pasukan linud KST sebelum mereka masuk ke pesawat Dakota. Setelah semua
siap, Jenderal Spoor beri salamnya yang terakhir. “Pagi nanti saya akan
terbang bersama kalian” teriaknya.
Pagi itu, 19 Desember
1949, Pangkalan Udara Andir di Bandung jadi pangkalan aju bagi Grup
Tempur M yang terdiri dari 2 kompi pasukan payung baret merah KST yang
jadi ujung tombak “Operatie KRAAI” untuk merebut Jogya dari Republiken.
Sementara di hari yang
sama, beberapa prajurit Siliwangi sedang bersiap untuk lakukan serah
terima siaga. Salah satunya di kantor Staf Divisi Siliwangi di Kleco.
Perwira jaga sedang bersiap untuk lakukan serah terima siaga waktu
telepon di kantor SDS berdering. “Belanda menyerang. Kita pulang” kata
Panglima Divisi Siliwangi, Letnan Kolonel Daan Yahya.
Serbuan Belanda itu,
sudah diantisipasi dengan cermat oleh TNI. Segera setelah Magoewo jatuh,
Jenderal Sudirman langsung memberi “Perintah Kilat” ke seluruh Angkatan
Perang untuk menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi
serangan Belanda.
LINGGAJATI KE AKSI MILITER
Perjanjian Linggajati
sukses terlaksana dengan TERPAKSA-nya Belanda untuk akui kekuasaan
Republik Indonesia secara de facto atas Jawa, Madura dan Sumatera. Hasil
lainnya adalah akan dilaksanakannya sebuah PROSES TRANSISI dan
dibentuknya UNI Indonesia Belanda.
Kedua pihak yang
berunding, Belanda dan Indonesia, punya tujuan yang berbeda. Untuk
Indonesia, perundingan Linggajati jadi langkah awal untuk menjadi sebuah
negara dimana modal utamanya adalah WILAYAH. Selanjutnya, bisa lakukan
reorganisasi aparat2 pemerintahan yang diperlukan untuk dukung Republik
yang baru merdeka.
Tentu saja dengan
diakui-nya kedaulatan atas WILAYAH, gengsi Republik jadi mentereng.
Republik Indonesia bisa berpartisipasi untuk galang solidaritas negara2
lain, berpartisipasi secara aktif dalam pergaulan internasional.
Gimana dengan Belanda?
Dari Perjanjian Linggajati, Belanda merasa inilah kesempatan yang sudah
lama ditunggu. Kesempatan untuk menghancurkan Republik yang dilahirkan
secara revolusioner. Rencana melikuidasi Republik itu dilakukan dengan
buat aneka rencana dan persyaratan yang jadi addendum di Perjanjian
Linggajati.
Di Belanda, Perjanjian
Linggajati juga dikecam karena dianggap beri Republik kekuasaan yang
besar selama masa transisi. Tapi cermatnya LetJen Simon Spoor perhatikan
pasal2 Perjanjian Linggajati, pasal 16, yang menuliskan Belanda
memimpin pasukan GENDARMERIE. Kira2 artinya “polisi dengan kemampuan
tempur”.
Dari pasal 16 itu,
Belanda punya keyakinan bahwa Republik tak punya tentara dengan kualitas
tempur yang baik. Nahhhh…dari situlah LetJen Simon Spoor merancang 2
operasi tempur untuk mulai melikuidasi Republik dengan cara menghabisi
TNI terlebih dahulu.
Supaya tak diprotes dan
dikutuk PBB maka Operasi Militer itu disamarkan dengan “Operasi
Polisionil” dengan sandi “Operatie PRODUCT” dan “Operatie KRAAI”.
OPERATIE KRAAI
Setelah sukses dengan
“Operatie PRODUCT” yang sukses merebut aneka sumber ekonomi di Jawa dan
Sumatera guna segera cari income bagi keseimbangan keuangan Belanda yang
alami defisit parah sesudah PD 2, tahap final adalah mengeliminasi,
melikuidasi Republik selamanya.
Kenapa? Karena
kebuntuan perundingan antara Republik dan Belanda dan memanfaatkan masa
reses hingga 1 Januari 1949 dan adanya anggapan bahwa dengan melikuidasi
TNI maka Republik akan tunduk dengan usul2 Belanda dan dunia
internasional akhirnya akan membiarkan Belanda ambil alih Indonesia.
Operatie KRAAI sudah
mulai diuji kelayakannya sejak awal Januari 1948, lalu mulai di-update
di Oktober 1948 dengan cara menghitung seluruh kekuatan angkatan
bersenjata, KL dan KNIL.
Untuk kepentingan dan
kelancaran Operatie KRAAI, LetJen Spoor meminta semua batalyon dan
resimen yang ada di Jawa dan Sumatera dalam kekuatan penuh. Kekuatan
darat itu didukung dengan bantuan udara dan kapal2 meriam dan kapal2
pendarat milik angkatan laut.
Maka inilah Rencana Operatie KRAAI itu:
1. 1. Pada hari H, sebuah operasi linud dilakukan guna merebut Jogya lewat lapangan terbang Magoewo
2. 2. Kolone tempur sebesar 1 Brigade bergerak dari Salatiga ke Solo. Kolone tempur itu diberi waktu 2 hari untuk kuasai Solo.
3. 3. Kolone Tempur sebesar 1 Batalyon dari Demak merebut Rembang dengan target Cepu.
4. 4. H+4, seluruh pasukan Belanda di Jogya melakukan opreasi gabungan untuk hancurkan konsentrasi TNI di dataran Magelang.
Selain itu “Operatie DUIF” dijalankan dengan
tujuan kuasai wilayah Republik di Jawa Timur utamanya konsentrasi
pasukan TNI di sekitar Malang, Kediri dan Madiun. Caranya dengan
menjepit pasukan TNI dari arah barat laut dan tenggara. Untuk operasi di
Jawa Timur ini, Brigade Marinir mendarat di Tuban. Dan mulai bergerak
ke Cepu dengan tujuan Kediri.
Operasi2 itu bertujuan
untuk kuasai Jawa dan seluruh gerak pasukan di Jawa mendapat prioritas
tinggi untuk didukung supaya penghancuran dan pengepungan markas
militer, juga perebutan daerah2 kunci yang dilakukan dengan keunggulan
mobilitas dan daya tembak tinggi mencapai tujuan utamanya: LIKUIDASI
REPUBLIK INDONESIA.
Naar Djokja
Target utama Operatie
KRAAI adalah merebut Jogyakarta yang dianggap sebagai sentra gravita
Republik Indonesia dengan sebuah “Serangan Kilat” seperti yang dilakukan
Wehrmacht waktu serbu Rusia di tahun 1940.
Sedikit modifikasi
dilakukan. Elemen penting faktor KETERKEJUTAN adalah pasukan linud bukan
resimen tank. Pasukan linud itu merebut Magoewo, lalu sebuah jembatan
udara dilakukan dengan Magoewo berfungsi sebagai titik tumpuan.
Segera setelah Magoewo
siap, maka jembatan udara dilakukan dengan 37 pesawat Dakota dari
lapangan udara Kali Banteng di Semarang dengan 126 sortie penerbangan
yang sukses angkut 1 Batalyon Infanteri, jip, amunisi dan logistik untuk
3 hari.
Namun karena adanya
perlawanan heroik dari TNI pimpinan Letnan Kolonel Slamet Rijadi di
sebelah utara Boyolali, maka Kolonel Van Langen yang menunggu perkuatan
pasukan dari korp Kavaleri dan Zeni tempur untuk menambah daya gempur
dan daya dobrak untuk rebut Jogya memutuskan untuk membagi kekuatan
pasukannya dengan gunakan rel KA sebagai acuan.
Kolonel Van Langen tak
mau kehilangan momentum, maka dia meminta Batalyon KST bergerak ke Jogya
dengan gunakan jalan2 alternatif disebelah selatan rel KA. Batalyon
1-15 RI pimpinan Major Scheers punya tanggung jawab untuk kuasai Jogya
dengan sektor serangan sebelah utara rel KA.
Bagi DanYon KST,
Kolonel Van Beek, merebut Jogya dengan gunakan jalan2 alternatif adalah
tugas yang mudah. Karena dia pernah tinggal di Jogya. Ayahnya adalah
pegawai pabrik gula Madukismo.
Tugas lain dari Kolonel Van Langen adalah dimintanya Kolonel Van Beek, untuk tangkap Sukarno, Hatta dan Sudirman. Tugas itu sukses dieksekusi di jam 1500. Dan
Kolonel Van Beek tak hanya sukses tangkapi Soekarno dan M. Hatta.
Hampir semua pejabat tinggi RI juga ditangkap: Haji Agus Salim, Ali
Sastroamidjojo, Susanto dan Kusnan.
Hanya Jendral Sudirman
yang tak sukses ditangkap. Panglima Besar Sudirman bergerak lebih cepat.
Setelah memberi perintah kilat melalui RRI, beliau segera pimpin perang
gerilya selama 7 bulan dengan menjelajah daerah selatan Jogyakarta.
Dimulai dari Jogya, Playen, Wonogiri, Kediri, Gunung Wilis, Goliman,
Bajulan, Banyutowo, Sedayu, Pringapus, Sobo dan kembali ke Jogya di
bulan Juli 1949.
Jam 1730, Jogya, dikuasai Belanda. Wakil Tinggi Mahkota dr.
Beel mengumumkan bahwa Republik Indonesia adalah sebuah organisasi
kenegaraan yang telah dihapus dari muka bumi. Buktinya adalah
ditangkapnya pemimpin2 Republik dan dihancurkannya TNI.
PERINTAH SIASAT NOMOR SATU PANGLIMA BESAR
Operatie Product
membuat para perencana pertempuran TNI terbuka matanya. Ketika sebuah
BLITZKRIEG mampu menghancurkan pertahanan statis dan linier dari TNI.
Belanda sukses rebut aneka daerah yang bernilai ekonomi tinggi dan
menggunakan keberhasilan merebut daerah yang lebih luas dari hasil
operasi militer itu sebagai bukti bahwa Republik Indonesia bukanlah
sebuah negara. Pemimpin2nya dianggap hanya para petualang politik
amatir. TNI dianggap sebagai “Gerombolan” pengacau ketentraman.
Tujuan setiap
peperangan adalah mematahkan kemauan musuh dan memaksanya menerima
kehendak kita. Pihak yang unggul dalam hal kekuatan, perlengkapan,
persenjataan, dan pendidikan akan mencapai tujuan itu dengan cara
menghancurkan lawan. Keunggulan itu dimiliki Belanda. Itu sebabnya
Belanda memilih cara militer.
Gimana dgn Republik?
Kurang senjata, sedikit perlengkapan yang cukup untuk hancurkan lawan
dalam waktu singkat. Terbanyak adalah sumber daya manusia yang modalnya
semangat belaka.
Untuk itulah strategi
yang ditempuh adalah TNI adalah menghindari kekuatan ofensif lalu
bersama rakyat melakukan perlawanan yang ditujukan untuk menghabisi
kekuatan musuh dan mematahkan kemauannya dalam perjuangan yang lama.
Juga disiapkan sebuah
struktur organisasi teritorial, misalnya Komando Militer Daerah, Komando
Distrik Militer, dan Komando Onderdistrik Militer. Organisasi
teritorial itu diperlukan untuk persiapkan pertahanan rakyat total guna
terus menerus lakukan perlawanan dan pertahankan RI secara de facto.
Strategi itu
berdasarkan sebuah analisa bahwa bila Belanda menyerang, ia akan lebih
dulu kuasai kota2, jalan2 perhubungan dan daerah2 yang nilai ekonomi-nya
tinggi. Dan diperlukan minimal 10 divisi untuk kuasai Jawa sampai
tingkat kecamatan. Pada kenyataannya, Belanda hanya diperkuat 3 sampai 4
divisi.
Perintah Siasat No.1/48
Diawal tahun 1948,
jumlah anggota APRI adalah 350.000 ribu orang. Karena Republik tak mampu
menanggung biaya operasionil-nya maka dilakukan program Reorganisasi
dan Rasionalisasi.
Rencana Re-Ra itu
dijalankan dengan sebuah tujuan supaya angkatan perang Republik
Indonesia lebih efektif. “Tentara yang efisien dengan satu komando akan
menjadi alat negara yang ampuh dan “KEBAL” terhadap agitasi kekuatan
politik di luar tentara” kata Wapres M. Hatta. Tujuan akhirnya tentu
saja untuk dukung RI supaya lebih mampu hadapi tekanan2 Belanda.
Re-Ra dilaksanakan
mulai dari Kementrian Pertahanan, Markas Besar Tentara sampai eselon
terbawah. Hasilnya luar biasa. Di Jawa hanya tersisa 4 divisi dari
sebelumnya 7 divisi. Lalu terbentuknya 2 Komando Wilayah yaitu Markas
Besar Komando Jawa dan Markas Besar Komando Sumatera.
Setelah Re-Ra selesai
dilakukan, maka Panglima Besar Jenderal Sudirman melakukan sosialisasi
Perintah Siasat No.1/48 dengan para panglima, komandan brigade, komandan
Sub-Teritorium Command (STC) dan komandan batalyon di jajaran TNI yang
sudah direkonstruksi dalam sebuah seminar.
Perintah Siasat No.1
berisi ketentuan2 pembagian tugas dan tanggung jawab bagi panglima2
teritorium dan komandan2 brigade serta subteritorium. Ketentuan itu
adalah urutan langkah dalam menghadapi serangan Belanda. Perlawanan TNI
akan dilakukan secukupnya untuk berikan waktu dan ruang kepada pasukan
TNI dan aparat pemerintah untuk lakukan perang wilayah.
Pasukan2 yang berasal
dari daerah federal, yang sebelum perjanjian Renville diduduki Belanda,
harus lakukan aksi Wingate, menyusup kembali ke daerah asalnya.
Secara strategis,
seluruh Jawa, dari Banten sampai Besuki direncanakan sebagai medan
gerilya dengan tujuan akhir takluknya Belanda dalam peperangan itu.
Nah…Perintah Siasat
No.1 Panglima Besar dijalankan dengan disebarnya Perintah Kilat No.1
melalui RRI. Artinya Panglima Besar Sudirman sudah punya firasat bahwa
Belanda bakal serbu Jogya dan membatalkan persetujuan gencatan senjata.
BALIK KA LEMBUR
Ada sebuah poin dari
Perintah Kilat Jenderal Sudirman di jam 0800 pada tanggal 19 Desember
1948 yang disiarkan lewat RRI Yogyakarta. Di poin ke 4 Jenderal Sudirman
berkata “Semua Angkatan Perang mendjalankan rentjana jang telah
ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda”
Itu sebabnya, Panglima
Divisi Siliwangi, Letnan Kolonel Daan Yahya menelepon Staf Divisi
Siliwangi untuk segera laksanakan infiltrasi lintas medan terpanjang dan
terbesar dalam sejarah kemiliteran Republik Indonesia.
Tugas utama Divisi
Siliwangi adalah kembali ke Jawa Barat yang harus “DITINGGAL” karena
Republik harus patuhi Perjanjian Renville lalu membagi Jawa Barat
setelah sukses lewati perbatasan Jawa Tengah. Divisi Siliwangi harus
membangun pangkal perlawanan dengan tujuan memperluas medan pertempuran
dari barat ke timur Jawa.
Pangkal perlawanan
dibagi dalam “Wehrkreise” dan “Sub Wehrkreise” dengan komandan Brigade
menjabat sebagai Komandan Wehkreise dan Komandan Batalyon menjabat
sebagai Komandan Sub Wehkreise.
Analoginya sebagai
berikut: “Wehrkreise” setingkat dengan daerah seluas 4 Kabupaten
(Karesiden) dan “Sub Wehrkreise” setingkat dengan Kabupaten.
Operasi ALOHA
Penggelaran pasukan
secara massif, brigade2 TNI dari Divisi Siliwangi, Divisi Diponegoro,
Divisi Brawijaya, adalah antitesa dari operasi militer Belanda yang juga
dilakukan secara massif dengan tambahan senjata dan logistik yang baik.
Ini contohnya: Operatie
KRAAI memerlukan sumber daya militer yang sangat besar dari Belanda.
Daya tempur yang dikerahkan untuk mendobrak konsentrasi Republik
berskala massif: pasukan linud, jembatan udara, 4 kolone pasukan untuk
rebut Jogya dan kota2 di sekitarnya.
Dengan tujuan untuk
menglikuidasi Republik Indonesia dan aparaturnya, TNI, sebelum 1 Januari
1949 dimana perundingan yang disponspori PBB dimulai lagi, maka operasi
militer digelar dengan EFEKTIF dan EFISIEN dengan tidak meninggalkan
prinsip KEJUTAN, KECEPATAN, dan DAYA GEMPUR TINGGI.
Mari kita baca lagi
poin ke 4 PERINTAH KILAT Jenderral Sudirman: “Semua Angkatan Perang
mendjalankan rentjana jang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan
Belanda”
Begitu Operatie KRAAI
dimulai, maka divisi Siliwangi dengan 3 Brigadenya: XII, XIII, dan XIV
mulai bergerak dari Sragen, Solo, Jogyakarta, Magelang dan Muntilan
untuk laksanakan operasi INFILTRASI LINTAS MEDAN sesuai dengan petunjuk
dari Markas Besar Tentara Republik Indonesia menuju ke wilayah2 yang
jadi tujuan untuk membangun pangkal perlawanan.
Setelah lewati barikade
Divisi “7 December” di batas antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, maka
brigade2 Divisi Siliwangi langsung menyebar ke daerah2 yang jadi
tanggung jawabnya untuk membangun pangkal perlawanan.
Brigade XII
berpangkalan di daerah Bogor – Bandung, Brigade XIII di daerah
Karesidenan Cirebon – Karawang, Brigade XIV di daerah Priangan Timur.
Waktu sepanjang 1,5 bulan diperlukan untuk capai tujuan dengan jarak tempuh rata2 sejauh 300 km per Brigade
TINJAUAN TEORITIS
Operatie KRAAI adalah
operasi yang diinspirasi BLITZKRIEG Wehrmacht waktu lakukan Operasi
BARBARROSA. Bedanya adalah, pendobrak pertahanan Rusia adalah resimen2
tank dan infantri bermotor (Panzergrenadier), sementara KL gunakan
pasukan LINTAS UDARA.
Tentu saja pijakan
teoritis disediakan oleh Mahaguru Ilmu Peperangan, Von Clauzewitz yang
menuliskan teoremanya di buku yang berjudul “Vom Krieg”.
Inilah teorinya: Mass
concentrated formations of troops and guns, is the key to victory. A
military power must mass it forces at the enemies “centre of gravity”
Operatie KRAAI
bertujuan menghancurkan (vernichtung) Republik Indonesia di Jogyakarta
yang saat itu jadi ibukota negara. Dengan sekali pukul maka semua
pimpinan lembaga negara dan militer diringkus dan perlawanan Republik
dalam bentuk perang gerilya akan sirna. Jenderal Spoor percaya bahwa
kendali komando perlawanan gerilya berasal dari Jogyakarta.
Dan di awal Januari 1949, dimana perundingan dimulai setelah reses, Republik Indonesia sudah sirna dari peta dunia.
Setelah terbukti tak
siap hadapi Belanda di Operatie PRODUCT, TNI sudah merasa bahwa
perundingan LINGGAJATI akan menemui kebuntuan karena Belanda merasa
bahwa perundingan2 tidak membawa hasil.
Dengan Perintah Siasat
No.1 / 48, TNI sudah menyiapkan sebuah rencana strategis untuk hadapi
agressi militer babak kedua yang bisa diduga tetapi tak tahu kapan
tepatnya terjadi.
Lalu apakah ada dasar
teoritis dari Perintah Siasat No.1 / 48? Adalah Kolonel T.B Simatupang
yang membuat sebuah “Think Tank” dengan nama Yudhagama. Aktifis2
Yudhagama adalah perwira2 muda yang menguasai bahasa Inggris dan bahasa
Jerman dan dengan tekun membaca karya Von Clausewitz, Bassil Liddel
Hart, Hans Delbruch, dan pengalaman2 PD II dari BrigJen Orde Wingate
yang memimpin Infiltrasi Lintas Medan Jarak Jauh di Birma.
Nahhhh…teori Hans Dalbruck dan pengalaman Orde Wingate lah yang begitu menarik perhatian perwira2 muda itu…
Hans Delbruch
menuliskan observasinya tentang pembentukan tentara Bradenburg Prussia
yang diberi sebuah distrik (Kreise) yang jadi tanggung jawabnya. Di
distrik itu, tentara dibantu milisi teritorial dan petani menghimpun
kekuatan secara mandiri. Keberhasilan Raja Prussia Frederick Agung juga
jadi sentra observasinya.
Raja Prussia Frederick
Agung sering gunakan taktik ERMATTUNGS STRATEGIE yang punya prinsip
“Musuh dihancurkan karena kejemuan dan demoralisasi karena perang yang
lama”. Jadi pertempuran hanyalah salah satu faktor perang, karena hal
itu memberikan keuntungan politik.
Untuk ILM, taktik
pasukan Resimen British India pimpinan BrigJen Orde Wingate waktu
menyusup ke wilayah kekuasaan Jepang di Birma.
Dari kedua nara sumber
itu maka dikembangkanlah sebuah strategi yang sesuai dengan kemampuan
angkatan perang Republik yang masih serba kekurangan tapi surplus SDM.
Front Pertempuran
diperlebar dan diperluas dengan memperhitungkan secara tepat kekuatan
lawan. Dan setiap unit tentara, dari brigade, batalyon hingga kompi
memiliki daerah sasaran yang dijadikan pangkal pertempuran (Wehrkreise
dan Sub Wehrkreise).
Kekuatan massif
offensif Belanda dengan taktik “LEMPARAN LEMBING” yang langsung
menghancurkan sentra gravita Republik dilawan dengan fleksibiltas taktik
“PENYUSUPAN” yang massif. Jadi Republik tidak kehilangan asset2 utama
dari angkatan perang, yaitu tentara.
Lalu dengan praktekkan
teori Delbruch, ERMATTUNGS KRIEG, angkatan perang bisa mendukung usaha2
diplomasi utusan2 RI di aneka perundingan dengan tujuan KEMERDEKAAN
INDONESIA SELAMANNYA…(pour)
Sumber : http://sejarah.kompasiana.com/2013/10/09/siasat-aloha-gagak-599813.html
No comments:
Post a Comment