kisah
ini melihat sebuah perjalanan panjang Bangsa Indonesia dari sisi
pelakunya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. cerita ini
dimaksudnya untuk menambah kekayaan perbendaharaan sejarah dan menambah
sudut pandang sejarah di negara ini.
BIODATA SINGKAT
* Nama : - SUMUAL, Herman Nicolas Ventje
* Nama Populer/Alias : - Ventje Sumual
* Pangkat/NRP : - Letkol Inf. / 15958 (Brigadier Jenderal ADREV)
* Tempat & Tgl Lahir : - Remboken/Minahasa, 11 Juni 1923
* Orang Tua : - Ayah : Sersan KNIL ...
Ibu :
* Istri : -
1. (Orang Jawa) cerai?
2. Henny Lie Pondaag (cerai 1961)
3. Hetty Warouw (bekas istri Dee Gerungan)
* Pendidikan Umum : - Holland Inlandsche School (HIS) di Minahasa
- Meer Uitgrebreid Lager Onderwijs (MULO) di Minahasa
- Kotabu Kain Yo Seijo Sekolah Pelayaran Tinggi
Kaigun Jepang (Bagian Mesin) di Makassar (1942-1944)
- Fakultas Hukum - UGM di Yogyakarta (1946-1948)
* Pendidikan Militer : - Sekolah Staf & Komando AD (SSKAD)
* Jabatan dalam Pergolakan : Panglima TT-VII/Wirabuana - Indonesia Timur
Proklamator Permesta 1957
Ketua Dewan Tertinggi Permesta
Kepala Staf Angkatan Darat Revolusioner PRRI
Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) RPI
Pengalaman Kerja
----------------
* 1945-1948 : - Jakarta liaison officer untuk KRIS
- Pucuk Pimpinan Laskar "KRIS"
(Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) di Yogyakarta
- Kuliah di Fakultas Hukum-UGM di Yogyakarta
- Perang Kemerdekaan I (Clash I) sbg Perwira Staf Brigade-XII
(ex Laskar KRIS) di Yogyakarta
* 1948-1950 : - Kepala Staf KRU-X (ex Brigade XII) di Yogyakarta
- Kepala Staf Brigade-XVI (ex KRU-X) di Yogyakarta (1948)
- Komandan SWK-103A/WK-III di Yogyakarta (1949)
* 1950-1952 : - Perwira Staf Angkata Darat di Jakarta
- Pamen (perwira menengah) pada
Komisi Militer Indonesia Timur di Manado
- Pamen Territorial Komando Pasukan SU-MU
(Sulawesi Utara/Tengah & Maluku) di Manado
- Komandan Komando Pasukan SU-MU
(KOMPAS B) di Manado (RI-24)
* 1952-1953 : - Mengikuti pendidikan Militer Sekolah Staf & Komando
Angkatan Darat (SSKAD) di Bandung
- Kasi-I Inspektorat Infanteri Angkatan Darat di Bandung
* 1953-1956 : - Komandan Latihan & Inspektur Pendidikan di Bandung
* 1956-1958 : - Kepala Staf Tentara & Territorium VII/Wirabuana -
Indonesia Timur (Kep. Sunda Kecil/Nusatenggara,
Sulawesi, Maluku & Irian Barat) di Makassar
- Panglima TT VII/Wirabuana-Indonesia Timur
- Kepala Pemerintahan Militer Indonesia Timur PERMESTA
* 1958-1960 : - Kepala Staf Angkatan Darat Revolusioner (ADREV) PRRI di Manado
* 1960-1961 : - Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Republik Persatuan Indonesia
(RPI) di Manado (Februari 1960-1961)
* 1961-1966 : - Menyerah tanpa syarat kepada Pemerintah Orde Lama dan
ditahan di RTM (Rumah Tahanan Militer) di Jakarta
- Dibebaskan dari Tahanan oleh Pimpinan Orde Baru
selanjutnya bergerak di bidang usaha di Jakarta
- Aktif membantu pimpinan Orde baru bersama Presiden RI
Bidang khusus Keamanan & Politik di Jakarta
* 1972-Kini - Direktur Utama Kelompok Usaha PT. Konsultasi Pembangunan
di Jakarta
- Ketua Umum Pengurus Besar Gabungan Bridge Seluruh Indonesia
(GABSI) Pusat (1982-1986?)
- Aktif dalam Organisasi Paguyuban WHERKREISE III
Yogyakarta (Bendahara Umum) di Jakarta
- Aktif dalam Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949
(salah satu Ketua) di Jakarta
- Aktif Organisasi "SOKSI" (Anggota Majelis Pertimbangan
& Pengawasan Organisasi/MPPO) di Jakarta
- Aktif dalam organisasi Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK)
Jakarta (Ketua Umum)
- Aktif dalam organisasi Yayasan Gerakan Maju (Gerak Maju)
Mapalus Raya di Jakarta (Ketua Umum)
Peranan-Peranan
---------------
* Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, sebagai
Komandan SWK-103A/Jogja Barat WK-III, memimpin serangan dari
arah barat serta berhasil menyerang markas besar tentara Belanda
(T-Brigade) di tengah-tengah kota Yogyakarta
* Sebagai Panglima Tentara & Territorium VII/Wirabuana-Indonesia
Timur (Kep.Sunda Kecil, Sulawesi, Maluku & Irian Barat)
menandatangani, memproklamasikan serta memimpin langsung
perjuangan Piagam Perdjuangan Semesta ("PERMESTA")
* Setelah dibebaskan dari tahanan Orde Lama oleh pimpinan Orde
Baru, selain bergerak di bidang usaha juaga aktif membantu
pimpinan Orde Baru bersama Aspri - Presiden RI bidang Khusus
Keamanan & Politik (OPSUS) dalam hal:
- Stabilisasi Keamanan & Politik Dalam Negeri
- Dukungan Politik & Ekonomi dari Luar Negeri
( Phi;ipina, Cina Nasionalis/Taiwan, Thailand, Jepang)
- Penjajakan pembentukan ASEAN
INTEGRASI KRIS DALAM TRI
Sudah menjadi keputusan KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia
Sulawesi) untuk memperjuangkan laskarnya berintegrasi ke dalam TRI. TRI,
Tentera Republik Indonesia, nama resmi tentara regular RI sejak kahir
Januari 1946. Menggantikan nama TKR yang baru digunakan beberapa bulan
sebelumnya, sejak Oktober 1945. Proses integrasi ini buka sekadar urusan
adimistrasi. Ini perlu perjuangan. Kami harus berupaya membereskan
internal Laskar KRIS, menata organisasi, menertibkan pasukan, tegas dan
keras menegakkan disiplin militer. Disamping itu ada upaya-upaya khusus
pendekatan ke Markas Besar TRI dan Kementerian Pertahanan. Di
Kementerian Pertahanan ada Biro Perjuangan, bagian inilah yang menangani
urusan-urusan kelaskaran. Pucuk pimpinan KRIS dan Laskar KRIS
menyerahkan tanggungjawab untuk urusan integrasi ini kepada saya, Ventje
H.N Sumual.
Sebagai Kepala Staf KRIS ada Henk Lumanuw. Saya
seperti biasanya, selalu bersama Empie Kanter. Adakalanya kami pergi
bersama-sama dengan Henk. Namun sering juga saya dan Henk pergi
sendiri-sendiri, tergantung keperluan, tak jarang pula Empie yang saya
minta pergi bersama Henk. Pada prinsipnya Laskar KRIS tidak ada masalah
dalam integrasi ini. Beda dengan umunya satuan laskar lain, kami tidak
berada dalam partai politik tertentu, sehingga tidak ada ganjalan
apa-apa kalau berhadapan dengan pejabat pemerintahan yang kebetulan
adalah orang daripada partai yang berseberangan.
Bagaimanapun,
faktor terpenting yang membuat sulit bagi pemerintah untuk menghalangi
integrasi Laskar KRIS kedalam TRI adalah prestasi Laskar KRIS sendiri
yang sedemikian menonjolnya. Pasukan-pasukan KRIS di Bandung dan
sekitarnya, ketika bersama beberapa kelompok laskar lainnya berintegrasi
dalam TRI, sampai berani minta diresmikan dengan nama “Pelopor” untuk
menyatakan kepeloporan mereka dalam perjuangan membela tanah air, dan
pimpinan TRI mengakui itu. Panglima Divisi III Kolonel AH.Nasution
meresmikan Kesatuan Pelopor Divisi III. Mereka terdiri dari 5 Detasemen.
Pasukan dan Laskar KRIS Bandung ini kemudian menjadi Detasemen
Stoottroepen Garuda, salah satu andalan Divisi Siliwangi.
Bagi
pemerintah dan pimpinan TRI sendiri, integrasi dengan semua badan
kelaskaran semakin menjadi kebutuhan untuk menghadapi musuh. Tapi
integrasi dilangsungkan sebagai proses reoganisasi, restrukturisasi dan
rasionalisasi. Rasionalisasi inilah ynag konsekuannya berupa pengurangan
jumlah pasukan. Banyak yang dinilai tidak layak untuk menjadi tentara
resmi. Banyak satuan dan laskar yang ditolak integrasi secara antero,
namun hanya diterima secara individual atau dalam satuan-satuan kecil
terpilih saja, atau juga dilebur dalam kesatuan resmi yang sudah ada.
Salah satu ukuran terbilang jelas mengenai faktor persenjataan. Jumlah
senjata dalam pasukan harus 1 berbanding 1 dengan jumlah anggota. Dalam
hal ini pimpinan TRI sudah cukup obyektif, tidak benar kalau dituduh
pilih kasih. Pasukan Siliwangi saja diciutkan menjadi setengahnya.
Brigade XII Divisi 17 Agustus
Laskar KRIS diintegrasikan kedala TRI secara menyeluruh, sebagai
kesatuan, dan menjadi salah satu brigade dalam TRI. Beberapa hal segera
disesuaikan. Pucuk pimpinan adalah Komandan. Tidak boleh sesuka hati
meyebut Panglima lagi. Walau sehari-harinya masih sering Langkai, dan
kemudian Rapar, dipanggil Panglima. Jumlah pasukan dalam tiap-tiap
satuan disesuaikan dengan aturan yang berlaku. Sebelumnya batalyon
maupun kompi jumlahnya tak teratur, karena hanya tergantung pada faktor
kesamaan suku maupun sub-etnis.
Penyesuaian lain adalah soal
kepangkatan, saya ingat antara lain Empie Kanter. Karena sering
berhubungan dengan pimpinan di MBT (Markas Besar Tentara), terutama
Mayjen Djokosujono yang kemudian pegang staf teritorial, Empie dan Henk
Lumanuw lebih cepat naik pangkatnya. Saya masih Kapten, Empie sudah
Mayor dalam Laskar KRIS. Tapi, setelah restrukturisasi Empie diturunkan
lagi menjadi Kapten dalam Brigade XII. Mayjen Djokosujono kemudiannya
terlibat dalam Pemberontakan PKI Madiun, padahal dia sangat baik dengan
kami.
Struktur pimpinan inti Brigade XII tak berubah dari Laskar
KRIS. Komandan Kolonel Evert Langkai, Wakil Komandan Letkol Jan Rapar,
Kepala Staf Mayor Henk Lumanuw. Saya sendiri, Staf Intelijen dan
Operasi. Walau sudah menjadi TRI, umumnya orang tetap merasa ini pasukan
KRIS. Itulah mengapa sering disebut Brigade XII KRIS.
Dengan
status dan posisi sebagai tentara reguler, kami semakin gigih berjuang.
Brigade XII tetap sebagai pasukan yang banyak mencatat prestasi di
banyak front. Banyak pasukan lain yang mau bergabung dengan kami.
Melihat kenyataan ini, MBT lantas mempercayakan Brigade XII untuk
menghimpun pasukan-pasukan lain. Dengan kriteria yang sudah ditentukan
untuk menjadi satu Divisi. Tugas inipun kami lakukan. Sejumlah pasukan
sudah menyatakan diri untuk bergabung dalam Brigade XII. Diantaranya,
Laskar Hizbullah/Fisabilillah, BPRI dibawah pimpinan Bung Tomo, Barisan
Banteng, resiman Pattimura, Resimen Ngurah Rai, Resimen Hasanuddin, juga
pasukan-pasukan Kalimantan. Masing-masing terdiri dari banyak personil,
bahkan ada yang sangat besar, misalnya Hizbullah yang personilnya
mencapai dua ribuan.
Divisi kami ini mendapat kehormatan dengan
nama Divisi 17 Agustus. Panglimanya Kolonel Evert Langkai. Segera
diresmikan pada HUT II RI 17 Agustus 1947. Tetapi menjelang akhir Juli
1947 terjadi Agresi Militer Belanda. Semua rencana pembentukan Divisi
baru pun buyar, kendati pasukan-pasukan yang akan diresmikan sudah gladi
parade. Malah, bukan saja divisi baru yang dibatalkan, keseluruhan
pasukan-pasukan TRI harus direorganisasi, disesuaikan dengan kondisi
yang ada. Meskipun Divisi 17 Agustus batal berdiri, namun sejak inilah
Brigade XII mendapat kepercayaan, baik pemerintah maupun pasukan-pasukan
yang bergabung untuk menjadi penggalang semua pasukan yang
orang-orangnya berasal dari luar Jawa dan Sumatera, untuk kemudiannya
disiapkan sebagai rintisan TNI bagi daerah masing-masing. Rintisan ini
terkenal dengan nama Pasukan Seberang.
Agustus 1947 kami bukan
saja mengalami batalnya rencana Divisi 17 Agustus, tapi malah kehilangan
panglimanya. Kolonel Evert Langkai tiba-tiba mengundurkan diri. Suatu
hari di akhir Agustus itu, mendadak ada perintaah dari Kolonel Evert
Langkai untuk upacara. Semua bingung, bertanya-tanya, upacara apa? Hari
itu tidak ada perayaan atau peringatan apapun. Juga tidak ada acara yang
berhubungan dengan pemerintah maupun MBT. Kalaupun ada, sayalah yang
seharusnya lebih tahu dulu.
Upacara militer digelar di halaman
Markas Brigade XII. Ditengah-tengah upacara, tiba-tiba maju seorang
Bintara membawa nampan, yang biasa dalam kenaikan pangkat atau
penyematan tanda jasa. Ini rupanya sudah diatur sebelumnya oleh Kolonel
Evert Langkai. Namun kali ini bukan untuk kenaikan pangkat atau
penyematan tanda jasa. Ternyata Komandan Brigade XII Kolonel Evert
Langkai mencopot-copot dari seragamnya sendiri semua lencana, tanda
komando, bahkan pangkatnya, dan langsung ditaruh di nampan itu. Setelah
bicara sedikit, lalu pergi begitu saja. Upacara jadi terlantar, karena
dialah inspektur upacaranya.
Wadan Brigade XII Letkol Jan Rapar
langsung mengambil alih pimpinan upacara. Dan sejak itupun berfungsi
sebagai Komandan Brigade XII. Umunya kami menduga persaingan dengan
Rapar lah yang menjadi penyebab Langkai “merajuk” dan mengundurkan diri
itu. Mereka sering bertentangan, ada juga yang bilang mungkin Langkai
kecewa divisi batal dibentuk.
Brigade Seberang
Bulan-bulan akhir
1948 TNI di Jawa direorganisasi lagi. Disesuaikan dengan kondisi yang
ada, dan kebutuhan yang dihadapi. Salah satu kebutuhan utamanya adalah
bersiap-siap menghadapi agresi besar-besaran Belanda. Sudah sangat jelas
mereka ingin merebut langsung jantung RI, Yogyakarta sebagai upaya
merampungkan pelenyapan RI. Akhir Oktober rencana reorganisasi telah
selesai. Ada 4 Divisi Teritorial. Divisi I, Divisi II, Divisi III dan
Divisi IV. Divisi-divisi ini tidak sama dengan 3 divisi yang ada
sebelumnya. Dalam reorganisasi sekarang, semua pasukan masuk dalam
brigade-brigade. Disiapkan 17 Brigade. Kami KRU-X menjadi Brigade XVI.
Empat Divisi baru itu membawahi 15 Brigade. Sedang 2 Brigade lainnya,
Brigade XVI dan Brigade XVII langsung dibawah Panglima Komando
Teritorium Djawa, Kolonel AH. Nasution. Komandan Brigade XVI Letkol AG.
Lembong, Wadan Letkol Joop. F Warouw. Kemudian terjadi perubahan setelah
Letkol AG. Lembong disiapkan untuk menjadi Atase Militer di Filipina.
Struktur organisasi yang baru adalah sebagai berikut, :
Komandan : Letkol Joop. F Warouw
Wakil Komandan : Letkol Kahar Muzakkar
Kepala Staf : Mayor I Gusti Mataram
Wakil Kepala Staf : Mayor M. Saleh Lahade
Komandan Yon A : Mayor Andi Mattalatta
Komandan Yon B : Mayor HV. Worang
Komandan Yon C : Mayor Pudu Mas’ud
Komandan Yon D : Mayor Palupessy
Komandan Yon E : Mayor Lukas Palar
Komandan Depo Batalyon : Mayor Ventje HN. Sumual
Dalam struktur organisasi inilah terjadinya Agresi Militer Belanda II
Desember 1948. Sesuai kebutuhan strategi perang gerilya, diadakan lagi
reorganisasi sejumlah kesatuan TNI. Sesuai kebutuhan strategi, Joop
Warouw sudah berangkat ke Jawa Timur dan bermarkas di Gunung Kawi. Di
Yogyakarta saya diangkat menjadi Komandan Sektor Barat, membawahi
sebagian besar pasukan Brigade Seberang, ditambah sangat banyak
pasukan-pasukan lainnya.
Peristiwa Kahar Muzakkar dan Jan Rapar
Pasa masa-masa awal laskar
baru bertransisi menjadi tentara reguler macam-macam ekses sempat
terjadi. Dalam kesatuan kami biasanya saya yang menangani, meskipun saya
bukan komandan maupun kepala staf. Ada beberapa masalah interen yang
timbul. Terbilang serius yang saya sampai tidak akan lupa sampai
sekarang, antara lain adalah peristiwa Letkol Kahar Muzakkar, Letkol
Rapar, dan terbunuhnya Mayor Soekardi. Beliau dirampok dan dibunuh.
Soekardi adalah ipar Letkol Soeharto, Komandan Brigade X yang meliputi
Yogyakarta hingga Kedu. Soekardi pun adalah kakak daripada Mayor
Soedarman, Komandan Pasukan Zeni TP. Mayor Soekardi sendiri adalah
Kepala Bagian Keuangan di Resimen.
Waktu itu saya menjabat
sebagai Komandan Gerilya Sektor Barat. Pelaku pembunuhan adalah anggota
pasukan Brigade Seberang, Sersan Mahmud dan teman-temannya dari Pasukan
1001, yang terdiri dari orang-orang asal Kalimantan. Saya langsung
tangkap. Pemeriksaan juga juga dilakukan terhadap Kapten Frits Runtunuwu
dan Kapten Felix Tuyuh, karena Frits adalah komandan sektor 1 dan Felix
wakilnya, sementara pelaku berasal dari wilayah sektornya. Tapi mereka
semua mengemukakan alasan-alasan yang logis, bahwa Soekardi memang
bersalah, dan bahwa tindakan mereka adalah benar dalam situasi perang.
Akhirnya saya putuskan : menyarankan para pelaku dipecat secara resmi,
tapi saya minta mereka pergi menyusup ke daerahnya di Kalimantan untuk
meneruskan perjuangan pro-RI di daerahnya masing-masing. Jalan, cara
bagaimana, transportasi, dana, cari sendiri.
Dengan berat hati
mereka meninggalkan kesatuan, meningalkan tanah Jawa. Tapi masih lebih
baik daripada kena hukuman militer. Lagi pula, saya pikir kami tidak
mempunyai penjara yang aman dalam situasi perang gerilya seperti
sekarang ini. Adalah bukan sesuatu yang sulit misalnya terjadi balas
dendam dan kemungkinan penyusup menghabisi mereka di penjara. Begitu
juga halnya terhadap Felix dan Frits. Dua perwira andalan Kawanua sejak
KRIS ini saya perintahkan untuk cepat berinflintrasi ke Sulawesi. Tapi
mereka tidak dipecat, terbukti di pedalaman Minahasa mereka aktif
memimpin gerilya pro-RI. Saya putuskan untuk mengambil alih
tanggungjawab masalah ini. Saya bersama Maulwi Saelan pergi mengurus
penyelesaiannya dan menjelaskan semua duduk perkaranya.
Waktu
menghadap Letkol Soeharto, Letnan Wim Sigar saya ajak serta. Setelah
penjelasan Soeharto tidak langsung menanggapi. Kami diam dan menunggu
jawaban dari Komandan Brigade X ini. Tapi dia tetap diam, lama sekali.
Berpikir keras sambil berjalan mondar mandir disekitar kami. Kami duduk
diam, tegang, Maulwi Sealan sudah membatu dari tadi. Tiba-tiba Letnan
Wim berbisik,
“ Bekeng mati jo.....Soharto kita bereskan.....”
Wahhh...saya marah sekali! Tanpa suara saya pelototin Wim. Yang begini
inilah sering menjadi masalah dalam pasukan ex-laskar, ekses-ekses
seperti Sersan Mahmud yang sudah mengakibatkan masalah ini. Letnan Wim
rupanya masih terbawa-bawa dengan sifat jelek kelaskaran yang sering
bertindak semberono dan sembarangan, hanya mengandalkan fisik, apalagi
dia sekarang menjadi pimpinan pasukan combat yang terlatih, bukan laskar
lagi!. Wim lupa kalau ini adalah proses hukum yang sedang saya
selesaikan dengan cara baik-baik. Wim langsung diam menunduk.
Akhirnya saya lihat, Letkol Soeharto mulai mengangguk-angguk perlahan. Ia bilang,
“ Ya sudah Je...selesai disini saja ya......”
Letkol Kahar Muzakkar kecewa ketika Resimen Hasanuddin, badan
kelaskaran yang dibangunnya saat itu dilebur ke dalam KRU-X dan hanya
menjadi 1 Batalyon. Dia mengingatkan pada kesepakatan awal berdirinya
KRIS, bahwa kepemimpinan harus berasakan keseimbangan antara Sulawesi
Utara dan Selatan. Kahar pura-pura tidak mau tahu bahwa kepemimpinan
dalam Brigade diputuskan oleh pimpina di MBT dan Pemerintah. Kami dari
pasukan hanya mengusulkan. Lgaipula kami sebenarnya sudah menyiapkan
draf pengusulan yang didalamnya termasuk Letkol Kahar Muzakkar sebagai
Wakil Komandan dan Mayor M. Saleh Lahade sebagai Kepala Staf.
Begitulah, Kahar sudah terlanjur panas hati, dia juga sudah terlanjur
memanas-manaskan sejumlah pimpinan pasukan Resimen Hasanuddin. Suatu
hari, saat kami sudah menjadi Brigade XVI, Kahar memimpin pasukan yang
telah dihasutnya menduduki markas Brigade XVI di Saidan, Jogja. Semua
staf dan pasukan yang ada di markas dilucuti. Sejumlah senjata juga
mereka ambil, dibawa ke Klaten. Kolonel Lembong lagi tidak ada. Letkol
Joop F. Warouw sebagai pemegang komando tidak bisa apa-apa, dia hanya
melaporkan ke Markas Besar Komando Djawa. Kolonel AH. Nasution sendiri
bingung, harus bertindak...tapi bagaimana caranya...? Saya lantas bilang
kepada Warouw,
“ Biar jo...kita urus!”
Tanpa membuang
waktu, saya langsung berangkat ke Klaten, Markas Pasukan Kahar. Turut
serta bersama saya 2 Kompi dari Yon Palar. Satu dipimpin Gerard
Lombogia, dan satunya oleh Lucas Palar sendiri. Arahan strategi baru
saya infokan diperjalanan. Saya bilang, jangan harap untuk dapat
berunding dengan Kahar. Saya teman lama dia, kenal sekali wataknya,
keras seperti batu!. Begitu sampai di markas Kahar di Klaten, posisi
tempur langsung digelar. Resiman Hasanuddin dan 2 Kompi Yon Palar, 2
pasukan sepulau dan begitu akrabnya waktu di KRIS saling
berhadap-hadapan. Saya langsung memberi ultimatum ke Kahar.
Perhitungan saya tidak meleset, pertempuran sengit sesama saudara pecah
di siang bolong. Pasukan Kahar menyambut kami dengan tembakan gencar,
mereka stelling disektar markasnya.
Tembakan gencar berlangsung,
saling balas-balasan berlangsung sekitar 2 jam. Tiba-tiba terdengar
teriakan dari markas Kahar meminta cease fire. Rupanya 1 perwira andalan
Resimen Hasanuddin tertembak, gugur ditempat, saya lupa namanya. Saya
lantas memenuhi tuntutan Kahar. Saya juga berfikir, untuk apa juga harus
saling menghabisi, toh mereka kan teman sendiri, sepulau, saudara,
bukan musuh. Pelor-pelor yang sangar berharga ini sayang sekali kalau
harus buat menumpahkan darah sesama bangsa sendiri. Dari Resimen
Hasanuddin gugur 4 orang, luka-luka 12 orang. Dari Yon Palar gugur 2
orang, luka-luka 8 orang. Salah satunya yang gugur saya masih ingat
namanya, Bert Polii asal Airmadidi.
Perundingan akhirnya digelar
di Markas CPM. Komandan CPM Kapten Soenarso yang memimpin. Waktu itu,
saya sampai di Markas CPM, Soenarso dan Kahar sudah ada. Begitu melihat
saya, Soenarso langsung bilang sambil menunjuk ke Kahar,
“ Hij is uw gevangene.... Ini dia tawanan anda !”
Sejenak saya bingung juga. Tanpa perundingan, Kahar sudah menyerah? Ya
sudah, langsung Kahar saya ambil, saya juga membawa Palar dan Lambogia
untuk mengurus pengembalian senjata yang dirampas dari Markas Brigade.
Tiba di Jogja, Kahar saya serahkan ke CPM, ditahan oleh Mayor Sudirgo.
Namun atas berbagai macam pertimbangan, Letkol Joop F. Worouw
melepaskannya.
Waktu dalam perjalanan membawa Kahar dari Kalten,
sepanjang perjalanan dalam pikiran saya masih bertanya-tanya. Mengapa
Kahar yang terkenal sangat kepala batu dan keras hatti begitu mudah
menyerah, tanpa syarat pula? Apakah dia benar-benar sudah insaf atas
perbuatannya, dan ingin menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak?
Ataukah karena CPM sudah menyiagakan pasukan besar dari Siliwangi yang
berada di Klaten untuk meringkus Kahar jika tetap membangkang?
Saya sering berfikir tentang Kahar, bahkan sampai sekarang. Ia teman
seperjuangan yang baik, cerdas dan luar biasa beraninya. Dulu kami
sama-sama sebagai perintis penggabungan APIS dan GAPEIS dalam KRIS.
Melalui wadah KRIS, kami sama-sama banyak mencatat sukses besar,
sehingga kami disegani baik kawan maupun lawan. Ia sangat disegani
dilingkungan MBD, MBT dan pemerintahan. Bahkan Kolonel AH. Nasution,
Gatot Subroto sangat segan padanya. Memang ia luar biasa beraninya,
bahkan cenderung nekad, sayang sifatnya yang kepala batu dan cepat
panas. Ia sudah berpangkat Letkol waktu kejadian, sedangkan saya masih
Kapten. Walau sudah Letkol, Kahar Cuma mengurusi kesibukannya “keatas”
dan kurang diimbangi dengan membina prestasi pasukan-pasukan yang
menjadi tanggungjawbnya. Makanya, meski ia memegang mandat berupa Surat
Perintah Panglima Besar Sudirman untuk memimpin kesatuan yang kelak akan
menjadi TRIP Sulawesi, ketika KRU-X Brigade Seberang terbentuk yang
salah satu mandatnya sama dengan mandat Pangsar, ternyata oleh Nasution,
Kahar tidak termasuk dalam hitungan, apalagi memegang komando pasukan.
Begitu juga setelah pengkuan kedaulatan RI oleh Belanda. Kahar mendapat
mandat langsung dari Pangsar Sudirman dan Kolonel Bambang Soepeno agar
ia beserta Komando Grup Seberang akan memimpin APRIS di Indonesi Timur.
Namun ternyata APRIS telah lebih dulu berdiri, dan pasukan-pasukan harus
melalui proses perjuangan yang berat, tanpa Kahar. Kekecewaan inilah
yang kemudiannya menjadi latar belakang pemberontakannya kelak, yang
berakhir dengan kematian tragis patriot besar ini. Sungguh tragis
nasibnya, mungkin saja seandainya dia tidak ikut campur dalam hal-hal
politik, dan sedikit bisa sabaran dan tidak keras kepala, mungkin
nasibnya tidak berkakhir tragis begini. Apapun, sejarah bangsa tetap
mengenangnya sebagai salah satu patriot besar, jasa-jasanya besar dalam
perjuangan kemerdekaan.
Kisah Jan Rapar lain lagi. Tapi sama-sama tragisnya. Dia adalah komandan
kami sejak KRIS, bahkan dari sebelumnya. Komandan kami ini ternyata
mengalami ketidak seimbangan emosional saat berada dalam sistem militer
reguler. Terlebih ketika kemudiannya, sebagai mantan Panglima KRIS, ia
sekarang aktif sebagai bawahan dari bekas orang yang pernah menjadi
bawahannya. Rapar semaki sering berulah, baik ketika komandan dujabat
Lembong, maupun Joop Worouw. Tapi, selama tidak sampai mengganggu policy
kesatuan, kami berusaha memakluminya, sebagai seorang senior dan
seorang pemberani yang juga berjasa besar.
Sekali waktu, Rapar
sudah bertindak keterlaluan. Waktu itu yang menjadi Komandan sudah saya,
juga merangkap sebagai Komandan Pasukan Gerilya Sektor Barat. Suatu
hari, kami sedang menuju ke kota Jogja untuk menyerang beberapa pos-pos
tentara Belanda, tiba-tiba Jan Rapar bilang tidak mau terus. Ini
jelas-jelas pelanggaran berat disiplin militer, meninggalkan tugas dalam
perang!. Tapi saya izinkan saja, berusaha memakluminya. Begitu juga,
sering dalam gerilya apabila pasuka terpaksa menyeberangi sebuah sungai
misalnya, ia selalu memerintahkan sampai 4 orang prajurit untuk
membopong tubuhnya yang besar menyeberangi sungai, hanya karena tidak
mau kena air, basah-basahan!.
Waktu itu kami baru saja kembali
dari bertempur, mendekati markas gerilay kami di Godean, seorang staf
berlari-lari menyampaikan laporan : Letkol Jan Rapar sudah melucuti
semua pasukan yang berada di Markas!. Tindakan Rapar yang keterlaluan
ini tidak mungkin lagi saya tolelir, langsung saya cari dia. Saya
menemukannya sedang bersantai dibawah pohon. Ternyata ia kaget juga
tiba-tiba saya muncul dihadapannya dan langsung membentaknya. Mungkin
tidak pernah dia bayangkan, saya sebagai junior sanggup membentaknya
yang lebih senior. Ia lantas berjanji akan mengembalikan semua senjata
yang telah dirampasnya.
Kemudian saya tahu, tindakannya itu
terutama bukanlah maksud “kudeta”. Ia rupanya membutuhkan senjata dalam
jumlah tertentu untuk pasukan kecilnya yang rencananya akan dibawanya
menyusup ke Jakarta. Jan Rapar ternyata merencanakan perang gerilya
didalam kota, terutama Jakarta karena ia memang mengenal sekali seluk
beluknya. Waktu Rapar dan beberapa teman Kawanua lainnya meninggalkan
kami, kami sangat terharu. Bnayak yang, biasa tingkah lakunya kasar
menjadi menitikkan airmata. Sedih berpisah dengan pemimpin yang khas,
pemberani dan berkarakter ini. Jan Rapar menasehati kami semua,
“ Kita pesan pa ngoni-ngoni semua...jaga torang pe keluarga Minahasa di Jogja !”
Itu memang seakan menjadi etos bagi kami semua, sejak KRIS masih
berdiri. Saya memberinya sejumlah senjata yang ia minta, juga bekal buat
mereka di perjalanan.
Sebagai gerilyawan kawakan Rapar tahu apa
yang harus ia lakukan dalam perjalanan dari Jogja ke Jakarta.
Jalan-jalan telah mereka pilih untuk dilalui dan aman. Memasuki wilayah
Jawa Barat, dimana wilayah-wilayah pedalaman ternyata dikuasai oleh
DI/TII. Rapar kemudian memilih bergerilya dari kota ke kota dalam
perjalanan ke Jakarta yang dikuasai Belanda. Beberapa kali ia pura-pura
menyerahkan diri, kemudian melarikan diri setelah membawa sejumlah
senjata dan perbekalan. Pasukan Belanda benar-benar kesal dibuatnya.
Mereka akhirnya bisa selamat semua berkumpul di Jakarta setelah
pengakuan kedaulatan RI pada akhir 1949. Tidak ada yang gugur maupun
terluka.
Tapi menyusul peristiwa APRA di Bandung akhir Januari
1950, TNI mencurigai Rapar dan pasukannya sebagai pro Belanda. Apalagi
ketika ditempat mereka kemudiannya ditemukan persenjataan yang demikian
banyaknya. Namun sebagaimana berita beberapa teman kemudian yang memberi
kesaksian, Rapar dan pasukannya memang sengaja masuk APRA dengan target
untuk mengeksekusi Westerling dari jarak dekat. Rapar memang suka
aneh-aneh, menempuh taktik seperti dalam filem-filem, ia mau buat
suprise besar dengan melumpuhkan jagoan sekaliber Westerling. Pada waktu
itu, setelah peristiwa Pembantaian di Sulawesi, banyak usaha-usaha
untuk mengeksekusi Westerling yang dilakukan baik oleh TNI maupun
kelaskaran, namun semua gagal. Mungkin atas dasar itu Rapar melaksanakan
taktiknya.
Dalam suatu peristiwa, Rapar dan pasukannya yang
bersiap-siap untuk mengawal Westerling dan selanjutnya sesuai rencana
akan dieksekusi disuatu tempat, di ambush oleh pasukan TNI yang tidak
mengetahui akan taktiknya, ditangkap dan langsung dieksekusi atas
tuduhan pro-Belanda. Tragis! Jan Rapar dan kawan-kawan – patriot
perintis perang mempertahankan kemerdekaan RI, justru tewas atas tuduhan
pro Belanda, bahkan langsung dieksekusi! Untuk kesekian kalinya
Westerling terselamatkan nyawanya, justru oleh pasukan TNI sendiri.
Kehidupan pribadi Jan Rapar memang penuh liku-liku dramatis.
Cerita-cerita sekitar dirinya, sejak kami masih di Asrama Kaigun Jakarta
pun sangat banyak dibungkus mitos. Para jagoan Senen bilang, pernah
Rapar memukul seorang preman kawakan yang sedang bersandar di tiang
listrik, preman itu berhasil mengelak, hasilnya tinju Rapar mendarat
ditiang listrik yang lantas....bengkok!
Waktu di Jogja, ia sudah
menjadi Komandan Reguler Pasukan sebuah Brigade yang berwibawa, yaitu
Brigade XII. Rapar masih suka melakukan kebiasaan lamanya dengan
kemana-mana membawa ular Python besar yang dililitkan dibadannya. Banyak
sekali kisan tentang Jan Rapar, namun latar belakangnya tidak banyak
diketahui orang. Ada yang bilang Rapar itu nama ibunya, sebenarnya dia
vam (marga) Waworuntu.
SERANGAN UMUM 1 MARET
Agresi besar-besaran yang dilancarkan tentara Belanda pada 19 Desember
1948 merupaka keberhasila luar biasa dipihak mereka, baik secara militer
maupun politik. NKRI yang secara de facto sudah mengecil wilayahnya,
kali ini langsung sekaligus hendak dimusnahkan dengan cara menduduki
langsung Ibukotanya, Yogyakarta. Pemerintah Belanda ternyata sudah
merancang dengan sangat matang agresi mereka kali ini. Semua
perlengkapan dan mesin perang termodern yang ada dalam inventorinya
dikerahkan. Dengan mengandal kan armada udaranya beserta pasukan lintas
udara, langsung menghujam ke jantung pemerintahan RI.
Serangan
berlangsung pada hari Minggu agar tidak terduga, karena Belanda yang
Kristen biasanya ke Gereja. Pasukan mereka sejak dinihari lagi mulai
bergerak menuju Jogja, saat semua orang masih terlelap dimalam dingin
penghujung Bulan Desember yang biasanya selalu turun hujan. Dan dipagi
buta itu juga, PM Kerajaan Belanda dan Letnan Gubernur Jenderal Hindia
Belanda Dr. L.J.M. Bell mengumumkan secara sepihak pembatalan gencatan
senjata dan perjanjian Renville. Pengumuman yang tentu saja hanya
tatakrama, agar didengar di dunia internasional.
Pukul 05.45, 13
pesawat tempur Belanda membombardir Lapangan Terbang Maguwo, kemudian
diikuti dengan Dakota yang menerjunkan pasukan Linud. Pertahanan Mgauwo
ternyata sangat lemah, tidak seperti yang digembargemborkan beberapa
perwira MBT. Maguwo hanya dijaga oleh seratusan tentara dengan
persenjataan minim. Mitraliyur 12.7 hanya sebuah. Ada 1 Kompi AD, tapi
entah kenapa beberapa jam sebelum serangan justru ditarik keluar Jogja.
14 pesawat milik kita, antaranya 8 buah dalam hanggar, hancur terbakar.
Ditambah sebuah pesawat Catalina AURI yang kembali dari Sumatera dan
tidak mengira kalau Maguwo sudah dikuasai oleh musuh, ditembak jatuh.
Setelah tidak sampai 1 jam Maguwo sudah dikuasai, berturut-turut tiba
Dakota menerjunkan pasukan dalam jumlah besar. 15 Dakota Belanda mondar
mandir Semarang-Maguwo menjemput dan menerjunkan pasukan dan peralatan.
Sementara digerbang Jogja pasukan darat Belanda lengkap dengan lapis
bajanya merengsek dengan cepat memasuki Kota Jogja.
Pukul 10.00
posisi-posisi vital di Jogja sudah menerima tekanan hebat dari Belanda
baik darat maupun udara. Kekuatan Pasukan Pertahanan Kota sangat kecil
dan tidak dapat berbuat banyak menghadapi serangan dadakan ini. Ini juga
karena memang sudah adanya perintah menyingkir ke daerah gerilya yang
langsung dilaksanakan pada jam itu juga.
Pasukan Belanda dengan
Tijger Brigade nya dibawah pimpinan Kolonel Van Langen menyerbu Gedung
Agung, tempat kediaman Presiden dan Wakil Presiden. Pucuk pimpinan RI,
beberapa Menteri, KSAU kemudian menjadi tawanan dan diseret untuk
menghadap Mayjen Meir, pimpinan Agresi Belanda untuk dipaksa menyerahkan
kekuasaan. Karena Bung Karno menolak, dia beserta Hatta dan sejumlah
menteri diasingkan ke Sumatera. Sejak ditangkap, maupun saat sudah
ditempat pengasingan, beberapa kali Bung Karno dan Bung Hatto nyaris
dihabisi.
Menjadi Komandan Sektor Barat, SWK 103 / SWK 103A
Pesawat-pesawat tempur Belanda sejak pagi menderu-deru dilangit
Yogyakarta. Ada sekitara 20 pesawat yang terdiri dari Jager, Bomber, dan
Fighter bergentayangan sambil terus menerus memuntahkan tembakannya.
Mereka menembak setiap objek yang terlihat dan bergerak. Mobil, delman,
gerobak, kereta api, sepeda, mobil, juga penduduk yang berlarian
mengungsi tidak luput dari hantaman mereka. Mayat bergelimpangan, korban
jatuh dimana-mana.
Saya melaju dengan sepeda ke arah Pingit,
Markas Brigade XVI. Maksud saya, sebagai Komandan Depo
Persenjataan/Perbekalan, mau mengajak staf Brigade yang saya tahu ada di
markas : Piet Ngantung, Empie Kanter, Eddy Gagola, serta para perwira
lainnya untuk mengatur kordinasi pasukan.
Dalam perjalanan
menuju Pingit, saya beberapa kali berpapasan dengan pasukan darat
Belanda yang sedang menyerbu masuk ke tengah kota Jogja. Tapi saya
sempat menghindar, walau sempat ditembaki juga. Tapi karena saya sedang
menuju utara-Pingit, sedangkan Belanda masuk dari arah utara, maka makin
sering saya berpapasan dengan mereka, bahkan sempat nyaris dalam posisi
terkepung. Maka saya putuskan untuk berbelok ke arah kiri, menjauh ke
arah barat, nanti kemudiannya cari jalan lagi kearah Pingit.
Ternyata di barat saya bertemu rombongan-rombongan pasukan yang
mengungsi, termasuk rombongan Brigade XVI. Pertama saya bertemu dengan
rombongan Kapten Frits Runtunuwu dan Jan Wowiling, saya langsung
menggabungkan diri dengan mereka. Kemudian kami bertemu juga dengan
rombongan pasukan pimpinan Gerard Lombogia. Dipinggiran barat Jogja
terdapat Markas Batalyon salah satu pasukan kami, yaitu Yon Palar. Maka
saya putuskan untuk berhenti saja disini, tidak mengungsi terlalu jauh.
Rombongan Brigade XVI pun secara bertahap berhenti di markas Yon Palar,
stelling mengantisipasi serangan musuh. Rombongan TNI mengungsi melewati
daerah Yon Palar semakin banyak, mengalir dari dalam kota lengkap
dengan keluarganya masing-masing. Stelling kami di daerah Yon Palar
secara tidak langsung melindungi bagian belakang pengungsian
pasukan-pasukan TNI yang mengalir dari dalam kota mengungsi kearah
selatan, menghindari gempuran pasukan Belanda dari arah utara.
Untuk lebih mengamankan pengungsian pasukan yang tidak putus-putus,
khususnya ribuan pasukan Siliwangi yang bergerak kearah barat daya,
untuk kemudiannya kembali ke Jawa Barat sesuai dengan rencana induk
gerilya, pasukan Brigade XVI setelah konsolidasi singkat kembali ke arah
kota. Secara hit and run kami bertempur dengan ujung tombak pasukan
Belanda yang mencoba mengejar rombongan-rombongan pasukan Siliwangi yang
hendak melaksanakan long march. Begitulah, hingga sore kami terus
menerus kucing-kucingan dengan tentara Belanda. Setelah kami pastikan
rombongan Siliwangi sudah cukup jauh kearah barat daya, dan dengan
perkiraan tidak ada lagi pasukan TNI yang mengungsi dari dalam kota,
kami pun kembali stelling di tempat semula, daerah Yon Palar sebelah
barat kota Jogja.
Sekitar pukul 16.00, saya melihat serombongan
kecil perwira TNI datang dari arah barat daya. Drai jauh langsung
terkesan, mereka lagi mengiringi seorang pimpinan tinggi TNI. Ternyata
mereka rombongan dari MBKD (Markas Besar Komando Djawa), dipimpin Letkol
Sukanda Bratamanggala. Ada Mayor Abdul Ghani juga, mereka sedang
berkeliling melakukan konsolidasi. Letkol Sukanda Bratamanggala adalah
Wakil Kepala Staf Teritorial, tapi sekarang ia satu-satunya perwira
tertinggi Komando Djawa yang ada di ibukota. Para pejabat lainnya sedang
mengikuti Panglima MBKD Kolonel AH. Nasution ke Jawa Timur sejak
beberapa hari lalu. Saya dengan Pak Sukanda sudah slaing kenal
sebelumnya. Setelah saya jelaskan tentang kami, Brigade XVI, Letkol
Sukanda lalu bertanya,
“ Je, mau mengungsi kemana? ”
“ Tidak, kami disini saja,” jawab saya.
Dia heran, sebab posisi kami sekarang sebenarnya beelum terhitung
pengungsian, masih terlalu dekat dalam jangkauan musuh yang sudah
menguasai kota. Saya balas,
“ Kan kita sekarang bergerilya......”
“ ohh..ya..ya! Betul” kata Pak Sukanda. Ia tersenyum senang
Saya juga menjelaskan kalau wilayah ini memang tanggungjawabnya salah satu pasukan kami, Yon Palar.
“ Baiklah kalau begitu. Mulai sekarang Mayor Sumual kami angkat menjadi komandan disektor ini. Sektor Barat!”
“ Siappp!”
Kembali ternyata kami salah duga, ternyata masih ada lagi
rombongan-rombongan pasukan TNI yang mengungsi melewati pasukan kami,
terus mengalir sampai malam. Kamu mulai menyiapkan akomodasi untuk
pasukan-pasukan. Mulai berusaha mengenali medan, buat tempat berlindung.
Markas Komanda saya akan ditempatkan lebih ke barat, tepatnya didesa
Jering, Godean. Tidak menunggu lama, sayapun sudah mempersiapkan pasukan
untuk melakukan gangguan kedalam kota malamnya.
Sekitar jam
20.00 saat pasukan sedang mengaso dalam perjalana masuk ke kota, dari
arah selatan datang rombongan kecil, dikawal oleh beberapa naak buah
saya. Ternyata rombongan Letkol Soeharto, Komandan Brigade X. Letkol
Soeharto sedang berkeliling melakukan konsolidasi. Teritori Brigade X
memang meliputi seluruh wilayah Kesiltanan Yogyakarta, termasuk daerah
Godean ini. Markas komandonya sekarang berpindah ke Segoroyoso, sebelah
timur Kali Opak, sebelah tenggara kota Jogja. Jadi ia sudah jauh
berkeliling melakukan konsolidasi
Sebelum sampai ke markas saya, ia mampir dulu kerumah keluarganya di
Rewulu. Katanya, semula ia mengira pasukan-pasukan kami adalah rombongan
Siliwangi yang akan meneruskan perjalanan ke Jawa Barat. Saya dan Pak
Harto memang sudah saling mengenal, kami kemudian larut dalam
perbicaraan. Dia bercerita pengalamannya dalam kota saat serangan
Belanda tiba tadi pagi, lalu mengungsi ke selatan, kemudian konsolidasi
sejak siang tadi.
“ Terus, Tje mau bergerilya kemana? ” tanya Letkol Soeharto.
“ Disini. Kami disini saja. “
“ Apa ndak terlalu dekat markas Belanda? Saya dengar mereka di Tugu.”
“ Ah jauh. Ndak apa-apa,” jawab saya.
“ Baiklah. Sekarang saya angkat Mayor Sumual jadi Komandan Sektor Barat “
Jadi dalam beberapa jam saya saya sampai dua kali diangkat menjadi
Komandan Sektor Barat. Mungkin karena saya tidak suka banyak bicara,
saya tidak bilang ke Soeharto tentang pengangkatan saya oleh MBKD
sebelumnya. Memang saya merasa tidak perlu mempermasalahkan masalah ini.
Istilah “Pasukan Gerilya Sektor Barat” tersebut lantas dipakai terus,
walaupun kemudian sudah ada nama SWK, Sub-Wehrkreise. Malam tanggal 19
Desember itu juga, kami di Sektor Barat melakukan serangan kedalam kota.
Masih saya ingat pertempuran seru di Jl.Tanjung yang dilancarkan
Pasukan Combat Brigade XVI pimpinan Letnan Sigar.
Penyerangan
malam ini memang tidak direncanakan sebelumnya, namun diperjalanan
bergabung pasukan Yon 151 yang dari sektor lain. Memang serangan kami
ini hanya spontan saja, begitu juga Yon 151 yang spontan bergabung.
Dalam kontak senjata di daerah Tugu, Komandan Yon 151 Kapten F. Hariadi
gugur bersama sepuluhan anggotanya. Selanjutnya Yon 151 yang baru saja
kehilangan pimpinannya meminta bergabung dengan kami untuk seterusnya.
Pasukan Sektor Barat kami hampir tiap malam melakukan
penyusupan-penyusupan dan serangan kedalam kota. Inilah sebetulnya
konsep prinsip gerilya, kami yang menentukan kapan dan dimana untuk
bertempur, bukan pihak musuh. Begitu juga ketika tanggal 22 Desember
Letkol Soeharto meminta bantuan saat ia memimpin pasukan masuk kedaerah
Taman Sari dekat Kraton, saya kirim pasukan Combat Brigade XVI yang
dipimpin langsung oleh komandannya, Kapten Kandou, biasa dipanggil Bos!.
Pengorganisasian baru berlangsung awal Januari 1949. Letkol Soeharto
memimpin Wehrkreise III atau WK-III. Membawahi 6 Sub-Wehrkreise atau SWK
:
SWK 101 di daerah Bantul Timur dengan Komandan Mayor Sekri Soenarto.
SWK 102 di daerah Bantul Barat dengan Komandan Mayor Sardjono.
SWK 103 di daerah Godean dengan Komandan Mayor Ventje HN. Sumual.
SWK 104 di daerah Sleman dengan Komandan Mayor Soekasno.
SWK 105 di daerah Gunung Kidul dengan Komandan Mayor Sardjono.
SWK 106 di daerah Kulon Progo dengan Komandan Letkol R. Soedarto.
Dalam perkembangan selanjutnya disesuaikan dengan pergeseran real di
pasukan-pasukan, juga dengan pertimbangan-pertimbangan lain. Sejak
pertengahan Januari, beberapa perubahan dilakukan.
1. SWK 101 untuk clandestine dalam kota Jogja, lebih sebagai mata-mata dan satuan penghubung gerilya. Komandan Letnan Marsudi.
2. SWK 102, Komandannya tetap Mayor Sardjono, tapi wilayahnya sudah
mencakup hingga Bantul Timur yang sebelumnya masuk SWK lain.
3. SWK 103, bermarkas di Gamping dengan Komandan Letkol Suhud.
4. SWK 103A, didaerah Godean tetap saya pegang. Hanya nama berubah
ditambah huruf A untuk membedakan dengan SWK 103. Terkesan kami hanya
bagian dari SWK 103.
5. SWK 104, di daerah Sleman tetap dengan Komandan Soekasno.
6. SWK 105, di daerah Gunung Kidul tetap dengan Komandan Soejono.
7. SWK 106, di daerah Kulon Progo tetap dengan Komandan Soedarto.
Ada yang menjelaskan kepada saya, bahwa kami menjadi SWK 103A sedangkan
103 Untuk Suhud karena pangkatnya Letkol, sehingga jangan dimasukkan
komando saya yang Mayor. Padahal Gamping adalah daerah teritori kami.
Memang jabatan Letkol Suhud sebelumnya bahkan pararel dengan Letkol
Soeharto. Soeharto adalah Komandan Brigade X yang berkedudukan di
Yogyakarta, sedangkan Suhud justru adalah Komandan Sub-Teritorium Divisi
III untuk wilayah Yogyakarta.
Saya sendiri sama sekali tidak
memikirkan soal-soal begitu. Rupanya meski dalam suasana darurat, dalam
gerilya ada saja orang yang tetap merasa penting akan formalitas jabatan
seperti itu. Padahal, dalam suasana begini yang terpenting hanyalah
soal besarnya kekuatan real, jumlah pasukan, senjata, dan berani apa
nggaknya maju ke medan front. Bukan soal levelitas jabatan!
Pasukan saya SWK 103A adalah yang terbesar. Ada 4 Yon Mobile, yaitu Yon
Lukas Palar, Yon Andi Mattalatta (Resimen Hasanuddin), Yon Palupessy
(Dulu Divisi Pattimura), dan Yon 151 dengan pimpinan Hardjosoedirjo
menggantikan pimpinan asal yang gugur. Semua sektor teritori gerilya
kami penuh terisi dengan pasukan dan dibagi dalam 5 sektor. Sektor 1
dipimpin oleh Kapten Frits Runtunuwu, Sektor 2 Letnan Wim Sigar, Sektor 3
Mayor Palupessy, Sektor 4 dikomandani Widarto bersama Asmasmarmo, dan
Sektor 5 oleh Letnan Goenarso. SWK-SWK lain hanya berkekuatan 1 Batalyon
plus, bahkan SWK 105 dan 103 hanya berkekuatan 2 Kompi plus. Juga SWK
101 yang memang tidak perlu mengefektifkan pasukan besar sebab khusus
untuk clandestine dalam kota. Komandan Yon 151 Kapten F. Hariadi yang
gugur dalam pertempuran malam 19 Desember, dan sejak itu pula Yon 151
ikut dalam pasukan saya. Danyon kemudiannya dipegang oleh Letnan P.C.
Hardjosoedirjo. Letkol Soeharto yang langsung datang ke markas saya
melantiknya.
Sejak hari-hari pertama bergerilya, telah datang
bergabung dengan kami di Sektor Barat sejumlah pasukan dari luar Brigade
XVI. Ada 2 pasukan Mobile Brigade Kepolisian dipimpin oleh Ajatiman dan
Soebroto. Lalu ada Kolonel Laut Darwis Djamin, Panglima ALRI Pangkalan
Tegal bersama-sama anak buahnya juga mengungsi kesektor kami. Pasukan
Marinirnya sebenarnya punya persenjataan yang bagus dan canggih, kami
beruntung mereka bergabung disektor kami dan bahu membahu bergerilya.
Ada pula Laskar Burhanuddin Harahap, yang bersama beberapa politisi
berlindung di sektor kami, mengkonsolidasi Barisan Hizbullah. Banyak
tokoh politik berlindung di daerah sektor saya termasuk Mr. Kasman
Singodimedjo, Sukarni dari KNIP, juga apa Pandu Wiguna, Ir. Sakirman,
Setiadi. Chairul Saleh juga sempat berlindung disektor saya, kemudian
mengatakan akan ke daerah Jawa Barat, bergerilya disana. Banyak juga
yang mendapatkan jodohnya disektor ini, dan saya membantu acara
pernikahan mereka.
Masih dalam suasana Natal tanggal 26 Desember
1948, saya menerima Surat Perintah Operasi dari Lekol Soeharto agar
mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk serangan umum tanggal 29
Desember 1948. Inilah serangan umum yang pertama. Pukul 7 malam kami
mulai bergerak, hampir seluruh pasukan di Sektor Barat, baik regular
Brigade XVI maupun yang berlindung di sektor ini saya kerahkan. Secara
tersamar kami mendekati pinggiran kota, menuju sasaran maisng-masing.
Pasukan kami dibagi menjadi dua, sebagian melambung ke utara, masuk
Jogja dari arah utara, sebagiannya pula langsung menyerbu dari barat.
Serangan dimulai tepat pukul 21.00. Tembakan bergema diseantero kota.
Letusan senjata yang diselingi siulan mortir terdengar dahsyat dari
seluruh penjuru kota. Tujuan utama operasi adalah untuk mengembalikan
kepercayaan rakyat, disamping mengetes dan mengetahui kekuatan pasukan
lawan. Cukup banyak prajurit yang gugur malam itu. Diantaranya asisten
saya sendiri, Letnan Karel Pondaag. Ia ex-KNIL, gugur berjibaku dengan
brencarrier Belanda. Pertempuran berlanjut hingga pukul 03.00 dinihari,
kami mengundurkan diri. Walau kelelahan ditambah udara yang cukup dingin
karena musim penghujan, saya menyiapkan serangan balasan selanjutnya.
Beberapa prajurit diperintahkan mengurusi jenazah mereka yang gugur,
termasuk jenazah Letnan Karel Pondaag yang sudah tidak utuh lagi.
Serangan balasan tanggal 31 Desember malam berlangsung singkat namu
efektif, dengan titik-titik sasaran yang tegas, serangan dari Sektor
Barat ini saya pimpin sendiri. Sejumlah komandan operasi andalan Brigade
XVI pun turun lapangan. Diantaranya Kapten Willy Sumanti, Kapten
Runtunuwu, Mayor Gustav Kamagie, Letnan Kailola. Begitu juga
jagoan-jagoan tempur Tim Khusus Combat Brigade XVI seperti Latnan
Kandou, Letnan Woimbon, Letnan Sigar, dan lain-lain.
Kembali
dari bertempur, kami langsung ke daerah Jering, karena harus sibuk
persiapan menyambut malam perpisahan tahun. Ini memang hari terakhir
tahun 1948. Sejal awal masa gerilya 1945, orang-orang asal Minahasa
dalam laskar KRIS tidak pernah alpa dengan tradisi perayaan dari kampung
halamannya ini. Demikian seterusnya dari tahun ke tahun, sehingga
prajurit dari daerah manapun dalam Brigade XVI ini sudah ikut turut
mentradisiknnya. Dan sekarang, lebih banyak teman-teman baru yang
berasal dari Sulawesi Utara dalam kesatuan gerilya Sektor Barat. Malam
tahun baru kami rayakan dengan meriah, walaupun tentu secara sederhana.
Rakyat disektor kami turut serta bergabung bersama-sama. Terasa suasana
keakraban dan persaudaraan antara TNI, Pejuang dan Rakyat. Inilah nyawa
dari peperangan gerilya sebenarnya.
Rapat Kecil di Desa Semaken
Usul Serangan Umum Bergema Internasional
Suatu sore, tanggal 12 Februari, saat itu saya sedang memimpin
penyerangan terhadap Pos Besar tentara Belanda di Jembatan Bantar,
seorang anak buah datang menghadap menyerahkan sepucuk surat yang
dihantar oleh kurir. Ternyata surat dari Letkol Soedarto, Komandan SWK
106. Saya diminta untuk datang ke Kulon Progo, di Desa Semaken, ada
pertemuan besoknya dengan Komandan WK-III Letkol Soeharto. Malamnya,
komando pertempuran saya percayakan ke Letnan Harjosoedirjo. Besoknya,
hari Minggu pagi-pagi sekali saya berangkat ke Kulon Progo ditemani Bob
Mandagie. Sengaja saya bawa Mandagie karena memang ia kenal daerah Kulon
Progo dan bisa berbahasa Jawa. Ini penting buat perjalanan di wilayah
pedalaman. Di Kulon Progo, kami dijemput oleh utusan Soeharto dan
mengantar kami ketempat pertemuan. Ternyata yanga akan rapat cuma kami
bertiga, Soharto, Soedarto, dan saya.
Tanpa membuang waktu,
Soeharto langsung memulai pertemuan dan masuk kepokok rapat. Strategi
kedepan, sambil mengevaluasi langkah-langkah yang sudah dan sedang
dilaksanakan. Kedepan, sesuai dengan strategi umum perang gerilya, tentu
saja juga mengenai serangan umum lagi. Itu memang sudah digariskan,
sudah menjadi teori umum dalam konsep perang gerilya. Langsung saja
kemudian saya ajukan usul,
“ Pak Harto, kita kan sudah beberapa
kali melakukan serangan umum, tapi semuanya dimalam hari. Bagaimana
kalau kemudian kita lakukan pada siang hari, supaya mendapat perhatian
luas, diberitakan dikoran-koran, sebab berita di Koran selama ini hanya
menguntungkan pihak Belanda.”
Soeharto setuju, “ Itu baik. Serang pada waktu siang,” katanya sambil mangut-mangut.
“ Baiklah, nanti dipikirkan cara-caranya. Harinya akan saya tentukan” sambung Pak Harto lagi.
Kami bertiga kemudian masuk ke pembahasan teknis untuk pelaksanaan
serangan umum. Masing-masing memberi masukan ini itu. Soeharto
mengatakan ke Letkol Soedarto,
“ Nanti waktu serangan ke dalam
kota, Pak Darto mengikat Belanda yang di Bantar. Supaya mereka ndak
pergi membantu temenya yang kita serang dalam kota”
“ Siap!” kata Soedarto.
Seperti beberapa hal yang disampaikan Soeharto pada kami, bukan lagi
sekadar usul tentang strategi, melainkan sudah harus kami terima sebagai
perintah. Pos Belanda di Jembatan Bantar itu memang adakalanya dijaga
sampai lebih 1 Kompi. Mereka sering kami serang, seperti juga
penyerangan yang saya pimpin beberapa hari terakhir ini. Tapi Belanda
tidak mau meninggalkan posisi disitu, karena merupakan gerbang
penghubung Yogyakarta dengan semua wilayah-wilayah di barat.
1 Maret 1949 Pukul 01.00 - 06.00 - 12.00
Perintah operasi serangan umum kelima yang akan dilakukan pada hari
tanggal 1 Maret saya terima tidak melalui surat yang diedaran Markas
WK-III melalui kurir, melainkan langsung oleh Komandan WK-III Letkol
Soeharto. Ya, Pak Harto memang sering datang ke markas saya di Godean.
Mungkin karena dia merasa sreg kalau selalu bisa memastikan langsung
pasukan terbesar yang paling dekat saat penyerbuan ke markas utama
tentara Belanda dalam kota Jogja. Setiap kami ngobrol, dia pasti
menanyakan satu persatu keadaan pasukan-pasukan yang tergabung dalam SWK
103A ini. Tapi mungkin juga sebab sederhana saja, daerah Godean adalah
kampung halamannya. Hari-hari menjelang 1 Maret, Pak Harto semakin
sering singgah berkunjung ke Markas saya.
Waktu markas kami
diserbu oleh pasukan Belanda tanggal 27 Februari pagi, Pak Harto juga
ada. Untung dia cepat menyelamatkan diri, padahal serangan Belanda ini
terbilang cukup besar. Belanda sudah sangat geram pada kami, karena
pasukan-pasukan dari Godean tidak hentinya menyerang kedudukan pos-pos
mereka, terutama Jembatan Bantar. Tentara Belanda, walaupun dengan
konvoi takut keluar kota, apalagi kewilayah barat, karena pasti akan
kami sergap. Penyerbuan ini dapat kami pukul mundur, selanjutnya kami
berbalik mengejar mereka secara. Terbirit-birit tentara Belanda
melarikan diri dan bertahan dengan kuatnya di Jembatan Bantar. Satu
pertanyaan saya, mengapa Belanda bisa mengetahui dengan detail posisi
pasukan-pasukan saya? Rupanya mereka sudah lama menyusupkan mata-mata,
mempelajari posisi pasukan dan markas komando saya di Godean.
Pagi-pagi Belanda menyerbu dengan kekuatan besar mengepung dari beberapa
jurusan, disertai bantuan tembakan dari pesawat udara. Dalam duel
sengit jarak dekat di daerah perbukitan Godean, dipihak kami gugur 3
orang. Yaitu Letnan Bos Kandou, Sersan Jack Runtukahu, dan Ipda Toet
Harsono. Bos Kandou adalah sorang perwira lapangan jago perang kami, ia
pernah mengikuti pendidikan di Akademi Militer. Runtukahu juga seorang
jagoan perang pemberani yang sudah bersama dengan kami sejak di KRIS
lagi. Ipda Harsono bersama saya saat tertembak. Waktu itu, musuh sudah
mengepung kami, tapi saya cepat melompat kebelakang tiarap tepat pada
detik terlihat kilasan peluru dari permukaan air. Beberapa angota kami
patah kaki lantaran nekad melompat ke dalam jurang menghindari sergapan
Belanda.
Mereka yang gugur kemudian dikebumikan mengikut upacara
keagamaan masing-masing. Pemakaman Bos Kandou juga dilaksanakan, banyak
penduduk yang menghadiri kebaktiannya. Ternyata banyak juga penduduk
disekitar Sektor Barat yang beragama Kristen. Mereka ikut menangis,
sebab walaupun Kandou dan Jack adalah pendatang, tapi sudah akrab dan
sering bantu-bantu pekerjaan warga.
Besoknya sejak pagi,
perhatian kami tertuju pada persiapan-persiapan serangan umum. Jam 7
malam saya kumpulkan staf dan semua komandan pasukan, termasuk komandan
pasukan yang mengungsi dan berlindung di Sektor Barat. Rapat
dilaksanakan di Pasar Jering. Sengaja dibikin malam hari, karena harus
menunggu los-los yang sudah kosong, sudah tidak ada yang berjualan.
Disini, saya memberikan briefing terakhir untuk pelaksanaan operasi
besok pagi. Gerakan pasukan ke dalam kota akan dilepas mulai tengah
malam nanti.
Sekitar jam 01.00 pasukan sudah bergerak kearah
timur, menuju kota Jogja. Tidak dalam barisan bersaf banyak, melainkan
berbanjar satu persatu, ada juga yang berdua. Sengaja saya intruksikan
agar tidak bersaf banyak karena akan berisik tentunya. Pasukan berjalan
memanjang menembus kegelapan malam. Saya berjalan cepat disamping
barisan panjang ini yang langsung dipimpin oleh komandannya
masing-masing. Semua kekuatan Brigade XVI, simpatisan pejuang, pasukan
–pasukan luar yang berlindung di sektor barat, ALRI, Brigade Mobile
Kepolisian, satuan AURI, Resimen Hasanuddin, Resiman Pattimura, Resimen
Bali, pasukan Hizbullah, bergabung menjadi satu dalam barisan yang
sangat panjang. Inilah kekuatan terbesar dalam serangan umum ini.
Saat melewati sebuah pasar, masih di daerah Godean bagian timur, dari
kegelapan terdengar di depan saya seruan-seruan memberi salam,
“Merdeka!...Merdeka!...Merdeka! ”. Ternyata anak buah saya didepan
melihat Letkol Soeharto sedang berdiri sendirian dipinggir jalan.
Anak-anak memang pada umumnya sudah mengenal Komandan WK-III ini karena
sering berkunjung kemarkas kami. Saya langsung menghampirinya, dia
bertanya,
“ Tje, ini pasukannya? “
“ Ya, ini,” saya menunjuk mereka yang terus berjalan kearah timur.
“ Banyak juga ya,” sambung Pak Harto menyaksikan barisan panjang pasukan saya yang seperti tidak ada putus-putusnya.
“ Ya..masih banyak dibelakang Pak. “ balas saya.
Kami berbincang-bincang sebentar sambil mengamati pasukan yang terus
menerus mengalir melewati kami. Hanya sebentar, saya kemudiannya pamit.
Saya ingin berada tepat di depan pasukan saat menjelang detik-detik
penyerbuan yang sudah ditetapkan. Saya hanya membawa sepucuk pistol yang
selalu tergantung dipinggang saya, sesuai tradisi komando saja. Tapi
kalau saat mulai pertempuran, saya akan menggunakan senjata laras
panjang juga.
Sesuai dengan intruksi Letkol Soeharto, semua
pasukan yang akan menyerbu mengenakan sehelai janur-daun kelapa yang
masih berwarna kuning muda, diikat dipangkal lengan kiri atau
meneggantung dibahu. Dengan sandi ini pasukan gerilya maju mengalir dari
seluruh penjuru mengepung kota Jogja dari semua arah.
Belum
pukul 05.00 semua pasukan SWK 103A dari Sektor Barat sudah berada
ditepian barat kota Jogja. Sesuai dengan rencana saya, mereka lalu
memecah dalam dua kelompok besar. Kelompok pasukan yang pertama lebih
dulu bergerak cepat kekiri untuk memasuki kota dari arah utara.
Sedangkan saya yang memimpin kelompok besar lainnya maju terus
perlahan-lahan mulai mengambil posisi didalam kota. Semua pasukan
memasuki kota melalaui jalur dan kearah sasaran, dipandu oleh personil
dari Sektor 1 dan 2. Pasukan dari dua sektor ini yang dikomandani oleh
Kapten Runtunuwu dan Letnan Sigar ini memang yang paling menguasai seluk
beluk jalur didalam kota, karena 2 sektor ini semenjak gerilay saya
tempatkan menguasai teritori daerah gerilya kami paling timur, dekat
kota. Selama bergerilya, anak buah Runtunuwu dan Sigar ini mondar mandir
sesukanya kedala kota tanpa takut. Tak selalu tugas untuk mata-mata,
sering cuma buat keperluan-keperluan kecil, seperti nonton bioskop, atau
membeli makanan yang enak-enak, Mereka memang rata-rata bernyali besar.
Banyak dari mereka adalah termasuk Pasukan Khusus Combat Brigade XVI.
Makin mendekati sasaran pasukan mulai mengendap-endap, bahkan lainnya
harus tiarap. Semua sudah siap dengan senjata masing-masing dalam jarak
tembak yang efektif. Sekitar pukul 05.45 semua pasukan sudah dalam
posisi senjata terbidik pada titik sasaran masing-masing. Tinggal
menunggu saat yang tepat, yaitu sirene berakhirnya jam malam pukul 06.00
tepat, sirene ini dibunyikan tiap hari oleh pemerintah pendudukan
Belanda di Jogja. Jadi tentara Belanda sendiri yang akan memberikan
komando bagi semua pasukan kami untuk mulai menembaki mereka.
Pertempuran Pecah
Tepat pukul 06.00 sirene Belanda itu berbunyi
meraung-raung, namun langsung tenggelam oleh bunyi letusan ribuan
tembakan, ledakan granat, siulan mortir yang serentak dan terus menerus,
sehingga tidak ada lagi yang mendengar bunyi sirene kapan berhentinya.
Serangan ini luar biasa dahsyatnya, petempuran pecah seantero kota
disemua tangsi dan pos dan markas-markas tentara Belanda. Serangan Umum 1
Maret yang kemudian terkenal ini sudah dimulai.
Kami dari
SWK-103A diserah kan untuk menghantam Markas Brigade Tjiger, Markas Yon
1-15RI di Benteng Vredeburg, Hotel Merdeka yang menjadi sarang
perwira-perwira Belanda. Sebagian pasukan juga menyerbu pos-pos Belanda
yang berada disepanjang jalan Malioboro. Bahkan semakin semangatnya,
satu pasukan kami dibawah pimpinan Letnan Ajatiman menyerbu jauh, sampai
Lempuyangan. Mungkin juga Ajatiman melihat pasukan kmi sudah cukup
besar untuk menghantam sasaran-sasaran yang ditargetkan. Begitu juga
pasukan kami yang menyerang Benteng Vredeburg, ternyata sangat cepat
karena ada juga pasukan dari SWK yang ada disana. Benteng Vredeburg
diobrak-abrik sehingga tentara Belanda lari kearah Kotabaru.
Pasukan yang saya pimpin langsung menekan tentara Belanda yang bermarkas
di daerah Tugu, sehingga mereka terkepung, hanya bisa bertahan didalam
markas masing-masing. Saya lantas membuat Pos Komando di daerah Dagen.
Dari sini saya mengendalikan pasukan dengan sejumlah kurir yang
berlarian kesana sini, soalnya alat komunikasi sangat tidak memadai.
Pasukan kami yang menuju ke arah Malioboro setelah melewati Ngampilan
dan Notoyudan, dibelakang pertokoan dikasih makanan enak-enak oleh
ibu-ibu Cina. Banyak susu disediakan, padahal pasukan kami sudah lama
tidak minum susu. Hasilnya banyak yang mencret-mencret dan sakit perut,
namun sambil tetap bertempur.
TNI dan gerilyawan memenuhi hampir
kesemua jalan-jalan raya dipusat kota Jogja, terlebih disepanjang jalan
Mlaioboro dan daerah Tugu. Pekik “ Merdeka!” terdengar dimana-mana.
Kalau Belanda sudah sempat menaikkan bendera bendera dikantor-kantor
resminya pasti ada yang menggantinya dengan merah putih atau merobek
bagian birunya. Jadi tentara Belanda itu lebih mementingkan nyawanya
masing-masing daripada kewajiban menaikan bendera yang merupakan
eksitensi kekuasaan negaranya. Sepanjang pagi hingga siang, TNI dan
gerilyawan menguasai kota Jogja. Hanya kami memang tidak berencana untuk
masuk dan menduduki markas-markas Belanda, kecuali di Benteng
Vredeburg, Pabrik Anem, dan beberapa pos yang kami kuasai sepenuhnya.
Pasukan Belanda yang berada ditempat-tempat tersebut sudah lebih dulu
melarikan diri meninggalkan mayat teman-temannya.
Belanda di
Jogja shock!. Tentaranya terdesak dimana-mana, walau sudah mengerahkan
seluruh mesin-mesin perangnya di Jogja. Mereka meminta bantuan pasukan
dari kota-kota disekitar Jogja, dan ini bisa karena TNI di daerah lain
tidak diperintahkan oleh pucuk pimpinan untuk untuk mengikat kedudukan
tentara Belanda diwilayahnya masing-masing. Satu kesalahan strategi
menurut saya. Barangkali kalau serangan umum ini serentak juga terhadap
kota-kota disekitar Yogyakarta, apalagi seluruh Jawa Tengah, mungkin
sejarah akan mencatat lain. Tentara Belanda pasti bisa langsung dihabisi
dan merebut kota jogja pada waktu itu juga.
Pengunduran dan Masuknya Bantuan Tentara Belanda
Setelah melakukan pengintaian dengan pesawat Auster, Kolonel Van
Zanten, Komandan Brigade tentara Belanda di Magelang, mengirimkan 2
batalyon andalannya. Batalyon “Andjing Nica” dan Batalyon “Gadjah
Merah”. Sekitar jam 11.00 mereka sudah tiba di Jogja, tapi itupun harus
mengalami hambatan dan penghadangan oleh pasukan-pasukan TNI, antaranya
Kompi Martono. Sesudah jam 11.00 situasi mulai berubah. Terutama karena
pasukan-pasukan kita memang sesuai rencana operasi sudah saatnya mundur
ke pangkalan masing-masing. Tembakan-tembakan yang kami lepaskan hanya
sebagai penghambatan. Pasukan saya agak terlambat mundur. Bala bantuan
tentara Belanda sudah berdatangan dengan tank, panser, bahkan hujan
peluru dari pesawat udara. Sejumlah mobil yang dilengkapi dengan senapan
mesin mengejar gerilyawan disetiap ruas jalan. Pertempuran dari lorong
ke lorong, jalan ke jalan berlanjut.
Kami harus mengundurkan
diri ke arah selatan lebih dulu, karena jalan yang ke barat sudah
diblokade dan dipenuhi pasukan musuh. Saya perintahkan pasukan saya
untuk jangan lagi sibuk menembaki musuh, jangan masih terbawa dengan
suasana beberapa jam lalu saat kita masih diatas angin. Berupaya
menyelamatkan diri, masuk ke selokan atau gorong-gorong. Mundur dengan
teratur dan taktis, perhatikan samping kanan dan kiri, jangan sampai
terkepung. Pasukan saya terus sampai ke Winongo, menyeberangi kali sudah
lumayan aman, tetapi harus masih tetap berlari cepat dan dalam posisi
terlindung menuju Wirobrajan. Ternyata di Wirobrajan kami sudah
ditunggui, sudah ada pasukan Belanda disana. Tembak menembak pun pecah
lagi. Dalam situasi tembakmenembak dengan musuh, sambil sebagian pasukan
tetap melaju kearah barat, seorang dari pasukan saya tertembak dan
gugur. Namanya Sunaryo dari Kompi Brigade Mobile pimpinan Ipda Ajatiman.
Jam 14.00 kami sudah berada diwilayah yang diluar jangkauan musuh.
Hanya Yon Mattalatta yang tercecer, ketinggalan sehingga harus bermalam
dikota. Kenapa Yon Mattalatta tidak segera mengundurkan diri? Apakah
perintah saya tidak sampai kepasukannya? Ternyata Batalyon Kapten Andi
Mattalatta sebetulnya sudah terlebih dahulu mengundurkan diri bersama
SWK-SWK lain begitu balabantuan Belanda tiba. Namun, setelah pisah arah
dengan SWK lain, makin ke barat makin terasa mereka hanya sendiri. Mana
pasukan lainnya? Mana pasukan-pasukan dari Sektor Barat? Masih dikota
kah? Terkepung tentara Belanda? Mungkin mereka tertanya-tanya seperti
itu.
Batalyon yang dipimpin oleh Kapten Andi Mattalatta ini,
yang didalmnya juga ada Letkol Kahar Muzakkar, jadi merasa tidak enak
hati. Mereka mengira sudah meninggalkan teman sendiri. Maka para
pemberani ini segera balik kanan, masuk lagi kedalam kota, bertempur
dengan tentara Belanda yang sudah menguasai kota. Ternyata pasukan
Belanda sudah begitu kuatnya. Bala bantuannya sudah banyak mengalir dari
kota-kota tetangga. Yon Matalatta sedapat mungkin berusaha bertahan
namun musuh demikian kuat serta berusaha mencari pasukan-pasukan Sektor
Barat yang dikira terkepung didalam kota. Ya sudah, mereka kemudian
menghindar dari posisi-posisi musuh, sampai lepas tengah malam baru
mereka bergerak keluar kota. Begitulah gara-gara tidak adanya alat
komunikasi.
Pagi-pagi sekali Mattalatta datang melapor ke Markas
saya, sambil semua tertawa-tawa. Lucu bercampur gembira karena sudah
selamat, dan terutama gembira karena sudah memenangkan misi pertempuran,
berjalan sesuai rencana. Jadi, kalau TNI lainnya Cuma menduduki kota
Jogja selama 6 jam, Yon Mattalatta mendudukinya selama 14 jam. Bahkan
setelah bala bantuan Belanda datangpun mereka masih bertempur, sebab
merasa pasukannya tinggal sendiri. Mengira kami semua sudah dihabisi
Belanda didalam kota. Pikirnya mungkin, kalau memang Ventje dan semua
pasukan-pasukan yang ada di Sekor Barat gugur, kenapa saya tinggal diam?
Mending berjibaku masuk kedalam kota bertempur sampai mati!. Begitulah
mungkin pikiran para pemberani jagoan perang ini.
Kontroversi Sejarah Pencetus Ide SU 1 Maret 1949 dan
Salah Siapa Jatuhnya Ibukota RI Yogyakarta
Dikemudian hari terjadi kontoversi berkenaa sejarah perang gerilya
periode Desember 1948 – Maret 1949 yang dramatis itu, sampai ada 2
kontoversi. Kontoversi yang satu bersifat saling tuding, sedangkan
kontoversi satunya lagi bersifat saling mengaku. Yaitu saling menuding
kesalahan berkenaan jatuhnya Ibukota RI pada 19 Desember 1948, dan
kemudian saling mengaku sebagai pengasas Serangan Umum 1 Maret 1949 yang
terbukti telah membawa Indonesia pada kemerdekaan nasional secara de
facto.
Perbedaan lain dari dua kontroversi tersebut ialah waktu
pecahnya. Kontoversi mengenai siapa pencetus ide SU 1 Maret 1949 itu,
bisa saya pastikan baru akan berkembang lama dikemudian hari, selama
cara saya mengisahkan peranan saya dalam sejarah itu biasa-bisa saja
tanpa disertai nada meng-claim bahwa yang benar ini dan yang itu salah.
Sedangkan slaing tuding suapa yang paling bersalah atas jatuhnya Ibukota
RI Yogyakarta hanya dalam tempo beberapa jam pada 19 Desember 1949,
kontoversinya langsung pecah pada masa itu juga. Siapa yang paling
bertanggungjawab atas fakta begitu mudahnya Ibukota RI jatuh ketangan
musuh, langsung ditudingkan pada AH. Nasution.
Mengenai siapa
yang paling bertanggungjawab atas fakta begitu mudahnya Ibukota RI jatuh
ketangan musuh pada pagi hari 19 Desember 1949, pada hari-hari itu juga
langsung ditudingkan kepada Kolonel AH. Nasution sebagai Panglima
Komando Djawa. Terlebih, karena pada hari-hari itu Panglima Besar
Sudirman baru aktif kembali setelah lama cuti sakit, sementara Nasution
yang padahal sudah tahu pasti segera akan terjadinya agresi Belanda itu
ternyata masih sempat-sempatnya melakukan perjalanan meninggalkan
ibukota sampai beberapa hari tanpa lebih dulu melakukan
persiapan-persiapan yang matang dalam menghadapi serangan Belanda,
sebagaimana dikatakan perwira intelijen Kolonel Zulkifli Lubis, sudah
diketahui jelas akan terjadi! Nasution bersama hampir semua staf Markas
Besar Komando Djawa sejak beberapa hari sebelum 19 Desember sedang
melakukan perjalanan dinas ke Jawa Timur. Lantaran itulah, maka para
perwira dan pemimpin politik yang menyesalkan tindakan Nasution tersebut
lantas memunculkan sindiran : “MBKD itu singkatan dari Markas Belanda
Keliling Djawa!”
Lapangan terbang Maguwo yang sudah jelas
menjadi gerbang utama masuknya tentara Belanda, persiapannya sangat jauh
dari memadai. Bom-bom yang sudah dipasang di sisi-sisi landasan belum
bisa difungsikan alat pemicu ledaknya, cuma tinggal detonatornya tapi
ternyata juga tidak beres. Satuan keamanan lapangan terbang cuma
berjumlah seratusan orang dengan persenjatana sangat minim. Tadinya
sempat ditambah perkuatan pasukan AD dengan persenjataaan lengkap, tapi
hnya 1 Kompi, dan itupun malah ditarik lagi hanya beberapa jam sebelum
serangan Belanda tiba. Akibatnya parah. Pesawat-pesawat AURI yang ada di
Maguwo dihancurkan semua. Pasukan payung Belanda diterjunkan dengan
aman, pesawat-pesawat Dakota pengangkutnya bolak balik lenggang kangkung
dengan amannya mendrop pasukan dan perlengkapan. Di Jogja, TNI kocar
kacir tanpa adanya kordinasi yang memadai. Baik kordinasi untuk
melakukan perlawanan seperlunya, maupun pengungsian kedaerah gerilya.
Meski sudah ada Perintah Siasat Panglima Besar sejak bulan Juni 1948
untuk bergerilya, tapi pada 19 Desember itu ternyata tetap saja banyak
pasukan yang bingung mau melakukan apa dan bagaimana. Hasilnya ya
seperti saya lihat sendiri pada jam-jam serangan Belanda tiba. Eksodeus
dan pengungsian pasukan-pasukan TNI beserta keluarganya mengalir dengan
banyaknya kearah barat. Cuma sedikit satuan yang berinisiatif melakukan
penghambatan. Diantaranya Brigade X Letkol Soeharto yang tetap bertempur
menghambat kemajuan musuh dari Maguwo, juga Brigade XVI pasukan saya
yang berinisiatif sendiri melakukan penghambatan dan memberi
perlindungan dibelakang pasukan-pasukan Siliwang yang ribuan jumlahnya
ber long march untuk kembali ke Jawa Barat.
Dikemudian hari,
antara lain oleh Jenderal AH. Nasution, kontoversi peristiwa 19 Desember
itu dialihkan topiknya. Bukan lagi soal siapa yang paling
bertanggungjawab atas kenyataan begitu gampangnya ibukota jatuh ketangan
musuh, tapi ke soal Soekarno-Hatta yang tidak mau bergerilya. Topik ini
dikembangkan sampai menuju perdebatan mengenai peranan pihak mana yang
lebih penting, militer atau politisi sipil? Perang gerilya atau
diplomasi internasional?. Terjadi polarisasi bersifat hitam putih,
terbentuk dikotomi opini. Perdebatan membesar hingga sedemikian rupa,
sehingga pada sepanjang puluhan tahun pemerintahan Jenderal Soeharto,
dimana banyak sejarahwan berusaha menyenangkan hati pihak militer,
sampai terbentuk opini yang serba memuja pihak militer, semua sejarah
peran militer jadi serba mulia tanpa cacat. Apa yang sebelumnya dikritik
para pengamat sebagai kelalaian besar Nasution, jadi terlupakan. Meski
peran diplomasi pun tidak sampai dinihilkan sama sekali.
Langkah
Soekarno-Hatta tidak turut bergerilya sebenarnya memang sudah menjadi
keputusan Sidang Pemerintah RI dan dalam sidang kabinet 19 Desember pagi
itu pun terlibat para pimpinan APRI, kecuali Nasution tentunya yang
sedang tour keluar kota. Pertemuan dan hasil sidang ini sudah disepakati
bersama Panglima Besar Sudirman. Ternyata kemudian langkah politik
Soekarno-Hatta ini sangat tepat. Jenderal Spoor, pucuk pimpinan tentara
Belanda, kecewa luar biasa mendengar laporan bahwa tidak terjadi
pertempuran dikediama Presiden dan Wakil Presiden RI. Karena itu berarti
tidak bisa menembak pucuk pimpinan RI itu. Tatakrama politik
internasional hanya bisa memaklumi kalau tewas pada saat pertempuran,
killed during action.
Jenderal Spoor lebih marah besar lagi
mendengar Soekarno-Hatta ditawan karena menyerah, tidak melakukan
perlawanan. Padahal dalam rencana operasi militer Belanda ini, bilamana
pucuk pimpinan RI turut bergerilya maka pasukan elit Belanda yang sudah
dipersiapkan dan dilengkapai perlengkapan tempur dalam jumlah besar akan
langsung menyerbu kemanapun Soekarno-Hatta berada. Belanda berpikir,
dengan begitu maka sempurnalah operasi pemusnahan RI, Agresi Militer ke
II Ibukota RI diduduki, dan pucuk pemerintahan RI tewas terbunuh dalam
pertempuran. Nmaun karena hanya menyerah maka hanya bisa ditawan, tidak
bisa dieksekusi pada saat itu.
Setelah dicoba untuk memaksa
pemerintahan Soekarno-Hatta untuk menyerahkan kekuasaan, seperti ketika
pucuk pemerintaha Belanda menyerahkan kekuasaan kepada tentara Jepang
tahun 1942 , maka diperintahkan agar diusahakan agar Bung Karno-Hatta
terdorong untuk melarikan diri, supaya ada alasan untuk ditembak
ditempat. Namun semua muslihat Belanda gagal. Dengan langkah serta sikap
Bung Karno-Hatta yang berani dan konsisten itu maka perjuangan
diplomasi diarena politik internasional pun mancapai hasil yang terbaik.
Beda dengan kontroversi sejarah peristiwa 19 Desember 1948 yang sudah
cukup ramai semenjak masa di Jogja dulu, mengenai sejarah Serangan Umum 1
Maret 1949 baru terjadi kontroversi lama kemudiannya. Baru setelah
kepemimpinan Jenderal Soeharto sebagai Kepala Negara mulai banyak
dikritik. Sebelumnya, SU 1 Maret 1949 itu tidak dibahas, dan umunya
orang Cuma tahu pemimpin perangnya adalah Soharto. Dimasa Orede Baru,
saat peran militer pada umumnya dan peran Soeharto pada khususnya sedang
diagung-agungkan, juga dalam rangka legitimasi historis doktrin politik
Dwi-Fungsi ABRI, maka sejarah 1 Maret 1949 diangkat sampai mendetail.
Kemudian sampai muncul bahasan untuk membedakan antara pemimpin
pelaksana operasi perang dan pencetus ide. Sebanya ada beberapa, yaitu :
Satu, karena banyak pelaku sejarah yang ingat bahwa sebelum Serangan
Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letkol Soeharto Komandan Brigade X,
memang sudah ada perintah untuk serangan umum, bahkan sudah menjadi
teori yang seharusnya dalam perang gerilya. Maka mulai ada keraguan pada
peran Soeharto dalam hal asalnya ide atau keaslian ide. Dua, karena
perintah yang ada itu dari pihak yang lebih tinggi dari Soeharto,
biasanya perintah pelaksaan, dan simpul mereka Soeharto hanya sebagai
pelaksana. Tiga, karena munculnya suara saksi-saksi hidup, seperti
Marsoedi yang bersaksi tentang pertemuan rahasia antara Soeharto dan
Sultan. Lalu ada lagi kesaksian yang bicara tentang perintah Panglima
Divisi III Kolonel Bambang Sugeng untuk Letkol Soeharto. Dan lain-lain
kesaksian berkaitan dengan pemimpin lain diatas Soeharto. Semua sebab
tersebut menjadi satu, menjadi sangat kuat menopang pendapat bahwa bukan
Soeharto pencetus ide yang sebenarnya, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono
IX atau Kolonel Bambang Sugeng. Sehingga menjadi 3 nama yang paling
sering dibicarakan di media massa, sebab Soeharto secara eksplisit
menegaskan perananya itu sambil menolak pendapat yang menyebut nama
Sultan.
Dalam perkembangan selanjutnya, para peneliti mendapat
kejelasan bahwa Bambang Sugeng pasti bukan. Karena Surat Perintahnya
sebagai Panglima Divisi III untuk Letkol Soeharto itu itu baru
bertanggal 1 Januari 1949 dan entah kapan tiba ditangan Soeharto,
sementara Soeharto sendiri sudah melaksanakan serangan umum sejak 29
Desember 1948 dengan surat perintah operasi dari Soeharto sendiri yang
diedarkan ke seluruh SKW-SWK sekitar menjelang Natal 1948. Tidak mungkin
menghubungkan dalam sebuah garis komando antara SP Bambang Sugeng
tanggal 1 Januari itu dengan serangan umum yang dilaksanakan pada 1
Maret 1949. Karena sesudah Januari, ada 3 kali serangan umum sebelum
serangan umum 1 Maret. Meskipun ada perintah lain, perintah tersebut
tidak membicarakan tentang serang pada siang hari atau menduduki posisi
musuh.
Khusus dalam persiapan serangan umum 1 Maret, saya
termasuk yang turut dalam dalam pertemuan-pertemuan dengan Soeharto yang
terjadi menjadi sangat sangat sering, terutama menjelang hari H nya.
Satu orang lainnya Letkol Soedarto. Juga dalam pertemuan-pertemuan itu,
saya tidak pernah sama sekali mendengar Soeharto menyebut tentang
kordinasi dengan pasukan WK-1 dan WK-II. Hal yang tentunya tidak mungkin
kalau kordinasi Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng itu memang
ada, karena pasti sangat penting, baik untuk kepentingan teknis
operasional maupun moral pasukan kami. Juga kalau memang benar ide SU
dari Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng, mengapa pasukan-pasukan
yang berada di SWK I dan SWK II yang juga organik dari Divisi III tidak
sama-sama melancarkan serangan umum ke Jogja? Atau setidaknya mengikat
pasukan Belanda yang berada diwilayah teritori masing-masing, agar tidak
membantu temen-teman mereka yang dikepung gerilyawan di dalam kota
Jogja. Kenyataannya bala bantuan pasukan Belanda mengalir dari Semarang,
Magelang, Solo, dan kota-kota kecil lainnya memasuki kota Jogja.
Serangan Umum 1 Maret 1949 murni hanya dilakukan oleh pasukan-pasukan
SWK III, terutamanya organik Brigade X dan Brigade XVI, disamping juga
tentunya pasukan-pasukan lain yang menyingkir dari pendudukan Belanda,
berlindung diwilayah SWK III.
Sekarang tinggal dua, antara
Sultan dan Soeharto, belakangan menjadi tiga. Nama saya dimasukkan
belakangan. Beda dengan pertentangan antara pendukung pendapat mengenai
peran Sultan dan peran Soeharto, yang tidak ada saksi dalam pertemuan
mereka kecuali mereka berdua saja, perhadapan antara peran saya sebagai
pengusul ide dan pengakuan Soeharto yang yang tidak menyebut peran saya
(walau juga tidak pernah membantah, karena mungkin tidak ada yang
mengingatkannya) itu ada saksi lain disamping saya dan Soeharto, yaitu
Letkol Soedarto. Kelak Letkol Soedarto pensiun dengan pangkat Mayjen TNI
jabatan terakhir di militer Kepala Direktoret Zeni TNI-AD dan selaku
Pemimpin Proyek Pembnagunan Masjid Istiqlal Jakarta.
Di bab
terdahulu sudah saya singung tentang rapat kami bertiga. Dalam rapat
kami, Soeharto, Soedarto, dan saya di Semaken Kulon Progo, saya dan
Soedarto ingat persis bahwa Soeharto tidak pernah sekalipun
menyebut-nyebut tentang usul atau perintah dari siapapun. Tidak
sekalipun Soeharto dalam rapat mengucapkan kata-kata bahwa pertemuan ini
adalah untuk penjabaran atau untuk menindak lanjuti perintah dari atas,
atau seseorang. Juga tidak pernah ada ucapan Soeharto yang mengomentari
bahwa usul saya tersebut sama dengan yang diusulkan sebelumnya oleh
siapa-siapa. Padahal kalau memang ada, sebagai pemimpin perang, Soeharto
tentu akan dengan semangatnya menyampaikan kepada kami bahan penting
bagi kebutuhan teknis operasi militer maupun untuk membesarkan moril
kami sebagai pelaksana operasi yang akan maju ke fornt terdepan. Lagi
pula tidak ada alasan untuk Soeharto menyembunyikan hal itu pada kami
berdua. Toh, waktu itu belum ada urusan meng-claim siapa pencetus ide.
Malah sebagai pemimpin yang baik tentu Soeharto akan menyebut usul saya
itu dengan mengatakan, “Bagus! Usul kamu sama dengan Sri Sultan!” atau
paling tidak mengatakan “Bagus, Saya juga berpikir seperti itu” Tapi
ternyata tidak satupun komentar seperti itu yang saya dan Soedarto
dengan dalam rapat bertiga kami.
Mayjen Ir. H.R. Soedarto
selalu, dan dimana-mana, bersaksi bahwa sayalah yang pertama kali
mencetuskan ide seranagn umum di siang hari, serangan umum yang akan
dimuat di media massa sehingga membawa dampak yang resonasi yang luas.
Pak Soedarto bahkan, kalau dia lihat saya yang diam saja pada saat
orang-orang merayakan peristiwa bersejarah itu, sering bicara ke saya
dengan nada mengingatkan bahwa sayalah pencetus ide aslinya. Di mengira
saya lupa karena saya memang lebih suka diam.
Pak Darto
menceritakan dimana-mana, dan bukan nanti setelah Soeharto tidak
berkuasa lagi sebagai Presiden. Soedarto meninggal sebelum Soeharto
turun. Banyak teman-teman kami di Yayasan Serangan Umum 1 Maret maupun
PaguyubanWehrkreise III, yang semula tidak tahu, dia cerotakan. Soedarto
bahakn sering menceritakan peran saya itu pada orang-orang sejak dulu.
Bahkan sebelum Soeharto menjadi Presiden, jauh sebelum Peristiwa
Serangan Umum 1 Maret 1949 mendapat apresiasi oleh masyarakat seperti
sekarang. Pada tahun 1950-an hingga 1960-an, kisah perjuangan kami yang
dimulai dengan Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 itu
memang kurang dirayakan. Mungkin karen apemimpin militer pada saat itu,
Nasution tidak terlalu suka kalao cerita itu diungkit-ungkit. Setelah
masa orde baru, pada saat peran militer pada umunya, dan lebih khusus
lagi peran Jenderal Soeharto diangkat luar biasa, Soedarto beberapa kali
mengisahkan cerita yang sebenarnya mengenai usul saya sata kami rapat
didaerah sektornya itu kepada para wartawan-wartawan yang
mewawancarainya. Tapi katanya, ternyata tidak ditulis oleh
wartawan-wartawan tersebut. Mungkin dianggap soal kecil.
Tahun
1996, dalam rangka menyongsong 50 Tahun Perang Gerilya yang akan
dirayakan pada tahun 1998, Yayasan 19 Desember 1948 menyiapkan
penerbitan buku sejarah dan kesaksian-kesaksian para pelaku sejarah.
Judulnya, Perang Gerilya - Perang Rakyat Semesta. Di dalam buku ini,
pada kesaksian tertulis Mayjen TNI Purn. Ir. HR. Soedarto menegnai
pengalaman perang gerilya, tegas dikatakan peran saya sebagai pencetus
ide serangan umum disiang bolong. Saya juga diminta untuk menulis
pengalaman perang gerilya dalam buku itu, dan saya pun menceritakan
tentang usul saya kepada Soeharto untuk melakuka serangan umum disiang
hari, dan kalau bisa menduduki kota Jogja walau cuma beberapa jam saja.
Buku ini diterbitkan dimasa puncaknya kekuasaan Jenderal Soeharto,
penerbitannya pun menjadi apresiasi luar biasa bagi Soeharto, karena
pada tahun 1997 dianugerahkan pangkat Jenderal Besar Bintang Lima. Sama
sekali tidak ada bantahan Soeharto mengenai tulisan dibuku tersebut.
Lain dengan orang-orang yang bermacam latar belakang dan motivasi
berusaha mengecilkan peran sejarah Soeharto, terlebih setelah Soeharto
tidak berkuasa lagi, Pak Soedarto tidak ada alasan untuk mengecilkan
peran sejarah Pak Harto. Seperti saya, Soedarto pun sangat sering
memuji-muji jasa-jasa dan kelebihan Soeharto yang memang nyata. Memang
beda dengan Pak Soedarto yang bersaksi, atau orang lain. Kalau saya,
karena masalah ini sudah sedemikian ramai, saya justru jadi sungkan,
ndak enak hati. Apalagi kalau langsung membantah peran orang lain,
kecuali kalau ditanya, pasti akan saya jelaskan dengan serincinya. Bukan
takut, saya hanya tidak mau berbantahkan dengan Pak Harto. Lagipun
Soeharto juga tidak pernah mengiyakan maupun membantah kenyataan saya.
Pak Harto tidak pernah, langsung maupun tidak langsung mengucapkan
kata-kata yang bernada negatif mengenai diri saya maupun peran sejarah
saya itu. Tidak pernah sekalipun. Di bab-bab selanjutnya akan dijelaskan
mengenai hubungan baik saya dengan Soeharto, semenjak saya ditahan
akibat Permesta, maupun setelah kami sama-sama sepuh. Hubungan kami
cukup rapat.
MENGAKHIRI SISA-SISA KOLONIALISME DI INDONESIA TIMUR
Keberhasilan dan dampak strategis dari Serangan Umum 1 Maret 1949 segara
mengubah situasi Perkembangan dihari-hari berikutnya terus meningkatkan
posis RI. Pemimpin tentara Belanda di Indonesia yang mungkin masih
menilai peristiwa 1 Maret itu hanya semacam keuntungan sesaat bagi
Indonesia, segera melancarkan apa yang mereka sebut pembersihan. Lebih
150.000 tentara lengkap dengan mesin-mesin perangnya yang baru
dikerahkan. Tapi dari pasukan gerilya justru disambut dengan perlawanan
yang lebih hebat lagi dan meluas. Tidak hanya disekitar Yogyakarta, tapi
pula hampir diseluruh Jawa, timur, tengah sampai kebarat, begitu pula
di Sumatera. Keberhasilan di Yogyakarta telah menaikan semangat semua
pasukan TNI.
RI kemudiannya berhasil mempertahankan eksitensinya
sebagai negara merdeka dan berdaulat, dimulai dengan ditandai
pengembalian kota Yogyakarta kepada RI. Ini merupakan wujud nyata dari
spirit kemerdekaan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Maka, target
perjuangan selanjutnya ialah melenyapkan sisa-sisa dan peluang
kolonialisme dinegeri ini, antara lain adalah sistem federalisme yang
digalang oleh Letnan-Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dr. Van Mook.
Sistem federalisme itu sendiri baik, tetapi itu sudah dijadikan sebagai
alat muslihat untuk pihak kolonialis mencengkeram lagi bangsa ini. Salah
satu masalah penting yang masih terhalang antara lain adalah Irian
Barat. Dalam struktur federalisme dalam RI Serikat, dimana Negara
Indonesia Timur (NIT) dan sejumlah daerah adalah negara berdaulat yang
setara dengan RI, maka konsekuensinya ialah selama NIT tidak mengklaim
Irian Barat, maka Irian Barat akan selamanya menjadi milik Belanda. NIT
sulit diharapkan untuk mengklaim wilayah Indonesia paling timur itu,
karena pengaruh politik kolonialis masih sangat kuat mengendalikan NIT.
Memimpin Bagian Pendidikan Angkatan Perang,
Gugurnya Lembong
Pada hari-hari dimana posisi politik Belanda di Jawa mulai melemah, RI
maupun TNI terus melancarkan konsolidasi. Untuk tujuan jangka panjang
TNI mulai menyusun sistem pendidikan, yang akan dipusatkan di Yogyakarta
dan Bandung. Di Yogyakarta, sebagai kelanjutan Akademi Militer yang
sudah ada, muncul usulan akan dipindahkan ke Jakarta. Tapi ada pula
rencana agar dipusatkan di suatu tempat di Jawa Tengah. Sedang yang di
Bandung untuk memanfaatkan sarana peninggalan lembaga-lembaga pemdidikan
militer Hindia Belanda, dan kemudian BFO yang sudah tersedia memadai.
Saya teringat waktu Adolf Lembong datang bergabung dengan apsukan KRIS.
Dia, sebagai militer profesional langsung kami minta untuk melatih
pasukan. Saya lihat dia hebat sekali, langsung saja saya berfikir jauh
kemudian hari dia bisa melatih perwira-perwira muda TNI. Lembong adalah
mantan KNIL dengan pangkat Letnan, bahkan kemudian dalam pasukan Sekutu
dia naik menjadi Kapten. Bandingkan dengan Nasution cs. Yang sekarang
menjadi penentu garis kebijakan TNI, termasuk mengarahkan Panglima Besar
Sudirman. Waktu Lembong berpangkat Letnan KNIL, Nasution masih Sersan
Taruna. Belum selesai pendidikan, hanya dipercepat karena perang Pasifik
keburu berkobar. Dalam pasukan Sekutu, Kapten Lembong bahu membahu
dengan serdadu Inggris, Australia, New Zealand, India, dan Malaya
mempertahankan benteng terakhir Inggris di Asia, pulau Singapura
menghadapi serbuan bala tentara Jepang. Setelah Singapura jatuh, dia
menyusup keluar hingga berhasil mencapai Sumatera.
Saya kembali
mempromosikan Letkol Adolf Lembong buat memimpin Bagian Pendidikan TNI.
Semula ada hambatan, tetapi kemudian lancar saja. Habatannya bukan saja
banyaknya saingan, yaitu perwira tamatan sekolah tinggi militer Belanda
dan sudah membuktikan kerjanya yang bagus di Akademi Militer Yogyakarta,
tapi juga masalah sekitar pribadi Lembong sendiri. Letkol Lembong dulu
sempat di isukan sebagai mata-mata Belanda, sekarang isu itu ditiupkan
kembali. Tidak ikutnya Lembong dalam perang gerilya seolah menjadi
pembuktian tuduhan itu. Maka saya harus makin berjuang keras. Boleh
dibilang, sayalah yang menjadi ‘penyebab’ tertangkapnya lembong oleh
tentara Belanda pada saat Agresi 19 Desember 1948 itu.
Waktu
itu, Lembong memang sudah bukan Komandan Brigade XVI lagi, ia disiapkan
untuk menjadi Atase Pertahanan RI di Filipina. Ketika Komandan Brigade
XVI Letkol Joop F. Worouw menyertai rombongan MBKD ke Jawa Timur,
kepemimpinan Brigade banyak dipercayakan kepada saya. Begitu Agresi
Belanda tiba, suasana agak kacau. Banyak yang tak jelas arah karena
kurangnya informasi dan kordinasi dari pucuk pimpinan. Keadaan
pasukan-pasukan kacau balau, banyak diantara kami yang melaksanakan
rencana yang tidak tepat dan tidak jelas arahnya. Pada waktu itu saya
bilang ke Lembong,
“ Ngana disini jo, nyanda usah iko pa torang barundur maso kampung!”
“ Kiapa dang kita nyanda iko?” tanya Lembong.
“ Kita tentara kwa!” balasnya lagi.
“ Sudah jo, ngana iko torang pe nasehat” balas saya memutuskan pembicaraan.
Sebenarnya saya khawatir, dalam situasi serba kacau seperti ini mungkin
akan lantas dimanfaatkan oleh orang-orang yang memang berniat
membunuhnya, akibat tuduhan mata-mata tadi. Jadi saya sarankan sembunyi
saja dulu dalam kota, nanti setelah selesai konsolidasi dan
satuan-satuan gerilya sudah tersusun dikantong-kantong perlawanan, baru
dia akan saya jemput. Tak disangka kalau pendudukan Belanda atas Ibukota
RI itu betul-betul luar biasa, betul-betul hendak memusnahkan RI. Sejak
19 Desember 1948, mereka tiap hari melakukan razia-razia siang dan
malam. Yang dicurigai langsung ditangkap. Lembong tertangkap oleh razia
Belanda dan dipenjarakan di Ambarawa.
Setelah TNI Kembali ke
Jogja, saya berusaha mempercepat pembebasan Lembong di Ambarawa. Setelah
bebas, sesuai prosedur, Lembong tetap harus menjalani pemeriksaan oleh
CPM di Jogja. Sebelumnya saya sudah jelaskan ke Nasution tentang soal
tidak ikutnya Lembong bergerilya. Jadi pemeriksaan ini hanya sekedar
formalitas saja sesuai tata cara tentara
Didalam struktur
terbaru pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS),
Kolonel AH. Nasution menjadi KSAD, Pangsar Sudirman menjadi KSAP dengan
pangkat Letnan Jenderal. Wakil KSAP Kolonel TB. Simatupang. Mendampingi
Nasution di MBAD, Kolonel Bambang Sugeng menjadi Kepala Staf G atau
Umum. Kolonel Hidayat menjadi Kepala Staf Q, Letkol Soehoed menjadi
Kepala Staf A (Ajudan Jenderal). Para pimpinan AD yang bermarkas di Jl.
Merdeka Barat Jakarta itu langsung menerima usul saya agar mengangkat
Letkol A.G. Lembong jadi Kepala Pendidikan AD dan akan dikembangkan
menjadi Pendidikan Angkatan Perang RIS. Saya tidak tahu apakah ada
pengaruh keberhasilan kami dalam perang gerilaya yang berpuncak dengan
Serangan Umum 1 Maret itu sehingga mereka sangat terbuka menerima usul
saya. Kemudian saya bahkan langsung diminta menjadi Wakil Kepala Bagian
Pendidikan, mendampingi Lembong.
Saya dan Lembong naik bus dari
Jogja ke Semarang. Di Semarang harus urus Surat Jalan darinTentara
Belanda untuk ke Jakarta. Kami naik kereta api ke Jakarta, setiba disana
langsung menghadap Nasution dan Bambang Sugeng di MBAD. Kemudiannya,
Letkol Lembong harus berkantor di Bandung, saya kembali ke Jogja. Kami
berdua di instruksikan untuk mempersiapkan seluruh sistem pendidikan
APRIS, untuk semua angkatan. Di Jogja diadakan serah terima pimpinan
Pendidikan Militer AD RI dari Letkol Sitompul kepada saya. Saya sekarang
membawahi Akademi Militer yang ada di Yogyakarta. Pusat Pendidikan
APRIS di Bandung dipimpin Lembong, dimulai dengan jabatan Kepala Bagian
Pendidikan TNI-AD, saya Wakil Kepala tetap berkantor di Jogja.
Karena saya smaa sekali baru dalam pendidikan tinggi militer formal,
saya angkat Lettu Leo Kailola menjadi asisten saya. Leo adalah tamatan
Akademi Militer Yogyakarta Angkatan I. Sesudah cukup mengerti, dan saya
nilai Leo ini hebat dalam soal pendidikan militer, dia saya suruh ke
Bandung menjadi ajudan Lembong, sekaligus berfungsi menjadi
pembantu/asisten. Say tidak apa-apa, toh di Jogja rencananya hanya
sementara, yang penting adalah pengembangan kedepannya buat TNI secara
menyeluruh. Ternyata betul, Lembong kemudian cerita kepada saya tentang
kerja Leo yang bagus dan sangat membantu semua rencana kami kedepannya.
Semua berjalan bagus sesuai rencana, tapi tiba-tiba berubah......!
Malam itu di Jogja, saya mendengar berita radio : DI BANDUNG TERJADI
PEMBERONTAKAN TENTARA KNIL YANG MENAMAKAN DIRINYA ANGKATAN PERANG RATU
ADIL. SEJUMLAH PERWIRA TNI TERBUNUH, DIANTARANYA....LETKOL A.G. LEMBONG!
Sejumlah politisi Belanda pro-kolonialisme rupanya telah menghasut KNIL,
para pendukun Negara Pasundan, dan bahkan pasukan DI/TII di Jawa Barat.
Mereka menamakan dirinya dengan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
Mereka berencana untuk mengkudeta pemerintahan RIS di Jakarta, untuk itu
mereka harus melumpuhkan Divisi Siliwangi dulu di Bandung. Sejak
tanggal 22 Januari 1950 mereka mulai bergerak.
Pagi-pagi
menjelnag subuh tanggal 23 Jnauari di Bandung, sepasukan besar
bersenjata lengkap terdiri dari sekitar seribuan personil bergerak dari
Batujajar, dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling. Dengan beringasnya,
mereka menyerbu Markas Divisi Siliwangi dan sarana-sarana APRIS lainnya.
Mereka menembak siapa saja anggota TNI yang ditemui. Pagi itu, Lembong
datang ke kantornya seperti biasa didampingi ajudan Lettu Leo Kailola,
mereka tidak tahu kalau markasnya sudah dikuasai oleh APRA. Begitu masuk
ke halaman kantornya, Lembong dan Leo langsung diberondong tembakan
dari berbagai arah. Mereka gugur seketika. Staf Lembong lainnya yang
juga tidak mengetahui apa sebenarnya yang terjadi, turut bernasib sama.
Jenazah mereka bergelimpangan dipintu masuk Markas Komando Pendidikan
APRIS di Bandung.
Besok paginya saya langsung ke Jakarta
menumpang pesawat terbang AURI, dan langsung melapor ke MBAD. Nasution
sedang tidak berada di Jakarta. Saya menghadap wakilnya Kolonel Bambang
Sugeng. Saya bicara sebagai Wakil Kepala Pendidikan AD, mengenai
gugurnya Lembong yang menjadi Kepala saya. Kolonel Bambang Sugeng
langsung bilang,
“ Tje, langsung oper...ambil alih!”
“ Siappp..!”
Padahal sejak semalam, dan sepanjang perjalanan dari Jogja tadi, saya
sudah berpikiran lain. Peristiwa APRA itu telah mendorong saya untuk
harus segera ke Indonesia Timur. Disana kekuatan pro-kolonialisme maupun
kekuatan militer yang bisa mereka manfaatkan masih sangat besar,
terutama pasukan KNIL. Lagi pula, pengambilan kekuasaan militer untuk
kepentingan RI di Indonesia Timur memang merupakan misi kami, Brigade
XVI/Brigade Seberang. Apa yang telah APRA lakukan di Bandung dan
Jakarta, bisa jauh lebih besar di Indonesia Timur, berupa bom waktu bagi
RI. Saya harus segera ke Makassar. Saya pun sudah bicara dengan Kolonel
Bambang Supeno yang meminta saya untuk memimpin Komisi Militer RIS yang
khusus di Sulawesi Utara.
Tapi tentunya tanggungjawab Bagian
Pendidikan AD tidak bisa saya tinggalkan begitu saja. Saya berangkat ke
Bandung, melanjutkan tugas yang ditinggalkan mendiang Lembong.
Saya sedih mengenang kematiannya yang tragis. Apalagi 2 hari setelah
gugurnya Lembong, Jan Rapar ditembak mati di Jakarta. Ini ironi sejarah
daripada dua komandan kami di pasukan KRIS. Letkol Jan Rapar, komandan
kami, yang sejak awal dikenal penuh semangat patriotisme Indonesia,
justru terbunuh oleh tentara Indonesia lantaran dituduh terlibat gerakan
pro-Belanda. Sebaliknya, Letkol Adolf Lembong, juga komandan kami, tapi
yang berawal dari tentara Belanda dan masih sering dituduh sebagai
mata-mata Belanda, terbunuh oleh tentara pro-Belanda karena menjadi
pemimpin pendidikan militer Inonesia. Sungguh ironis sekali.!
Peristiwa Andi Aziz di Makassar dan Pendaratan Batalyon Worang
Beda
dengan di Sulawesi Utara dimana kami dapat membereskan masalah-masalah
pengalihan kekuasaan militer secara lancar, tanpa pertumpahan darah, dan
membawa kebaikan bagi semua pihak, di Sulawesi Selatan ternyata harus
terjadi pertumpahan darah dan banyak memakan korban. Juga di Maluku
Selatan, dan berlangsung berlarut-larut, sangat lama.
Akhir
Maret 1950, 300 serdadu KNIL dengan komandannya Kapten Andi Azis
diresmikan menjadi APRIS. Andi Azis adalah mantan ajudan Perdana Menteri
NIT, dan segera akan disusul oleh pasukan-pasukan KNIL lainnya.
3 April 1950, ketika sudah dipastikan akan datangnya 1 Batalyon APRIS
ke Makassar, yaitu Batalyon Worang, Mr. Soumokil memimpin rapat para
politisi yang sehaluan dengannya, berupa sejumlah oknum pemerintahan NIT
bersama para pemimpin pauskan KNIL. Hasil rapat mereka : APRIS harus
dilawan, NIT akan keluar dari RIS. Akan mereka proklamirkan bersama
Republik Indonesia Timur. Begitulah, tepat pada hari yang sudah
dijadwalkan tibanya dua kapal pengangkut pauskan yang membawa Batalyon
Worang di Makassar.
5 April 1950, pasukan KNIL bergerak dipimpin
Kapten Andi Azis menyerbu Markas APRIS dan Kantor Komisi Militer RIS.
Letkol AJ. Mokoginta beserta para stafnya ditawan, begitu juga Markas
CPM di Makassar, semua dikuasai oleh pasukan Andi Azis. Semua senjata
APRIS dirampas, pembunuhan terjadi dimana-mana.
Bertepatan hari
itu saya tiba dari Manado, mau melaporkan pada Ir.Putuhena dan Letkol
Mokoginta tentang tahap-tahap keberhasilan yang sudah kami capai di
Silawesi Utara.
Sejak turun dari tangga pesawat saya telah
menangkap suasana yang tidak beres. Ada suasana tegang. Ini terlihat
pada gerak-gerik dan mata para polisi yang ada di lapangan terbang
Mandai, lebih-lebih ketika memasuki ruang tunggu. Pemandangannya aneh
sekali. Ada seorang pemuda, tegap, kelihatannya seperti seorang perwira
militer atau polisi, tapi.....kok hanya pakai kain sarung? Didalam
ruangan kantor Polisi Airport, pada jam kerja seperti ini memakai..kain
sarung? Aneh..!
Karena perhatian mata saya sempat tertuju pada
pemuda berkain sarung itu, ia lalu mendekati saya. Memberi hormat secara
tentara, menyapa saya. Katanya dia tamatan Akademi Militer Yogyakarta,
dia mengenali saya. Namanya Gatot Suherman. Dengan setengah berbisik dia
bercerita tentang apa yang terjadi. KNIL mengadakan kudeta, merebut
kekuasaan dari APRIS dan RIS. Dia dan sejumlah orang lainnya sudah
menjadi tawanan, dan ditahan ditempat ini. Diserahkan ke Polisi, sambil
pasukan pemberontak KNIL bergerak terus ke sasaran-sasaran lainnya.
Berdasar keterangan tersebut, saya langsung bergerak cepat menyusun
strategi. Pertama-tama saya menemui Komandan Polisi di mandai, namanya
Van Visjen. Saya tahu sekali kondisi psikologi para perwira warisan
Belanda. Dalam masa sekarang ini, mereka yang justru takut dan bimbang
terhadap kami tentara RI. Jadi ketika saya datangain, hanya sedetik saja
dia dan stafnya memasang tampang galak, karena saya lebih galak lagi.
Saya langsung seret dia menjauh dari teman-temannya, namun saya bicara
dengan ramah. Dalam bahasa Belanda. Dan tepat perkiraan saya, ia
langsung menyatakan siap untuk membantu saya, sambil minta tolong untuk
nasibnya kemudian. Saya berjanji pasti akan menolong kalau semua ini
sudah beres. Saya coba mengajak polisi lainnya yang justru bukan orang
Belanda, yaitu Tatang Surya dan Sahelangi. Tapi mereka takut.
Sesuai taktik yang saya susun, saya akan berpura-pura ikut menjadi
tahanan pasukan Van Visjen, tapi justru untuk bisa menggunakan semua
fasilitas yang ada pada mereka. Telepon, mobil dinas mereka, dan bebas
kemana saja karena ada pengawalan dari anak buahnya. Pengawal saya itu
akan terlihat seperti penjaga saya yang menjadi ‘tawanan’. Untuk
penginapan, saya menyuruh Visjen atur memindahkan ‘tempat tahanan’ dari
Airport Mandai kesebuah Hotel ditengah kota Makasar. Semua dengan cepat
langsung diaturnya.
Saya harus bergerak cepat dengan cermat.
Saya sudah mendapat info, Letkol AJ.Mokoginta, Mayor Hartasning dan
lain-lain sudah dalam tahanan Andi Azis. Jadi sekarang tinggal saya
satu-satunya pemimpim APRIS di Makassar yang masih bebas. Saat itu juga
saya minta diantar ke tiga tempat. Pertama, menemui Kapten Guus Supit
Kepala PHB. Saya tahu orang teknis seperti dia tidak mungkin ditahan.
Saya minta Guus Supit selidiki via telepon siapa saja teman-teman dari
TNI yang bisa lolos dan tidak tertangkap, dan kalau bisa dihubungi
dimana dan bagaimana. Dapat, antara lain Kapten Harry Pangemanan, juga
dari Brigade Seberang. Guus Supit lantas mengajak saya makan di restoran
di kampung Cina, katanya enak. Ternyata disini memang aman untuk
perundingan. Tidak lama, Harry Pangemanan muncul setelah dihubungi Guus
Supit via jaringannya.
Sambil makan, tanpa buang waktu langsung
saya suruh Harry cari tahu siapa saja orang Minahasa yang ada dalam
pasukan inti Andi Azis, yang punya kedudukan berpengaruh. Kemudian
dapat,
“ Namanya Ronny Pinaria. Tapi pangkatnya cuma Peltu.......” kata Harry.
“ Ndak apa-apa. Saya jamin dia mampu,” kata saya.
“ Usahakan cepat ketemu. Kita kasih jaminan bahwa APRIS akan tetap
pakai dia nanti. Dia tidak akan dihukum nanti sebagai anak buah Andi
Azis. Tugasnya, pengaruhi pimpinan pasukan gara ketika menyerbu Markas
Pasukan Gagak Hitam di Sungguminasa jangan dengan kekuatan besar. Diatur
agar dipecah kesasaran lain juga, supaya cukup seimbang. Pasukan kita
di Sungguminasa adalah andala kita satu-satunya, jadi kalau mereka bisa
melakukan perlawanan yang berarti maka akan mempengaruhi semangat
laskar-laskar rakyat di kampung-kampung untuk bangkit. Suruh juga itu
Pinaria mengaturr pengambilan senjata serta amunisi di gudang KNIL,
langsung kasih ke laskar-laskar rakyat yang membutuhkannya.” Jelas saya
panjang lebar memaparkan rencana saya.
Setelah itu saya langsung
meluncur ketempat Letkol Mokoginta ditahan, tahanan rumah. Saya minta
Van Visjen sendiri mengawal saya, supaya lebih dipercaya oleh pasukan
KNIL yang jaga disana. Ketika masuk kedalam ruangan, saya sendiri
langsung bersikap seperti bukan tawanan. Maksud saya adalah untuk bisa
segera memulihkan semangat Mokoginta, karena saya tahu persis bagaimana
kondisi kejiwaan seorang tentara jika berada dalam tawanan musuh. Tapi
justru melihat saya muncul dalam situasi bukan tawanan seperti itu,
Mokoginta jadi marah-marah. Dia takut akan memperparah hukuman yang
ditimpakan oleh pasukan Andi Azis terhadap dirinya. Saya kaget juga
dimarahi seperti itu. Mokoginta sepertinya sudah takut sekali dengan
Andi Azis.
Disana juga saya ketemu Letkol Herman Pieters, saya
cerita maksud saya, mungkin Pieters tahu ada hal-hal lain yang telah
dialami oleh Mokoginta. Tapi Pieters Cuma kasi komentar yang berupa
penilaiannya terhadap pribadi Mokoginta yang dilihatnya buruk sebagai
serdadu. Bukan itu yang saya perlu.
Peltu Pinaria berhasil
menjalankan misi dari kami. Pertempuran di Tangsi Gagak Hitam di
Sungguminasa berjalan seimbang, malah kemudian pasukan KNIL dipukul
mundur. Apalagi kemudian laskar rakyat dari berbagai penjuru datang
membantu. Kemudian, pasukan yang dipimpin Brandes Angkow, Sam
Mnagindaan, Willem Maleke, Jan Rombot dan Goan Sangkaeng itu bahkan maju
ke front tengah kota, mengejar pasukan KNIL yang berundur. Pertempuran
besar pecah di Verlengde Klapperlaan. Dalam pertempuran ini gugur
beberapa personil Gagak Hitam. Diantaranya, Letnan Joost Karaouwan,
Letnan Yo Rei, Letnan Tangkudung, Sersan Palengkahu dan Sersan Pantouw.
Tapi justru dampak dari penampilan mereka laskar rakyat bangkit
dimana-mana. Masyrakat pun berpikir, pasukan APRIS yang di Sungguminasa
saja tidak dapat ditaklukkan oleh KNIL Rakyat dimana-mana bangkit
melawan, bahu membahu dengan sisa-sisa pasukan APRIS. Malam tanggal 5
April itu juga situasi mulai berubah, Mokoginta dibebaskan dari tahanan
rumah.
Melihat situasi makin lemah bagi pihak mereka di
Makassar, Mr. Ch. R.S. Soumokil bersama Overste Gisjberts, Kepala Staf
Teritorial Tentara Belanda di Indonesia Timur, tanggal 15 April
berangkat dengan pesawat ke Manado. Rencananya, mereka akan menggerakkan
KNIL di Minahasa dan mendirikan Republik Timur Besar, karena mereka
tahu orang-orang Minahasa lebih pro-Belanda.
Tapi mereka tidak
tahu kalau justru di Sulawesi Utara sudah lebih dulu kami
konsolidasikan. Terbayang juga bagaimana sekiranya Sulut belum sempat
dikonsolidasikan, pasti peristiwa APRA di Bandung dan Andi Azis di
Makassar akan terulang di Manado. Bahkan mungkin lebih hebat lagi.
Di Markas KNIL ia bertemu dengan Mangundap. Ajakan Soumokil ditolak
mentah-mentah. Begitu juga ketika Soumokil bertemu pemuka-pemuka
masyarakat, dia ditolak dimana-mana. Biak warga kota Manado dan
pedalaman, Amurang, pedalaman Minahasa sama ditolak keras. “ Kami pilih
Indonesia Merdeka, bukan Timur Besar!” kata para pemimpin pemuda.
Di Amurang malah Soumokil hampir saja dihabisi oleh para pemuda, dia
sampai harus meloloskan diri tengah malam dengan perahu nelayan dari
pantai Tanawangko, takut kembali ke Manado. Juga dia berpikir, tidak
mungkin lagi juga kembali ke Makassar. Maka ia lari ke Pulau Seram,
Maluku Selatan. Disini ia mendirikan Republik Maluku Selatan. Satu lagi
bom waktu “dipasang” oleh sang petualang ini.
Para Polisi keturunan Belanda yang menolong pada hari terjadinya
peristiwa Andi Azis kemudian saya tolong salurkan kedalam TNI. Puluhan
tahun kemudian, sekitar tahun 1970-an saya sudah aktif berbisnis, sata
sedang mengantar seorang relasi bisnis dari Jepang ke Lanud Halim
Perdanakusumah yang akan pulang, tiba-tiba sepasukan Polisi Militer
TNI-AU mendapat aba-aba memberi hormat kepada kami secara militer. Saya
kaget, karena saya tahu tidak ada prosedur militer untuk memberi
penghormatan kepada rombingan kami, apalagi kami sipil. Teman-teman yang
pengusaha Jepang tidak mengerti, mereka senang-senang saja, dia mengira
sudah aturan disini. Ternyata Komandan Paukan POMAU itu Van Visjen.
Rupanya ia terus menjadi polisi dilapangan terbang. Ia datang menyalami
saya, ia masih kenal wajah saya walau sudah lama dan sudah banyak
berubah. Mungkin saja karena wajah saya sering diliput media massa saat
Peristiwa PRRI/Permesta. Berkali kali dia mengucapkan terima kasih
kepada saya, padahal dulu sudah.
Gatot Suherman, pemuda berkain
sarung dilapangan terbang, tawanan Van Visjen kelak menjadi Pangdam
Udayana. Saya sempat bertemu dengannya saat acara GABSI di Lombok. Gatot
sangat berterima kasih kepada saya karena perubahan statusnya dari
tahanan beneran menjadi tahanan pura-pura yang bahkan mendapat fasilitas
hotel dan pengamanan di Makassar saat peristiwa Andi Azis.
Andi
Azis lain lagi. Saya bertemu dengannya tahun 1953, waktu saya sudah di
Pusat Infanteri di Bandung. Joop Worouw, Panglima di Makassar minta
tolong saya besuk dan bantu-bantu Yo Wenas di Penjara Cimahi. Letnan Yo
Wenas bekas anak buah saya, dan juga menjadi sopir merangkap ajudan
Joop. Dia buat kesalahan, ndak bisa menahan diri, berangasan,
nembak-nembak ban mobil orang. Akhirnya kena disiplin Militer. Yo Wenas
sebenarnya seorang perwira yang cerdas. Alumni Akmil Yogya yang sangat
pintar, encer otaknya. Nah, waktu menjenguknya di Cimahi, Yo bilang
dikamar atas ada Andi Azis. Saya kemudian naik melihatnya.
Dua
minggu lebih saya di Makassar. Kelompok KNIL Andi Azis sudah tidak
mengganggu lagi. Batalyon Worang pun sudah mendarat. Rombongan pasukan
APRIS yang lebih besar, dipimpin Kolonel Alex Kawilarang akan segera
tiba. Sesudah bantu-bantu Mokoginta buat laporan ke Jakarta, saya pulang
ke Manado. Tapi sebelum pulang, masih sempat datang makan bersama
dengan apsukan Brandes Angkow di Pandang-pandang, Sungguminasa.
Kepada semua anggota AU Belanda maupun KNIL yang saya temui sepanjang
perjalanan, saya dorong untuk bergerak. “Ambil alih secara baik-baik.
Yang penting pengaruhi lebih dulu sebanyak-banyaknya teman lain dalam
kesatuan.”
“Cepat-cepatlah melapor ke APRIS. Tetapkan saja hati,
jangan bimbang untuk berkarir dalam TNI. Kalau ada kesulitan, hubungi
saya di Tomohon,” pesan saya setelah memberi petunjuk buat proses masuk
APRIS.
Begitulah proses pengalihan kekuasaan militer di
Indonesia Timur. Berhasil dengan lancar di Sulawesi Utara, tapi
berdarah-darah di Sulawesi Selatan dan Maluku. Sesudah peristiwa Andi
Azis awal April 1950 itu, masih terjadi lagi pertempuran di Makassar
pada pertengahan Mei, dan terjadi lagi di bulan Agustus 1950. Belum lagi
yang di Maluku, pemberontakan KNIL dengan bendera RMS ini sempat
berlangsung lama. Ini lah “bom-bom waktu” yang ditanam oleh penjajah
Belanda.
Tragis..Kasihan serdadu-serdadu KNIL di Makassar itu,
banyak yang fisiknya sudah tidak kuat lagi. Mayoritasnya orang Ambon,
lainnya Minahasa, Makassar, Jawa dan Sunda. Semakin mereka dalam keadaan
diombang-ambingkan, makin gampang pula dihasut provokasi, lalu dengan
nekat memberontak. Padahal, sebagaimana fakta yang sudah terjadi pada
pemberontakan awal April itu, dengan pasukan kami-APRIS, yang masih
sangat sedikit itu saja mereka tidak bisa berbuat banyak. Apalagi
sekarang, setelah pendaratan Worang dan pasukan Kawilarang tiba di
Makassar.
Di lain pihak, orang-orang KNIL dan politisi federalis
itupun semestinya ada empati. Mereka harus tahu apa yang merupakan
garis politik dan tekad juang setiap personil TNI, naik yang sudah
menjadi TNI semasa di Jawa maupun teman-teman kami para gerilyawan
pro-RI di wilayah Indonesia Timur. Begitu juga dengan faktor emosional
disetiap anggota TNI dan gerilyawan pro-RI itu, termasuk perasaan dendam
yang baru tumbuh dengan terjadinya Peristiwa APRA di Bandung dan
Jakarta. Dan pasti langsung ditambahkan pada dendam yang sudah tumbuh
akibat pembunuhan massal di Sulawesi Selatan yang juga dilakukan oleh
oknum yang sama, Kapten Raymond Westerling.
Begitulah dalam
kesimpang siuran situasi revolusi fisik. Meski diantaranya terdapat
beberapa pihak yang memegang garis politik yang maisng-masing sebetulnya
benar, namun tetap ada yang harus dikorbankan. Ini hukum sejarah, dan
sudah menjadi sejarah perjalanan bangsa ini.
KOMPAS SUMU dan SSKD
Struktur Komando diseluruh wilayah
Indonesi Timur telah tersusun. Panglima Tentara & Teritorium
Indonesia Timur dijabat Kolonel A.E. Kawilarang, Kepala Staf Letkol
Sentot Iskandardinata, Staf I Mayor Dolf Runturambi, Staf II Mayor Leo
Lopulisa, Staf III Mayor Sanyoto, Staf IV Mayor Suprayogi, dan Staf V
Mayor M. Saleh Lahade. Mereka adalah perpaduan dari staf dan pimpinan
pasukan Brigade Seberang. Sedang Letkol Soeharto tetap memimpin
Brigadenya, Brigade Garuda Mataram yang berkedudukan di Makassar dan
sekitarnya. Beberapa bulan kemudian struktur Staf terjadi perubahan.
Kepala Staf dipegang Letkol Kosasih, Staf II Mayor Lendy Tumbelaka, dan
Staf IV Mayor Pattimana. Yang lainnya tetap.
Setelah Slamet
Riyadi gugur dalam penumpasan RMS, Kawilarang mengangkat Warouw untuk
menggantikannya sebagai Komandan Operasi Penumpasan RMS. Saya
menggantikan Warouw sebagai Komandan Kompas-B. Nah, pada saat saya
menjabat ini datang Edi Gagola menemui saya. Dia dulu staf Brigade XVI
SWK 103A yang saya pimpin. Sebetulnya Edi sudah desersi dari TNI, ketika
menghadapi Agresi II Belanda, waktu ada konvoi pasukan Belanda lewat
dekat sektor kami, Edi malah menyerah kepada tentara Belanda untuk
ditawan, saya sampai marah waktu itu. Walau sering ragu akan
kesetiaannya kepada RI, sebagai staf ia amat pintar. Makanya dia saya
pakai lagi.
Belum lama menduduki jabatannya di Makassar,
Panglima Kawilarang berkunjung ke Sulawesi Utara. Disamping kunjungan
dinas sebagai Panglima, dia menyempatkan untuk bertemu sanak keluarganya
di Tondano dan Remboken. Saya, sebagai pimpinan APRIS di daerah ini
mengawalnya kemana-mana. Walau Alex orang Minahasa, dia tidak banyak
tahu tentang daerah ini. Kawilarang lahir dan tumbuh besar di Pulau
Jawa.
Pertama bertemu, Panglima Kawilarang bilang,
“ Tje, ada salam dari Overste Soeharto”.
Rupanya Soeharto sudah menceritakan kepada Panglima tentang kerjasama
erat kami dalam perang gerilya di Yogyakarta. Mungkin Soeharto ingin
menyatakan bahwa dirinya sudah tidak asing lagi bekerjasama dengan para
perwira dan pasukan Brigade Seberang yang sekarang berperan besar di
Indonesia Timur. Sekarang, Letkol Soeharto memimpin Brigade Garuda
Mataram yang menjadi bagian dari ekspedisi APRIS untuk Indonesia Timur
yang dipimpin Kawilarang. Brigade ini memang sangat diandalkan oleh
Kawilarang. Mereka ditempatkan disektor kota Makassar dan ditebar hingga
ke Sungguminasa dan Maros.
Panglima Kawilarang sering memuji-muji Soeharto. Katanya,
“ Tje,.. Soeharto itu kerjanya bagus, tenang, selalu memperhitungkan segala situasi dengan matang.”
“ Ya, dia memang begitu orangnya. Selalu sangat tenang dalam menghadapi masalah besar.” balas saya.
“ Tapi Tje, kamu tau nda? Ada persamaan antara kamu dengan Soeharto.”
“ Apa dia Panglima?” tanya saya heran.
“ Sama-sama suka diam, nda banyak omong! susah bercandanya.." Jelas Panglima Kawilarang
Kawilarang lantas bercerita bagaimana Soeharto mengatasi pemberontakan
KNIL pada pertengahan Mei 1950 di Makassar. Itu pertempuran yang lebih
besar dibanding peristiwa Andi Azis sebulan sebelumnya.
“ Overste Soeharto itu disiplinnya luar biasa, terhadap dirinya, juga terhadap anak buahnya,” puji Kawilarang berulang-ulang.
Peranan Batalyon 3 Mei
Republik Maluku Selatan (RMS) diumumkan berdiri pada tanggal 24 dan 25
April 1950. Proklamasinya dibacakan oleh Manuhutu, Kepala Daerah Maluku
Selatan. Disponsori oleh Dr. Soumokil dan Mayor Nanlohy, Nanlohy adalah
komandan pasukan KNIL di Ambon. Presiden RMS Manuhutu, Perdana Menteri
Dr. Soumokil merangkap Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan A.
Nanlohy. Setelah proklamasi, pasukan KNIL di Ambon langsung bergerak,
menolak kedatangan APRIS diwilayahnya.
Pemerintah Jakarta
bertindak tegas. Gerakan pemecah belahan wilayah negara Indonesia
tersebut dipadamkan secara militer. Panglima Wilayah Indonesia Timur,
Kolonel AE. Kawilarang ditunjuk memimpin operasi. Meski Kawilarang
mengangkat Letkol Slamet Riyadi sebagai Komandan Operasi Penumpasan RMS,
namun Kawilarang pun terjun langsung ke front. Sehingga pasukan APRIS
lebih bersemangat.
Segera saja Kawilarang menghitung bahwa tidak
cukup pasukan yang sudah dikirim pertama di Sulawesi Selatan, dan sudah
tidak bisa ditambah lagi dari sana, karena harus juga tetap
berjaga-jaga di sana, karena pasukan KNIL di Sulawesi Selatan masih
besar, dan dengan perlengkapan kuat. Jadi, hampir seluruh pasukan kami
yang ada di Sulawesi Utara dikerahkan, termasuk Batalyon Worang dan
Batalyon 3 Mei. Letkol Joop F. Warouw dan saya mengatur pasukan-pasukan
yang akan menyerbu dari utara.
Peranan Batalyon 3 Mei amat
besar. Karena ke-3 Kompi besar mereka adalah bekas KNIL, sedangkan lawan
yang kami hadapi juga sesama KNIL. Jadi mereka kenal betul
taktik-taktik maupun sifat-sifat dari gerakan, dan juga senjata yang
digunakan lawan.
Ada cerita lucu. Suatu hari, kebetulan saya
sedang berada di dekat alat Telegraf di Markas saya, masuk kawat dari
Makassar, ternyata dari Panglima Kawilarang. Saya langsung ambil dan
baca sendiri. Saya memang sedikit mengerti pekerjaan telekomunikasi ini
karena pernah sekolah pelayaran di Makassar. Isinya : SEGERA DISIAPKAN
PASUKAN ‘BARET HIJAU’ UNTUK SEGERA DIKIRIM KE FRONT MALUKU!
Pasukan KNIL yang dalam RMS itu memang banyak personilnya yang berasal
dari Baret Hijau dan Baret Merah. Mereka sangat kuat dan taktis.
Pasukan-pasukan APRIS sering kelabakan dibuatnya, dan menderita banyak
korban. Mereka juga penembak yang jitu dan jempolan. Salah satu
korbannya adalah Slamet Riyadi yang menjadi Komandan Operasi Penumpasan
RMS. Untuk menghadapi mereka, Panglima Kawilarang minta dikirimi
“Pasukan Baret Hijau” dari Manado. Nah, justru disini masalahnya.
Bung Lex tidak tahu kalau jumlah personil “Baret Hijau” mantan KNIL di
Manado sudah sangat sedikit sekali. Cuma sekitar 20 orang yang masih
aktif, banyak yang sudah pensiun dan keluar. Lainnya sudah masuk kedalam
Yon 3 Mei yang sudah dikirim lebih dulu.
Tapi saya lantas punya
pikiran lain, saya panggil Empie Kanter, saya ungkapkan rencana saya.
Bikin saja Depo Batalyon yang dipimpin Mamengko menjadi pasukan “Baret
Hijau”! Ini pasti akan memperlancar diterimanya mereka semua secara
resmi sebagai APRIS. Mereka sebenarnya sedang terancam tidak diterima
dalam APRIS, soalnya MBAD, Kolonel Nasution menerapkan syarat-syarat
teknis kemiliteran yang terlalu ketat, dan Kawilarang pun menjalankan
intruksi MBAD itu. Padahal, pasukan Mamengko ini hanya terdiri dari
umumnya laskar pemuda yang pemberani, masalah ini sudah cukup
memusingkan saya. Saya mengkonsolidasi pasukan-pasukan di Sulawesi Utara
ini untuk masuk APRIS, tapi sekarang, setelah misi politis strategis RI
berhasil, ternyata tidak semua dari mereka akan dipakai terus.
Sebagai kesatuan, Batalyon 3 Mei ex KNIL Alex Mengko dan Lexy Anes, Depo
Batalyon Frans Mamengko, dan 3 Kompi lainnya sudah diresmikan sebagai
APRIS. Tapi lantas ada program APRIS yang disebut Restrukturisasi, yang
antara lain berwujud penyaringan kembali semua pasukan secara individu.
Individu yang dinilai tidak memenuhi syarat, tidak boleh terus sebagai
TNI, mereka akan disalurkan keberbagai bidang-bidang pekerjaan lain
melalui Badan Restrukturisasi Nasional (BRN). Sekarang proses
penyaringan itu masih berjalan, dan pasukan anak-anak dibawah Mamengko
ini banyak yang kena. Sering kali saya merasa tidak enak pada mereka,
namun alasan-alasan pemerintah pun memang logis. Kebijakan sama juga
diterapkan kepada bekas laskar-laskar di Sulawesi Selatan.
Nah,
kali ini saya mendapat kesempatan untuk menolong para bekas laskar yang
tidak jelas nasibnya itu. Saya menyuruh Empie Kanter ke tukang jahit,
pesan topi Baret Hijau 800 buah. Padahal, Panglima Alex hanya minta,
“biar beberapa peleton saja”. Latihan secara intensif pun langsung saya
mulai untuk mereka, siang malam, tidak perlu sampai mendekati kualitas
pasukan komando atau Raiders, yang penting sudah ditingkatkan jauh lebih
baik daripada biasanya.
Dan ternyata, fakta dilapangan
membuktikan. Para pemuda “Baret Hijau” gadungan ini, yang bahkan tidak
masuk Yon 3 Mei luar biasa beraninya di medan front menghadapi pasukan
KNIL Baret Hijau dan Merah asli. Bahkan, teman-teman mereka di Batalyon 3
Mei sampai terkagum-kagum. Sedemikian hebatnya Green Barret gadungan
ini, sehingga tidak ada yang mempertanyakan kesahihan “ Baret Hijau”
mereka. Pasukan KNIL Baret Hijau dan Merah kocar kacir dibuatnya, banyak
yang tewas oleh mereka, sisanya menjadi tawanan. Mungkin KNIL Green
Barret asli yang tertawan terheran-heran, karena merasa tidak mengenal
mereka, merasa tidak pernah bertemu dalam latihan komando.
Selesai operasi di Maluku Selatan, pasukan yang kemudian dikenal dengan
nama Deetasemen Mamengko ini tidak langsung kembali ke Minahasa. Mereka
selanjutnya ditugaskan di wilayah Kendari Sulawesi Tenggara.
Komandannya, Frans Mamengko hanya murni laskar pemuda, tapi luar biasa
beraninya dan sangat cerdas. Baru berumur 20 tahun sudah dipercayakan
menjadi Komandan Depo Batalyon. Tidak sedikit yang lebih senior dan
berpengalaman diantara pasukan yang dipimpinnya. Frans Mamengko pernah
bertugas sebagai Komandan Kodim di Minahasa dan terakhir bertugas
sebagai Direktur Penelitian dan Pengembangan Intelijen TNI-AD dengan
pangkat terakhir Kolonel Inf.
Saya dengar MBAD akan menyelenggarakan pendidikan latihan khusus untuk
perwira di Jakarta. Semacam pendidikan dan latihan insentif peningkatan
profesionalisme para komandan tentara. Saya sangat tertarik, apalagi
saya dengar para pelatih teknis kemiliterannya didatangkan dari luar
negeri. Merka yang memang sudah berpengalaman sebagain instruktur, saya
sangat antusias sekali, ini yang saya butuhkan dari dulu!. Lembaga
Pendidikan Tinggi TNI-AD itu kemudian dinamakan SSKD, Sekolah Staf &
Komando Angkatan Darat.
Ketika Panglima TT-VII Kolonel Gatot
Subroto berkunjung ke Manado, langsung saya sampaikan niat saya untuk
masuk SSKAD itu. Saking inginnya, saya sampai “setengah minta tolong”,
bukan sekadar usul. Tapi Pak Gatot malah balik minta tolong,
“
Ventje tolonglah saya, jangan kemana-mana dulu. Saya masih baru disini,
dampingi saya dulu, saya perlu banyak belajar. Nanti kalau sudah beres,
saya pasti atur!..pasti!”
Niat saya tertunda, tapi saya tidak
berhenti melangkah, saya tetap bertugas dan bekerja sebaik-baiknya,
sehingga Pak Gatot sebagai Panglima menjadi sangat senang. Banyak yang
kami kerjakan, merintis ini itu, disamping menjaga dan mengembangkan apa
yang sudah ada.
Ketika kemudian sampai waktunya, Panglima, Pak Gatot sendiri yang langsung bertanya,
“ Siapa ya kira-kira yang pantas memegang komando menggantikan Ventje disini?”
Dia tanya begitu saya sempat bingung. Soalnya, saya dengar-dengar Pak
Gatot menghendaki Subroto Kusmardjo yang akan naik menggantikan saya,
sedang saya sendiri sudah pernah bicara dengan Hario Kechik, dan saya
menilainya sebgaai seorang komandan yang pintar dan profesional.
Sementara, kalau ikut “kewajaran hirarki” dari Brigade Seberang untuk
perwira asal Sulawesi Utara yang ada di Manado, setelah Joop Worouw dan
kemudian saya, maka yang seharusnya adalah Kembi Worang. Belum lagi
bicara tentang prestasi Worang akhir-akhir ini, sejak mendarat di
Makassar dan kemudian Operasi Penumpasan RMS. Pada PAK Gatot saya
menjawab,
“ Siap.! Mayor Worang Pak!”
Pak Gatot diam,
lantas mengangguk-ngangguk perlahan. SK Panglima TT VII kemudian terbit,
Mayor HV. Worang diangkat sebagai pengganti saya di Manado, bukan Broto
maupun Hario.
Saya sudah di Jakarta ketika mendengar munculnya
gerilya Pasukan Pembela Keadilan (PPK) di Minahasa. Pemimpinnya tak lain
adalah Sam Mangindaan dan No Korompis, pemimpin-pemimpin dalam pasukan
Gagak Hitam di Makassar. Sam Mangindaan maupun No Korompis merasa sakit
hati, karena merasa sudah berjasa secara militer maupun politik bagi
kepentingan RI tapi diturunkan pangkatnya oleh Panglima Kawilarang.
Kapten No Korompis diturunkan menjadi Sersan, begitu juga teman-teman
mereka yang lainnya. Termasuk Goan Sangkaeng yang lantas desersi.
Gerilya PPK ini menjadi pasukan liar bersenjata, pengganggu keamanan
masyarakat. Setelah Sam Mangindaan meninggal, tempatnya digantikan oleh
No Korompis, wakilnya Jan Timbuleng yang kemudian terkenal dengan
petualangannya di Sulawesi Utara.
Kelompok ini boleh dibilang
sama dengan Kahar Muzakkar, korban dari proses transisi. Ketika pucuk
pimpinan TNI berupaya membangun organisasi militer negara, proses
restrukturisasi, reorganisasi, rasionalisasi, penegakan disiplin, selalu
akan ada individu-individu ataaupun kelompok tertentu yang merasa
dirugikan, merasa sangat berjasa dan di tidak adili. Penanganan masalah
seperti ini memang harus benar-benar bijaksana.
KONFLIK POLITIK TNI-AD
AWAL YANG NYARIS TIADA AKHIR
Saya
sedang mengikuti pendidikan SSKAD di Cililitan Jakarta ketika terjadi
peristiwa 17 Oktober 1952. Pimpinan MBAD mengerahkan demonstrasi massa
rakyat mengobrak-abrik ruang Parlemen. Sederet meriam dihadapkan ke
istana Presiden dan Gedung Parlemen. KSAD dan semuan Panglima menuntut
Presiden untuk membubarkan Parlemen. Berikut saya kutip sedikit
kesaksian Mangil, mantan Komandan DKP Tjakrabirawa, tentang situasi di
Istana Negara pada hari itu.
“ Pagi itu saya berangkat dari
rumah pukul 06.30. Saya kaget, melihat didepan Istana, sejumlah meriam
dengan moncong mengarah tepat ke Istana,” kenang AKBP Purn. Mangil
Martowidjojo, Komandan Polisi Pengawal Pribadi Presiden, dalam
pernyataan tertulis tahun 1999, terbit dalam buku bertajuk Kesaksian
Tentang Bung Karno. “...sewaktu lewat belakang Istana, saya semakin
kaget melihat beberapa Panser berjajar ditepi sungai, meriamnya tepat
diarahkan ke Istana Negara juga.”
Meski sudah menyatakan dirinya
Polisi Pengawal Presiden, Mangil tetap dilarang masuk oleh pasukan yang
sedang melakukan pengepungan. Mangil tidak boleh masuk ke Istana
karena, “ Saudara tidak meakai tanda kain putih dileher......” Perwira
Mobile Brigade tersebut tidak kehabisan akal.
“ Saya segera
mengambil sapu tangan, kebetulan warnanya putih. Saya robek dan ikatkan
dipundak. Saya dekati lagi pasukan yang mengepung itu. Kapten Kavaleri
itupun segera mengizinkan saya masuk. Saya melenggang bebas masuk
halaman Istana dan berpikir, Kapten model opo iki, gampang banget
diapusi karo bocah Wonogiri...”
Menurut Mangil, “ Saya lihat
Bapak sedang olahraga pagi, jalan kaki keliling halaman Istana bersama
Kombes Ating, Kepala Kepolisian Jakarta, dikawal oleh anak buah saya AKP
Sardi. Setelah melihat Bapak dalam keadaan aman, saya perintahkan Peltu
CPM Mimbar, Komandan Peleton Pasukan Pengawal Istana, mengecek meriam
yang ada didepan Istana, diisi peluru atau tidak?”
Beberapa saat
kemudian Mimbar melapor, semua meriam dipastikan sudah di isi peluru
tajam dan siap ditembakkan! Mangil berpikir, “......walah, bocah
gendeng!, kalau meriamnya sampai meledak, seluruh Istana pasti akan
hancur, dan kita akan diterbangkan jadi bubur sampai ke Pasar Ikan!.”
“ Seingat saya, mereka yang pagi itu datang menghadap Bapak ialah
Kolonel Simatupang, Kolonel Nasution, Letkol S.Parman, dan beberapa
perwira AD lainnya. Di dekat pos jaga depan Istana, saya lihat seorang
perwira mondar mandir dengan gelisah sambil matanya sesekali melirik ke
Istana, seakan-akan menunggu isyarat atau menanti rekan-rekannya yang
sedang menghadap Bapak. Saya perintahkan anggota saya mengusirnya.
Setelah perintah dilaksanakan, Agen Polisi Pardi melaporkan. Tugas sudah
saya laksanakan, namanya Kemal Idris, Mayor Angkatan
Darat.”....demikian kesaksian Mangil.
Malamnya saya bertemu Joop
Warouw, Kepala Staf TT Indonesia Timur yang sedang berada di Jakarta.
Kami mengobrol lama dipinggir jalan Gunung Sahari. Dengan kami ada juga
Mayor Muhammad, dulu perwira Mabes TKR yang ditempatkan di Laskar KRIS,
jadi dia sudah biasa dan akrab bergaul dengan kami orang-orang Kawanua.
Kami mendiskusikan kejadian tadi pagi.
Bung Joop mengecam
langkah KSAD Nasution dan para Panglima daerah yang melampaui garis
politik prajurit itu. Ia marah Presiden ditekan-tekan seperti itu.
Muhammad juga begitu, membela Bung Karno. Sekembalinya ke Makassar,
Warouw menegur keras Panglimanya, Kolonel Gatot Subroto, yang ikut
gerakan 17 Oktober itu. Warouw bahkan kemudiannya bertindak terlalu
jauh, mendepak Pak Gatot dari kedudukannya sebagai Panglima TT VII, dan
mengenakan tahanan rumah.
Saya sendiri tidak berpihak kepada
kubu manapun berkenaan peristiwa 17 Oktober itu. Latar belakang konflik
ini adalah perhadapan antara, disatu pihak Kolonel AH. Nasution beserta
sejumlah perwira ex-KNIL yang dibilang mengutamakan ”profesionalisme
tentara/pengembangan teknis militer” dan dipihak lainnya, yaitu Kolonel
Bambang Supeno beserta ex-PETA dan ex-Laskar yang dibilang “mengutamakan
semangat juang/politik nasionalisme”. Nah, dalam perhadapan kubu-kubu
pemikiran seperti itu, saya berada didalam kedua-duanya. Walaupun saya
dari latar belakang laskar, tapi saya juga sangat menilai pentingnya
pengembangan kemampuan teknis serta profesionalisme tentara. Dalam SSKAD
sekarang pun saya sedang menikmati mendapat banyak ilmu baru, sesuai
program pengembangan teknis militer yang dikembangkan KSAD Nasution.
Peristiwa 17 Oktober itu adalah suatu masalah besar, masalah
kenegaraan, menimbulkan pro dan kontra yang meluas. Akibatnya banyak,
dan parah sekali. Inilah yang menjadi awal konflik besar yang simpang
siur dari politik praktis kaum militer di Indonesia. Bahkan
pribadi-pribadi dan pihak-pihak yang semula menilai tepat untuk tidak
terlibat, kenyataannya harus tergulung dalam konflik yang kelak
berkembang multi-polar.
Pergolakan Sekitar Peristiwa 17 Oktober 1952
Peristiwa 17 Oktober sangat berbuntut panjang, konflik demi konflik
yang berentetan. Tidak hanya selesai dengan diberhentikannya para
perwira yang terang-terangan berkonflik itu, Kolonel AH. Nasution dan
Mayjen TB. Simatupang diberhentikan., Kolonel Bambang Supeno sudah
terlebih dahulu diberhentikan dari Inspektur Infanteri AD oleh Nasution
sebelum peristiwa 17 Oktober. Peristiwa demi peristiwa berikutnya terus
saling berangkai.
Pemerintah mengganti Nasution dengan Kolonel
Bambang Sugeng, mantan Panglima Brawijaya. Ia dari kelompok Bambang
Supeno, yang lainnya termasuk Kolonel Lubis, Kolonel Suhud dan sejumlah
Letkol dan Mayor. Warouw tidak dari awal dalam kelompok yang kemudian
disebut “Anti 17 Oktober” ini. Mungkin hanya karena memiliki pandangan
politik yang sama, yang pula oleh sejumlah perwira dalam kelompok ini
dihayati sebagai politik Sapta marga karena sejalan dengan Presiden.
Ketika KSAD Bambang Sugeng hendak mengukuhkan Letkol Joop F. Warouw
sebagai Panglima TT-VII, Pemerintah setuju. Tapi Menteri Pertahanan Sri
Sultan Hamengkubuwono IX protes keras dengan meletakkan jabatan. Pada
hari Warouw akan dilantik, Pemerintah mengubah keputusan, hendak
membatalkan pelantikan Warouw dan mengangkat Kolonel Sadikin.
Sebaliknya, KSAD Bambang Sugeng yang menjadi keberatan dan mengajukan
untuk berhenti, dan itu memang terlalu beresiko bagi Sadikin, Panglima
TT-VII yang pro 17 Oktober itu. Sadikin menolak, maka, Warouw tetap
Panglima Indonesia Timur. Ketika KSAD Bambang Sugeng hendak memindahkan
Kolonel Sudirman dari Brawijaya, Sudirman juga membangkang, dna baik
MBAD maupun Pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Kondisi seperti inilah
yang membuat KSAD Mayjen Bambang Sugeng kewalahan, sehingga
berkali-kali menyatakan pengunduran diri dari KSAD, tapi tak dikabulkan
oleh Pemerintah. Mayjen TB. Simatupang diberhentikan dengan cara
meniadakan jabatan KSAP, tapi menarik fungsi KSAP ke tangan Menteri
Pertahanan itu, masalah-masalah barupun segera bermunculan.
Sebab Pemerintah, disamping kurang memiliki wawasan mengenai
profesinalisme militer serta seluk beluk teknis militer, juga
kenyataannya Pemerintah selalu dengan gampang berubah arah, berubah
keputusan. Pemerintah hanya menjadi permainan para politikus
partai-partai yang berkuasa, sehingga tentara bakal diombang ambingkan
oleh segala kepentingan. Misalnya, ketika Menteri Pertahanan yang
menggantikan Sri Sultan, Mr. Iwa Kusumasumantri berencana mempersenjatai
pasukan-pasukan laskar baru. Umumnya para perwira TNI menolaknya dengan
keras, baik yang pro maupun kontra 17 Oktober. Mereka melihat ini
gejala yang sangat berbahaya, mereka menantang dengan keras.
Dibawah pemerintahan PM Ali Sastromidjojo yang menggantikan PM Wilopo
pada Juli 1953, Menhan Iwa Kusumasumantri mengangkat Kolonel Zulkifli
Lubis sebagai Wakil KSAD dan Letkol Abimanyu serta Letkol Sapari sebagai
Asisten di SUAD. Ketiga-tiganya dari kelompok anti 17 Oktober.
Tentangan dari sejumlah pihak pun muncul, terutama dari kelompok pro 17
Oktober.
Pertengahan 1954 Kolonel Zulkifli Lubis mengambil
inisiatif untuk mengajak Letkol Sutoko, Letkol S.Parman, dan Letkol
Suprapto, 3 perwira pro 17 Oktober untuk duduk bersama merumuskan jalan
rekonsiliasi total AD. KSAD Bambang Sugeng memfasilitasi, puncaknya
diadakan Konfrensi di Jogja pada Februari 1955 yang dihadiri hampir 300
orang perwira, menghasilkan Piagam Keutuhan Angkatan Darat atau yang
lebih dikenal dengan nama Piagam Yogya.
Tapi ternyata suasana
tenang dalam kekompakan ini tidak berlangsung lama, lantaran digoncang
lagi oleh Pemerintah. Dimulai dengan Pemerintah yang tidak menggubris
tuntutan KSAD Bambang Sugeng untuk segera merealisasikan hasil-hasil
Piagam Yogya. Pemerintah hanya sibuk dengan macam-macam urusan, memang
waktu itu sedang menghadapai Konfrensi Asia Afrika di Bandung. Juga
Pemerintah hanya fokus kepada menghadapi Pemilu 1955. Akibatnya Bambang
Sugeng lagi-lagi minta berhenti. Kali ini pemerintah mengabulkannya.
Diangkat dalam Team Asistensi Pimpinan AD
Untuk Penyelesaian Masalah
Wakasad Kolonel Zulkifli Lubis, dalam kapasitasnya sebagai caretaker
KSAD, menyiapkan rencana pemilihan KSAD baru oleh Pemerintah. Ia
menyusun kriterianya sebagai pokok-pokok pikiran yang diputuskan
Konfrensi Yogya. Antara lain adalah senioritas. Maka masuklah nama-nama
calon KSAD dengan urutan senioritas, Kolonel Simbolon, Kolonel Gatot
Subroto, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Adapun Kolonel Djatikusumo menolak
untuk dicalonkan.
Namun yang diangkat oleh Pemerintah adalah
Kolonel Bambang Utoyo yang sama sekali tidak masuk nominasi., dan
langsung dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal. Zulkifli Lubis pun
langsung melancarkan boikot, Pemerintah membalasnya dengan men-skors
Lubis. Kolonel Mursito yang diangkat Pemerintah untuk menggantikan Lubis
menolak, sementara Lubis menggalang para panglima daerah, situasi
semakin meruncing.
Puncaknya, akan digelar perundingan
penyelesaian antara perwira-perwira AD kelompik Lubis dan Pemerintah.
Rencana perundingan untuk menuntaskan masalah ini adalah hasil keputusan
pertemuan antara KSAD pilihan Pemerintah Mayjen Bambang Utoyo, dan tiga
perwira senior AD, Kolonel Sungkono, Kolonel Gatot Subroto, dan Kolonel
Dr. Azis Saleh.
Angkatan Darat, yang dalam perundingan dengan
Pemerintah nanti akan dipimpin oleh WKSAD Kolonel Zulkifli Lubis, segera
mengadakan persiapan matang. Untuk itu, dibentuklah Team Asistensi
Pimpinan AD. Di samping untuk mendampingi Lubis dalam perundingan itu,
tim ini juga segera merumuskan garis-garis pokok yang akan diperjuangkan
dalam perundingan dengan Pemerintah. Tim ini terdiri dari 6 orang
perwira : Kolonel Dr. Azis Saleh, Letkol Sapari, Letkol Abimanyu, Letkol
AJ. Mokoginta, Letkol Herman Pieters, dan saya sendiri Letkol Ventje
HN. Samuel.
Saya dan Pieters adalah yang paling muda. Herman
Pieters ini adalah orang yang terpelajar. 10 tahun lampau saja, 1945 ia
sudah menjadi Asisten Gubernur Militer. Waktu itu juga, umur 20 tahun ia
menjadi Perwira Penghubung PM Sutan Sjahrir. Anggota tim lainnya adalah
senior kami. Pak Azis Saleh sudah lama di SUAD, Abimanyu Panglima
Siliwangi, Sapari Deputi KSAD, sedangkan Mokoginta Komandan SSKAD.
Banyak analisa dan penjelasan yang disusun oleh tim kami. Namun garis
besarnya adalah harus mengangkat KSAD yang baru, serta harus sesuai
dengan kriteria yang telah diajukan oleh AD. Mayjen Bambang Utoyo kami
minta mengundurkan diri dengan sukarela, dan Pemerintah menerima
pemberhentian dengan hormat Bmabang Utoyo. Pemerintah juga harus segera
mencabut skors yang dikenakan terhadap WKSAD Zulkifli Lubis.
Dalam perundingan dengan Pemerintah pada pertengahan Juli 1955,
Pemerintah tetap bertahan mengenai KSAD. Pihak kami juga sama kerasnya,
masing-masing ngotot. Cuma 1 poin yang tercapai, skorsing WKSAD dicabut.
Angkatan Darat tetap mendesak masalah KSAD. Ditambah bermacam masalah
politik, pertengahan Juli 1955 Menhan Iwa Kusumasumantri meletakkan
jabatan. PM Ali Sastromidjojo mengajak WKSAD Zulkifli Lubis berunding
lagi. Pemerintah mengajak kompromi, yaitu akui saja dulu formalitas
status Bambang Utoyo sebagai KSAD, nanti kemudian akan diberhentikan.
Tapi AD tetap menolak kompromi. Pertengahan Agustus 1955, Kabinet Ali
bubar. Wapres Hatta, karena Presiden sedang berangkat Haji menunjuk
Burhanuddin Harahap menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri
Pertahanan.
Pak Burhanuddin dulu pernah memimpin Pasukan
Hizbullah dibawah komando sektor saya di Jogja. Burhanuddin dari Partai
Masyumi yang menguasai kabinet. Keputusan Pemerintahan yang baru adalah,
masalah 17 Oktober dinyatakan selesai. Para perwira seperti Gatot
Subroto, Nasution, Suwondo, dan sebagainya harus dibukakan pintu untuk
masuk berdinas kembali. Sedangkan, perjuangan Zulkifli Lubis cs.
Dikabulkan. Pemerintah mempensiunkan KSAD Mayjen Bambang Utoyo,
selanjutnya Pemerintah mengangkat KSAD baru, berdasarkan kriteria yang
sudah ditetapkan AD, termasuk kriteria senioritas. Calon-calonnya
adalah: Maulidin Simbolon, Nasution, Gatot Subroto, Alex Kawilarang, dan
Zulkifli Lubis
Skenario Soekarno Mengangkat Kembali Nasution sebagai KSAD
Presiden
Soekarno pada akhir 1955 sudah lain sama sekali dengan Soekarno pada
sekitar Peristiwa 17 Oktober 1952. Sangat lain, bahkan untuk beberapa
hal sudah sangat bertolak belakang dan berputar 180 derajat dalam
rentang waktu 3 tahun yang penuh dengan gejolak politik ini. Kalau pada
1952 Soekarno membela kelompok politisi yang mneguasai Parlemen dan
menentang para pimpinan AD, sekarang ia berbalik mengutuk para politisi
parpol itu, baik secara emosional politis maupun segala konsepsi
politik. Dulu Soekarno dengan tegas memecat Nasution yang dikatakannya
mempunyai pemikiran akan mendirikan negara dalam negara, sekarang
Nasution akan diangkat kembali menjadi KSAD, tidak mematuhi Piagam
Jogja.
Langkah Bung Karno merangkul Nasution segera dipadukan
dengan sekaligus usahanya mengambil hati para politisi Muslim. Caranya,
bukan saja menolak Kolonel Simbolon yang menjadi pilihan utama KSAD dan
didukung oleh semua kalangan, tapi penolakannya itu sengaja diungkap
secara eksplisit – bahwa presiden tidak mau karena Simbolon beragama
Kristen!. Dan ini disebar secara bisik-bisik sehingga menumbuhkan kesan
konfidens pada Soekarno oleh para politisi Islam yang jadi targetnya
itu.
Joop Warouw mengeluh kepada saya. Ia sangat kaget dan
kecewa luar biasa, ketika mengetahui sikap dan tindakan Soekarno seperti
itu. Ceritanya, Presiden bicara dengan Komandan CPM Letkol Prajogo,
Soekarno mengatakan bahwa ia tidak suka Simbolon jadi KSAD karena
Simbolon seorang Kristen. Dia tidak tahu kalau Prajogo itu juga
Kristen-Katholik. Waktu bertemu Bung Joop, dia lantas cerita
pertemuannya dengan Soekarno.
Bung Joop merasa sangat kecewa. Ia
merasa kehilangan. Karena sejak lama dia sangat mengagumi Bung Karno. “
Selalu pidato-pidato tentang nasionalisme, persatuan bangsa, tapi
ternyata begitu?! Pemimpin negara macam apa itu..?!” keluh Joop.
Sejak itu, saya amati sikap Bung Joop terhadap Soekarno berubah.
Ketaatannya hanya sekadar formalitas hubungan hirarki organisasional
antara seorang Panglima Daerah Militer dan Panglima Tertinggi APRI.
Walaupun Soekarno tidak tahu akan perubahan itu, Soekarno sendiri tetap
memperlakukan Bung Joop seperti biasanya. Menjadi andalannya. Skenario
menaikkan Nasution menjadi KSAD berjalan mulus. Akhir Oktober 1955
Kolonel AH. Nasution diangkat kembali menjadi KSAD. Pangkatnya kemudian
dinaikan menjadi Mayor Jenderal.
KUDA TROYA KE PRESIDEN SOEKARNO,
KUDA TROYA KE DAERAH BERGOLAK
Pimpinan TNI-AD merasa bangga SSKAD telah tumbuh sebagai pusat studi
yang berniali tinggi dan berhasil. Pencapaian SSKAD itu tentunya tidak
terlepas dari keseriusan para penyelenggaranya sejak awal. Sejak dari
tahap penerimaan siswa, seleksi secara ketet sudah diterapkan, dan
diupayakan seobyektif mungkin. Tidak semua yang mendaftar bisa lolos,
meskipun sudah senior dan berpangkat tinggi. Begitu juga dalam proses
penggemblengan, para pengajar betul-betul instruktur pilihan dan
jempolan, bukan karena faktor jabatan saja. Demikian pula ditahap akhir,
tidak semua peserta yang ikut lulus, biarpun pesertanya dalam satu-satu
angkatan hanya sedikit. Angkatan saya selesai sekitar bulan September
1953. Acara penamatan dihadiri KSAD Mayjen Bambang Sugeng di Bandung.
Kepala Litbang Infanteri & Sekertaris Kelompok Bandung
Selesai SSKAD saya ditempatkan di Inspektorat Infanteri AD di Bandung,
dengan pangkat sudah naik Letnan Kolonel – masa itu masih biasa disebut
Overste. Saya menjabat Kepala Seksi 1 membidangi Penelitian dan
Pengembangan. Teman-teman bilang, Inspektur Infanteri Kolonel Sukanda
Bratamanggala sendiri yang sejak jauh-jauh hari sudah “memesan” agar
saya setelah selesai akan dia pakai.
Di Bandung saya sangat
menikmati pekerjaan saya ini, sebagai peneliti dan perencana strategis
untuk pengembangan Infanteri. Dalam keadaan ini, saya teringat Alm.
Adolf Lembong yang bersama-sama saya dulu membangun Pusat Pendidikan AD.
Sayang kepintaran dan keintelektualannya tidak lama terpakai di TNI
beliau keburu gugur oleh peristiwa APRA.
Mengangkat Kesatuan Komando Siliwangi Jadi Andalan TNI
Sewaktu baru berdinas di Inspektorat Infanteri, dalam sebuah pertemuan
dengan Panglima Siliwangi, Kolonel AE. Kawilarang di Bandung, ia
bercerita tentang pasukan istimewa yang yang ia dirikan. Katanya,
pelatihan pasukan baru itu mencapai hasil yang sangat baik. Saya diajak
untuk melihat langsung di Batujajar. Sebetulnya, saya sudah mendengar
tentang pasukan yang dinamai Kesatuan Komando TT-III atau Kesko
Siliwangi itu. Beberapa pelatihnya juga dari kami, orang-orang Pusat
Infanteri di Cimahi. Kesko Siliwangi dengan cepat sudah menjadi buah
bibir karena kabarnya mereka memang luar biasa. Juga sudah dibuktikan
dalam beberapa kali operasi penumpasan gerombolan DI/TII di Jawa Barat.
Pasukan Komando itu memang sepenuhnya ide Bung Lex. Sewakto memegang
Sumatera Utara pun dia pernah buat pasukan serupa, tapi belum maju
seperti sekarang ini.
“ Jalan-jalanlah ke Batujajar, Ven..lihat sendiri,” kata Bung Lex sampai beberapa kali.
Waktu saya datang ke Batujajar, melihat dari dekat latihan mereka, saya
terkagum-kagum luar biasa. Sungguh lebih dari apa yang saya bayangkan
sebelumnya. Mereka begitu tangkas, bergerak amat cepat dalam
formasi-formasi yang sangat tersusun dan terlatih. Sehingga saya jadi
berpikir “lain”. Ini toh bidang dinas saya, sebagai kepala bidang
pengembangan, menyangkut pendidikan latihan personil TNI-AD. Maka
spontan saya bilang,
“ Bagaimana kalau ini saya ambil?” Artinya,
bukan hanya dalam jajaran Siliwangi saja tetapi Pasukan Komando ini
menjadi milik AD, menjadi milik nasional.
Tak disangka-sangka, Bung Lex langsung menjawab,
“Ya! Silahkan Ven.”
Padahal saya bicara tadi hanya spontanitas saking kagumnya. Saya pun
tidak merasa bersalah untuk bicara spontan seperti itu, karena hubungan
saya dengan Kawilarang sudah sedemikian rupa akrabnya, seolah-olah sudah
tidak ada lagi hubungan hirarki kedinasan.
Ternyata sejak
awalnya Kawilarang memang mengidamkan pasukan elit yang ia rintis
menjadi besar. Menjadi 1 Resimen. Maka dia berharap, dengan diangkatnya
pasukan komando ini menjadi berskala nation wide, langsung dibawah MBAD,
akan lebih cepat menjadi besar. Sebagai seorang pejuang, ia sangat
senang kalau keseluruhan TNI menjadi kuat.
Proses ini dengan
cepat saya urus ke Pak Sukanda, saya presentasikan rencana saya ini ke
SUAD. KSAD Mayjen Bambang Sugeng sangat mendukung, langsung buat surat
resmi untuk Panglima Siliwangi. Kemudian, Kesko Siliwangi segera berubah
nama menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD), tapi markasnya
tetap di Batujajar. Tugas saya selanjutnya ialah mempromosikan KKAD ke
daerah-daerah untuk mendapatkan calon-calon prajurit komando yang
terbaik, karena segera akan dimekarkan menjadi 1 Resimen.
Saya
berkeliling semua Teritorium. Dari TT-I Bukit barisan hingga TT-VII
Wirabuana Indonesia Timur. Saya promosikan, saya tekankan setiap
Panglima TT harus mendukung, saya jelaskan syarat-syaratnya untuk jadi
anggota pasukan komando ini. Untuk tujuan promosi, saya selalu memutar
film dokumentari berisi kegiatan latihan dan simulasi operasi pasukan
yang sudah ada di Batujajar. Saya kemana-mana bersama Kapten Supardjo
Rustam yang meneteng peralatan film dokumentari kami. (Letjen Supardjo
Rustam, mantan ajudan Pangsar Sudirman pada masa clash fisik, pernah
menjabat Menteri Dalam Negeri RI 1983-1988)
Ajudan Presiden Dengan Misi Istimewa
Sejak bulan-bulan akhir 1955
sangat kentara Presiden Soekarno sudah mulai condong kekiri. Makin lama
kecondongan Soekarno makin ekstrim dengan merangkul PKI masuk kedalam
pemerintahan. Satu lagi bom waktu yang siap meledak. Bagi kebanyakan
pimpinan TNI, PKI memang sudah secara apriori dipandang sebagai bahaya
besar. Karena pengalaman, PKI nyata-nyata menikam teman seperjuangan
pada Pemberokan PKI Madiun 1948. Didahului dengan program pemerintah
yang dikendlikan PKI, berupa Pendidikan Politik Tentara (Pepolit) yang
menjadi pangkal terpecah-belahnya tentara.
Melihat gelagat
Soekarno yang seperti ini, kami yang sudah tergabung dalam Kelompok
Bandung menyimpulkannya sebagai ancaman serius bagi bangsa dan negara.
Dalam setiap pertemuan, Kolonel Sukanda Bratamanggala, Kolonel Askari,
Kolonel Suryosurarso, Kolonel GPH. Djatikusumo, dan saya, sepak terjang
politik Soekarno selalu menjadi topik utama kami.
Akhirnya
Kelompok Bandung menyimpulkan solusi : menempatkan saya untuk
mengendalikan Soekarno dari “dalam”. Menjadi orang yang harus dekat
secara pribadi sehari-hari, inner-link. Menjadi Ajudan Presiden
Soekarno.
“ Ventje sudah yang paling cocok untuk misi kita ini,”
kata Pak Sukanda pada saat kami sedang berdua di kantor, maksud
kata-katanya adalah untuk menguatkan saya.
Dijelaskan pula,
tugas khusus ini hanya bisa dijalankan oleh orang-orang yang teguh,
tidak gampang hanyut oleh retorika-retorika Soekarno, serta mengerti
soal ide-ide politik. Saya diharapkan berfungsi mirip Kuda Troya. Bisa
masuk kedalam lingkaran dalam pihak lawan, karena tidak dilihat sebagai
ancaman.
Usul Kelompok Bandung segera ditersukan ke MBAD, dan
KSAD Nasution langsung menyetujuinya. Kami mendengar Presiden Soekarno
juga sangat antusias menyetujui pengalihan saya menjadi Ajudan Presiden,
dan ketika ternyata tidak terealisasi, saya tidak pernah tahu apa
sebabnya.
Sudah Lulus ke Fort Leavenworth USA, Tapi........
Dalam bulan-bulan
awal 1956, berlangsung seleksi perwira-perwira yang hendak tugas belajar
ke AS, untuk masuk ke Command and General Staff College di Leavenworth,
Kansas. Saya juga ikut seleksi. Setelah melalui seleksi yang sangat
ketat diadimistrasi dan syarat-syarat dasar, tersaring 50-an perwira,
selanjutnya ke 50-an orang calon ini harus mengikuti ujian seleksi di
Jakarta, hanya 1 orang yang akan terpilih.
Ujian terdiri dari 2
tahapan. Ujian lisan dan ujian dalam bentuk tanya-jawab lisan. Tahap
akhir ujian lisan ini dihadapan tim penguji, KSAD Nasution, didampingi
anggota tim penguji, Mokoginta, Rachmat Kartakusumah dan Cakradipura.
Boleh dibilang pada masa ini, mereka berempatlah yang dipandang sebagai
intelektual di jajaran TNI-AD.
Pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh Mokoginta saya jawab, dia langsung puas. Apalagi
Cakradipura, dia pengajar saya di SSKAD, dan dia tahu bagaimana saya
dalam penguasaan teori. Selanjutnya Kartakusumah mengajukan topik yang
masih asing bagi umunya perwira kita. Tpai karena saya seorang kutu
buku, dan sudah cukup akrab dengan literaturnya, saya bisa juga
menjawabnya, dan dia tersenyum puas.
Tiba giliran Nasution, jadi
sangat panjang. Karena bukan lagi sesi tanya jawab, tapi lebih kearah
diskusi antara kami berdua. Nasution tidak lagi menggunakan menit-menit
yang berlaku sebagai ujian, melainkan diskusi yang ia sendiri
menikmatinya. Nasution memfokus diskusi kepada menajemen organisasi
militer angkatan darat, dan justru topik itu yang sudah beberapa bulan
kebelakangan ini, saya yang justru memberi masukan kepadanya di MBAD,
karena memang sudah tugas saya. Ia juga membuka topik standardisasi,
diskusi menjadi semakin seru. Hampir 1 jam kami berdiskusi, penguji yang
lain Cuma bertindak sebagai penonton. Beberapa hari kemudian, Mokoginta
bilang ke saya, “ Selamat ya Tje, kamu yang terpilih”.
Terpilihnya saya dengan nilai terbaik itu mengagetkan banyak orang.
Karena umumnya mereka sudah memastikan bahwa yang akan keluar sebagai
juara ialah Mayor WP. Nainggolan, yang merupakan perwira dari Sumatera
Utara yang cerdas luar biasa!. Kecerdasannya sudah diakui oleh banyak
pimpinan AD.
Saya sangat gembira. Lalu saya mulai siap-siap
untuk berangkat ke AS. Tapi......! Kemudian terjadi perubahan besar.
Saya tidak jadi berangkat, melainkan diarahkan ke Makassar. Ya, ini hal
“besar” dalam segala segi bagi saya. Segi positif maupun negatif.
Sebagai prajurit, saya tetap menerima tugas tersebut. Saya berangkat ke
Makassar untuk menjadi Panglima Indonesia Timur, dengan lebih dulu
menjabat sebagai Kepala Staf untuk beberapa hari.
Saat sedang
persiapan meninggalkan pekerjaan di Inspektorat Infanteri, suatu hari
saya bertemu dengan Achmad Tirtosudiro. Dengan gembira ia mengatakan
terima kasih ke saya. Katanya, karena saya batal ke Fort Keavenworth
maka dia yang mendapat kesempatan pergi. Saya sempat bingung, tidak
mengerti.
Ternyata, setelah melihat hasil ujian dimana Boyke
Nainggolan tidak terpilih, MBAD menganggap itu adalah sesuatu yang
sangat disayangkan, sayang kalau perwira secerdas Boyke tidak
dikembangkan optimal. MBAD mengajukan permohonan ke Fort Keavenworth
agar menambah ‘quota’ untuk Indonesia. US Embassy di Jakarta juga
di-approach, agar ikut memperjuangkan ke pemerintahannya. Akhirnya
berhasil. Yang akan berangkat, saya dan Nainggolan, peringkat 1 dan 2.
Lalu karena saya batal, peringkat ke-3 naik, yaitu Achmad Tirtosudiro.
Itulah mengapa dia datang berterima kasih kepada saya.
(Mayor W.P Boyke Nainggolan kemudian hari turut serta dengan kami dalam PRRI/Permesta, dan gugur tertembak oleh Tentara Pusat).
Menjadi Kepala Staf TT-VIII
Untuk Ganti Panglima Indonesia Timur
Saya dibatalkan ke Fort Leavenworth US karena ditugaskan oleh
pemerintah pusat, juga dibujuk oleh WKSAD Gatot Subroto untuk menjadi
Panglima Indonesia Timur. Waktu itu saya sedang dalam hari-hari yang
sangat bahagia, karena sudah diumumkan menjadi juara-1 dalam seleksi
untuk studi ke Command & General Staff College di Fort Leavenworth,
Kansas.
Suatu sore, Pak Sukanda bilang ada telepon dari Jakarta,
saya diminta menghadap ke MBAD. Isi perintahnya “Penting!”. Saya tanya
Pak Sukanda, ada apa? Atasan saya ini bilang tidak tahu, tapi ia menduga
2 kemungkinan : soal persiapan keberangkatan saya ke AS atau realisasi
usulan jadi Ajudan Presiden.
Jadi Ajudan Presiden? Wah, saya
sudah hampir lupa soal itu. Saya ndak tahu lagi, ndak pernah mau tau,
apa sebab pengusulan tersebut masuh terbengkalai. Saya ndak ingin tahu,
apalagi ketika ikut seleksi buat studi ke Fort Leavenworth. Perhatian
dan harapan saya sepenuhnya sudah tercurah disini. Saya ingin belajar
banyak, buat bisa membangun tentara negara ini. Pengalaman di SSKAD, dan
kemudian selama bekerja di Seksi Penelitian dan Pengembangan
Inspektorat Infanteri, semuanya telah menumbuhkan kesadaran penuh saya
mengenai pentingnya pengetahuan untuk membangun TNI, bukan melalui
politik!. Fort Leavenworth! Disitu Jenderal Einshower pernah belajar,
dan disitu pula sekarang Ahmad Yani sedang belajar. Saya mau sekali
kesana.
Sore itu juga dari Bandung saya langsung ke MBAD di Jakarta. Saat sedang diruang tunggu KSAD, ajudan WKSAD datang menjemput.
“ Overste, ditunggu Pak Gatot,” katanya.
Rupanya urusan penyampaian ke saya, Nasution menyerahkannya kepada Pak
Gatot. Pak Gatot Subroto pernah Panglima Indonesia Timur, atasan
langsung saya. Tapi saya sama sekali tidak berpikiran lain, tidak ada
rasa curiga. Bagi saya tidak ada yang aneh, Nasution memang sering
mempercayakan pada Pak Gatot segala urusan. Pak Gatot memang jauh lebih
senior dari Nasution.
Begitu masuk ruang kerjanya, Pak Gatot langsung menyambut hangat. Dengan suara keras khasnya, penuh keakraban,
” Hai Kawanua! Sudah tahu kenapa harus melapor?”
“ Untuk menerima perintah keberangkatan Pak?”
Karena suasana gembira yang ia bawakan, saya langsung pikir ini tentu
sesuatu yang menyenangkan buat saya. Yaitu segera ke Fort Leavenworth,
makanya saya jawab begitu.
“ Betul! Berangkat.....,” katanya
“ Duduklah dulu Ven.”
Saya duduk didepannya, Pak Gatot mulai ancang-ancang ubah sedikit bicara menjadi serius. Ia bicara perlahan,
“ Ventje, kamu memang sudah harus berangkat. Tapi jangan kaget..kamu tidak jadi ke Amerika...”
Sampai disitu saya kaget. Masak diminta jangan kaget?!
“ Kenapa tidak jadi Pak...?! Ada apa ini...?!
“
Ven, kami telah memutuskan mengangkat Ventje sebagai Kepala Staf
TT-VII. Ventje harus bantu Joop, sekarang ini, Joop sangat membutuhkan
bantuan Ventje, kan untuk membangun daerah kamu sendiri juga Ven....”
Pak Gatot bicara terus. Saya diam terus. Nada nya semakin lama semakin
membujuk dan memberi dorongan. Dibukakan pada saya bahwa semua Panglima
sudah pasti akan diganti, dan setiap Panglima diminta usulannya tentang
siapa yang dikira layak menggantikannya, dan Panglima Joop memilih nama
saya. Nasution juga setuju, dan makin dikuatkan oleh Pak Gatot bahwa
“itu pilihan terbaik, jangan sampai lepas!”. Sedangkan usulan
paanglima-panglima lain masih dipertimbangkan.
“ Bagaimana Ven?” tanya Pak Gatot tiba-tiba.
“ Siap Pak! “
“ Terimakasih, Ven! Terimakasih,” kata Pak Gatot sambil berdiri dari kursinya dan menepuk-nepuk bahu saya.
“ Kesediaan Ventje sangat penting bagi kami saat ini, sangat-sangat
menolong kami. Kami sangat yakin Ven, kamulah orang yang kami perlukan.”
Yang
selalu disebut dengan “kami” oleh Pak Gatot itu, saya tahu, bukan hanya
dia dan KSAD Nasution beserta para staf dalam posisi mereka sebagai
pengambil kebijakan pucuk pimpinan AD, melainkan kubu politik yang
didalamnya ada Presiden Soekarno, PM Ali Sastroamidjojo, dan lain-lain.
Kubu-kubu ini memang sudah mulai terbentuk, mulai terpolarisasi.
“ Ventje, “ tambah Pak Gatot lagi,
“ Ini adalah kesempatan baik buat kamu menunjukkan kemampuanmu. Selama
beberapa tahun ini kamu sudah maju luar biasa, tapi baru saya dan Pak
Nas yang merasakannya, baru kami yang tahu, juga Pak Sukanda. MBAD
mendapat banyak dari majunya kemampuan Ventje, sekarang...daerahmu juga
harus mendapatkan itu.”
“ Tapi, Pak Gatot,....kalau sewaktu-waktu
saya akan ikut pendidikan di Fort Leavenworth itu, saya ndak perlu ikut
ujian lagi, kan?” tanya saya.
“ Ahh, ..itu soal gampang!” jawab Pak Gatot setelah mengangguk.
“ Pokoknya ke Makassar dululah.”
Akhir Mei 1955 saya sudah mulai bertugas sebagai Kepala Staf TT-VII di
Makassar. Sejak awal Joop Warouw menerima saya dengan tangan terbuka,
betul-betul sangat terbuka...tanpa reserve. Saya sungguh-sungguh
merasakan sikap tulusnya itu.
“ Pokoknya apa yang Ventje sudah atur, pasti saya setuju!” kata Bung Joop.
Saya diminta Bung Joop untuk buat apa saja yang saya pandang baik buat
membangun TT-VII Wirabuana, dan itu katanya juga terbaik baginya. Kami,
saya dan Bung Joop selalu bicara dalam bahasa Belanda campur Melayu,
campur Manado.
Persahabatan saya dengan Bung Joop sudah bermula
dari Brigade Seberang masa revolusi dulu. Waktu Markas Brigade dikepung
dan dilucuti senjatanya oleh Kahar Muzakkar, Bung Joop sebagai Komandan
Brigade, dan dia tidak bisa berbuat apa-apa...saya yang kemudian
membereskannya.
Tak disangka seperti pengulangan sejarah saja.
Semuanya sama, antara saya dan Bung Joop, lalu antara Bung Joop dan
Kahar. Memang salah satu program yang nyaris sudah menjadi rutin di
TT-VII ialah menghadapi gerombolan yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar.
Gerombolan anak buah Kahar ini menguasai wilayah pedalaman selatan dan
tenggara Pulau Sulawesi. Kami bertanggungjawab menjaga keamanan
masyarakat daripada gangguan mereka.
Ini sungguh ironi sejarah.
Ketika kami mengadakan Reuni Brigade XVII di kota Makassar, saya,
Warouw, Saleh Lahade, Andi Mattalatta dan teman-teman lainnya, justru
Kahar pada saat itu berada dalam hutan dalam daerah teritorium kami.
Padahal Kahar adalah salah satu perintis utama KRIS, cikal bakal Brigade
XVI....ia perintis Pasukan Seberang.
Dalam rangka penyegaran
didalam jajaran perwira TT-VII Indonesia Timur, mutasi-mutasi kami
laksanakan. Mutasi-mutasi para perwira ini adalah untuk pengembangan
karir mereka kedepannya, disamping juga untuk memperjuangkan para
perwira ex-Brigade XVI mendapatkan jabatan di pusat atau daerah-daerah
lain. Mayor Andi Rivai diangkat menjadi Komandan Resimen Infanteri 23
untuk Sulawesi selatan dan Tenggara, Letkol Herman Pieters menjadi
Komandan Resimen Infanteri 25 di Maluku dan Irian, Letkol Minggu menjadi
Komandan Resimen Infanteri 26 di Nusa Tenggara dan Bali, Mayor DJ.
Somba menjadi Komandan Resimen Infanteri 24 yang meliputi Sulawesi Utara
dan Tengah, menggantikan Worang. Sedangkan Worang menjadi Komandan
Resimen Infanteri di Sumatera Selatan. Letkol Andi Mattalatta menjadi
Komandan KMK Makassar.
Begitu juga perwira-perwira lainnya,
namun ada juga posisi-posisi tertentu yang ditentukan oleh panglima
sendiri. Misalnya, Asisten Intelijen TT-VII bahkan pejabatnya tidak saya
ganti. Tetap Mayor Bing Latumahina. Banyak pertimbangan saya buat untuk
tidak memutasi perwira intelijen yang cerdas ini, meski Bing belum
mengikuti SSKAD.
AWAL PERGOLAKAN
MENJURUS KE PERANG SAUDARA
Menurut
Jenderal Besar Purn. AH. Nasution, awal pergolakan yang meletuskan
pemberontakan-dalam arti perlawanan konseptis dan politisi terhadap
kepemimpinan politik nasional, perlawanan yang sudah dengan konsekuensi
tindakan fisik yang kemudian membesar menjadi perang saudara. Dimulai
dengan penangkapan Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani oleh Kolonel
Kawilarang, Panglima daerah militer yang menguasai ibukota negara,
menangkap politisi andalan Presiden Soekarno ditengah-tengah suasana
konflik politik yang sudah eksplosif.
Pendapat Nasution ini
disimpulkan sesudah pergolakan PRRI/Permesta, berdasar sudut pandangnya
sendiri, sebagaimana diakuinya, maupun ia sebagai sejarahwan yang banyak
menuangkan pengalaman dan perenungannya mengenai masa lalu dalam
sejarah-selanjutnya menjadi pendapat resmi pemerintah, juga oleh umumnya
sejarahwan.
Peristiwa penangkapan Menlu Ruslan Abdulgani
tersebut jelas bukanlah suatu awal yang sama sekali berdiri sendiri. Itu
hanya kelanjutan dari serangkaian panjang konflik politik yang sedang
berkecamuk lama. Didalamnya, para politisi dari berbagai kubu saling
bertarung, termasuk tak kurang dari Bung Karno dan Bung Hatta, Presiden
dan Kepala Negara berhadapan justru dengan Wakil Presiden sendiri, jadi
bukan hanya para pimpinan AD.
Dalam pergolakan yang memanas lagi
sejak 1956 ini, oleh banyak kalangan dinilai sebagai konflik besar yang
bisa menjurus pada perang saudara. Bung Hatta sendiri dalam banyak
penyampaiannya pada waktu itu berulang kali memperingatkan tentang
kemungkinan bahayannya pecah perang saudara.
‘Anak Manis’ Menjadi Pemberontak!
Saya sendiri pada saat peristiwa itu terjadi, Agustus 1956, masih
dipandang sebagai ‘anak manis’ oleh Nasution maupun Bung Karno. KSAD
Nasution sendirilah yang meluluskan ujian saya dengan nilai tertinggi
untuk melanjutkan studi perwira komando di Leavenworth AS. Meskipun
kemudiannya tidak jadi ke AS, itupun karena Nasution dan Gatot Subroto
pula yang mengangkat saya sebagai Kepala Staf TT-VII untuk dipersiapkan
menjadi Panglima.
Joop Warouw juga sama dengan saya, dipandang
sebagai Sukarno’s good boy. Warouw adalah kesayangan Bung Karno sejak
lama. Antara lain tentang peristiwa di Surabaya 1945, Joop dinilai telah
menyelamatkan nyawa Bung Karno, dan makin bertambah sejak peristiwa 17
Oktober 1952. Tetapi kemudian Joop menjadi penetang rezim
Soekarno-Ali-Nasution. Juga saya. Bahkan sayalah yang kemudian jadi
simbol tipikal “pemberontak”, jadi penentang yang justru bertindak
paling tegas dan keras. Memproklamirkan Permesta, mengumumkan SOB, dan
kemudian jadi seorang pemimpin PRRI yang paling terakhir menghentikan
perlawanan bersenjata. Baru berhenti setelah dibujuk secara resmi oleh
pucuk pimpinan PRRI Mr. Sjarifudin Prawiranegara dan Moh. Natsir.
Akhir 1956 saya memutuskan bahwa adalah langkah yang benar untuk secara
tegas menentang rezim Soekarno-Ali-Nasution yang semakin meninggalkan
prinsip-prinsip demokrasi, pemerintah pusat yang semakin menyibukkan
diri dengan segala gelora politik yang menelantarkan rakyat,
menelantarkan pembangunan daerah-daerah, serta menyuburkan kekuasaan
komunis.
Panglima Siliwangi Kawilarang Tangkap Menteri Ruslan,
Panglima Indonesia Timur Warouw Bela Kawilarang
Tanggal 13 Agustus 1956, atas perintah Panglima Siliwangi, Kolonel AE.
Kawilarang, garnizun Jakarta menangkap Menteri Ruslan Abdulgani. Ruslan
dituding telah melakukan perbuatan korupsi dalam kasus yang menyangkut
pengusaha Lie Hok Thay. Penangkapan ini dipimpin oleh KMKB Jakarta
sendiri, Mayor Juhro.
Penangkapan terhadap Menteri Luar Negeri
Ruslan Abdulgani merupakan pukulan besar terhadap Soekarno-Ali. Ruslan
Abdulgani, yang pula tokoh separtai dengan Soekarno dan PM Ali adalah
politisi yang sangat diandalkan oleh Soekarno. Juga sebagai Menteri Luar
Negeri ia diandalkan untuk gerakan politik internasional yang sedang
digalakkan oleh Soekarno. Sejak Indonesia dinilai sukses menggalang
politik solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika yang ditandai dengan
terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun lalu. Soekarno
sedang menikmati gelombang pasang politik luar negeri yang mengangkat
namanya menjadi pemimpin besar dikelas dunia. Saat ditangkap pun, Menlu
Ruslan Abdulgani sedang siap-siap berangkat ke London untuk sebuah
konferensi internasional dimana Indonesia diundang sebagai andalan
negara Asia yang sedang bersengketa, yakni Mesir.
Nasution
deengan cepat membebaskan Ruslan Abdulgani dari tahanan garnizun. KSAD
menggunakan alasan: menangkap seorang Menteri harus melalui prosedur
khusus, bukan seperti menangkap maling biasa.
Tapi dipihak
penentang politik Soekarno-Ali-Nasution, tindakan membebaskan Ruslan
Abdulgani itu segera menyulut api yang cepat menjalar meluas, karena
Panglima Indonesia Timur Joop F. Warouw langsung bereaksi keras,
berpihak kepada Kawilarang.
Kolonel Zulkifli Lubis menuding PM
Ali dan Mayjen Nasution mlindungi kejahatan kolar putih, berkomplot
dengan pencoleng negara. Kolonel Sukanda Bratamanggala, tokoh yang
sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Pasundan dan Jawa Barat pada
umumnya, pun mendukung Kawilarang. Sukanda bahkan mengontak Panglima
Kalimantan, Abimanyu yang juga asal Siliwangi untuk turut mendukung
Kawilarang.
Warouw Mendukung Karena Menyesal Pernah
Tentang Kawilarang Duel
Reaksi Kolonel Joop F. Warouw itu sungguh diluar dugaan banyak
kalangan. Ia langsung terdepan membela Kawilarang, padahal sebelumnya
semua tahu, Warouw sangat erat dan sejalan dengan Bung Karno. Warouw
dulunya selalu berseberangan dengan Kawilarang, imbas daripada peristiwa
17 Oktober, Wraouw mendepak Panglimanya sendiri, Gatot Subroto dan
mengenakannya tahanan rumah. Pemihakan Bung Joop pada Kawilarang ini
sangat mengguncang kubu pihak Soekarno. Dan sebaliknya, sangat
membesarkan moril kubu penetang kelompok Nasution dan Soekarno, seperti
Lubis, Sukanda, dan Abimanyu. Tapi mengapa Joop Warouw bisa bersikap
demikian? Ini faktor perasaan pribadi Joop Warouw berkenaan dengan
Kawilarang, dan saya sangat tahu itu.
Kisahnya sekitar 6 tahun
lalu, saat Kolonel Kawilarang menjabat Panglima Indonesia Timur. Joop
Warouw Komandan Pasukan Sulawesi Utara (Kopas SUMU), kemudian diangkat
oleh Kawilarng menjadi Komandan Operasi Penumpasan RMS. Ada hal-hal yang
tidak disukai Joop Warouw pada cara-cara Kawilarang. Dan Joop Warouw
rupanya sudah terlalu marah, sehingga sudah tidak perduli dengan
disiplin tentara serta kewajiban mematuhi atasan. Ia bahkan mengirim
surat tantangan untuk duel kepada panglimanya, tidak tanggung-tanggung,
surat tantangan untuk berkelahi itu ditulisnya dengan tinta merah!
Waktu itu saya sudah menggantikan Warouw di Kopas SUMU. Panglima
Kawilarang menemui saya dan mengeluhkan hal ini. Saya diperlihatkan
surat tantangan bertinta merah tersebut.
“ Tje,.....lihat..Masak dia menantang saya duel....?!”
Lex Kawilarang betul-betul kaget. Bahkan heran, bukan takut, Lex tidak
takut. Dia heran bukan main, bagaimana bisa ada tentara menantang duel
berkelahi dengan Panglimanya sendiri. Lex memang orang Manado tapi lahir
dan besar di Jawa, sehingga ia belum mengenal betul kelakuan dan sifat
orang Manado seutuhnya. Meski dikalangan teman-temannya diluar
lingkungan Kawanua dirinya sendiri terlihat mirip seperti pribadi
Warouw, pemberani dan cenderung nekat. Ya, di front manapun, di Jawa
Barat, Sumatera, Maluku, Kawilarang selalu dilihat para stafnya sebagai
pemimpin dengan nyali besar. Selalu mau tampil di depan, di front, turut
mengangkat senjata bersama anak buahnya.
Perang dingin Warouw
dan Lex masih berlangsung sampai Lex meninggalkan Makassar dan menjadi
Panglima TT-III/Siliwangi. Masing-masingnya tidak mau bersikap ramah.
Warouw keras kepala, tak pernah mau minta maaf. Atau mungkin Warouw
sudah merasa menyesal atas tindakannya, tapi malu untuk minta maaf
kepada Lex. Saya kemudian meninggalkan Kopas SUMU untuk masuk SSKAD di
Jakarta. Setamat SSKAD menjabat Kepala Seksi I Inspektorat Infanteri di
Bandung, sekota dengan Lex Kawilarang.
Waktu saya di Bandung
itulah sering bertemu Lex maupun Warouw, bila Warouw sedang urusan dinas
di kantor saya ataupun di Jakarta. Jadi saya mulai dorong Warouw untuk
berbaik dengan Kawilarang.
“ Baku bae jo ngoni dua........malu kwa kita liat pa ngoni dua” saya bilang ke Warouw beberapa kali.
Begitulah, suatu hari datang utusan Warouw dari Makassar, yaitu Nun
Pantouw, Staf Intelijen TT-VII. Warouw minta tolong pada saya agar bisa
mengatur perdamaiannya dengan Lex Kawilarang. Warouw sudag Panglima
TT-VII/Indonesia Timur, Kawilarang juga Panglima Siliwangi. Begitulah
akhirnya, dua seteru ini akhirnya bisa saya damaikan, dan dikemudian
hari, kami bertiga sama-sama bahu membahu membela tanah kelahiran kami
yang dibom sepihak oleh tentara pusat.
Menjadi Panglima Daerah Bergolak
Ditengah pergolakan politik yang
terus meruncing ini, saya diangkat oleh Nasution dan Gatot Subroto
menjadi Panglima Indonesi Timur menngantikan Warouw, sebelumnya sejak
Mei 1956 saya lebih dulu ditempatkan menjadi Kepala Staf
TT-VII/Indonesia Timur.
Pergantian panglima daerah militer ini
merupakan perjuangan yang sangat tidak mudah bagi Nasution. Meski ini
telah menjdai programnya sejak awal menjabat kembalai sebagai KSAD pada
November 1955, terlebih Pnglima Siliwangi Kolonel Kawilarang, dan
Panglima Sumatera Utara Kolonel Simbolon. Karena sedari awal, menurut
Nasution, ia merasakan sikap ketidaksukaan mereka terhadapnya.
Sebetulnya bukan hanya mereka, masih ada WKSAD Kolonel Zulkifli Lubis,
Kolonel Sukanda Bratamanggala, Abimanyu, dan banyak lagi.
Akhirnya Nasution dapat akal. Ia melakukan pendekatan langsung sambil
mengajukan pertanyaan taktis: Siapa yang panglima masing-masing usul
untuk menggantikan mereka? Rupanya cara ini secara prikologi terbukti
ampuh, karena yang diganti tetap merasa berdaulat, bahwa penggantinya
dialah yang menentukannya. Dan mereka pun merasa bahwa orang yang akan
menggantikannya adalah tetap “orangnya”. Simbolon akan digantikan oleh
Zulkifli Lubis yang dianggap satu kubu. Lubis mau, karena memang sejak
dari dulu ia berniat membereskan DI/TII di Aceh. Abimanyu, juga orang
sekubu mejadi Panglima Kalimantan. Hanya Askari yang diusulkan oleh
Kawilarang tidak disetujui oleh Nasution. Sampai akhirnya terpilih
Suprayogi untuk TT-V/Jawa Timur dan TT-IV/Jawa Tengah-Brawijaya dan
Diponegoro pun tidak lancar, sebelum akhirnya pilihan jatuh kepada
Surrachman dan Soeharto.
Namun demikian, pergantian Panglima
Siliwangi pada oertengahan Agustus berlangsung tegang, karena sebelumnya
telah terjadi penangkapan terhadap Menlu Ruslan yang menggegerkan itu.
Ditambah, pemerintah pusat mendapat laporan analisa intelijen tentang
kemungkinan PM Ali akan dikudeta bila menghadiri acara serah terima
Panglima Siliwangi di Bandung. PM Ali takut datang, ia hanya mewakilkan
Menteri Moh. Roem dari Masyumi. Sedangkan serah terima Panglima Sumatera
Utara batal terus, karena Kolonel Lubis tidak pernah datang. Ia sibuk
dengan gerakan politik di Jakarta, sampai akhirnya dinyatakan sebagai
buron dan dipecat dari TNI-AD.
Ketika menentang tindakan KSAD
Nasution dan PM Ali yang akan membebaskan Menteri Ruslan dari tahanan,
Wraouw mengancam tidak akan melepas jabataan Panglima, yang kedati
secara resmi dijadwalkan akan diserahkan ke saya antara tanggal 23-25
Januari 1926. Tapi ternyata kemudian Bung Joop menyerahkan juga Komando
Indonesia Timur pada saya, malahan lebih cepat dari jadwal semua. Serah
terima jabatan di Makassar dipimpin KSAD Mayjen Nasution berlangsung
dibawah guyuran hujan deras.
Reuni SSKAD,
Soemitro Tulis : Sumual Ganti KSAD Nasution
Sejak memimpin TI-VII, mata hati saya selalu tertikam saban kali
menyaksikan kondisi prajurit dan keluarga mereka di tangsi-tangsi kami.
Betul-betul menyedihkan......kumuh. Mereka hidup dalam asrama yang amat
sempit, lembab, gampang kena penyakit. Anak-anak dan ibunya terlihat
sangat kekurangan gizi, apalagi soal kebutuhan mental, sungguh sangat
menusuk perasaan sanubari saya.
Rakyat sipil, dikampung-kampung
pedalaman lebih parah lagi, banyak pemuda dengan masa depan yang sangat
tidak jelas, hingga banyak dari mereka memutuskan ikut gerombolan Kahar
agar bisa seenaknya merampok apa saja dari rakyat. Kalau di Sulawesi
Selatan ada gerombolan Kahar, di Sulawesi Utara/Tengah ada gerombolan
Jan Timbuleng. Keduanya sama saja, orang-orang yang merasa sangat
berjasa dalam perang gerilya melawan penjajah, kemudian sakit hati dan
melakukan petualangannya. Mereka selalu seenaknya merampok dan memeras
milik penduduk bila tidak ada petugas keamanan.
Kemiskinan dan
kemelaratan berlaku dimana-mana, bukan di Indonesia Timur saja, tapi
umumnya seluruh Indonesia. Ini adalah diakibatkan tidak seriusnya
pemerintah pusat membangun perekonomian. Mereka hanya sibuk dengan
politik...politik dan, saling sikut merebut kekuasaan, dan itu terjadi
terus menerus. Pemilu 1955 yang begitu lama ditunggu-tunggu sebagai
jembatan emas menuju perubahan dan kesejahteraan, ternyata tidak membawa
apa-apa. Kecuali persaingan konflik politik dengan peta yang baru. PKI
tampil dengan kekuatan besar.
Soekarno dan Nasution bukannya
tidak sadar akan kondisi ini, mereka sadar...sangat sadar, tapi bukannya
melakukan perbaikan sistem demokrasi, sebagaimana yang terus menerus
diupayakan Hatta, Soekarno malah terus over-kompensasi. Soekarno merasa
harus meninggalkan demokrasi seperti ini. Soekarno sudah dirasuk luar
biasa oleh semangat anti-imperialisme, anti-kolonialisme,
anti-kapitaslime, mulai berpaling pada jalan-kalan revolusi sosialisme.
Ini sangat menguntungkan PKI dan Komunisme.
Penentangan terhadap
rezim Soekarno-Ali-Nasution oleh para politisi seperti Hatta,
Syafruddin Prawiranegara, Natsir, Sjahrir, Soemitro Djojohadikusumo, dan
sejumlah intelektual, termasuk intelektual dikalangan perwira militer,
berpangkal daripada sikap Soekarno yang ingkar pada prinsip-prinsip
demokrasi, pembangunan dan pengesejahteraan rakyat, Demokrasi menurut
Soekarno harus terpimpin, dan dia yang memimpin.
Saya sudah
mengambil keputusan melepas label “anak emas” untuk berada dalam posisi
menentang rezim Soekarno-Ali-Nasution yang anti demokrasi dan
pembangunan. Apapun resikonya. Untuk membela serta memperjuangkan apa
yang harus diperjuangkan, yaitu pembangunan daerah yang sangat
terbengkalai, dan pembangunan kesejahteraan para prajurit yang sudah
amat meneydihkan dan berada dititik nadir.
Pergolakan politik di
kalangan perwira TNI-AD terus berkecamuk. Tapi karena para penetang
Nasution tidak melakukan aksi yang berarti sejak pergantian
panglima-panglima dan beberapa staf MBAD ynag pro-perubahan dan
pembangunan, maka aksi dari pihak Nasutionlah yang maju terus. Memang
ada rencana aksi sejumlah batalyon Siliwangi untuk bergerak menyerbu
Jakarta pada pertengahan Oktober 1956 tapi tidak jadi. Sukanda, Lubis
dan Sapari mendapat panggilan ke MBAD. Tanggal 7 November, proses hukum
atas mereka segera dimulai. Sukanda dan Sapari dutahan, Lubis yang
menolak datang selanjutnya menjadi buron.
Kolonel Zulkifli Lubis
memprotes penahanan dua rekannya, dan mengancam bahwa daerah militer
Sumatera Utara dan Kalimantan akan memutuskan hubungan dengan pusat. Dan
betul, Panglima TT-I Kolonel Simbolon mengeluarkan pernyataan kecaman
terhadap KSAD Nasution. Panglima Kalimantan, Kolonel Abimanyu
mengeluarkan perintah tangkap semua pejabat dari pusat, sipil maupun
militer, yang masuk ke wilayahnya.
Tanggal 16 November terjadi
aksi penyerbuan ke Jakarta oleh RPKAD dipimpin oleh komandannya Mayor
Jaelani. Sebelum masuk Jakarta, Resimen Cirebon yang dipimpin oleh Mayor
Kemal Idris akan bergabung. Begitu juga dalam kota, KMKB Jakarta yang
dipimpin Mayor Juhro akan bergabung. Mereka akan menangkap Nasution dan
PM Ali.
Tapi ternyata terjadi miss komunikasi, RPKAD yang sudah
terlanjur bergerak dan menunggu di pinggiran tenggara Jakarta, di daerah
Kranji, terdampar disana. Resimen Cirebon yang ditunggu-tunggu tidak
datang, begitu juga batalyon Siliwangi. Setelah lama menunggu yang
ditunggu tidak ada yang muncul, RPKAD akhirnya balik kanan kembali ke
Batujajar. Ternyata.....kontra-aksi dari pihak Nasution telah bekerja
efektif. Mengacaukan komunikasi para pimpinan pergerakan.
Tanggal 19 saya ke Bandung untuk menghadiri Reini SSKAD. Pertemuan ini
sedari awal sudah memperdengarkan tuntutan perubahan kepemimpinan
TNI-AD. Sasaran konkritnya, terutama ganti Nasution. Bahkan sebelum
acara reuni, tanggal 17 November, utusan SSKAD yang terdiri dari
Sutarno, Yunus, dan Rusman telah menghadap SSKAD di Jakarta. Mengajukan
kritik secara terang-terangan, dismaping mengajukan pelbagai perbaikan
solusi.
Teman-teman korps SSKAD mengkritik keras cara-cara Nasution
menyelesaikan setiap masalah. Sukanda dan Supari sudah menjadi tahanan
rumah. Abimanyu dipanggil ke Jakarta lalu ditahan. Kawan seperjuangan
sendiri pun dijebak.
Ditengah acara reuni kami yang sangat
akrab, seorang rekan alumnus, Soemitro, maju kedepan menulis di papan.
Ia Alumnus SSKAD Angkatan I, sekarang Asisten Operasi TT-V/Brawijaya
(kelak menjadi Pangkopkamtib dan Pangab). Dengan kapur, dipapan tulis ia
membuat bagan struktur kepemimpinan TNI-AD menurut versinya, yang ia
mau jadikan rekomendasi Korps SSKAD ke Pemerintah. Dipuncak bagan
struktur itu, untuk jabatan KSAD, ditulisnya nama.........saya!
Dari dulu, memang teman-teman sering mengangkat saya untuk memimpin
kegiatan macam-macam, tapi yang diutlis Soemitro itu sama sekali tidak
pernah terpikirkan oleh kami, mungkin karena sekarang saya sudah
Panglima. Macam-macam saja!
Saat kami semua sedang tertawa-tawa,
karena menganggap tulisan Soemitro itu hanya gurauan, dan teman-teman
lain bertepuk tangan karena setuju dengan pemikiran Soemitro, tiba-tiba
ada kilatan blitz kamera dari luar jendela. Ternyata seorang CPM
memotret papan tulis di depan kami itu. Memotret bagan struktur
personalia pimpinan TNI-AD yang ditulis Soemitro itu. Rupanya, ia
mata-mata yang ditugaskan Nasution untuk memperhatikan kami, tapi kami
tenang-tenang saja, toh hanya bergurau dan tidak dari kami yang
mencemaskannya.
Tnaggal 21 November, acara puncak Reuni SSKAD
dihadiri oleh Presiden Soekarno dan KSAD Nasution. Terjadi keributan,
ternyata CPM hendak menangkap Mayor Djaelani, Komandan RPKAD yang pada 5
hari sebelumnya memimpin aksi penyerbuan ke Jakarta. Perintah
penangkapan dikeluarkan oleh KSAD Nasution dan Komandan Garnizun
Bandung, Mayor Rukman (yang kemudian hari diketahui ternyata perwira
binaan PKI). Sedangkan kami mendukung tindakan Djaelani, Kemal Idris,
dan kawan-kawna tersebut. Kami harus membela Djaelani.
Saya
memarahi pasukan CPM yang hendak menangkap Mayor Djaelani. Saya bilang,
Djaelani adalah tamu saya. Selama ia menjadi tamu remi kami, maka ia
tanggungjawab kami. Tetapi saya dan teman-teman sadar bahwa Djaelani
tetap tidak akan aman bila acara SSKAD telah selesai nanti. Maka kami
mendatangi Nasution, waktu itu, selesai acara SSKAD, KSAD Nasution dan
Presiden Soekarno pergi ke Gubernuran.
Kami mendesak Mokoginta
untuk langsung memimpin kami menyampaikan protes kepada KSAD. Mokoginta
pun ikut, saya yang pimpin rombongan, tapi resminya dia. Saya dapat
memahami konflik perasaan Mokoginta, karena ia memihak Nasution, tapi
sekarang ia terpaksa memimpin delegasi yang menentang Nasution.
Di Gubernuran, saya bicara keras menyalahkan Nasution. Karena rupanya,
dalam emosi, saya sudah menjalankan tindakan menghadapi Nasution ini
sebagai wujud aksi gerakan mengalahkan kubu politiknya. Sehingga, tentu
saja, terlalu lemah sebagai aksi non-fisik.
Alasan kami hnaya
mempermasalahkan penagkapan tamu kami itu sebagai pelanggaran atas
kehormatan Korps kami. Nasution menangkis dengan dalih, bahwa perintah
penangkapan atas Djaelani sudah sejak beberapa hari lalu, tidak ada
hubungannya dengan acara kami. Waktu saya sedang mengajukan protes
kepada Nasution, saya lihat Mayor Rukman menangis. Saya ndak mengerti
apa artinya.
Mayor Djaelani, Komandan RPKAD akhirnya dapat
ditangkap, karena didalam jajaran RPKAD sendiri telah ada yang dapat
dipengaruhi oleh pihak Nasution. Ada yang bilang melalui Letkol
Kaharuddin Nasution, perwira dari angkatan I RPKAD, yang kemudian
diangkat menggantikan Djaelani.
Hatta Meletakkan Jabatan
Dewan-Dewan Daerah Bergolak!
Konstelasi politik nasional semakin memanas, belum pernah setegang ini.
Tanggal 24 November 1956, Reuni Divisi Banteng, pasukan-pasukan yang
dulu berjuang di Sumatera Tengah mendirikan Dewan Banteng, yang tak lain
sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim penguasa pusat yang dinilai
semakin menelantarkan daerah.
Dewan yang dipimpin oleh Letkol
Ahmad Hussein ini pun sebetulnya sudah beberapa bulan berkonsolidasi,
antara lain menjalin hubungan dengan Bung Hatta, dalam kebersamaan
melawan rezim anti-demokrasi yang bergandeng tangan dengan PKI dan id
kawal secara militer oleh KSAD Mayjen Nasution. Beberapa mereka yang
hadir di acara Dewan Banteng ini mengatakan, garis politik dan tuntutan
mereka jadi tambah keras karen adipengaruhi oleh aksi kami dalam reuni
SSKAD di Bandung.
Reuni Divisi Banteng di Padang itu dihadiri
oleh dua Panglima Sumatera. Panglima TT-I Kolonel Mahaudin Simbolon, dan
Panglima TT-II Letkol Barlian. Letkol Ahmad Hussein memang adalah
Komandan Resimen Infanteri 4 dibawah Panglima TT-I Kolonel Simbolon, dan
Panglima-nya mendukung langkah Komandan RI-4 itu.
1 Desember
1956, Wapres Mohammad Hatta meletakkan jabatan. Politik negara
berguncang luar biasa, terlebih para pemimpin politik dan militer di
daerah-daerah, yang selama ini memandang kehadiran Bung Hatta dalam
Dwi-Tunggal kepemimpinan nasional sebagai reperentasi aspirasi politik
daerah, dan sebagai kutub penyeimbang terhadap kekuasaan Soekarno
bersama PKI.
14 Desember 1956, Panglima TT-I Kolonel Mahaudin
Simbolon membuat pertemuan besar dengan perwira-perwira di Sumatera
Utara. Dalam acara itu, para perwira tamatan SSKAD yang hadir dalam
reuni kami di Bandung sekali lagi diminta menjelaskan kepada semua yang
hadir tentang apa yang mereka saksikan, mengenai aksi politik kami
terhadap KSAD Nasution. Gerakan TT-I Sumatera Utara ini kemudian
melahirkan Dewan Gajah. Tanggal 22 Desember, Simbolon menyataka
pemutusan hubungan dengan pusat, tapi pemerintah pusat langsung
menindaknya. Simbolon nyaris di tangkap, dan berhasil lolos.
Panglima TT-II Letkol Barlian mencetuskan Dewan Garuda di Sumatera
Selatan, dengan sikap dan tuntutan politik yang lebih keras lagi.
Panglima TT-II ini memang tidak sampai mengambil alih pemerintahan,
sebagaimana yang dilakukan Letkol Ahmad Hussein terhadap Gubernur
Sumatera Utara, Ruslan Mulyohardjo.
Di Sulawesi Utara, para
politisi dan pemimpin tentara mulai menggalang Dewan Manguni, sementara
di Sulawesi Selatan muncul Dewan Hasanuddin. Di Kalimantan ada Dewan
Lambung Mangkurat, dan di Jawa Barat wadah bertujuan sama, yang justru
lebih banyak jumlahnya dan sudah lebih dulu bergerak, menyatu dalam
Dewan Sunda.
Jadi, ini sesungguhnya bukan sekadar pergolakan
politik daerah, ini adalah gerakan nasional yang mulai bergolak dari
daerah-daerah!
PROKLAMASI PERJUANGAN PERMESTA
DITERIMA MUSYAWARAH NASIONAL
Kemiskinan terus bertambah luas dan makin mendalam. Pemerintah Pusat
sama sekali tidak mementingkan pembangunan ekonomi, apalagi pembangunan
di daerah-daerah. Penduduk di kota-kota besar di Jawa lebih baik
penghidupannya karena tetap berlangsungnya roda perekonomian yang sudah
tumbuh sejak jaman kolonial. Sedang didaerah-daerah, yang dulu
berkembang, semakin merosot. Pemerintah Pusat, dalam keterbatasan sumber
daya maupun perhatian mereka yang tersita besar dalam urusan politik,
menjadi sangat sentralistis.
Dalam masa itu, saya dan juga
teman-teman, melihat dengan hati sedih semua fakta kemiskinan dan
kemelaratan rakyat itu. Hingga kondisi keluarga-keluarga prajurit di
barak-barak. Saat itu kami hanya berpikir bahwa penyebab kekacauan
politik, terlantarnya pembangunan, daerah-daerah mengalami
ketidakadilan, semua itu adalah akibat dari masa-masa sebelumnya dan
semakin [arah dihari-hari mendatang , karena makin tidak demokratisnya
negara. Apalagi ditambah dnegan kehadiran PKI dalam pusat kekuasaan,
dimana pemerintahan semakin condong ke kiri.
Saya yang semula,
sebagai orang yang disayangi Presiden Soeharto dan KSAD Nasution,
sebagai orang yang ‘diutus’ untuk menjinakkan Panglima TT-VII Kolonel
Joop F. Warouw dan meredam gejala-gejala politik di Indonesia Timur,
kini terlihat sebaliknya. Apapun resikonya, saya tidak mau hidup dengan
rutinitas jabatan tinggi ini meskipun bergelimang kenikmatan, jika itu
berarti merutinkan atau hanya meneruskan kehidupan masyarakat banyak
dalam penderitaan.
Perjuangan Kami Jadi Pejuangan Nasional :
Soeharto dan Gatot Subroto Terlibat Aktif
Dalam bekerja, saya selalu tidak mau tanggung-tanggung. Sejak
bulan-bulan akhir 1956, kemanapun saya pergi, saya mendorong gerakan
pembangunan daerah dengan konsekuensi apapun. Tidak kecuali harus lebih
dulu menetang pusat kalau menjadi penghalang.
Teman-teman di
Sumatera Tengah dan Selatan mulai mengontak saya. Mereka mendengar
cerita tentang aksi-aksi kami di Reuni SSKAD pada November 1956 yang
sampai mempengaruhi Panglima Sumatera Utara, Kolonel Simbolon untuk
segera bergerak. Di Jakarta pun begitu, saya langsung menggerakkan
teman-teman di SUAD, di sekitar Nasution sendiri. Bahkan saya menemui
WKSAD Brigjen Gatot Subroto.
Semula Pak Gtaot masih mau
berbantahan, berusaha menjelaskan ini-itu. Dia memang jauh lebih senior.
Juga atasan, sejak dulu. Tapi dilihatnya saya sangat yakin dengan apa
yang saya sampaikan. Ia jadi lebih serius memperhatikannya. Padahal
jelas saya sedang menghantam pihaknya, pihak pimpinan TNI-AD.
Tak disangka-sangka waktu saya pamit dari ruang kerjanya, tiba-tiba Pak
Gatot yang mengiringi saya keluar berbisik, “Kita bicara dengan Soeharto
di Tawangmangu.”
Saya mengentikan langkah. Karena nadanya
terdengar serius, saya menatap Pak Gatot. Dia mengangguk, meyakinkan
saya. “Ya, sekalian sudah lama ndak tetirah.”
Wah..., kalau
begini, ini sudah gerakan nasional. Indonesia Timur, Sumatera Utara,
Tengah, sampai Selatan. Jawa Barat sudah lebih dulu. Mereka pasti. Saya
sudah bicara dengan Pak Sukanda, sekarang Jawa Tengah. Juga WKSAD, juga
teman-teman SUAD di MBAD!
Sepanjang minggu ke-3 dan ke-4 bulan
Januari 1957, saya, juga Pak Gatot, menjadi tamu Panglima
TT-IV/Diponegoro Letkol Soeharto di Tawangmangu. Daerah pegunungan,
sebelah timur kota Solo, kami menempati sebuah bungalow. Hawa disini
sejuk, apalagi musim hujan. Pak Gatot sangat menikmati liburan nya
disini.
Kami berunding dan membahas masalah-msalah nasional
selama 2 minggu. Kalau kami sedang ngobrol bebas, Pak Gatot banyak
memberi nasehat buat kami. Pak Gatot memang sesepuh Diponegoro. Kalau
Pak Gatot ngobrol dengan Soeharto, saya lebih banyak diam, karena skaing
asyiknya mereka ngobrol dalam bahasa Jawa. Sebaliknya, kalau sedang
ngobrol santai begini dengan Soeharto, apalagi kalau ngobrol
kenang-kenangan kami masa gerilya, Pak Gatot lah yang menjadi pendengar.
Bertiga kami merundingkan kesatuan pandangan kami mengenai
masalah-masalah TNI-AD dan politik negara. Dalam hal pergantian pimpinan
AD, Pak Gatot mengatakan siap menjadi KSAD, yang penting melalui
prosedur yang benar. Jadi, Panglima TT Jawa Tengah, Soeharto bukan saja
pendukung perjuangan kami menentang rezim Soekarno-PKI-Nasution,
melainkan ia adalah eksponen perjuangan ini juga.
Itulah mengapa
dalam Munas bulan September 1957, Soeharto-lah yang justru mendorong
saya dan kawan-kawan perwira daerah untuk menuntut secara lebih keras.
“Kita paksakan saja!” kata Soeharto kepada saya dan DJ.Somba berkali-kali.
Sikap posisi Soeharto tesebut, sudah kesepakatan kami di Tawangmangu,
bukan hanya ia perlihatkan kepada kami. Ia bahkan sudah menanamkan garis
perjuangan kami itu pada jajaran TT-IV Jawa Tengah. Sehingga banyak
kalangan di negeri ini sudah tahu posisi Soeharto, termasuk Bung Hatta.
Itulah mengapa ketika pecah PRRI, awal 1958, tak kurang dari Bung Hatta
yang, dalam usahanya mencegah operasi militer pusat terhadap kami di
Sumatera dan Sulawesi, mengatakan bahwa pasukan-pasukan di Jawa Tengah
tak akan mendukung operasi militer pusat untuk memerangi kami. Ketika
KSAD memerintahkan Panglima TT-IV untuk menggempur kami, Soeharto
beralasan minta waktu untuk mempersiapkan pasukan. Nanti, setelah
didekati langsung oleh Presiden Soekarno, baru akhirnya dikirim juga.
Karena yang meminta adalah Kepala Negara, dan diingatkan bahwa itu untuk
tugas negara, maka para panglima di Jawa itu akhirnya ‘terpaksa wajib’
mengirim pasukan.
Dikemudian hari, Dokter Engelen cerita ke saya
kalau bertemu Gatot Subroto di Puncak. Pak Gatot bilang, “Soeharto
sudah nunggu-nunggu, ndak dihubungi”.
Ya, memang kordinasi kami payah.
Upaya Nasution Memecah-Belah
Kekuatan Indonesi Timur
Bagi
Nasution yang orientasinya hanya kekuasaan dan kekuasaan, politik dan
politik saja, tidak dapat mengapresiasi upaya pembangunan ekonomi
masyarakat yang padahal tidak boleh ditunda-tunda. Proklamasi Permesta
segera terlihat sebagai tantangan dan ancaman. Maka, ia berusaha keras
dengan segala cara untuk memotong perjuangan kami. Ia memecah belah
kekuatan kami di Indonesia Timur. Dan ia berhasil, karena menemukan
celahnya, yaitu Mayor M. Jusuf.
Sejak sebelum saya Panglima
TT-VII Indonesia Timur, upaya tersebut sudah dilakukan, yaitu dengan
mengadakan KoDPSST. Komando Daerah Pengamanan Sulawesi Selatan &
Tenggara ini jelas-jelas merupakan pemecah belah komando Indonesia
Timur, memotong dan memperkecil komando TT-VII. Ini terlihat dari 21
Batalyon Tempur yang ada di Sulawesi Selatan dan Tenggara, hanya 1 yang
dibawah TT-VII. Pembagian itupun hanya berdasarkan suku. Satu batalyon
kami, yaitu Yon 702 pimpinan John Ottay yang kebanyakannya orang
Minahasa. Sedangkan 20 batalyon lainnya terdiri dari orang-orang dari
Jawa dan Sulawesi Selatan. Begitu juga dalam staf KoDPSST, sebagai
diangkat para perwira asal Sulawesi Selatan. Letkol M.Saleh Lahade
menjadi Kepala Staf, Letkol Andi Mattalatta sebagai Wakil Panglima.
Sejak semuala saya tidak mempersoalkan kehadiran KoDPSST. Kalau alasan
Nasution bahwa ini demi efektifitas operasi penumpasan DI/TII Kahar
Muzakkar, mungkin karena ia berpikir kami dengan Kahar Muzakkar teman
lama, sejak dari KRIS dan revolusi fisik di Jawa, bagi saya terserah
saja. Walau pikiran saya itu adalah mengada-ada karena sesungguhnya
Nasution sangat mengenal sifat saya yang obyektif dalam bekerja.
Kalau dibilang TT-VII didominasi perwira-perwira asal Minahasa itu
prasangka orang yang tidak mengerti persoalan. Semua penempatan
berdasarkan keputusan Reuni Brigade XVI, juga sudah sesuai dengan
tingkat senioritas dan syarat-syarat lainnya, seperti lulus SSKAD. Reuni
dimotori oleh Saleh Lahade dan Andi Mattalatta, jadi semua berjalan
fair dan didukung oleh semua pihak berdasarkan semangat persatuan
nasional. Mayor M. Jusuf yang baru pulang mengikuti pendidikan di AS,
tidak disukai oleh tokoh-tokoh militer di Sulawesi Selatan sendiri,
seperti Latkol M. Saleh Lahade dan Letkol Andi Mattalatta. Ia pernah
ikut SSKAD, tapi tidak melalui prosedur dan ujian yang layak, Cuma
karena membujuk Pak Gatot, karena ia bukan peserta reguler SSKAD, dan
hanya berstatus sebagai pendengar saja. Bahkan, banyak rumor yang
mengatakan bahwa M.Jusuf membujuk Pak Gatot dengan menyogok sesuatu yang
saya rasakan tidak etis untuk diungkap di memoar ini. Begitu juga untuk
masuk ke Fort Benning, pendidikan setingkat dibawah Fort Leavenworth,
tidak melalui prosedur dari daerah, tidak melalui seleksi yang fair.
Menurut Mattalatta, Jusuf langsung mendekati perwira-perwira kunci di
MBAD.
Di AS, Mayor M. Jusuf berteman dekat dengan Ahmad Yani.
Yani studi di Fort Leavenworth. Sepulang ke Indonesia, Jusuf tetap
berhubungan baik dengan Yani yang menjadi Deputi KSAD. Setelah KoDPSST
dibentuk, 3 bulan kemudian Jusuf dikasi memegang komando yang kemudian
menjadi Resimen Infanteri Hasanuddin, dan mulailah semangat
pengkotak-kotakan sukuisme oleh Nasution berjalan.
Begitu
Permesta di Proklamirkan, Jusuf langsung melapor ke Ynai dan MBAD, dan
minta intruksi militer. Artinya, memberi diri untuk menghantam kami.
Padahal kenyatannya bersama M. Saleh Lahade, Dr. Engelen, Bing
Latumahina, dia yang paling aktif merancang Permesta, justru sebelum
saya ikut serta. Jusuf juga memprakarsai Dewan Hasanuddin, mengikuti
jejak Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda di Sumatera. Mungkin
tujuan Jusuf cepat-cepat melapor ke MBAD itu hanya sekadar untuk
menyelamatkan diri sendiri bila ternyata Pusat menindak kami. Tapi itu
sudah cukup menjadi celah penting untuk siasat Nasution bisa masuk,
untuk memecah kekuatan inti dari Permesta.
KSAD Mayjen Nasution
kemudiannya memanggil panglima-panglima daerah untuk rapat di Jakarta
yang akan dimulai pada 15 Maret. Tapi tanggal 14 Maret mereka sudah
mengumumkan SOB. Artinya, dalam rapat ia akan menekan kami dan dengan
konsekuensi paling kecil yaitu kami akan ditangkap! Ahmad Hussein sampai
tidak datang. Seperti itulah gambaran mengenai suasana tegang pada
waktu itu, tapi saya tetap datang memenuhi panggilan. Dengan posisi saya
yang seperti itu, yaitu sudah mendengar adanya rencana penangkapan,
Nasution menjelaskan niatnya membagi TT-VII Indonesia Timur menjadi 4
wilayah militer yang masing-masingnya akan dipimpin oleh seorang
Panglima. Sama dengan pembagian wulayah yang kami buat dalam struktur
Permesta, namun bedanya kami dalam rangka memperlancar pembangunan
disemua daerah, sedangkan Nasution hanya bertujuan untuk memecah belah
kami.
Saya menolak keras. Sambil pura-pura tak mau menyinggung
tentang tujuan Nasution yang sebenarnya berada dibelakang rencana
pembubaran TT-VII itu, saya tetap bicara dalam rangka rasionalitas
organisasi militer, efektifitas komando dan efisiensi administrasi
sebuah organisasi teritorium tentara. Nasution tidak bisa membantah
argumen saya soal-soal organisasi. Saya menyampaikan kesimpulan saya :
Membubarkan TT-VII hanya akan memperpanjang dan mengakibatkan kekacauan.
Saya bersuara lantang,
“ Tolong jangan diteruskan. Karena tuan-tuan akam menimbulkan perang saudara!” saya tegaskan. Semua hadirin terdiam.
Sebenarnya ada juga usaha nasution untuk menyelesaikan masalah kami
dengan cara lain. Diluar rapat, saya juga mengadakan pertemuan dengan
Nasution dirumahnya. Waktu saya datang, pagi hari, Nasution bilang,
“ Saya belum pernah menyediakan minum dan snack untuk tamu lho, tapi untuk Ventje saya harus cari dan beli tadi.”
Dalam suasana yang lebih pribadi ini, saya melihat bahwa dia berharap
saya mau minta maaf. Tentu saja saya akan minta maaf kalau memang saya
ada salah sama dia secara pribadi. Tapi Permesta adalah perjuangan
rakyat, bukan urusan saya pribadi. Dan Permesta pasti bukan kesalahan,
tidak mungkin saya akan minta maaf untuk itu! Dalam perbincangan kami
itu saya sampaikan kepada Nasution kemungkinan intervensi AS secara
langsung lantaran keberadaan PKI yang sudah duduk manis dalam
pemerintahan. Keberadaan PKI dalam pemerintahan dimulai berdasar
Konsepsi Presiden yang di umumkan pada Februari 1957. Intervensi AS
berdasar doktrin resmi mereka, yang terkenal dengan Einshower Doctrine.
Dengan jaminan keamanan dari Resimen Hasanuddin Mayor M. Jusuf,
Nasution berkinjung ke Makassar akhir Mei 1957. Nasution berusaha
menaklukkan saya, melakukan psywar. Pernah juga Saleh Lahade
memperingatkan Ahmad Yani tentang apa yang terjadi. Saleh Lahade
mengatakan,
“ Pangkal persoalan sebenarnya bukan karena hirarki
militer, tidak ada urusan soal itu. Ini soal pembangunan dan sekaligus
dengan itu membendung bahaya merah. Ahmad Yani menangkis,
“ Ah,
itu soal politik saja Pak Saleh....... Mendengar jawaban Yani yang
seperti itu, Saleh jadi putus asa menjelaskan, maka Saleh hanya berkata
berkata,
“ Kalau begitu, silahkan! Kalau bapak-bapak mau digantung sama PKI!”
(Siapa sangka kemudian ucapan Saleh Lahade ini ternyata benar-benar
terbukti. Yani dibunuh oleh PKI, Nasution berhasil lolos, namun putrinya
menjadi tumbal)
Dalam suatu perdebatan sengit di Makassar itu, saya dan Nasution berdebat berjam-jam. Saya lantas bilang,
“ Saya sebetulnya bisa saja menangkap kamu! Tapi saya pikir, untuk apa
coba? Tidak ada gunanya. Itu tidak akan menyelesaikan masalah!”
“ Ya, saya pikir juga begitu,” kata Nasution.
Bagaimanapun upaya Nasution berhasil. Ia memainkan terus sentimen
perbedaan Suku. Dukungan terhadap Permesta di Sulawesi Selatan tersu
menurun. Maulai dari Mayor M. Jusuf, Komandan Resimen Hasanuddin, hingga
Gubernur Andi Pangerang Pettarani, semuanya dibakar dengan sentimen
kesukuan. Setelah likuidasi oleh Nasution, saya tetap memimpin Permesta.
Mayor DJ. Somba kemudian meminta agar saya pindah saja ke Utara. Juni
1957, Markas Permesta saya pindahkan ke Kinilow, Minahasa.
Dikemudian hari, datangkah para menteri-menteri dario Pusat mengunjungi
Sulawesi Utara, lengkap dengan segala janji-janjinya tentang pembangunan
nasional, serta perbaikan taraf hidup masyarakat. Nmaun, semuanya
hannya retorika belaka. Politik memang dengan gampang saja menjanjikan
suatu janji yang semu, namun tanpa realisasi sama sekali. Dengan itu,
tekad Permesta tetap berjalan terus, bahkan makin merakyat.
Peristiwa Cikini, Siapa Dalangnya?
Tanggal 30 November, Presiden
Soekarno yang tengah menghadiri acara sekolahan anaknya di Perguruan
Cikini di granat. Presiden luput dari maut, tapi beberapa anak kecil,
murid sekolah tewas. Dengan adanya peristiwa ini, semuanya langsung
berubah! Karena pihak "sebelah" cepat-cepat menyebar tuduhan bahwa
pelaku peristiwa keji itu adalah Kolonel Zulkifli Lubis, maka didalam
suasana polarisasi politik seperti ini semua yang ada dipihak kami
langsung menjadi sasaran tembak.
Malam itu juga, pada waktu Nasution menghadap ke Istana, Presiden Soekarno dengan emosinya langsung memutuskan :
" Stop pembicaraan dengan mereka! "
Yang dimaksudkan "mereka" itu adalah kami. Artinya, tidak akan ada lagi
runding-runding, musyawarah, dan tidak akan ada lagi damai seperti yang
telah disepakati. Di Istana waktu itu ada Letkol Djahar, Komandan KMKB
Jakarta. Begitu mendengar perintah Presiden, Djahar menghadap Nasution
dan berkata,
" Mulai sekarang, saya hanya patuh pada perintah Panglima Tertinggi! "
Artinya, Nasution dan Yani pun sekarang tidak bisa lagi menghalangi
langkah-langkahnya untuk memperjuangkan kepentingan PKI, yaitu mengantam
kami. Djahar kemudian hari diketahui sebagai perwira binaan PKI.
Kmai semua kaget luar biasa mendengar kejadian di Cikini itu. Pihak
kami berusaha keras menyelamatkan hasil-hasil Munas. Besoknya saya
memerintahkan teman-teman untuk mencari tau keberadaan Lubis. Ia memang
sudah lama buron, tapi diantara kami, ada yang tahu dimana tempat-tempat
persembunyiannya. Saya mau tau, kalau benar dia yang mendalangi
peristiwa itu, apa maksudnya? Kalau tujuannya benar, kami akan
mendukungnya, namun kalau terbukti salah, saya sendiri yang akan
meringkusnya dan saya serahkan ke aparat hukum! Namun, sedari awal saya
sangat yakin ini bukan perbuatan Lubis. Zulkifli Lubis perwira intelijen
dan lapangan yang snagat jempolan, pasti tidak akan mungkin melakukan
perbuatan pengecut itu.
Alwin Nurdin dan Kusnowibowo kemudian
berhasil bertemu Lubis ditempat persembunyiannya di daerah Cideng, dan
menyampaikan pesanan saya. Di rumah Prajitno, Lubis menjelaskan
semuanya. Bukan hanya mengenai sama sekali bukan perbuatannya dan
ketidak terlibatannya, tapi sebagai “Raja nya Intel” dia cepat tau semua
informasi, siapa-siapa saja yang berada dibalik peristiwa Cikini yang
pengecut itu.
Pada tanggal 30 November malam itu, Kolonel
Zulkifli Lubis yang masih buron justru ada appointment dengan Kolonel
Mokoginta dan Kolonel Sudirman. Mereka berencana bertemu disuatu tempat.
Lubis akan memberikan penjelasannya selaku orang yang bisa mengetahui
semuanya apa saja langkah selanjutnya, juga menjelaskan sejernihnya
tentang konstelasi politik seerta langkah-langkah obyektif yang tidak
boleh dan harus diambil. Lubis sangat yakin, Mokoginta dan Sudirman akan
bisa diarahkan untuk lebih tegas dalam obyektifitas, demi menyelamatkan
bangsa dan negara yang diambang perang saudara. Tapi akibat peristiwa
Cikini, pertemuan mereka batal, karena Jakarta sudah geger. Peristiwa
Cikini ini dengan cepat langsung tersebar luas baik didalam maupun
diluar negeri.
Malam itu, Lubis langsung bertemu dengan Saleh
Ibrahim, pengikutnya, yang juga ketua kelompok pemuda Sumbawa yang
asramanya di Cikini. Disini terungkap oleh Lubis, bahwa pelaku
penggranatan sebenarnya adalah anak asrama disitu yang bernama Jusuf
Ismail yang juga adalah aktivis kelompok politik Islam dari gerakan
Nasuhi, yang beberapa bulan sebelumnya melakukan penggranatan terhadap
kantor pusat PKI dan SOBSI. Saleh Ibrahin mengaku sudah berupaya keras
mencegah, tapi ditersukan juga. Kemudian muncul cerita tidak sedap,
bahwa para pemuda Sumbawa itu sebetulnya memilik dendam pribadi pada
Bung Karno, lantaran seorang anak saudara perempuan mereka pernah dibuat
sakit hati. Merasa dipermainkan oleh Bung Karno.
Dalam
Peristiwa Cikini itu, bukan Lubis, tapi tuduhan awal yang diarahkan
padanya, pada pihak kami, ternyata sudah cukup untuk merubah situasi
jadi terbalik semua. Semuanya langsung percaya saja akan cerita yang
kemudiannya terbukti sebenarnya adalah karangan intelijen yang pro PKI.
Semua jadi percaya bahwa Lubis adalah dalangnya. Semua lantas percaya
bahwa bahwa granat yang dipakai itu dibawa langsung oleh Mayor Nawawi
dari Palembang. Pendeknya, ceritanya sudah lengkap, berikut
kronologinya.
Sampai tahun 1960-an Lubis selalu menuntut agar
dirinya diperiksa dalam proses pengadilan yang obyektif, namun
pemerintah tidak berani. Pemerintah selalu mengatakan : Masalahnya sudah
selesai! Ktika kemudian Lubis menyerahkan diri untuk ditangkap, saat
diperiksa oleh Jaksa Eddy Mambu, Lubis mengatakan dalam nada bercanda,
namun sangat logis :
“ Tuan Jaksa, kalaulah benar saya adalah
dalangnya, mana mungkin meleset?! Presiden pasti mati waktu itu
juga...!” Percakapan ini diceritakan langsung Eddy kepada saya.
Begitulah, lawan dengan lihainya dan sebenarnya sudah terdesak oleh
hasil Munas bisa berbalik menghantam kami. Dengan amat lihai dan cepat,
memanfaatkan isu Peristiwa Cikini. Kami sebagai pihak yang sudah menang
hasil Munas dan berhasil memaksa pemerintah Pusat untuk memprioritaskan
pembangunan nasional dan pemberantasan kemiskinan, sekarang bukan hanya
berbalik menjadi pihak yang kalah, bahkan buron! Bahkan, Korps SSKAD
yang aktif dalam Fact Finding Comission – Letkol Sutomo, letkol Rusman,
Mayor Alwi Nurdin, dan Mayor Kusnowibowo kemudian ditangkap. Alwi Nurdin
dan Kusnowibowo kemudiannya ditahan samapai 4 tahun lamanya. Mungkin
karena ‘dosa’ mereka bertemu Lubis, padahal kemudiannya Lubis terbukti
tidak berbuat apa-apa.
Saya merasa penting untuk mencatat
tentang penangkapan teman-teman saya dalam memoar ini. Sebab lain, yang
bagi saya merupakan yang terpenting, yaitu karena saya selalu mengingat
akan keteguhan dan setia mereka kepada prinsip-prinsip yang benar.
Pengorbanan mereka sangat luar biasa besar. Mereka adalah
perwira-perwira cerdas yang sangat langka, dan negara sangat beruntung
pernah memiliki mereka. Alwin Nurdin adalah angkatan pertama perwira
Indonesia yang studi di Breda, Belanda. Bersama Gerungan, Alwin Nurdin
sejak lama sudah menjadi konseptor dalam TNI-AD. Mereka telah
menskorskan diri mereka yang seharusnya sangat berharga untuk
kepentingan militer negara ini. Memang sejak diskors oleh Nasution
beberapa bulan sebelumnya, Wakasad Gatot Subroto sudah pernah memberi
peringatan, bahwa selama Nasution masih berkuasa, jangan harap karir
mereka akan bisa lancar dan selamat!
Sungai Dareh: Husein Bingung Karena Barlian Takut
Karena aparat
hukum dan tentara di Pusat mulai gencar mengarah kepada kami, beriringan
dengan kampanye besar-besaran media massa yang pro-PKI begitu hebat
menghantam kami, saya di Sulawesi Utara segera melakukan langkah-langkah
untuk berjaga-jaga. Nmaun, perhatian tehadap proyek-proyek pembangunan
seperti pembangunan jalan raya, bandara udara, pelabuhan, infrastruktur,
pusat pertanian, perumahan prajurit, tetap berlangsung. Malahan saya
pernah berpikir untuk berkonsentrasi saja pada pembangunan yang sedang
kami jalankan di daerah. Jangan terlalu sibuk dengan politik di Jakarta.
Suatu hari, Letkol Barlian mengontak saya, meminta saya ke Sumatera
untuk bersama sejumlah tokoh politik nasional membahas langkah-langkah
selanjutnya setelah terjadinya pembatalan hasil-hasil Munas. Memang
sejak tanggal 7 Desember, pemerintah melalui Dr. J. Leimena, sudah
secara resmi mengumumkan bahwa hasil-hasil Munas dibekukan sampai waktu
yang tidak ditentukan. Sudah buyar semua! Bahkan kami sekarang sedang
menjadi sasaran untuk dihukum!
Menjelang Natal 1957, saya
meninggalkan suasana persiapan perayaan Natal di Sulawesi Utara, menuju
Sumatera. Tapi sudah tidak bisa lagi melalui jalan biasa, yaitu dengan
pesawat ke Jakarta dan seterusnya, karena mungkin saya akan ditangkap di
Jakarta. Saya menumpang kapal Kopra dari Manado. Arah pertama adalah
pelabuhan Sandakan di Sabah, kemudian Miri di Sarawak, lalu ke Kuching.
Dari Kuching saya menyeberang ke Singapura. Dari Singapura, bersama
dengan Arie Supit dan Soemitro Djojohadikusumo saya menyeberang ke
Pekanbaru. Kemudian melalui jalan darat ke Padang, dari Padang terus ke
selatan, ke Sungai Dareh. Salah satu negeri bagian di daerah selatan
Sumatera Barat. Pertemuan di Sungai Dareh adalah atas inisiatif Letkol
Barlian, Panglima Sumatera Selatan. Pertemun rencananya pada tanggal
9-10 Jnauari 1958. Turut hadir pada pertemuan tersebut selain saya dan
Barlian, ada Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Ahmad Husein, Kolonel
Dahlan Djambek, juga hadir para politisi negarawan senior.
Menjelang tengah malam, saat saya hampir tertidur, pintu kamar diketuk.
Kedengarannya mendesak. Saya buka pintu, ternyata Ahmad Husein. Saya
lihat dia seperti kebingungan, sepertinya ada yang gawat.
“ Ada apa? ” tanya saya.
Husein tidak langsung menjawab, sepertinya sedang mencari kata-kata
yang tepat. Dia mengajak saya bicara diluar rumah, mungkin dia tidak mau
jika ada yang mendengar pembicaraan kami. Dia lantas bicara dengan
tegang,
“ Barlian kemungkinan besar akan mundur Tje. Tak jadi ikut. Padahal, dia yang dari dulu paling keras bicaranya. Dia takut.....”
“ Kenapa takut? “
“ Katanya.....karena dia terlalu dekat dengan Jakarta.”
Begitulah kalau dasarnya sudah takut. Faktor kedekatannya dengan
Jakarta bukannya jadi sesuatu yang menguntungkan, faktor yang
mempermudah mencapai kemenangan, malahan jadi faktor yang negatif
dimatanya.
“ Jadi, bagaimana? Kita berdua saja bisa? “ tanya Ahmad Husein.
“ Ok! “
Begitulah, hasil pertemuan di Sungai Dareh memutuskan berdirinya Dewan
Perjuangan., Dengan Ketua : Kolonel Ahmad Husein, Sekjen : Kolonel
Dahlan Djambek. Anggota : Saya, Kolonel Mahudin Simbolon, Kolonel
Zulkifli Lubis, Mayor Sjoeib, Mayor Anwar Umar, Muhammad Natsir, Mr.
Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Burhanuddin Harahap, Dr. Soemitro
Djojohadikusumo, Mayor Boyke Nainggolan, mayor Nawawi, Mayor Sahala
Hutabarat, Mayor Nusjirwan, dan Amelz. Amelz berasal dari Aceh dan
merupakan tokoh Perti – Partai Islam terbesar di Sumatera.
Diminta Memimpin Angkatan Perang Pemerintahan Tandingan
Dewan
Perjuangan akan memperjuangkan secara lebih tegas semua yang kami tuntut
selama ini, baik yang kami rumuskan dalam Piagam Palembang, maupun
Piagam Permesta. Dan, berdasar penngalaman Munas maupun kondisi politik
yang berkembang setelah terjadinya Peristiwa Cikini, maka tuntutan kami
sekarang lebih kepada pergantian manusia-manusia yang sedang memegang
kekuasaan. Karena sudah jelas masalah selama ini bersumber dari ahlak,
moral dan perilaku manusianya.
Dalam rapat, saya dan Lubis sama
menekankan ulang-ulang bahwa Jakarta pasti akan bertindak keras. Untuk
menghadapi langkah-langkah Nasution Cs. Yang memposisikan kami sebagai
pihak yang harus ditindak secara militer, kami harus bersikap realistis.
Harus sipa dengan segala kemungkinannya. Jadi, harus siap perang! Si
Vis Pacem Parabellum. Untuk hidup damai sebagai suatu bangsa, kami
ternyata harus siap-siap berperang. Bila tuntutan damai tidak tercapai,
Dewan Perjuangan akan ditingkatkan menjadi pemerintahan tandingan, karen
apemerintah yang berkuasa sudah melanggar sendiri konstitusi.
Dalam pemerintahan alternatif, untuk angkatan perangnya, rapat
mempercayakan kepada saya. Saya yang akan memimpin. Saya tak menolak
untuk saat itu, tapi untuk idelanya, saya juga mengusulkan nama Bung
Alex Kawilarang. Semua setuju, saya yang akan menghubungi Bung Lex di
AS. Kalau Bung Lex setuju, dia akan kami angkat menjadi Panglima Besar
dengan pangkat Mayjen. Saya KSAD dengan pangkat Brigjen, sambil tetap
memegang komando di Indonesia Timur. Kolonel Simbolon menjadi Kordinator
Pertahanan. Panglima-panglima utama di Sumatera adalah Ahmad Husein dan
Barlian. Kalau Barlian memang mundur, Mayor Nawawi yang akan memegang
pasukan andalan Sumatera Selatan. Sumatera Utara ada Mayor Boyke
Nainggolan. Semua nanti rencananya akan bergerak ke selatan, memperkuat
posisi penyerbuan ke Jakarta. Dua pimpinan militer di Sumatera Selatan,
Mayor HV. Worang dan Mayor Panggabean sudah tidak muncul lagi di Sungai
Dareh. Itu berarti, sama dengan Barlian mengundurkan diri. Maraden
Panggabean sebenarnya mau ikut, dia pernah mengatakannya kepada Zak
Kamidan, dia mau ikut asalkan dikasi uang yang memadai untuk biaya hidup
keluarganya.
Barlian akan didekati lagi. Alasannya dia
kekurangan senjata. Ahmad Husein menjanjikan akan mengirimkan 1000 pucuk
senjata baru. Dia bilang kurang logistik, saya menyanggupi untuk
mengirimkan beras, hasil barter Kopra di Singapura. Beras kualitas A
dari Indocina.
Pertengahan Januari 1958, dari Sumatera Barat,
saya bersama Soemitro Djojohadikusumo, Kapten Arie Supit dan Letnan Tema
ke Singapura untuk membeli senjata. Rencanayan, kami juga akan
menyeberang ke Hongkong, Taiwan, dan Jepang. Dari Sumatera menyeberang
ke Penang, kami dijemput oleh Nun Pantouw, langsung kami diantar ke
Singapura. Nun memang selalu berada diwilayah-wilayah ini, ia selaku
perwakilan badan perdagangan luar negeri yang didirikan Permesta.
Waktu berada di Singapura, saat sedang makan di restoran, datang
beberapa orang bule, diperkenalkan oleh Soemitro. Yang paling depan
mengaku dari Inggris, tapi namanya tidak saya hapal, karena sejak semua
saya sudah tau mereka adalah agen rahasia, jadi pasti nama yang
diperkenalkan nama samaran. Kalau nda salah ingat, waktu itu dia bilanga
namanya “Fisher”.
Setelah bicara-bicara, dia lantas menawarkan
senjata. Wah, kami memang cari itu! Ternyata kemudian saya tau, Soemitro
dan Nun Pantouw sudah berhubungan lebih dulu dengan mereka. Tepatnya,
CIA yang lebih dulu menghubungi mereka. Dan ternyata lagi, mereka sudah
lama menjalin kontak dengan Simbolon dan Ahmad Husein, saya saja yang
baru tau. Saya sekarang tidak mempermasalahkan hal tersebut, orang ini
sudah datang kepada saya, mempermudah perjalanan saya dan pekerjaan saya
untuk membeli senjata.
Dengan bersemangat, saya menyebutkan
satu persatu mesin-mesin perang yang kami butuhkan. Fisher mencatat satu
persatu. Selain persenjataan untuk infanteri, saya juga meminta
persenjataan artileri untuk 2 batalyon dengan persenjataan yang paling
modern, termasuk persenjataan anti-aircraft. Fisher kemudian menyebutkan
juga beberapa item yang bukan produk negaranya yang bis ia siapkan. Dua
menawarkan saya memesannya. Setelah saya hitung cukup, cukup buat
kebutuhan kami dan cukup untuk kemampuan uang kami saat itu, saya lantas
bertanya,
“ Tital harganya berapa semuanya? “
Fisher tersenyum, menggelengkan kepala,
“ Free Sir! “
PRRI DI INDONESIA TIMUR
SABOTASE AS DI FRONT SUMATERA
Di
Sulawesi Utara dan Tengah, dukungan buat PRRI sangat luar biasa. Drai
semua lapisan masyarakat, pemuda, mahasiswa, laki-laki, maupun wanita.
Bahkan pelajar sekolah pun meninggalkan bangku sekolah, karena umumnya
para guru juga turut serta. Prajurit TNI, Perwira, Bintara, dan Tamtama,
terutama yang berdarah Minahasa mengalir masuk dari Pulau Jawa,
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Selatan, bahkan Filipina. Mereka dari
berbagai macam kesatuan. Ada yang dari RPKAD, Kostrad, KKO, dan
lain-lain. Mereka umunya minta bercuti untuk “pulang kampung’, padahal
datang bergabung dengan PRRI. Bahkan 1 Peleton RPKAD yang bergabung
lengkap dengan senjata mereka. Dukungan juga mengalir dari masyarakat
Gorontalo dan Sangihe-Talaud. Begitu juga masyarakat etnis Bolang
Mongondow.
Memang diakui, meski tetap ada sejumlah orang asal
Gorontalo dan Sangihe-Talaud dijajaran pemerintahan maupun tentara
sampai saat akhir, namun dukungan masyarakat daerah-daerah tersebut
menjadi merosot dan mengalami kemunduran saat babak-babak akhir
pergolakan PRRI. Hal ini tak lain adalah karena gagalnya pembinaan
teritorial oleh pasukan-pasukan PRRI di wilayah-wilayah tersebut. Bnayak
anggota pasukan PRRI yang berlaku semena-mena terhadap penduduk
setempat, bahkan Nani Wartabone selaku orang yang dituakan diwilayah
tersebut, berbalik mendukung musush PRRI. Begitu juga dengan Mayor John
Rahsia, hampir saja ditangkap oleh PRRI kalau dia tidak cepat-cepat
meloloskan diri.
Kekecewaan seperti ini memang sering jadi
faktor beralihnya sikap politik. Seperti yang dialami oleh Mayor TNI-AL
John Lie misalnya. Semula ia sangat bersimpati dengan permesta, dan
langsung bergabung ketika saya ajak. Waktu itu, saya ngobrol dengannya
diatas kapal yang dinahkodainya, KRI Gajah Mada, salah satu kapal
andalan ALRI. Saya waktu itu mengawal Presiden Soeharto yang berkunjung
ke Jailolo dan Merotai menggunakan KRI ini. Sewaktu menyaksikan
kecanggihann kapal ini dari dalam, betapa peralatannya lengkap dan
modern, termasuk persenjataannya. Maka, saya jadi berpikir lain. Waktu
itu, Permesta sudah saya Proklamirkan. Saya menegur John Lie,
“
Ngana bawa jo ni kapal ka Manado voor gabung deng torang “ saya
‘menghasut’ John Lie saat sedang bersama disalah satu ruang kapal, dalam
dialek Manado. Joh Lie memang berasal dari Manado. Jawaban John Lie
tidak saya duga sebelumnya, sebetulnya saya bicara seperti itu hanya
sebagai pengungkapan rasa kekaguman saya terhadap kacanggihan kapal yang
dinahkodainya. Joh dengan mantap langsung menjawab,
“ Boleh! Saya
mau. Saya setuju dengan Permesta. Asal membawa kemakmuran, pembangunan
untuk rakyat dan negara ini, saya sangat setuju.”
Tapiii....ada ‘tapi’-nya. Walau dia menyakan setuju, tapi dia mengajukan semacam syarat,
“ Setuju! Tapi pecat dulu si . . . . . . .!” (Ia menyebut dua nama perwira yang tidak perlu saya sebutkan disini).
Dikemudian hari saya mendapat keterangan dari berbagai pihak, bahwa
kekecewaan John Lie terhadap ke dua perwira tersebut karena mereka
berdua sudah terlalu sering terlibat bisnis curang, juga menjadi backing
untuk bisnis curang, bahkan memeras, sehingga snagat merugikan para
pedagang keturunan Tionghoa di Sulawesi Utara. Beberapa pedagang yang
mengalai kerugian akibat dicurangi dan diperas oleh kedua perwira
tersebut adalah kerabat dekat John Lie.
Begitulah dukungan bagi
PRRI mengalami kemunduran besar dimana-mana, sehingga sangat merugikan
posisi kami disaat perang. Karena, pihak orang-orang kami sendiri yang
lebih dulu membawa kekecewaan besar dimana-mana, lebih dari sekadar apa
yang bisa kita maklumi sebagai ekses dalam situasi darurat perang. Mak,
dalam pergolakan PRRI, sedari awal John Lie yang sangat pemberani itu
sudah diandalkan oleh Pemerintah Pusat untuk memadamkan pemberontakan di
wilayah Sumatera. Dengan pangkat Letkol, John Lie dipercaya sebagai
Wakil Komandan I mendampingi Kolonel Ahmad Yani. Begitu juga saat
menyerbu Sulawesi Utara, John Lie yang kendati adalah teman dekat Alex
Kawilarang itu, menjadi Komandan Armada yang bahkan mengarahkan
penyerangan dan pendaratan oleh pasukan Rukminto.
John Lie atau
Jahja Daniel Dharma berkarir terus di TNI-AL dan mencapai pangkat
Laksamana Muda sebelum pensiun. John Lei, lahir di Manado 1911 dengan
nama Lie Tjeng Tjoan, tapi sejak kecil diberi nama John, nama yang khas
di masyarakat Minahasa, karena sejak beberapa generasi memang sudah
berasimilasi dengan penduduk Minahasa.
Kawilarang Panglima Besar PRRI
Joop Warouw Waperdam PRRI, Jadi Kebanggaan!
Saya menyurati Kawilarang di AS. Nun Pantouw saya suruh me,bawa surat
itu ke Washington DC. Sebagai Atase Militer RI untuk AS, Bung Lex
berkedudukan di disana. Setalah Bung Lex setuju, kami mengangkatnya
sebagai Panglima Besar PRRI. Bung Lex juga langsung berangkat
meninggalkan AS menuju Sumatera. Sampai di Singapura ia tidak bisa
langsung ke Sumatera Barat, lantara pesawat milik tentara Inggris yang
akan mengantarnya ‘mengalami kerusakan’, sementara pesawat-pesawat AURI
sudah mulai gencar menguasai wilayah itu, tentara Pusat juga sudah
diterjunkan ke pekanbaru. (Kemudian terbukti bahwa perjalanan Kawilarang
ternyata disabot oleh Inggris dan AS, karena kedua negara ini sudah
beralih haluan menjadi pro-Nasution Cs.). Namun upaya Kawilarang tidak
terhenti disitu, ia antaranya merancang organisasi dan strategi operasi
Angkatan Perang PRRI dari Singapura. Di Singapura, Kawilarang bersama
Kolonel Daah Jahja yang juga menjadi Kepala Staf dalam APREV.
Begitu juga dengan Bung Joop Warouw. Ia sedang menjabat sebagai Atase
Militer RI untuk RRC. Periwra 40 tahun yang cemerlang inipun terkenal
sebagai kepercayaan Bung Karno. Bung Joop langsung menyatakan dirinya
bergabung dengan kami ketika saya bertemu dengannya di Hongkong. Joop
Warouw kemudiannya menjadi Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri
Pembnagunan PRRI.
Saya merasa sangat terharu dengan pengorbanan
Kawilarang dan Warouw yang rela meninggalkan kedudukan nikmat mereka dan
jabatan masing-masing, bahkan ternyata karir mereka!. Di zaman manapun,
selalu akan ada orang-orang yang oportunis, tetapi yang membedakan
dengan zaman kami ialah begitu banyak sata mengenal teman yang seperti
Bung Lex dan Bung Joop ini, mereka selalu siap sedia berdiri dipihak
yang benar dan adil tanpa memikirkan resiko bahaya bagi jabatan mereka
sendiri, bahkan nyawa nya. (Perlu diingat, pada masa itu harkat seorang
Atase Militer sangat dipandang tinggi. Sebagai perbandingan, para
politisi yang telah berkali-kali menjabat sebagai menteri pun tidk
pernah mempermasalahkan ketika diangkat menjadi Duta Besar).
Bersiap Raid to Jakarta
Saya memimpin langsung operasi besar
merebut Maluku Utara. Traget kami Merotai, dan tentu saja Ternate. Kota
Ternate sebagai bandar laut dan pusat perniagaan daerah kepulauan
tersebut. Yang terpenting Merotai dengan pelabuhan udaranya. Lapangan
terbang Merotai baru dibangun pasukan Sekutu pada PDII, memiliki
landasanpacu yang panjang, sehingga bisa dijadikan sebagai pangkalan
untuk pesawat-pesawat pengebom B-29 yang bermesin empat. Disinilah
armada AUREV – yang dipimpin langsung oleh Petit Muharto Kartodirdjo
akan bertolak menyerbu Jakarta. Ini Grand Strategy kami sejak awal.
Pendudukan Merotai adalah sukses besar, dan sangat bernilai strategis.
Kendati pasukan saya hanya 1 batalyon minus, 4 kompi plus 1 kompi
artileri. Masing-maisng dipimpin oleh Felix Tuyuh, Yo Lumanauw, Togas,
Tangka, dan Jongky Kumuntoy. Umumnya, prajurit kami pun hnyalah para
pemuda dan anak sekolah yang belum lama dilatih. Artileri kami hanya
menggunakan meriam-meriam peninggalan KNIL. Untuk air cover, hanya
sebuah pesawat Mustang yang dipiloti oleh Hari Supandi (Penerbang AURI
yang ikut AUREV-PRRI). Kmai juga menyiapkan rumah sakit darurat diata
sebuah kapal, yang dipimpin oleh dr. Mochtar. Saya selaku Komandan
Operasi, Nun Pantouw Kepala Staf.
Dari Manado kami berangkat
dengan 4 kapal kecil, tidak ada kapal perang. Menyeberangi laut Maluku,
saat mendarat di Susupu kami menggunakan tongkang. Tongkang-tongkang
ditarik dengan tugboat. Hanya dalam 1 pekan di akhir April 1958,
lapangan terbang Merotai, Kota Ternate, dan Jailolo berhasil kami rebut.
Saat kami mendarat di Susupu dan Merotai, pasukan Brimob yang berjaga
disana langsung melarikan diri. Tanpa perlawanan berarti, pasukan
penjaga lapangan terbang Jailolo pun menyerah dna menyatakan diri
bergabung dengan kami. Komandannya, seorang Kapten asal Padang datang
menghadap saya. Kami mengadakan upacara atas masuknya mereka kedalam
APREV. Saya perintahkan mereka dikasih uang masing-masing dua kali lipat
dari gajinya.
Pendudukan Merotai langsung disiarkan secara
meluas oleh pers-pers Barat, semacam berita kemenangan. Karena kemajuan
yang penting dan strategis ini, pemerintah AS langsung menjanjikan untuk
mengerahkan segala bantuan peralatan perang untuk kami. Padahal, niat
mereka semula sudah surut, sudah berbalik arah, sehingga PRRI di front
Sumatera jadi mudah dihantam Pusat.
Kami pun melancarkan
operasi-operasi yang bertujuan untuk menghalangi armada udara maupun
angkatan laut tentara pusat agar tidak dengan mudah menjangkau wilayah
Sulawesi Utara, Tengah yang sekarang menjadi Markas PRRI setelah
dipindah dari Sumatera. Seminggu sebelum Mlauku Utara kami duduki,
tepatnya tanggal 13 dan 16 April, bandara udara Mandai di Makassar, dan
Balikpapan kami bombardir. Habis sudah tempat-tempat transit strategis
yng mungkin akan bisa dipakai oleh pesawat-pesawat AURI dari Jawa.
8 Mei 1958, pasukan yang dipimpin oleh DJ. Somba menguasai kembali
wilayah Sulawesi Tengah. Pasukan tentara pusat di Parigi dihancurkan.
Sulawesi Tengah memang adalah wilayah teritorium KDMSUT yang dipimpin
Somba. Tapi sepanjang bulan April, tentara Pusat yang didatangkan dari
Kalimantan, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, berangsur-angsur menguasainya.
Bermula dari ‘berbalik gagang’ nya Frans Karangan. Padahal saya yang
dulu menfasilitasi Frans Karangan membangun pasukannya. Dengan
membaliknya pasukan Frans Karangan waktu itu, pasukan-pasukan yang
dikirim oleh Nasution menjadi lebih bebas menyusup masuk kedalam Kota
Donggala dan Palu. Sampai akhirnya, pasukan Pusat tersebut
mengejar-ngejar pasukan kami yang dipimpin oleh Bolang, disinilah Mayor
Palar gugur. Pasukan tentara pusat semakin jauh merengsek maju, terus
menghantam pasukan PRRI yang dipimpin Mayor Dee Gerungan dibagian timur
Sulawesi Tengah. Sekarang, dengan masuknya kembali pasukan PRRI yang
dipimpin oleh Letkol DJ. Somba, keadaan menjadi terbalik. Tentara Pusat
menjadi yang dikejar-kejar dan masuk hutan, menjadi pasukan gerilya.
Namun, aksi mereka tidak menjadi hambatan berarti bagi rencana operasi
kami merebut Jakarta.
Kami sudah mempersiapkan operasi yang
matang untuk merebut Jakarta. Teman-teman menamakan strategi operasi ini
Jakarta Special Operation. Garis besarnya dari saya, perancangan
strategi rincinya saya minta dikerjakan oleh tim yang dipimpin Dee
Gerungan, tamatan Sekolah Tinggi Ilmu Perang (Hogere Krijgschool) Breda,
Belanda. Rencana ini sebenarnya sudah rampung sejak Februari 1958.
Tapi, rencana operasi awal tersebut berbeda dengan yang sekarang sedang
kami jalankan. Yang sebelumnya itu bersifat nasional, realisasinya oleh
seklaigus 3 Komando Daerah Militer sebagai ujung tombak itu sudah batal.
Sikap Panglima Sumatera Barat, Letkol Barlian yang menarik diri
disaat-saat akhir sangat berdampak besar bagi teman-teman di Sumatera,
meski Nawawi tetap setia.
Saya putuskan, Komandan Operasi
Jakarta Special ini adalah Mayor Wim Tenges. Perwira ini sangat
berpengalaman sejak Perang Kemerdekaan di Jawa lagi. Di dalam PRRI, ia
adalah satu komandan Distrik Militer di Minahasa. Pasukan-pasukan
dibawah komando Tenges itu sendiri terhitung yang paling berkualitas di
kalangan pasukan-pasukan PRRI di Sulawesi. Mereka memang mantan TNI,
termasuk didalamnya satuan RPKAD, KKO yang desersi dan bergabung dengan
kami. Alex Kawilarang sendiri aktif memberikan masukan-masukan dan
nasehatnya tentang rencana operasi kami.
Sambil persiapan dan
perjalan pasukan menuju Jakarta, pesawat-pesawat kami-yang akan di
datangkan lagi dalam jumlah lebih banyak melalui Home Base AS Clark
Field di Filipina, akan membom semua tempat pasukan musuh. Dengan
kawalan pesawat-pesawat tempur, pasukan penyerbu akan bergerak dari
Sulawesi Utara dan Tengah dengan menggunakan armada kapal pesisir. Kami
akan menyeberangi Selat Makassar menuju Balikpapan lalu tersu ke
Banjarmasin. Dari selatan Kalimantan itulah kami akan melakukan
persiapan final menyerbu Jakarta. Armada AUREV selain mengawal operasi,
akan juga melancarkan starfing bilamana pasukan menghadapi halangan oleh
musuh didarat maupun dilaut. Sejumlah pesawat pembon akan beredar ke
segala penjuru untuk menghantam basis-basis tentara Pusat. Di Jakarta,
Jawa Tengah dan Jawa Barat, teman-teman sudah menunggu. Disini kami
sangat mengandalkan kesatuan Siliwangi di Jawa Barat, sementara sebuah
ormas milisi dengan jaringan yang sangat luas dalam kota Jakarta sudar
bersiaga penuh.
Pusat Minta Berunding, Kami Tolak Karena...
Meski sudah menang
besar di Front Sumatera, tapi menghadapi PRRI di Indonesia Timur
ternyata Nasution cs. minta berunding Alasannya biasa, “untuk
menghindari penderitaan rakyat”, “membangun persatuan dan kesatuan
bangsa”, dan sebagainya. Tapi jelas kenyataanya di medan yang berbicara,
pasukan tentara Pusat memang keteteran melihat semangat dan daya gempur
kami. Jika misalnya sekarang kita bertanya kepada para veteran-veteran
TNI, veteran combatan, operasi dimanakah yang dirasa paling sulit,
paling sukar, paling berat? 80 persen pastinya akan menjawab, Penumpasan
PRRI-Permesta di Manado!
KSAD Mayjen AH. Nasution cs yang,
dibanding Pemerintah Juanda, maupun Presiden Soekarno, sejak awal selalu
mendahulukan tidakan keras terhadap kami, sekarang minta berunding!
Sebelumnya kami tidak secara serius mempersiapkan perang dengan pusat,
sehinggalah tanah air kami, bumi Minahasa di bom oleh pesawat-pesawat
AURI tanpa peringatan apapun. Itu sangat membuat sakit hati kami
orang-orang Kawanua. Tidak tanggung-tanggung, akibat pengeboman yang
memakan cukup banyak korban rakyat itu, Alex Kawilarang sebagai Atase
Militer RI di AS yang sebelumnya masih pikir-pikir untuk bergabung
dengan kami, Bung Joop Atase Militer RI di RRC, langsung menyatakan diri
bergabung, mendengar tanah air mereka dibom pemerintah pusat. Begitu
juga para anggota-anggota TNI Kawanua dari seluruh penjuru negeri, baik
perorangan maupun berkelompok, mengalir masuk menyatakan diri bergabung
dengan kami. Sekarang, ketika kami sedang kuat, sedang kokoh bertahan,
mereka minta berunding? Letkol M. Jusuf diutus oleh Nasution ke Manado
untuk menjajaki perundingan damai ini.
Joop Warouw sudah
bersedia untuk bertemu utusan Nasution itu. Tapi saya mencegahnya. Saya
bilang, Nasution dan Jusuf tidak dapat dipercaya. Ini hanya muslihat
mereka, karena kita sedang kuat, setelah damai, tidak ada jaminan kita
nantinya tidak akan ditindas. Buktinya, Salah Lahade , Mochtar Lintang
dan lain-lain di Makassar ynag tidak bikin gerakan apa-apa dalam PRRI
toh akhirnya mereka ringkus juga. Letkol Andi Mattalatta yang hanya
bersikap netral saja, karena tau kebaikan perjuangan kami, merasa terus
menerus ditekan untuk menghantam kami. Perlu diketahui, setelah Kahar
Muzakkar, Mattalatta punya pengaruh yang sangat besar di Sulawesi
Selatan. Jusuf yang pada waktu itu masih Mayor, dinaikkan pangkatnya
oleh Nasution menjadi Letkol untuk mengimbangi pengaruh Mattalatta di
Makassar.
(Beberapa bulan kemudian, Jusuf pun naik menggantikan
Mattalatta menjadi Panglima KDMSST, dan sejak itu Mattalatta tersingkir
dari struktur komando TNI).
Saya lalu menceritakan kepada Bung
Joop apa yang Jusuf dan Nasution buat kepada kami, Permesta di Makassar.
Apalagi Jusuf pun ikut menandatangani Piagam Permesta, setelah ia
berkhianat kepada pihak kami, maka ia tentu harus juga menunjukkan
secara ekstra kesetiannya kepada Pusat. Ia harus demonstartif menghantam
teman-teman lamanya.
“Kalau Nasution cs. sama mencintai
persatuan kita, mereka tidak akan cepat-cepat menjawab tuntutan politik
dari Padang 10 Februari 1958 itu dengan operasi militer dan membom kota
Padang dan Manado,” kata saya. Mereka sekarang sedang bermuslihat,
karena menyaksikan besarnya kekuatan PRRI di Timur.
Akhirnya
Bung Joop sadar. Ia membatalkan rencana perundingan dengan M. Jusuf yang
sudag datang ke Manado. Bung Joop malah menasehati Jusuf agar
menggabungkan saja pasukan-pasukan TNI di Sulawsi Selatan dengan
PRRI-Permesta.
Awal Kekalahan, Saya Di Ajak 'Pulang' Jadi Warga AS
Rencana
Jakarta Special Operation tidak bisa kami wujudkan, karena AS sudah
tidak menambah lagi armada udara kami. AS sudah mengubah sikapnya
terhadap kami, begitupun sebaliknya terhadap para perwira pimpinan TNI
di Pusat yang menjadi musuh kami. AS tak lagi memandang mereka sebagai
musuh, sehingga meski AS belum memandang kami sebaliknya sebagai musuh,
namun dalam hari-hari perang seperti ini tentu saja kami menjadi
kehilangan momentum untuk menuntaskan kemenangan. Akibatnya,
pesawat-pesawat AURI dari Pusat mulai dapat menyaingi kami.
Setelah AUREV melancarkan rangkaian pengeboman atas pelabuhan Ambon,
yang antara lain menghancurkan sejumlah kapal dagang, kemudian pelabuhan
Balikpapan dimana kapal Fregat ALRI Hang Tuah dapat ditenggelamkan,
menghantam sejumlah kapal pengangkut TNI di pelabuhan Donggala, membom
Markas Indonesia Timur AURI di Kendari – yang berarti kemajuan sangat
berarti kami - tapi selanjutnya justru posisi-posisi pihak kami yang
mulai mengalami serangan oleh pesawat-pesawat AURI. Di selatan Maluku,
Ambon, tentara Pusat bisa membangun kekuatan bersama tentara setempat.
Operasi merebut kembali Ternate, Jailolo dan Merotai mereka gencarkan.
Bahkan pasukan-pasukan dari Pusat sudah masuk sampai ke Sulawesi Tengah
dan Gorontalo. Pasukan Somba tertahan di Kebun Kopi, lantaran tanpa
air-cover.
Tertangkapnya pilot asal AS Allen Pope mempercepat
mengecilnya kekuatan pihak kami. Bantuan dari pihak luar yang sebelumnya
mengalir dari Jepang, Hongkong, Taiwan, Singapura, Filipina, Thailand,
Malaya, dan terutama Inggris dan AS, pun terhenti. AS bahkan membuka
izin pembelian senjata oleh Pemerintah Pusat. Allen Pope tertangkap
diperairan Ambon. Hari itu, 18 Mei 1958 seperti biasanya para pilot
asing yang tergabung dalam AUREV sering melakukan operasi sesuka hatinya
dalam pengeboman. Mereka sering keluar jalur operasi yang dirancang
oleh Petit Muharto, Panglima AUREV. Sementara pihak musuh sudah kuat,
jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Allen Pope, setelah membom
pasar, sehingga banyak jatuh korban warga sipil, pesawat pembom B-26
yang dikemudikannya tertembak langsung dari dua arah. Oleh senjata anti
anti-aircraft KRI Sawega, dan gempuran canon oleh pesawat AURI yang
mengejarnya. Pope bersama navigatornya, Harry Rantung berhasil
menyelamatkan diri keluar pesawat dengan payung terjun dan mendarat di
pulau kecil di gugusan kepulauan Maluku. Tidak lama kemudian mereka
diringkus.
Panglima Kodam Maluku, Letkol Pieters yang langsung
menghantarkan tawanan penting ini ke Jakarta. Ia marah besar, gara-gara
Pope suka membom negerinya secara membabi-buta, termasuk membombardir
pasar yang biasanya selalu ramai warga sipil. (Walau kemudiannya
terungkap, bahwa kehancuran sarana-sarana sipil itupun sebenarnya hanya
dilebih-lebihkan dalam pemberitaan media massa pro-PKI, untuk membentuk
opini masyarakat terhadap perjuangan kami).
Sore itu juga saya
didatangi orang-orang CIA. Dia meminta agar saya menyuruh intel kami
secepatnya menghabisi Pope dalam tahanan. Agar ia tidak buka mulut
rahasia keterlibatan AS. Saya jawab dengan tegas : “Tidak! Kami tidak
siap untuk yang begitu!”
Menghukum mati anak buah yang melakukan
kesalahan besar, wajar dalam dinas militer. Tetapi membunuh orang yang
tidak bersalah, apapun alasannya, misalnya hanya untuk membungkam
rahasia, tidak! Apalagi, bagaimanapun, Allen Pope itu sudah berjuang
untuk kami. Diluar soal ia sering bertindak sesuka hati, tak sesuai
dengan rencana operasi kami. Kalau AS akan marah kepada saya, itu soal
lain. Tidak ada prinsip hidup yang bisa saya langgar. Di Jakarta, Letkol
Pieters langsung membuat pernyataan pers, hingga segera menyulut heboh
dunia internasional. Dan pemerintah AS memang merasa tercoreng habis
wajahnya, sebab baru beberapa saat sebelumnya, AS bersikukuh menyangkal
keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI. Pemerintah AS langsung
memerintahkan untuk menghentikan segala bantuan kepada kami. Juga
memerintahkan pilot-pilot AS, Taiwan, Filipina dan lain-lain dalam AUREV
agar segera meninggalkan Indonesia.
Sesungguhnya, pilot-pilot
dari luar ini berat hati meninggalkan kami. Mereka sampai 2 kali
dikirimi kawat surat perintah untuk harus secepatnya meninggalkan
Indonesia, tapi mereka tidak mau. Karena mereka sudah menyatu dengan
perjuangan kami, mereka masing-masing secara pribadi sudah menghayati
kebenaran perjuangan kami. Saya terharu, mereka sampai begitu beraninya
membangkang terhadap perintah militer negaranya.
Pemimpin regu
mereka kemudian datang menghadap saya. Tapi bukan terutama untuk melapor
tentang rencana keberangkatan mereka meninggalkan kami, ia menyampaikan
pesan dari pemerintah AS agar saya bersama-sama keluarga ikut bersama
mereka. Pemerintahnya sudah menyiapkan segala fasilitas buat saya dan
keluarga.
“Hushh! Yang benar saja!!” Saya langsung memotong
kata-katanya. Saya tidak memerlukan waktu barang sedetikpun untuk
mempertimbangkan tawaran tersebut. Saya mencintai bangsa ini. Segala
kekurangan yang ada dalam negara ini bukan harus membuat saya berpaling
kenegara lain, melainkan sebaliknya saya harus ikut berjuang
memperbaikinya. Tidak terkecuali, meskipun saya harus mati terbunuh
dalam pertempuran.
Air mukanya terlihat sedih karena penolakan
saya yang mungkin tidak ia duga. Ia tahu, sangat banyak orang yang ingin
menikmati kehidupan yang nikmat di AS. Tapi, barangkali juga ia
bersedih karena membayangkan nasib saya sebagai seorang militer yang
akan jatuh ketangan musuh. Ya, sebagai pimpinan tentara saya bukan tidak
mempertimbangkan kemungkinan kalahnya pihak kami setelah menyaksikan
perkembangan-perkembangan yang terjadi pada hari-hari terakhir ini.
Tapi, tentu saja, bayangan negatif demikian langsung tertimbun dengan
rencana-rencana baru untuk meraih kemenangan.
AS Meninggalkan Kami, Sesudah Mereka Menunggang Kuda Lain, PRRI Terpukul di Front Sumatera
Pemerintah AS memutuskan untuk menghentikan segala bantuan pada pihak
kami, termasuk memerintahkan pulang semua penerbang bersama pesawat yang
masih tersisa, itu tentu saja bukan hanya lantaran tertangkapnya Allen
Pope, melainkan terungkapnya keterlibatan CIA sendiri dalam PRRI. Bagi
AS, Indonesia sangat penting. Untuk perang demi kepentingan negaranya
serta kebebasan umat manusia sedunia, AS tidak akan kepalang tanggung.
Khusus mengenai Indonesia, AS bukan saja melihat kawasan ini sebagai
arena yang penting buat dijaga dari pengaruh komunisme Uni Soviet, lebih
dari itu Indonesia seutuhnya dilihat sama persis dengan China. Negara
luas dengan jumlah penduduk yang besar, yang bukan saja kuat pengaruh
komunismenya, tapi bahkan menjadi negara Komunis. AS tidak dan tidak
akan meninggalkan Indonesia. Mereka hanya meninggalkan kami, PRRI.
Tujuan mereka jelas hanya untuk menghalau komunisme, jadi kalau mereka
melihat ada kelompok lain yang bisa digunakan untuk melawan PKI, maka AS
dapat saja beralih ke kelompok itu, tidak terkecuali kelompok itu yang
justru musuh kami.
Jadi, harus cukup jernih melihat soal
kealahan PRRI di awal. Nukan karena PRRI kalah dalam serbuan pertama
tentara Pusat lantas AS tinggalkan, sebaliknya karena AS sudah mendua
hati, dalam hal ini mereka memang pecah dua pada saat itu, maka PRRI
kalah. AS sudah tidak sepenuhnya membantu pada hari-hari menjelang
penyerbuan tentara Pusat. Bantuan yang ada hanyalah sekadar memenuhi apa
yang sudah “terlanjur” mereka janjikan sebelumnya. Malah sebaliknya, AS
sudah membantu operasi yang dipimpin Kolonel Yani.
Lagipula,
siapapun sudah berhitung bahwa kalau saja AS tidak menahan semua bantuan
yang sudah disiagakan di sekitar Sumatera – lantaran Panglima di
Pasifik, Admiral Strump dan Atase Militer AS George Benson punya arah
politik lain, kekuatan yang ada itu saja sudah cukup buat membantu PRRI
Sumatera untuk menggempur Jakarta.
Tanggal 6 Maret 1958 Howard
Jones tiba di Indonesia, hanya 1 hari besoknya ia menghadap PM Juanda
untuk minta izin mengevakuasi warga AS beserta kapal-kapal US Navy yang
ada dipertambangan minyak di Sumatera. Kapal-kapal US Navy tersebut
adalah termasuk dalam satuan gugus tempur dari 7th Fleet yang sekarang
lego jangkar di Singapura, lengkap dengan Kapal Induk, Destroyer, dan 1
Brigade Marinir.
Jadi, disamping AS mengupayakan “cuci tangan”
secara keseluruhan, ia sekaligus menarik Armada militernya dari pihak
PRRI tanpa kemungkinan serangan dari TNI Pusat. Tanggal 15 April 1958,
Kedubes AS untuk RI melayangkan surat resmi pemerintahannya di
Washington DC agar berpihak pada TNI Pusat.
Danny Muakar Memberondong Istana Presiden
Kemunduran kekuatan
maupun posisi teritorial kami di Sumatera dan Sulawesi memang tidak
serta-merta berarti surutnya perjuangan PRRI beserta kelompok-kelompok
pendukungnya di Jawa, Mereka tetap bergerak dibawah tanah. Terutama di
ibukota Jakarta, dengan pusat pengendali dari Jawa Barat. Ada Legiun
Sunda, yakni para aktivis politik di Jawa Barat yang juga membina
kelompok-kelompok pro PRRI di jajaran TT.III-Siliwangi. Sasaran utama
gerakan di Jawa Barat/Jakarta yang kemudian diberi nama Komando Operasi
Perdamaian Nasional (KOPN) ini, sesuai yang digariskan kami PRRI sejak
awal, tetap untuk merebut kekuasaan di ibukota negara. Minimal sesuai
rencana baru mereka, yaitu yang digariskan Gerakan Perdamaian Nasional,
menangkap Presiden Soekarno dan memaksanya untuk berdamai dengan PRRI.
Pemerintah Pusat harus mengakui kebenaran tuntutan PRRI dan
mewujudkannya.
Menurut rencana awal, termasuk kemudian
direncanakan berupa Operasi Jakarta Special, pada saat itu pasukan dari
Sumatera ,maupun Sulawesi akan mendarat dengan kawalan starfing
pesawat-pesawat AUREV, mereka yang di Jakarta maupun Jawa Barat ini akan
langsung menyerbu dan merebut sejumlah sarana-sarana vital dan
strategis di ibukota. KOPN yang mengandalkan sejumlah unsur pendukung
PRRI dalam Kodam Siliwangi dan Kodam Jaya, maka untuk keamanan berencana
akan mengamankan dulu Brigjen Kosasih (Pangdam Siliwangi) dan Brigjen
Umar Wirahadikusumah (Pangdam Jaya) sementara waktu untuk kelancaran
operasi.
Rencana KOPN ini tercium oleh jaringan intelijen
TNI-AD. Mayor TH. Tombeng, slaah seorang komandan wilayah operasi di
Jakarta, tertangkap pada 11 Februari 1960. Darinya didapati senjata api.
Gerakan bawah tanah dipusat kekuasaan negara ini pun terbongkar. Namun,
tekad memerangi musuh sudah terlanjur kukuh. Beberapa kelompok tetap
bergerak, secara sendiri-sendiri.
Tanggal 6 Maret 1960, Lettu
Pnb. Maukar denegan pesawat MIG-21 AURI menembakkan roket serta
memberondong Istana Merdeka, kemudian Istana Bogor. Targetnya jelas:
nyawa Presiden Soekarno! Juga diserangnya tangki-tangki minyak di
Tanjung Priok, sesuai dengan rencana awal, yaitu melumpuhkan dan
mengacaukan Jakarta.
Presiden Soekarno hari Rabu itu sedang
mengadakan rapat dengan Dewan Pertimbangan Agung di Istana Merdeka. Saat
dihujani peluru dari udara, mereka sedang makan. Ruangan jadi porak
poranda. Perabotan luluh lantak, namun tidak ada korban jiwa. Presiden
Selamat. Barangkali saking jitunya tembakan Maukar, umunya tembakan
masuk tepat dibagian tengah ruangan, sehingga peluru hanya mengenai
meja, bagian tengah ruangan yang tidak ada orang, juga lampu-lampu
kristal yang menggantung di bagian tengah langit-langit ruangan.
Maukar kemudian melarikan diri, setelah mendaratkan pesawatnya secara
darurat di persawahan derah Leles Garut, Jawa Barat. Ia kemudian
tertangkap dan dijatuhi hukuman mati.
( Dalam Pemerintahan Orde
Baru, Soeharto dan Ali Murtopo membebaskan tahanan politik ex-PRRI,
Daniel Maukar pun dibebaskan, dan menetap di Bandung )
KEMUNDURAN & KEHANCURAN PRRI
Setelah Front Sumatera
dengan mudahnya digempur oleh Tentara Pusat-lantaran dilemahkan sedari
awalnya oleh para pemimpin militer seperti Letkol Barlian yang mundur,
dan para komandan batalyon yang mengkhianati Ahmad Husein, dan terutama
akibat politik AS yang dengan gampangnya beralih memihak kepada musuh
kami. Pusat segera mengerahkan konsentrasi dan kekuatan penuh terhadap
kami di Indonesia Timur. Dan lantaran tidak optimalnya lagi bantuan AS,
dalam hal ini yang terlanjur kami andalkan yaitu kekuatan udara, maka
wilayah-wilayah Indonesia Timur yang kami kuasai pun jatuh ketangan
pusat. Kalimantan Timur, Halmahera, sampai Sulawesi Tengah dan kemudian
Gorontalo, semua jatuh ketangan tentara Pusat. Pusat PRRI kami pindahkan
dari Sulawesi Tengah ke Sulawesi Utara dengan Joop Warouw sebagai
pemegang pucuk pemerintahan. Teman-teman di Sumatera sudah tidak bisa
diharapkan lagi, mereka kini hanya bergantung asa perjuangan kepada kami
di Indonesia Timur. Tapi sekarang, Front Timur pun dihantam
habis-habisan oleh Tentara Pusat.
Sekarang Terbalik, Kami yang Dikepung
Penyerbuan Tentara Pusat ke tanah Minahasa pada pertengahan Juni 1958
ini secara besar-besaran. 17 Kapal Perang dan pengangkut pasukan
dikerahkan, diantaranya KRI Gjajh Mada, KRI Hasanuddin, KRI Pattimura,
dan KRI Pati Unus. Panglima tempurnya adalah Rukminto. Tapi pemimpin
armada laut adalah John Lie. Dia menjadi arsitek dan pengarah seluruh
pendaratan. Tentara Pusat mulai mengepung posisi-posisi kami.
Sejak tanggal 8 Juni, selama seminggu, kapal-kapal perang yang dipimpin
oleh John Lie terus menerus menembaki kota Manado. Tangki-tangki besar
penampungan minyak di pantai Pondol hancur dan terbakar habis.
Masyarakat mengalami krisis bahan bakar minyak. Untunglah teman kami di
Kalimantan Timur, Letkol Hartojo, simpatisan gerakan kami, cepat turun
tangan membantu. Dia mengirim 1 kapal tanker penuh muatan minyak untuk
kepentingan bahan bakar PRRI di Manado.
Sambil dengan gencar
menembaki kota Manado dari laut, diam-diam pauskan RPKAD mendarat
dipesisir sebelah utara kota Manado. Sedang dari pantai Minahasa Utara,
di Kema, pendaratan dilakukan oleh Batalyon Pendarat KKO.
Saya
memimpin langsung perlawanan di Minahasa Utara. Pasukan kami hanya
terdiri dari pasukan Nyong Rompas, Kompi Sumakud dan Tentara Pelajar
(CTP) yang dipimpin oleh Martin Rintjap. Tentara pusat mengalami
hambatan didaerah ini, pasukan PRRI bertempur luar biasa. Duel
infanteri, kemudian mundur, maju lagi, duel lagi, kadang-kadang duel
artileri mewarnai pertempuran disini. Korban berjatuhan dikedua belah
pihak. Sejengkal demi sejengkal Tentara Pusat maju, sejengkal demi
sejengkal pula kami mundur. Dalam suatu duel infanteri, saya kena peluru
di kaki. Mundur sebentar buat pengobatan, kemudian maju lagi ke front.
Ketika itu, Tentara Pusat sudah mencapai Airmadidi, pasukan saya
bertahan di Kolongan. Musuh sampai ke pertahanan kami, kembali duel
artileri terjadi, kemudian disambung dengan duel infanteri. Maju,
mundur, kemudian maju lagi. Saya melihat luar biasa anak-anak kami
berjuang menahan serbuan pasukan elit tentara Pusat. RPKAD, KKO,
Batalyon Siliwangi, Batalyon Brawijaya ditahan berhari-hari di front
ini. Kemajuan Tentara Pusat sangat lamban. Padahal, area pertempuran
adalah jalan raya yang lurus-lurus saja. Masuk seminggu, Tentara Pusat
menambah bala bantuannya, tapi tetap saja mereka hanya dapat maju 25km
dalam 10 hari! Selain RPKAD dan KKO, pasukan Tentara Pusat yang terbesar
adalah dari Brawijaya, ditambah lagi dari Hasanuddin, Diponegoro, dan
Siliwangi. Tapi, pasukan kami masih dapat membendung serbuan mereka.
Selama PRRI-Permesta, disinilah, di Gunung Potong ini, pertempuran
terbesar, paling sengit, dan paling banyak meminta korban dari kedua
belah pihak.
Setelah bobolnya pertahanan pantai, 26 Juni 1958
Manado diduduki Tentara Pusat. Pasukan kami berundur ke arah
kantong-kantong gerilya yang sudah dipersiapkan. Tidak terjadi
bumihangus terhadap kota Manado oleh pasukan kami. Biarlah kota Manado
diduduki, yang penting Pineleng, Warembungan dan sekitarnya dijaga,
tidak boleh tembus. Saya sempat mendirikan Posko sementara di Koka,
dirumah Eddy Lapian, komandan CTP yang selalu berada di front depan
dalam setiap pertempuran.
Pusat pemerintahan dan pertahanan kami
sekarang di kota Tomohon. Akses dan jalur yang menuju kota Tomohon kami
jaga rapat. Jalur Manado-Tomohon kami potong di Pineleng. Dari
Pineleng, pasukan-pasukan kami seringa masuk kota Manado dimalam hari
untuk menyerang pos-pos Tentara Pusat yang berkubu didalam kota. Tentara
Pusat didalam kota Manado mengandalkan tembakan-tembakan meriam
artileri untuk menghujani pengunduran, dan mengebom kantong-kantong
oauskan kami seperti di Pineleng, Koka, dan Lota. Serbuan
pauskan-pasukan PRRI ke kota Manado disambut dengan hantaman artileri
meriam. Banyak yang gugur terhantam meriam Tentara Pusat, sisanya yang
masih hidup ditawan. Namun Tentara Pusat tidak berani mengejar sampai ke
Tomohon, akibat kuatnya basis pertahanan PRRI yang dibangun. Garis
pertahanan kami dari Pineleng sampai Waarembungan sangat kokoh dan tidak
bisa ditembus oleh Tentara Pusat, hinggalah kami tinggalkan sendiri
menjelang akhir Agustus 1958 sebab tidak berguna lagi sejak Tomohon
jatuh ketangan Tentara Pusat akibat pengkhianatan yang memalukan.
Pertengahan Juli 1958, pasukan Tentara Pusat mengerahkan kekuatan besar
untuk merebut Tondano. Melalui Airmadidi dan Tanggari. Serbuan mereka
disambut oleh perlawanan keras oleh pasukan kami. Kembali duel-duel
berlangsung seru. Setelah seminggu pertempuran sengit, Tondano kemudian
jatuh ketangan Tentara Pusat.
Lapangan Terbang Mapangat dengan
mudahnya dikuasai oleh Tentara Pusat, karena memang sudah kami
kosongkan. Dalam pertempuran sengit antara CTP pimpinan Martin Rintjap
dan RPKAD di daerah ini , Kopral Toegiman dari RPKAD gugur, 2 lainnya
tertawan. Kemudian oleh Tentara Pusat lapangan tempat terjadinya
pertempuran dinamakan Lapangan Toegiman, untuk mengenang prajurit RPKAD
tersebut.
Konsolidasi Gerilya, Peran Kawilarang
Setelah Tomohon jatuh –
yang kemudian disusul dengan Langowan, Kawangkoan dan Amurang – saya
merumuskan bahwa kami sudah harus masuk pada perang gerilya. Dan itu
berarti strategi, dan semua tentang sistem yang kami jalankan, sudah
harus lain dan sangat lain. Konsolidasi pasukan pun sudah harus
konsolidasi untuk perang gerilya, bukan seperti sebelumnya. Sebetulnya,
keputusan ini sudah saya pikirkan sebelum musuh mendarat di Tanah
Minahasa. Di Kema dan Manado. Saya lalu instruksikan Eddy Gagola untuk
memimpin team penyusunan strategi baru. Mayor Eddy Gagola adalah staf
saya dulu masa perang gerilya di Jogja. Ia perwira yang cerdas. Mereka
langusng bekerja. ,menyusun organisasi gerilya, strategi perang gerilya,
dan semua hal yang diperlukan, dari posisi bertahan sampai mencapai
kemenangan. Team pun bekerja tekun siang dan malam.
Kemudian
ada yang lapor kepada saya bahwa Bung Lex (Alex Kawilarang) ikut
membantu dalam team. Bukan main senang dan terharunya saya! Bukan saja
karena senor saya itu pasti akan berkonstribusi sangat besar – mengingat
ia seorang ahli strategi perang yang sangat jarang ada tandingannya di
Indonesia, tapi terutama dengn ini Bung Lex menunjukkan jiwa besarnya
sebagai seorang pemimpin sejati. Soalnya dia sudah saya larang untuk
berperan dalam komando. Gara-garanya, akibat peristiwa pengkhianatan
Mondong yang berakibat jatuhnya Tomohon. Waktu itu, saya emosi sekali,
lantaran Tomohon jatuh ke tangan tentara pusat dengan begitu mudahnya,
laporan John Ottay tentang Bung Lex mungkin sudah tidak saya nilai
dengan cermat lagi. Untunglah Joop Warouw mencegah saya untuk menindak
Bung Lex. Saya kemudian hanya menjatuhkan sangsi kepada Bung Lex, berupa
larangan untuknya memegang fungsi komando lagi dalam Permesta/PRRI.
Sekarang, saya jadi tidak enak hati, dan sangat terharu, betapa Bung Lex
yang adalah senior saya, sambil secara militer tetap meatuhi larangan
saya namun seklaigus dengan jiwa besar tetap membantu kami melaalui
tugas yang saya berikan kepada Eddy Gagola.
Saya sungguh-sungguh
terharu. Apalagi kemudian Bung Lex sendiri yang bilang ke saya tentang
keterlibatannya dalam team itu. Kali ini saya bukan lagi terharu. Ada
rasa jengah. Bagaimanapun ia pernah jadi Panglima saya, tahun 1950-1951.
Dan lagi, didluar hubungan formal dulu itu, pribadi Bung Lex dengan
integritas pemimpin dan sebagai seorang militer profesional pasti
menimbulkan rasa hormat siapa pun termasuk saya. Apalagi mengingat bahwa
sayalah yang mengajak seorang Alex Kawilarang untuk bergabung dalam
PRRI. Ada cerita masuk dari pertempuran antara pasukan tentara Pusat
dengan pasukan yang dipimpin oleh Bung Lex. Waktu itu, pasukan pusat
dengan artileri dan infanterinya sudah maju jauh kewilayah pertahanan
Permesta, diarahkan untuk menghabisi pasukan kami. Rupanya, pasukan
tentara pusat tersebut banyak yang berasal dari unsur-unsur Siliwangi.
Mereka tau pasukan pemberontak dipimpin oleh Bung Lex, mantan Panglima
Siliwangi. Tembakan artileri dan gempuran mereka arahkan ketempat yang
kosong, bukan kepada pasukan kami. Ini mungkin untuk membiarkan Bung Lex
dan pasukannya meloloskan diri dari gempuran. Begitulah Alex
Kawilarang, seorang ahli strategi dan panglima tempur yang sangat
disegani baik kawan maupun lawan.
Strategi yang disusun Mayor Eddy Gagola dan Bung Lex ini terbukti memang
ampuh. Pusat Pemerintahan PRRI ynag dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri
Joop F. Warouw telah kami pindahkan ke selatan. Tepatnya di tenggara
Minahasa. Untuk waktu-waktu selanjutnya kami dalam posisi lebih aman.
Saya masih lancar memeberi perintah-perintah operasi untuk teman-teman
di Sumatera yang tersisa dan masih terus berjuang. Sementara di Sulawesi
Utara, walau dalam posisi terkepung, sumber-sumber logistik sudah
diblokade pasukan Pusat, tetapi PRRI Sulawesi Utara tetap bisa melakukan
serangan setiap saat. Penghadangan-penghadangan terhadap iring-iringan
konvoy dan patroli tentara Pusat sering kami lakukan, dan banyak memakan
korban jiwa. Juga serangan-serangan sporadis terhadap pos-pos mereka.
Bahkan, beberapa kali serangan umum yang meniru Serangan Umum 1 Maret di
Jogja kami lancarkan. Kalau di Jogja sandinya adalah janur kuning
diikatkan dilengan, kamu dengan daun “seho”. Serangan-serangan umum
serentak terhadap kedudukan tentara pusat pun banyak memakan korban jiwa
dipihak mereka. Terutama serangan umum besar-besaran yang berlangsung
serentak selama beberapa hari, dari tanggal 17 – 19 Februari 1959 di
Kawagkoan, Amurang, Tondano dan Langoan. Bahkan, kota-kota tersebut
diatas dapat kami kuasai sepenuhnya, sebelum datanganya bala bantuan
dari Tentara Pusat yang merebutnya kembali. Memang benar rekapitulasi
dari Pusat bahwa pertempuran paling sengit yang dialami oleh tentara
Indonesia selama periode penumpasan pembangkang-pembangkang di
daerah-daerah adalah, pertempuran dengan PRRI/Permesta di Sulawesi
Utara. Disini, ribuan jiwa prajurit terkorban akibat perang saudara
antara TNI dengan TNI.
Rupanya, konsep strategi perang gerilya
diatas merupakan karya terakhir dari Eddy. Segera setelah merampungkan
konsep strateginya, Eddy memohon kepada saya untuk izin keluar
menyerahkan diri, meninggalkan PRRI, keluar hutan. Banyak alasan yang ia
kemukakan, semuanya memang masuk di akal, tapi bagi saya hanya satu, ia
sudah ragu dan tak mungkin lagi diharapkan untuk berjuang dengan
sepenuh hati. Tak ada sedikit pun kata-kata saya untuk menahan langkah
Eddy. Itulah kelemahan sifat Eddy Gagola, sering ragu. Waktu perang
gerilya di Jogja dulu juga begitu. Kendati staf dan pimpinan dalam
komando saya, ia pergi menyerah kepada tentara Belanda, tidak ikut kami
menyingkir ke Sektor Barat. Tapi, selesai perang, waktu saya memegang
komando Sulawesi Utara dan Maluku Utara, ia mau masuk lagi dan saya
terima. Sebab dia pintar dan rajin bekerja. Apalagi kakaknya, Gayus
Gagola dalah teman lama saya.
Demikianlah, Eddy Gagola berpisah
dari kami, dari PRRI/Permesta. Dia keluar hutan dengan maksud
menyerahkan diri kepada tentara Pusat. Tetapi dalam perjalanannya di
daerah Sea, bagian barat daya luar kota Manado, Eddy tertangkap oleh
pasukan PRRI/Permesta pimpinan Lawalatta. Nyaris saja Eddy dihabisi
disana. Untung mereka cepat lapor, saya pun memerintahkan untuk
melepasnya.
Beda dengan sikap saya sebelum-sebelumnya, sekarang
dalam menghadapi masalah dan keputusan Eddy ini saya sudah lebih banyak
memaklumi. Saya lebih berfikir tentang masa depan dia sebagai sahabat,
juga keluarganya, dibanding berfikir bahwa langkahnya ini adalah desersi
atau apapun yang harus dinilai negatif. Rupanya, beginilah perang
saudara.
Perintah Operasi DAR-004
Konsolidasi Perang Gerilya Semesta
September 1959, Kotamobagu jatuh! Inipun snagat parah kalau dihitung
bagi kepentingan strategi pertahanan kami. WPM PRRI Joop F. Warouw amat
kecewa. Apalagi ketika ia mendengar yang menyerbu Kotamobagu hanya
berkekuatan 1 Batalion saja dari Siliwangi. Bung Joop memaeahi Dolf
Runturambi, Panglima Daerah Pertemputan III, yang wilayahnya meliputi
Bolaang Mongondow dan Gorontalo. Sebagai seorang perwira yang berlatar
belakang intelijen, Dolf dinilai lalai, sama sekali tidak membuat
persiapan untuk menghadapi datangnya musuh. Bahkan, untuk sekadar
persiapan kordinasi proses mundurnya pauskan dan pengungsian
keluarga-keluarga. Banyak korban jatuh bukan saja lantaran tembakan
musuh, melainkan kesengsaraan di pengungsian. Lantaran itulah, maka
banyak teman yang sibuk mempersalahkan Dolf Runturambi. Sebegitu rupa
kecewanya teman-teman pada Dolf, sampai-sampai kepribadiannya pun jadi
gunjingan di sana-sini.
Saat Kotamobagu jatuh, Dolf malah sedang
berada di tempat lain. Saya memarahinya kersa. Sebelumnya ia pernah
minta tambahan pasukan, sudah saya kirim satu batalion yang kuat.
Batalion 1 Brigade 999 pimpinan Mayor Victor Lisangan. Tapi apa yang
terjadi? Disana batalion yang saya kirim ini malah diabaikan, bahkan
tidak dikasi makan! Ini keterlaluan, apalagi disana terkenal dengan
lumbungnya logistik kami. Sungguh aneh! Tentu saja Lisangan dan
pasukannya kemudian pulang lagi ke markas mereka.
Tapi sekarang
saya sudah tidak sibuk lagi memikirkan Dolf Runturambi. Saya segera
memimpin langsung kordinasi perlawanan seberapa bisa. Pasukan pasukan
KDP III yang sudah mundur saya usahakan untuk konsolidasi kembali. Itu
bukan perkara mudah, karena banyak yang sudah tidak mau lagi kembali ke
front. Sebetulnya bukan tidak berani, mereka semua saya tahu pemberani,
tapi yang terjadi adalah moril yang jatuh. Sebagian bahkan sudah
frustasi. Saya kemudian himpun lagi sisa-sisa kekuatan KDP III untuk
menyerang balik. Perlawanan kami mulai dengan serangan jarak jauh, pakai
senjata berat. Artileri kami menghujam tempat-tempat kedudukan tentara
Pusat.
Tapi ternyata sudah sulit. Tentara pusat sudah menguasai
posisi-posisi yang strategis. Bahkan dalam salah satu operasi, posko
saya disergap. Musuh, pasukan Kujang, sudah terlihat amat dekat. Untung
saya dan teman-teman bisa meloloskan diri. Tembak menembak beberapa
saat. Kebetulan malam tiba, musuh kelihatannya tidak berani untuk
melakukan pengejaran. Saya pindah Posko ke daerah Gunung Tagui. Disini
saya tiba pada posisi kesadaran bahwa posisi kami memang sudah lain.
Bukan hanya posisi kekuatan pasukan kami dalam menghadapi musuh yang
menyerbu Kotamobagu, tapi posisi PRRI/Peremesta secara keseluruhan. Maka
saya pun merancang konsolidasi secara menyeluruh. Konsolidasi untuk
perjuangan kedepannya.
Saat masih di Posko Gn. Tagui ini,
Panglima Daerah Pertempuran II DJ. Somba datang menghadap. Langsung saya
paparkan kepada Somba rencana strategis saya ini. Jus Somba senang
sekali. Ia mengungkapkan rasa kagumnya dan siap melaksanakannya. Dalam
rancangan baru ini, Jus Somba akan memimpin wilayah yang lebih luas,
seluruh Minahasa – Bolang Mongondow. Somba menginap disini dua malam.
Saya sendiri beberapa hari kemudian bergeser memindahkan Posko ke daerah
lain.
Kemudian, sebelum Kotamobagu jatuh, saya mengedarkan
konsep strategi baru itu melalui Perintah Operasi No.004/DAR/10/10/59.
Intruksi ini yang kemudian biasa disingkat “DAR/004”. Ini konsolidasi
gerilya untuk perang semesta. Tapi sayang sekali tidak dijalankan,
terutama oleh kelompok yang justru sangat saya andalkan. Yaitu WK-III di
bawah pimpinan Wim Tenges. Alasanya, macam-macam, ada yang logis, tapi
umumnya hanya lantaran belum sempat mengerti dengan jelas lantas sudah
ditambah sikap yang sudah berprasangka terhadap komando saya. Apalagi
memang saat itu sudah mulai biasa terjadi insubordinasi dimana-mana,
akibat keberhasilan pihak musuh mengadu domba, menyesatkan pola pikir,
bahkan membujuk untuk melawan rekan sendiri. Padahal, keberhasilan
psywar atau “operasi damai” oleh musuh itu justru hanya terjadi akibat
kelemahan pihak kiatyang berpangkal pada insubordinasi di kalangan
pemimpin pasukan.
Sampai sekarang saya sangat menyesalkan kegagalan konsolidasi gerilya
semesta ini. Apalagi ketika di kemudian hari sering terbukti dipelbagai
negara, betapa pauskan gerilya yang semula sangat lemah dan kecil bisa
membesar, jadi sangat kuat, dan mampu memaksakan kehendak mereka
terhadap rezim pemerintahan yang berkuasa resmi. Tidak perlu melihat
jauh-jauh, di Indonesia saja, di Aceh dan Timor Timur. Kelompok
pemberontak di Aceh pada tahun-tahun 1959-1962 boleh dibilang sudah
nyaris habis, karena keberhasilan Nasution mengadu domba dan membujuk
sejumlah pimpinan pasukan untuk “kembali ke pangkuan Ibu pertiwi”. Sama
persis dengan yang dibuat Nasution terhadap PRRI di Sumatera maupun di
Sulawesi Utara. Tapi orang-orang Aceh tetap konsisten menetang rezim
pro-komunis tetap melanjutkan gerilya. Mereka Cuma berbekal senjata yang
sebagiannya saya yang suruh supply waktu mereka bergabung dalam wadah
RPI (sebagian besar senjata yang dibawa dari kami sudah dibawa mereka
yang menyerah untuk disita oleh tentara Pusat). Kelompok baru Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) inipun sudah berjuang dalam garis perjuangan yang
sama dengan kami, yaitu memperjuangkan demokratisasi dan pembangunan
adil untuk daerah. Grais perjuangan ini banyak mempengaruhi kamu muda
dan terpelajar. Akhirnya, perjuangan mereka tercapai. Pemerintah RI
melakukan perundingan bilateral, setara, dan terhormat. Dan semua tujuan
penting yang mereka perjuangkan terpenuhi. Aceh satu-satunya daerah
yang di beri keleluasaan mendirikan partai-partai politik yang tidak
sentralistis dari Jakarta. Otonomi khusus dengan segala implikasinya
yang terbaik bagi pembangunan ekonomi daerah, juga mereka dapatkan.
Sebaliknya daerah-daerah Indonesia Timur lain, diluar Timor Timur dan
Aceh, dalam kultur politik saja tak berkembang secara baik. Tak
terkecuali Sulawesi Utara. Umumnya politisi daerah hanya berjuang
sebegitu rupa agar disayangi elit politik di Pusat, baik elit partai di
dewan pimpinan pusat maupun elit penguasa dalam birokrasi negara.
Intruksi 004/DAR yang saya rancang pada Oktober 1959 itu memang
sepenuhnya sesuai asas-asas idela perang gerilya. Bukan hanya untuk
bertahan, melainkan justru bisa berkembang untuk menyelamatkan dan
melanjutkan perjuangan. Tak ada cara lain! PRRI/Permesta dalam kondisi
seperti kami pada Oktober 1959 itu yang diteruskan, tanpa perubahan
seperti yang saya rancang, maka yang pasti akan terjadi hanyalah
mengulur waktu untuk satu persatu nyawa kami melayang secara konyol.
Dihabisi musuh. Dihabisi teman-teman sendiri yang semakin liar,
insubordinasi, dihabisi penyakit, dan macam-macam lagi.
Konsep
saya ini intinya dalah konsolidasi dengan cara menyebar. Menyebar dan
mengisi sebanyak-banyaknya wilayah dalam kawasan seluasnya. Jangan lagi
setiap hari dalam bentuk gerombolan besar yang terkumpul disuatu
tempat-tempat tertentu. Kecuali markas komando dengan detasemen
kawalnya, tapi itupun harus berada di tengah-tengah wilayah yang sangat
sulit dijangkau oleh operasi pasukan lawan. Dan wilayha seperti itu
masih banyak di antara Minahasa dagian tenggara dan Bolaang-Mongondow
bagian timur. Lebih banyak lagi di Gorontalo sampai Sulawesi Tengah.
Saya sendiri sudah memerintahkan staf untuk mempelajari lokasi untuk
markas di hutan sekitar Kotabunan. Pasukan dalam unit-unit yang snagat
kecil, bahkan berjalan dalam jarak terpisah, akan dengan lancar masuk
kesetiap wilayah tersebut. Dengan satuan-satuan kecil lebih bisa, dan
memang harus, masuk kedaerah-daerah yang dikuasai musuh. Pasukan yang
berpencar-pencar dalam unit-unit sekecilnya itu akan pasti terlatih
secara alamiah untuk menyusup kedalam kota, bahkan hidup tenteram
didalam kota. Dengan demikian kami dapat memiliki akses yang lebih luas,
baik untuk kebutuhan logistik maupun perekrutan anggota baru dari
generasi yang lebih segar.
Kalau hanya melanjutkan kondisi
seperti sekarang ini – terkepung dimana-mana, dukungan masyarakat sudah
menurun, malah sebaliknya banyak masyarakat sudah berbalik menjadi alat
musuh – yang terjadi adalah : disamping mudah diserbu dan dihabisi oleh
musuh, juga akan condong untuk konflik internal kita sendiri, antara
lain untuk berebut sumber-sumber penghidupan. Pasukan kita hanya akan
jadi makin terampil memeras masyarakat, dan ini sangat tidak saya sukai.
Wim Tenges tak mau menjalankan perintah saya, alasannya karena tidak
mungkin ia dengan rombongan besar pasukan serta keluarga mereka
melakukan long march sampai jauh ke selatan. Tapi menurut saya, Tenges
punya logika untuk tahu bahwa saya tidak segila itu hendak menyuruh
mereka pergi secara demikian. Lagipula itupun bertentangan dengan
prinsip konsolidasi yang saya rancang, yaitu jangan bergerombol besar.
Tidak begitu. Mereka akan pergi dengan kelompok-kelompok kecil, dan pula
secara bertahap. Tidak sekaligus. Dengan begitu kami pun akan lebih
mampu menyiapkan logistik dan bekal mereka. Kami juga akan lebih bisa
mengatur pengamanan bagi perjalanan mereka. Beda kalau mereka dalam
rombongan yang amat besar.
Saya dapat memaklumi Tenges. Dia menolak perintah saya lantaran
pikirannya sudah berisi prasangka bahwa saya lebih mementingkan pasukan
Timbuleng. Dengan persepsi seperti itu Tenges menilai perintah saya
sebagai cara menggeser pasukannya dari Minahasa dan mengisi posisi yang
ditinggalkannya itu dengan pasukan Timbuleng. Itu persepsi yang salah
besar. Bahkan salah banyak. Terbalik, saya justru lebih mengandalkan
pasukan Tenges dalam program saya ini. Karena pasukan Tenges, WK-III
adalah yang paling berdisiplin baik dan lebih profesional dibanding
pasukan Timbuleng. Maksud saya disini bukan berarti semua pasukan lain
kurang dibanding WK-III, tapi dalam hal ini saya membandingkan dua
pasukan terbesar yang masih eksis di jajaran PRRI/Permesta sekarang ini,
sejak Oktober 1959, yaitu Brigade 999 Jan Timbuleng dan WK-III Wim
Tenges.
Pasukan Tenges inilah yang saya andalkan untuk
mewujudkan program besar saya. Dan ini tidak mungkin dijalankan oleh
pasukan Timbuleng yang liar. Gerakan ini harus dijalankan oleh pasukan
dengan personil yang berdisiplin tinggi, intelektualitas yang memadai
untuk bisa masuk ketengah masyarakat dan membentuk citra pejuang ideal
ditengah masyarakat. Apalagi PRRI/Permesta terlanjur punya reputasi
buruk lantaran perilaku liar sejumlah pasukan, dan terlebih lantaran
berhasilnya agitasi Pemerintah Pusat dan PKI mengubah opini masyarakat
terhadap gerakan perjuangan kami.
Wim Tenges, yang juga banyak
memimpin pasukan lainnya di utara, mengira saya membela Timbuleng dengan
segala perilakunya. Padahal sebaliknya, sayalah yang termasuk paling
awal mengetahui bahwa Timbuleng main mata dengan musuh. Ia sudah
merancang penghianatan terhadap kami. Bahkan sebelum RPKAD mendarat di
Kema, info sudah sampai kepada saya bahwa pendekatan oleh musuh sudah
dilakukan melalui Daan Karamoy. Bahkan ketika pertama kali masuk kabar
pasukan Timbuleng menghantam sesama PRRI, saya langsung bilang :
“Hati-hati, kita juga nantinya akan jadi sasaran Timbuleng!” ( Sehingga
ketika kemudian hari diperoleh info jelas bahwa Jan Timbuleng sudah
membuat perjanjian dengan musuh melalui Jan Mongula – politisi Parkindo
yang sangat dekat dengan PKI – saya sudah tidak kaget lagi. Ketika
Timbuleng menculik Kapten Silangen, saya langsung bilang ke asintel
saya, Nun Pantouw, agar ekstra waspada karena kita sudah jadi target
Timbuleng ).
Saya sama sekali sudah tidak lagi mengandalkan
pribadi Timbuleng. Yang saya mau adalah pasukannya, karena pasukannya
sangat besar, dan saya melihat ada harapan untuk menggarap pasukannya
itu untuk menjadi sejalan lagi dengan kami. Tentu salah jika seluruh
pasukannya disia-siakan, apalagi dibasmi. Jan Timbuleng sendiri tidak
bisa saya harap. Apalagi dia semakin dipengaruhi oleh Bie Mandang,
asintel Brigade 999 merangkap asisten pribadinya. Lebih dari itu,
Mandang yang adalah kader politik kiri itupun berperan sebagai penasehat
politik Jan Timbuleng. Itulah mengapa saya mendekati secara khusus Otje
Lisangan dan Goan Sangkaeng. Otje dan Goan
Adalah komandan-komandan
dari dua batalion utama Brigade 999. Batalion 1 dan 2. Brigade 999 saya
hitung boleh ditempatkan di Minahasa. Walau wilayah itu bisa dikatakan
sudah sepenuhnya dalam kepungan musuh. Yang main mata dengan pihak musuh
toh hanya pimpinanya, bukan pasukannya. Lagi pula, di wilayah Minahasa
masih ada Jus Somba. Jan Timbuleng sangat segan pada Somba.
Anak-anak buah Timbuleng dapat diandalkan. Mereka sudah terbukti hebat
sewaktu bersama Jus Somba menyerbu sampai Sulawesi Tengah. Somba yang
meresmikan mereka jadi pasukan PRRI pertama yang berasal dari luar TNI.
Saat itu disahkan dengan nama Garda Nasional, karena psukan yang
dipimpin oleh Jan Timbuleng dan Goan Sangkaeng itu memang hebat. Brigade
999 adalah nama yang baru, setelah mereka berkembang cepat dan
berkekuatan 7 batalion.
Menyerah Tanpa Syarat, Saya Siap Dihukum Mati!
Tentara Pusat
sangat menghancurkan kami melalui berbagai macam bujukan dan pendekatan,
sehingga memecahbelahkan persatuan pasukan kami, memecah belah kekuatan
kami, menarik kawan-kawan kami, sehingga mengecilkan perlawanan yang
tersisa. Sejak dari Sulawesi Selatan, Sumatera, sampai kami di Sulawesi
Utara, satu-satunya langkah yang bisa membuat kami bertahan dan
berkembang, yaitu strategi gerilya yang saya intruksikan pada Oktober
1959, gagal. Banyak teman-teman yang tidak melaksanakannya. Maka,
akibatnya, kami harus menjalani waktu-waktu yang selanjutnya sebagai
proses kehancuran kami.
Jus Somba yang memimpin puluhan ribu
pasukan di wilayah Sulawesi Tenggara, Tengah dan Gorontalo, sebelum
secara resmi menandatangani persetujuan dengan Pusat, masih berusaha
menemui saya. Ia jauh-jauh dating ke Selatan, yaitu markas besar saya.
Sayang sekali ia tidak terus ketempat saya, kendati sudah sampai di
Motoaling. Saya pribadi sangat senang ketikan mendengar bahwa Jus Somba
akan menemui saya, saya pikiri ini pasti akan menjadi awal semua
perbaikan-perbaikan kedepan, apalagi setelah terbunuhnya Joop Warouw
oleh penghianatan Jan Timbuleng. Tetapi sewaltu ia singgah di di markas
Joost Wuisan, dia lantas membatalkan perjalanannya, tidak terus menemui
saya. Rupanya ia sudah ditakut takuti. Maka buyarlah semuanya……!
Awal April 1961, Jus Somba menandatangani kesepakatan mengakhiri
perlawanan. Hampir 35 ribu pasukan yang bersamanya akan menyerahkan diri
dan dilucuti. Kesepakatan akhir akan ditandatangani di Malenos, dekat
Tumpaan. Yang kemudiannya dikenal dengan nama Piagam Malenos, tanggal 4
April 1961.
Bersama dengan itu juga diaturlah penyerahan pasukan
Somba yang puluhan ribu kepada tentara pusat yang diadakan di Woloan.
Kepada Somba cs, Pusat menghibur dengan rumusan kata-kata yang disetujui
oleh kedua belah pihak : “ Tak ada yang kalah, juga tak ada yang
menang”. Juga disampaikan bahwa mereka-mereka yang menyerah akan di bawa
ke Jawa dan tetap sebagai anggota TNI.
Walaupun saya cukup kecewa dengan kejadian ini, saya tetap berusaha melihatnya dari sisi positif.
“Biarlah
kita terpisah sekarang, tapi kalau tujuan kita masih sama maka kita
pasti akan bersatu kembali. Lebih baik daripada masih bersama-sama tapi
arah sudah berlainan”.
Tanggal 14 April upacara besar di adakan
di Woloan, dekat Tomohon. Jus Somba pimpinan resmi mewakili Permesta,
sedangkan Panglima Kodam XIII/Merdeka dari pihak Pusat. Karena dalam
penyerahan Jus Somba, Kawilarang juga turun gunung ikut menyerah,
sedangkan dari pihak Pusat, Nasution merasa tidak enak hati untuk
bertemu Kawilarang dalam posisi seperti itu, maka Nasution mengutus
seorang perwira senior Mayjen TNI Hidayat. Yang sebetulnya dirasakan
oleh Nasution itu bukan hanya sungkan, segan, tak enak, melainkan pula
karena ia takut, ia tahu bahwa ia sudah salah. Ini terbukti kemudian,
ketika Nasution dipertemukan dengan Kawilarang di suatu tempat di
Tomohon, Bung Lex justru memarahi Nasution dengan keras, dan Nasution
diam saja.
(Kawilarang merupakan senior 2 tingkat Nasution di
Akademi Militer Bandung, ketika Kawilarang sudah berpangkat Letnan aktif
di KNIL, Nasution masih Sersan Kadet dan tidak bias meneruskan
pendidikan militernya karena keburu Jepang menyerang Pulau Jawa)
Di Sumatera, teman-teman pimpinan PRRI pun melangsungkan
perundingan-perundingan dengan Pusat. Puncaknya, Zak Kamidan bersama
lebih 10 ribu pasukannya meletakkan senjata dan diterima oleh pemerintah
Pusat di Bengkulu pada 17 Juni 1961. Akhmad Hussein bersama dengan sisa
pasukannya menyerahkan diri di Solok pada 23 Juni. Kemudian Agustus
1961, Ahmad Simbolon bersama sekitar 20 ribu pasukannya menyerahkan diri
juga.
Akhir Agustus 1961, Sjarifuddin Prawira Negara, Zulkifli
Lubis dan Burhanuddin Harahap menyerah. M.Natsir baru menyerah akhir
September sebab harus bersembunyi dulu di Agam. Soalnya banyak pasukan
PRRI sendiri yang sudah menyerah bergabung dengan tentara Pusat dan
organisasi bentukan PKI lantas berbalik memburu bekas teman-temannya.
Mungkin dengan ini mereka merasa menjadi berjasa dengan Pusat, tetapi
justru ini sangat berbahaya bagi teman-teman kami yang masih bertahan,
tak lain karena mereka tahu tempat-tempat persembunyian dan jalur-jalur
yang biasa digunakan oleh PRRI. Kolonel Dahlan Djambek terbunuh oleh
oleh operasi perburuan seperti itu. Itulah yang dihindari oleh Pak
Natsir dan teman-temannya.
Kelak dikemudian hari, waktu saya
ketemu Simbolon, saya Tanya kenapa mereka menyerah tanpa instruksi dari
saya. Jawab Simbolon,
“Kita semua kan tahu, kami yang di
Sumatera hanya berharap pada kalian di Sulawesi. Jadi kalau Jus Somba
dan Kawilarang saja dengan pasukan sebanyak itu turun gunung, apalagi
yang kami harapkan….?!
Saya Masih Konsolidasi Pasukan yang Tersisa, Melawan Seberapa yang Bisa
Setelah pasukan PRRI banyak yang menyerah, bahkan sangat banyak, yang
tersisa kalau dikumpulkan barangkali hanya tinggal sekitar 3 atau 4
Batalyon. Mereka tercerai berai dimana-mana. Maka saya konsolidasi agar
bisa melanjutkan perjuangan dengan kondisi yang ada. Saya atus sistem
perlawanan gerilya sepenuhnya yang terdiri daripada satuan-satuan mobile
namun dengan teritori masing-masing. Saya membaginya dalam 3 Komando
Resimen Militer (Koresmil). Koresmil 1 saya sendiri yang pegang
merangkap KSAD PRRI/KSAP RPI, Koresmil 2 oleh Goan Sangkaeng, dan
Koresmil 3 oleh Jefta Kamagie. Otje LInsangan pegang Suad 1, dia memang
cocok di Intelijen. Nun Pantouw sebagai wakil saya. Kemudian dalam satu
penyergapan, Nun Pantouw bersama adik saya Evert, Manurip, dan Empie
Mateos terjebak. Waktu mereka mengunjungi markas sesama pasukan PRRI
yang dikira belum menyerah, tapi ternyata sudah menjadi alat Pusat,
mereka tertawan.
Tiga Koresmil ini akan menjadi pusat-pusat
penyebarluasan pasukan, membentuk jaringan yang sangat luas, bukan saja
sesuai dengan strategi perang gerilya total jangka panjang, melainkan
pula dalam kondisi sekarang buat meminimalisi akibat-akibat buruk dari
gerakan musuh. Sekarang, karena lawan sudah tahu bahwa pihak kami sudah
tidak sebanyak dulu, mereka mempergencar operasi perburuan terhadap
kami. Itulah mengapa diawal saya tetapkan untuk bukan mengutamakan
penyerangan maupun penghadangan terhadap musuh, melainkan survival
sambil konsolidasi memperbesar kekuatan
Surat Terakhir Presiden PRI, Meminta Saya Mengakhiri Perlawanan
Hari-hari akhir September sampai awal Oktober 1961, pihak Kodam Merdeka
mengerahkan daya upaya yang intens untuk mencari hubungan dengan saya.
Untuk berunding tentunya. Dari dulu tidak pernah tawaran berunding
diarahkan kepada saya, jadi yang sekarang tentu ada kaitan dengan batas
waktu " 5 Oktober 1961 " yang ditetapkan dalam maklumat Presiden
Soekarno bagi kami para pemberontak yang masih bertahan belum menyerah.
Jadi, upaya mereka ini jelas ada unsur untuk "menolong" saya.
Lalu mengapa mereka mau menolong saya? Padahal bukan tidak mungkin
banyak dikalangan pihak musuh yang justru menghendaki nyawa saya, tanpa
ampun bila sudah melebihi batas waktu. Boleh jadi dalam hitungan Pusat,
saya memang sudah tidak ada gunanya lagi. Bahkan pula bukan tidak
mungkin dari pihak-pihak tertentu dari teman-teman kami yang juga
berpikir seperti saya. Jadi mengapa saya mau diselamatkan sebelum batas
waktu itu? Saya bisa menduga, keputusan mereka adalah dilatar belakangi
oleh hasil perjuangan dua orang, Goenarso dan Bert Supit. Atau mungkin
juga tiga orang, termasuk Panglima Kodam Merdeka sendiri.
Mayor
Goenarso adalah Asisten Intelijen Kodam Merdeka. Dia bekas anak buah
saya di Jogja. Ketika saya menjabat Komandan Gerilya Sektor Barat, dia
yang sebelumnya Komandan Kompi di Detasemen 300/CTP saya angkat menjadi
Komandan Sektor 5 dalam SWK 103A. Ketika kami melancarkan Serangan Umum 1
Maret, pasukan Goenarso adalah salah satu yang berjasa besar
mengobrak-abrik kedudukan Belanda di Malioboro dan sekitar Tugu.
Pasukannya juga berperan melambat-lambatkan masuknya bala bantuan
Belanda dari Magelang dengan menahan mereka dengan kontak senjata seru
di pinggiran Jogja. Ketika saya menjabat Komandan Pasukan Sulawesi Utara
dan Maluku Utara, Goenarso menjadi ajudan saya.
Saya sangat
menduga, Goenarso lah yang beriktiar mempengaruhi policy Panglima Kodam
Merdeka, Kolonel Sunandar. Dan kalau saya berfikir positif menilai
Kolonel Sunandar, saya mau katakan bahwa sikapnya ini adalah dilatar
belakangi pandangannya sebagai seorang aktifis Korps Alumni SSKAD.
Pandangan kelompok SSKAD dalam hal perhadapan antara PRRI dan
Nasution-Soekarno-PKI, jelas dan tegas memihak kami. Faktor lain saya
kira tentu dari Bert Supit.
Berbeda dengan umunya perwira lain
yang dikirim untuk menumpas PRRI di Sulawesi, yang umunya dari pelbagai
Komando Derah Militer, Kapten Bert Supit adalah perwira dari Pusat
langsung. Segera setelah PRRI pecah, Pusat mempercayakannya sebagai
Kepala Pelaksana Penguasa Perang di daerah bergolak, semacam
pemerintahan darurat militer. Selain untuk kebutuhan dalam situasi
perang, juga karena para kepala-kepala daerah di Sulawesi Utara memang
sudah ikut kami dalam PRRI. Dalam kedudukannya itu, juga karena
ketegasannya yang dikenal luas, para panglima militer dari Pusat sejak
Roekminto, Moersjid dan Sunandar, sangat menaruh perhatian pada setiap
pandangan-pandangannya. Dan Betb Supit lah yang sejak awal memang
berulang kali menyarankan pada mereka agar tak boleh sembarangan
menempuh cara-cara militer terhadap kami pemberontak.
Bert
adalah teman saya sejak di Sekolah Pelayaran di Makassar lagi. Waktu
saya ke Jawa, dia kembali ke Minahasa dan aktif dalam pergerakan politik
bawah tanah pro-republik. Pada masa awal perang kemerdekaan, Bert
menjadi ajudan Dr. Sam Ratulangi. Bert kemudiannya kuliah di Akademi
Hukum Militer di Jakarta, bersama Empie Kanter dan Sudharmono, dan
seterusnya berkarir di TNI.
Ketika meletus PRRI, ia berusaha
minta dikirim ke Sulawesi. Tak mudah, karena umumnya mereka di Pusat
sudah curiga kalau perwira asal Minahasa mau ke Sulawesi Utara. Tapi
Bert Supit punya jalur yang cukup berpengaruh, antara lain Sudharmono
(Pensiun Letjen TNI, pernah menjabat Wapres RI). Bert berusaha keras ke
Sulawesi Utara tak lain karena dia mau berjuang untuk mencegah
kehancuran yang lebih besar atas masyarakat daerahnya akibat serbuan
tentara Pusat. Kepada teman-temannya di Pusat pun Bert berjuang agar
dapat dicegah pengiriman pasukan dari daerah-daerah tertentu yang
kemungkinan akan menimbulkan unsur balas dendam. Ya, balas dendam
terhadap orang Minahasa, sebab pasukan-pasukan dan orang-orang Minahasa
selalu dipakai oleh Pemerintah Pusat untuk menumpas
pemberontakan-pemberontakan yang pernah terjadi di daerah-daerah lain.
Karena tekad Bert Supit yang demikian, maka tidak heran lah ia sering
bentrok dengan perwira-perwira Pusat lainnya, misalnya dengan Panglima
Roekminto. Ia bahkan pernah langsung mencopot tanda pangkatnya di depan
Roekminto, menyodorkan pistolnya sendiri agar Panglima membunuhnya lebih
dulu sebelum melaksanakan suatu operasi yang dinilai Bert sangat
berbahaya bagi masyarakat umum.
Usul Mayor Goenarso pasti
diterima oleh Kodam. Sebab Goenarso dinilai sudah berjasa besar bagi
operasi membereskan pemberontakan PRRI di Sulawesi Utara. Operasi yang
sangat mengandalkan kerja-kerja intelijen. Mereka pun lantas gencar
mencari hubungan saya. Tapi saya menjawab : Saya hanya mau berhubungan
dengan Bert Supit.
Karena bert Supit maupun Goenarso rupanya
cukup tahu watak saya, bahwa saya akan konsisten dan konsekuen untuk
tetap dalam garis perjuangan PRRI, mereka lantas mencari surat-surat
dari Presiden RPI/PM PRRI Mr. Sjarifuddin Prawiranegara yang ditujukan
ke saya. Ternyata ada surat-surat untuk saya, dan disabot oleh intelijen
tentara Pusat sehingga jatuh ketangan mereka dan tidak pernah sampai ke
saya. Bukan saja dari Pak Sjaf, tapi ada juga surat dari Ahmad Huseein,
Simbolon dan Zulkifli Lubis. Isinya semua sama, meminta saya untuk
mengakhiri perlawanan dan "kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi".
Saya heran kenapa surat-surat tersebut ditahan, padahal surat-surat itu
berisi intruksi dan himbauan, walau kata-kata didalamnya lebih tepat
dibilang' permintaan' - agar saya mengakhiri perlawanan. Jadi saya tidak
tahu, apakah surat-surat tersebut disembunyikan oleh pihak lawan, agar
saya tidak turun gunung sampai batas waktu sehingga saya akan dihabisi,
ataukan memang sudah menjadi kebiasaan pihak lawan untuk menyabot semua
hubungan kami dengan pimpinan PRRI di Sumatera.
Membaca surat
Pak Sjaf, juga surat teman-teman yang lain hati saya tersentuh, sangat
terharu. Ia mengingatkan bahwa prinsipnya perjuangan kami tak akan
pernah bisa dipadamkan. Kebenaran akan diperjuangkan sampai kapanpun dan
apapun resikonya. Tapi Pak Sjaf juga mengingatkan sejumlah faktor yang
melogiskan langkah perdamaian dengan Pusat.
Saya segera memutuskan untuk mematuhi "permintaan" Presiden RPI/WPM PRRI itu.
Menyerah Tanpa Syarat Segala!
Kepada Bert Supit, Goenarso,
maupun perwira-perwira lain yang kemudian diutus oleh Kodam Merdeka saya
nyatakan : menyerah. Menyerah tanpa syarat! Padahal mereka sudah
menyiapkan tim juru runding. Saya bilang, apa lagi yang mau
dirundingkan?
" Kami sudah kalah, harus tahu diri. Mau ajukan
syarat-syarat apalagi?! Tak logis bicara syarat-syarat segala! " kata
saya kepada Bert Supit. Saya menyerah dan terserah mau diapakan, Saya
siap dihukum mati. Acara penyerahan bersama pasukan yang masih tetap
setia dengan saya segera dipersiapkan oleh Kodam. Upacara nya
berlangsung di Tompaso.
Di Liandok, saya lantas membuat
pertemuan untuk yang terakhir kalinya dengan pasukan-pasukan yang amsih
setia dan ada disekitar saya. Umunya dari Yon Goan Sangkaeng dan Yon
Linsangan. Namun Otje lInsangan sendiri tidak hadir, hanya anak buahnya.
Baru kemudian saya tahu, Otje Linsangan menolak menyerahkan diri, dia
memang sudah bersumpah tidak akan menyerah selagi hayatnya masih
dikandung badan. Linsangan hidup berpindah-pindah bersembunyi, dan
kemudian menetap di suatu daerah di dalam kota Manado yang kemudian
dikenal dengan nama Bumi Beringin.
Hari Sabtu 21 Oktober pagi,
Kapten CPM Sukotjo datang menjemput saya di Liandok. Kami turun ke
Tompasu Baru menuju lapangan dimana acara sudah disiapkan. Dari pihak
“sebelah” diwakili oleh Letkol Batubara. Setelah upacara militer
dilapangan, kami pindah ke acara jamuan makan yang didahului dengan
ibadah. Tapi saat sedang menuju ke tempat itu, saya baru sadar kalau
pasukan kami yang sedang berlalu lalang menikmati pertemuan dengan sanak
saudara mereka yang datang menjemput, masih dengan senjatanya
masing-masing, dan disandang. Kepada Letkol Batubara saya bertanya
heran. Soalnya saya sendiri tadi sudah langsung menyerahkan sepucuk
laras panjang dan pistol milik saya.
“Kenapa tidak ada perlucutan senjata…..?”
“ Nanti saja Pak Ventje di asrama. Nda enak didepan banyak orang” jawabnya.
Memang dari awalnya, waktu Sikotjo dating menjemput saya, sepanjang
perjalanan kami dari Liandok, begitu juga dengan Batubara disini,
semuanya terasa berusaha bersikap sangat baik pada saya. Batubara pun
menambahkan, buat mungkin berusaha mencegah ada perasaan “kalah” dalam
diri saya,
“Keadaan ini kan sama-sama tidak kita
kehendaki….Benar kan Pak Ventje?” Ia pun bicara macam-macam, semua
dengan nada seperti itu, dengan tujuan yang sama. Saya jadinya tidak
banyak bicara.
Begitu terus, sampai dalam acara makan pun
begitu. Mereka sudah atur semuanya. Piring-piring disajikan sekaligus
oleh dua orang gadis dengan gerakan yang bersamaan, sudah dilatih,
kearah saya dan Batubara. Mereka selalu berusaha agar tak ada yang
terkesan lebih tinggi dari yang lain.
Selesai acara langsung
kami semua dibawa ke Manado. Tiba di Manado pukul 3 dinihari, semua
anggota pasukan langsung dimasukkan ke asrama. Saya dibawa ke rumah
kediaman G-1 Kodam XIII/Merdeka, Mayor Goenarso. Dua hari saya
dirumahnya, sebelum dibawa ke Jakarta. Selama di Manado, pertama-tama
saya dipertemukan dengan Panglima Kodam XIII/Merdeka, Kolonel Inf.
Sunandar Prijosudarmo Ketika bertemu, Panglima langsung menyalami saya
dengan erat, kemudian bertanya sebagaimana lazimnya tatakrama,
“Bagaimana, Pak Ventje, baik-baik…?”
“Tentu saja tidak baik. Masa keadaan begini baik?” jawab saya.
Saya memang sering lupa kalau orang sedang berbasa basi untuk sopan
santun, sedang saya mengartikan kata-katanya secara yang sebenarnya, dan
juga menjawab dengan jujur apa adanya. Ini jelas kurang baik bagi saya
pribadi. Tapi untunglah banyak kenalan dan teman-teman lama saya sudah
biasa dan maklum dengan “kekurangan” saya itu.
Saya kemudian
bertemu dengan Kepala Staf Kodam XIII/Merdeka, Letkol Inf. Herman Hari
Rustaman. Kami mengobrol cukup lama. Selama percakapan kami,
berkali-kali ia menyatakan pendapatnya bahwa kalau dia yang menjadi
pengambil keputusan di Pusat, maka pasti saya akan dibebaskan olehnya
pada hari ini juga.
Kapten Bert Supit mengundang saya ke
rumahnya. Saya datang ke rumahnya, tentu saja dengan penjagaan ketat
tentara. Ternyata hari itu Bert sudah "menawan" Jus Somba dirumahnya.
Disuruh masuk dalam kamar. Begitu saya tiba disana, saya diajak masuk ke
kamar itu. Bert langsung meninggalkan saya berduaan dengan Jus Somba.
Bert Supi berharap saya bisa "menyelesaikan masalah" dengan Jus. Tapi
saya pikir tak ada masalah lagi, saya harus bicara apa lagi?
Saya diam saja menatapnya yang selalu tertunduk, tidak berani
mendongakan kepala. Tanpa sepatah kata, saya kemudian keluar. Tak
sedikitpun saya rasa merasa perlu untuk menyalahkannya.
Beberapa
hari dirumah Goenarso, saya lalu dibawa ke Jakarta. Waktu akan
meninggalkan rumahnya, saya menyerahkan sepucuk pistol mini yang
sebelumnya saya simpan rapat-rapat. Saya memang tidak menyerahkan semua
senjata saya waktu di Tompaso Baru. Saya ndak mau dihabisi lawan saat
perjalanan. Kalau harus mati, janganlah mati konyol.
Waktu itu,
tidak sedikiti orang-orang PRRI yang meski sudah menyerahkan diri tetap
dihabisi dengan berbagai muslihat. Mereka seperti Tun Kopojos, Jost
Searang, Drs. Vicky Tanos, Danny Lumi. Di Sumatera ada Kolonel Dahlan
Djambek. Semua mereka dihabisi setelah menyerahkan diri, atau sengaja
dijebak untuk dihabisi.
Saat saya menyerahkan pistol mini saya
tersebut kepadanya, Goenarso tersenyum. Bekas anak buah/ajudan saya ini
rupanya memang sudah hafal watak saya.
( Dikemudian hari, Goenarso bisa mencapai jabatan perwira tinggi dengan pangkat Mayor Jenderal TNI. )
Pasukan-Pasukan yang Mau Terus Berjuang
Panglima Sunandar yang
langsung mengantarkan saya ke Jakarta. Sebelumnya ia meminta saya untuk
menyurati pasukan-pasukan Permesta yang masih bertahan di hutan-hutan,
yang belum turun gunung. Yaitu Koresmil 3 pimpinan Peta Kamagie di
Lowata. Bersama Kamagie ada Eddy Rembet juga dan pasukannya. Juga ada
Hein Kalangi dari Brigade Manguni. Sebelumnya, Kalangi sudah turun
gunung bersama Laurens Searang, tetapi kemudian ia masuk hutan lagi
bersama pasukannya. Ada juga pasukan-pasukan dari Bert Sumilat, Rudy
Sumual, dan lain-lain.
Saya menulis surat kepada dua pimpinan
pasukan itu. Mereka pun patuh. Panglima Sunandar sangat senang, ia
menyampaikan terima kasihnya kepada saya.
Sebelumnya masih ada
lagi pasukan-pasukan dalam kelompok-kelompok kecil yang tersebar
dimana-mana. Ada yang bertahan sampai tahun 1964-1965. Mereka kembali ke
masyarakat secara diam-diam, secara individual. Terlebih lagi setelah
kekuasaan PKI runtuh. Jadi mereka tidak pernah menyerah. Pasukan lain
dengan jumplah yang cukup besar hingga ribuan personel dibawah pimpinan
Wim Dompas. Mereka memang salah satu andalan dari pasukan WK-III
pimpinan Tengas. Sudah turun bersama Tengas dan Somba di bulan April
1961, Dompas kemudian memisahkan diri bersama-sama pasukannya meneruskan
perlawanan. Di Sumatera juga banyak yang seperti itu, baru turun gunung
setelah pemerintahan Orde Lama runtuh.
Pihak Pusat maupun
pimpinan TNI mendapatkan "manfaat praktis" dari eksitensi RPI, yaitu
mempercepat turun gunung nya kelompok-kelompok pemberontak selain
PRRI/Permesta. Seperti Darul Islam Daud Beureueh di Aceh, pasukan
Kartosuwiryo di Jawa Barat, pasukan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan,
kelompok Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, dan RMS di Maluku. Dengan
begitu, maka penyelesaian dengan PRRI serta pucuk pimpinan RPI pada
pertengahan 1961 itu segera mendorong Pusat untuk menyelesaikan lebih
cepat semua pergolakan di berbagai daerah tersebut.
Yang tersisa
segera diselesaikan dengan pemberian amnesti dan abolisi, yang
dinyatakan berlaku sejak 17 Agustus 1961. Batas waktunya adalah 5
Oktober 1961, sedangkan saya baru turun tanggal 20 Oktober, sudah lewat
deadline.
Walau sudah deadline, tapi Panglima Sunandar
"menolong" saya. Langkah seperti yang dilakukan oleh Panglima Kodam
XIII/Merdeka itu tidak mau dilakukan oleh Panglima Kodam Hasanuddin,
Kolonel M. Jusuf, sehingga Kahar Muzakkar harus mengalami nasib yang
tragis. Padahal Kahar merupakan pembina Jusuf sejak awal karier tentara
Jusuf. Juga bahkan sampai beberapa kali, saban Jusuf sudah "tercecer"
dari struktur organisasi resmi TNI, karena kesalahannya sendiri, ia
dapat masuk lagi justru dengan menggunakan jalur dan pertolongan
daripada Kahar.
Sampai awal tahun 1950-an, jalur dan akses Kahar
memang "kuat", yaitu langsung menggunakan posisi dan pengaruh Zulkifli
Lubis di Markas Besar APRIS. Ndak tahu apa yang ada di dalam pikiran
Jusuf sehingga tega tidak menolong Kahar setelah ia berkuasa pada tahun
1961 itu. Kahar pun menjadi korban. Seorang pejuang kemerdekaan yang
telah berjuang semenjak awal-awal revolusi, seorang yang sangat
pemberani yang saya kenal, menjadi tumbal, begitu juga Dee Gerungan,
turut menjadi tumbal.
Setelah saya dibawa ke Jakarta, MBAD
meminta saya untuk menyurati pasukan Jangky Kumontoy di Halmahera, dan
surat dikirim pada Januari 1962. Pasukan Kumontoy adalah bagian dari
pasukan yang dulu saya pimpin langsung untuk menguasai titik-titik
strategis di kepulauan Halmahera tahun 1958. Pasukan Kumontoy bertugas
merebut lapangan terbang Merotai. Setelah wilayah-wilayah tersebut
direbut kembali oleh tentara Pusat, Jongky Kumontoy dan pasukannya
bergerilya di hutan-hutan sekitar Halmahera. Setelah Kumontoy turun
gunung, mereka langsung direhabilitasi menjadi TNI untuk diterjunkan
dalam Operasi Trikora.
Berbeda dengan ex-pemimpin pasukan
PRRI/Permesta lainnya yang minta untuk berkarir terus di TNI, seperti
Jus Somba yang diturunkan pangkatnya, Jongky Kumontoy sebaliknya. Ia
sebelumnya yang Letnan PRRI masuk TNI langsung menyandang pangkat
Kapten. Ia bersama pasukannya dinamakan PG-500 dan dinilai memperoleh
keberhasilan yang paling gemilang dalam operasi awal Pembebasan Irian
Barat.
Mereka berangkat dari Pulau Gebe, sebelah timur Halmahera
dengan sejumlah perahu. Sampai di Pulau Waigeo pertengahan JUli 1962
dan bergabung dengan pasukan-pasukan yang sudah mendarat dulu. Kemudian
turut bergabung di dalam pasukan Kumontoy setelah satu operasi terjun
Linud seorang srikandi bernama Herlina (yang kelak jadi sangat terkenal
dan diberi Lencana Pending Emas oleh Presiden Soekarno). Herlina dan
pasukannya salah mendarat ditengah-tengah barak Marinir/KL Belanda,
teman-temannya cerai berai. Banyak yang gugur dan tertawan, kemudian
bergabung dengan pasukan kUmontoy. Kemudian pasukan ini menyusup melalui
Teluk Arugu, sampai ke dalam Monokwari. Begitu hebatnya pasukan
Kumontoy, sehingga ketika semua Pasukan Gerilya (PG) yang berinfiltrasi
ke Irian - dari PG 100 sampai PG-600 - digabung menjadi satu detasemen,
maka kesatuan ini biasa disebut Detasemen Kumontoy. Kendati PG-PG lain
diluar PG-500 itu berasal dari pasukan elit TNI lainnya.
Semua Ini Saya yang Bertanggungjawab!
Saya dibawa ke Jakarta,
diantar oleh Panglima Sunandar. Kami naik pesawat Dakota AURI, singgah
di Balikpapan, kemudian pindah pesawat ke Surabaya. Waktu di Balikpapan,
Pangdam Mulawarman, Brigjen TNI Hario Kechik dating menemui saya. Kami
dulu sama-sama di Kompas B. Hario cerita tentang bantuan-bantuan yang ia
berikan bagi perjuangan kami PRRI. Saya amat terharu, soalnya saya
sudah dengar-dengar bahwa Hario sekarang adalah seorang perwira tinggi
yang bersemangat dalam mendukung politik Bung Karno yang semakin ke
kiri. Jadi saya terharu, persahabatan kami ternyata melebihi batas-batas
politik dan ideologi, Sehingga Hario tanpa takut menyatakan bahwa ia
membantu kami. Padahal waktu ini, sebagaimana lazimnya dalam alam
politik diktator, fitnah dan sikap menjilat merajalela. Hario tidak
takut kariernya terancam.
Di Jakarta saya diproses verbal oleh
petugas MBAD. Saya sebetulnya mau protes setiap kali mereka menyebut,
atau membaca dokumen untuk saya, kata-kata “kembali ke pangkuan ibu
pertiwi”. Saya pikir kami tidak pernah meninggalkan ibu pertiwi, kami
tidak pernah menghianati bangsa dan Negara. Kami hanya memberontak
terhadap rezim penguasa pemerintahan yang “sakit”. Lagi pula, kalau
“kembali” dan “pernah meninggalkan” itu berkenan dengan jalan kami yang
tersesat, mengenai konsep atau garis perjuangan yang salah, itu berarti
kami ini terlalu bodoh sehingga sampai lebih tiga tahun bertarung nyawa
untuk kebodohan. Saya yakin kami tidak keterlaluan seperti itu. Tapi
sudahlah. Saya diam saja mengenai istilah-istilah yang mereka pakai itu.
Oditur Militer pun sudah menyiapkan pemeriksaan atas diri saya. Mereka
sudah menyiapkan sedert pertanyaan untuk dakwaan. Tapi mereka
kemudiannya kaget, semua yang sudah mereka siapkan tidak diperlukan
lagi. Saya langsung tegaskan :
“Semua ini saya yang bertanggungjawab…kedalam maupun keluar negeri!”
Langsung selesai. Beres. Tak perlu lagi mereka mengerahkan interogasi,
tak perlu lagi menghadirkan sederet saksi-saksi yang sudah mereka
siapkan. Menurut saya sederhana saja. Bahwa saya sudah menyerah. Titik!
Menyerah berarti saya yang masuk dalam sistem penilaian dari pihak yang
sebelumnya lawan saya. Jadi, terserah mereka mau tuduh kesalahan saya,
terserah mau hukum mati saya.
Saya siap dihukum mati sekalipun.
Ya, saya memang harus melihat kemungkinan itu sebagai hal yang real,
karena setiap hari saya menyaksikan bagaimana merajalelanya kekuasaan
musuh kami. Bahkan Jenderal Yani dan Nasution sekarang sering jadi
sasaran mereka. Segala surat amnesti dan abolisi bukan tidak mungkin
dimentahkan. Bahkan banyak politisi yang sama sekali tidak bersalah
sekalipun, hanya dituduh atas dasar fitnah, ternyata dipenjarakan dengan
kejam.
Gatot Subroto : " Ventje itu yang benar!"
Waktu saya belum
menyerah, masih dihutan, rombongan Somba cs. yang sudah "kembali" sejak
April 1961 disambut dimana-mana. Tentu saja, mereka dianggap sebagai
orang-orang yang berjasa bagi "perdamaian dan ketenteraman masyarakat",
"mengakhiri penderitaan rakyat". Di Jakarta, mereka juga disambut oleh
banyak kalangan dengan sikap begitu. Beberapa keluarga Kawanua di
Jakarta buat resepsi, jamuan makan, khusus buat menyambut mereka.
Tapi, bukan main kaget dan bingung mereka saat mengadakan kunjungan
resmi ke Kantor Wakil KSAD, Mayjen TNI Gatot Subroto. Pak Gatot bukannya
memuji mereka, malah menyalahkan. Sambil Pak Gatot mengatakan,
"Ventje itu yang benar! Ia konsisten pada perjuangan yang memang benar!"
Apa yang mereka alami di kantor WKSAD itu kemudian hari diceritakan
Willy Korompis pada saya. Waktu saya sudah ditahan di Rutan Puncak,
Willy datang membezuk. Willy ikut dalam rombongan yang silaturahmi ke
WKSAD itu. Willy cerita bagaimana hancurnya hati teman-teman sata
mendengar kata-kata Pak Gatot itu. Menurut Willy, wajah Lendy Tumbelaka
sampai pucat. Sebelumnya dimana-mana mereka sudah terbiasa hanya
mendengar pujian dan kata-kata yang serba baik mengenai langkah mereka
berdamai dengan Pusat. Mereka datang ke WKSAD hari itupun, kata Willy,
dengan harapan Pemerintah segera akan memberi mereka fasilitas itu ini
buat mereka, sebagai imbalan jasa baik mereka.
Mendengar cerita
Willy Korompis itu saya menjadi sedih, bukannya senang. Saya segera
memikirkan nasib ribuan anggota pasukan yang ikut turun gunung bersama
mereka berdasar kesepakatan di Malenos. Kalau dengan para perwira
seperti Jus Somba, Lendy Tumbelaka saja yang notabenenya adalah orang
TNI saja Pusat sudah bersikap begitu, bagaimana dengan masa depan
pemuda-pemuda yang bukan berasal dari TNI? Bagaimana masa depan ribuan
anak-anak muda itu?! Itu yang saya bahas dengan Willy Korompis.
Mengenai penilaian positif Pak Gatot itu pada saya, jelas membuat saya
sangat terharu. Bukan main tulus dan jujurnya dia, sehinga tak
memperhitungkan hancurnya karier diri sendiri. Soalnya, dimasa ini, masa
sangat berkuasanya pro-PKI, menyatakan secara terbuka sikap positif
terhadap gembong pemberontak seperti saya, itu bisa menjadi sangat fatal
baginya.
Pak Gatot memang sejak dulu baik kepada saya. Ia
sangat mengerti saya. Bahkan bila posisi formal kami saling
bertentangan, selalu ada upaya khusus dari Pak Gatot, maupun mencari
jalan penyelesaian yang terbaik. Tidak pernah kami bersinggungan. Ada
kisah kecil yang agak lucu mengenai saya dan Pak Gatot. Peristiwa
"aneh", serba kebetulan. Kisah itupun baru kemudian hari saya dengar.
Yang menceritakan kepada saya adalah Kolonel Soemantri. Ia Asisten
WKSAD. Kisahnya, waktu WKSAD Gatot Subroto sedang melakukan kunjungan
kerja ke Ambon, buat merintis persiapan serangan balik Pusat terhadap
kami PRRI yang sudah menguasai Indonesia Timur.
Kunjungan
rombongan WKSAD itu sudah diatur demikian tersamar, mereka tidak naik
pesawat tempur AURI. Ketika WKSAD sedang memimpin rapat di dalam pesawat
di landasan, sekonyong-konyong tiba serangan udara beberapa buah AUREV
dari B-29 yang salah satunya dipiloti oleh Allen Pope. Armada udara PRRI
itu membombardir landasan dan pesawat, menghujaninya dengan bom-bom dan
tembakan gencar. Pasukan yang dipangkalan membalasnya dengan tembakan
gencar meriam-meriam ARSU. Tembakan gencar dimana-mana, sebelum
posisi-posisi ARSU Tentara Pusat disapu bersih oleh bombardir B-29
Armada Udara AUREV.
Dalam suasana serba putus asa, tidak
berdaya, tinggal menunggu jatuhnya bom-bom dari B-29, Pak Gatot seperti
biasanya masih bercanda kepada para pengawal dan anak buahnya,
"Nda usah khawatir kalian, Ventje tahu saya ada di dalam sini......"
Soemantri bercerita, semua anggota rombongan merasa aneh, apalagi
kemudiannya ternyata mereka itu salah satu dari sangat sedikit yang
luput dari kehancuran. Mendengar cerita Soemantri tersebut, saya justru
merasa lebih aneh lagi. Karena "kebetulan" pada waktu kejadian itu,
sebelum Armada Udara AUREV mulai mengebom, mereka melaporkan kepada saya
titik-titik sasaran yang akan dihancurkan. Dan saya melarang menggempur
beberapa obyek tertentu, salah satunya ialah pesawat yang bukan pesawat
tempur. Jadi, titik dimana WKSAD dan rombongannya berada itu adalah
justru salah satu yang saya larang untuk di bom. Saya ingat persis,
pilot-pilot dari AS itu sampai menggerutu dan ngomel-ngomel,
"Perang macam apa ini?! Musuh masih disayang-sayang, dipilih-pilih, jadi menghambat kelancaran operasi.......!"
Omelan mereka itu bukan langsung kepada saya. Saya dengan kemudiannya
dari petugas telekomunikasi radio kami di Pangkalan Udara Mapangat.
Kepada Kolonel Soemantri saya langsung bilang,
" Tolong sampaikan salam hormat saya kepada Pak Gatot."
Tapi untuk saat ini, saat sedang ganas-ganasnya merajalela politik kiri
yang sangat memusuhi kami, saya tak sedikitpun menyatakan ingin bertemu
atau mengharapkan bantuan WKSAD. Saya kasihan kalau sampai karier Pak
Gatot sampai terganggu.
Saya kemudian memang tidak pernah lagi
bertemu dengan beliau. Sayang sekali, itu ternyata sudah untuk
selamanya. Pak Gatot meninggal dunia hanya selang beberapa bulan
kemudian. Padahal ketika itu ia sudah pasti akan naik menjadi KSAD,
mengantikan Nasution.
Pak Gatot meninggal tepat pada hari ulang
tahun saya, 11 Juni 1962. Ia dimakamkan di Ambarawa. Dalam tahanan, saya
sedih mendengar berita duka itu, saya sering mengenang
perjumpaan-perjumpaan kami.
KARANTINA POLITIK
TAHANAN POLITIK DAN MILITER
Di
Jakarta, saya dimasukkan ke Rumah Tahanan di cipayung Jawa Barat. Disini
sudah ada Zulkifli Lubis, Nun Pantouw, dan kemudian mereka yang
menyerah di luar negeri seperti Tan Goan Po, Ir. Herling Laoh. Kemudian
dibawa kesini juga Akhmad Hussein, Sahala Hutabarat, dan teman-teman
PRRI lainnya dari Sumatera. Ynag dari luar negeri ada pula Willy Pesik,
Daan Mogot, Boy Junus, Anwar Muin, dan lain-lain. Yang dari Sulawesi
Utara selain saya adalah Wim Manoppo, Kepala Daerah Bolaang Mangondow
Henny Manoppo, Drs. Muhammad Baga dari Gorontalo, George Montoalu, De'
Warouw dan beberapa ex- Permesta lainnya. Kemudian juda tiba Goan
Sangkaeng, Peta Kamagie, Agus Tuwaidan dan Hein Kalangi. Sedangkan Moh.
Natsir, M. Simbolon, Dy\uski Samad, Sjafruddin Prawiranegara,
Burhanuddin Harahap, Mr. Assat Prof. Lan Inkiriwang di Jawa Timur dan
Jawa Tengah. Mereka sempat dikumpulkan bersama-sama kami, lantas
kemudianya disebar keberbagai tahanan militer di Jawa.
Mengenai
penahanan ini, umumnya mereka merasa tertipu. Sudah menuruti panggilan
Pemerintah Pusat untuk berdamai, sudah ada jaminan amnesti dan abolisi,
tapi ternyata ditahan juga. Tak urung Jenderal Ahmad Yani dan jajarannya
sempat menyampaikan protes keras kepada Kabinet tentang nasib kami,
namun tidak digubris.
Bagi saya sendiri tidak mempermasalahkan
masalah itu. Sudah saya gariskan sikap dari dulu, saya sudah menyerah
tanpa syarat, jadi terserah mau diapakan, dihukum amti sekalipun. Rezim
yang bobrok, pelanggar konstitusi, jangan diharapkan penegakan hukum dan
keadilan.
Harapan Untuk Tetap Hidup
Sejak
bulan-bulan sebelum menyerahkan diri saya masih tetap terus berjuang,
bayangan tentang datangnya kematian bagi saya bukanlah hal yang luar
biasa. Ketika operasi perburuan terhadap kami semakin gencar, apalagi
karena banyak mantan pasukan PRRI/Permesta yang diikutkan turut memburu
kami, pun saya merasa tidak gentar. Sebagai pribadi yang cukup lama
berada dalam situasi pertempuran, besar dari bau mesiu dan dentuman
senjata serta meriam, sudah sering saya menyaksikan teman-teman
seperjuangan yang tewas, gugur tertembak, jadi selalu muncul persepsi
tentang amat mudahnya kematian itu, apalgi mati tertembak. Begitu juga
waktu saya memutuskan untuk menyerah tanpa syarat. Saya sudah siap
menanggung semua akibatnya. Siap dihukum mati dan mati.
Tetapi
kemudian dari hari kehari di Jakarta dalam tahanan, lantas dipindahkan
ke Megamendung, kemudian Cipayung, kehidupan tersu berjalan dan memberi
saya perasaan hidup. Proses ini, pada waktu itu, berlangsung sangat
biasa, tanpa disadari. Mayjen TNI Ahmad Yani bercerita kepada saya
tentang upayanya mebela kami. Sejak usul pemberian amnesti dan abolisi.
Dna sikapnya yang sekarang sangat bersahabat kepada kami, semua
kenyataan ini berperan menumbuhkan pandangan yang baru bagi saya. Tidak
semua yang berkuasa sekarang ini menghendaki kematian kami. Bahkan ada
seorang Jenderal yang sedang dijajaran puncak kepemimpinan militer
negara ini secara pribadi berpihak kepada kami.
Dalam keadaan
seperti sekarang ini, kembali saya terkenagkan Pak Gatot. Dia memang
pribadi yang luar biasa. Dibalik perilakunya sehari-hari yang terkesan
seenaknya terpancar integritas yang sungguh-sungguh. Dibalik sepak
terjangnya yang spontan, tak jarang melanggar disiplin, konsistensinya
selalu terjaga. Dibalik pembawaannya yang terlihat kasar, suara bariton
yang khas, selalu terpancar kebaikan dan ketulusan hatinya.
dr.
Nos Engelen waktu datang menemui saya dalam karantina tahanan di
Cipayung, bercerita tentang pertemuannya dengan Pak Gatot. Kata Pak
Gatot, waktu kami sudah mulai dengan PRRI, Soeharto sampai tanya kepada
Pak Gatot mau bikin apa pasukan-pasukannya di Jawa. Soeharto sudah
menunggu kontak dari kami.
"Tak ada koordinasi operasi. Jadi dia (Soeharto) ndak tau mau bikin apa...!" kata Nos Engelen menirukan ucapan Pak Gatot
Soharto! Teman seperjuangan sejak saya masih di Jogja. Sekutu saya di
masa-masa awal pergolakan PRRI. Sekarang dia sudah berpangkat Brigjen
selaku Panglima Mandala, dan sangat diandalkan oleh negara. Kenyataannya
inipun menjadi salah satu faktor yang secara langsung dan tidak
langsung membesarkan hati saya, membuat saya memandang bahwa hari esok
pasti akan lebih baik.
Letkol dr. Nos Engelen di tahan di RTM
Madiun, tapi tahun 1962 sudah dibebaskan. Dia ditangkap pada 1958 di
Makassar bersama-sama dengan Letkol Bing Latumahina, Letkol M. Saleh
Lahade, Mayor Mochtar Lintang, Kapten Naziruddin Rachmat, Kapten Anwar
Bey, Kapten Kaligis dan lain-lain.
Kisah Orang-Orang Tahanan
Selama dalam tahanan, banyak sekali
kisah suka duka diantara kami, termasuk kisah-kisah lama yang baru
diungkap oleh sesama tahanan. Juga, tentu saja sangat banyak joke nya,
walau hari-hari awal kami berada dalam tahanan biasanya yang dibicarakan
yang serba serius. Yang diguraukan macam-macam. Misalnya waktu
Sjarifuddin Prawiranegara tampak sedang ngobrol berdua dengan Dr.
Soumokil, Nun Pantouw langsung bilang ke kami sesama tahanan yang sedang
duduk-duduk ditempat terpisah,
"Lihat...! Dua Presiden sedang
berunding. Presiden RPI dan Presiden RMS!" Semua langsung terbahak
bahak. Apalagi ketika melihat gaya dua teman yang ditunjuk Nun itu
betul-betul persis orang yang sedang merundingkan masalah gawat.
Begitu juga waktu Sutan Sjahrir terkena stroke. Saya yang pertama kali
melihat dia jatuih terduduk dalam kamar mandi. Kmai langsung angkat,
teman-teman melakukan apa saja untuk menolongnya. Ada juga yang melapor
ke petugas tahanan untung diangkut ke Rumah Sakit. Sedang Natsir dan
Burhanuddin Harahap sibuk mengurut-ngurut tangan Sjahrir, kami semua
berkerumun disekitarnya. Suasana tegang. Perasaan was-was. Tiba-tiba ada
yang nyelutuk, "Lihat..! Masyumi sudah berkoalisi dengan PSI!"
Saya lupa siapa yang berkomentar, tapi yang jelas gurauan itu terasa
amat lucu. Namun tak semua joke berunsur politik. Banyak juga yang
ringan-ringan, mirip gurauan anak-anak. Misalnya waktu Mochtar Lubis
bercanda tentang nama panggilan masing-masing kami, dia bilang yang
paling jelek adalah Pak Burhanuddin Harahap, karena panggilannya memang
BH.
"Ganti saja" kata Lubis.
"BH kan kutang..perabotan wanita..."
Mendengar itu, Natsir langsung menambahkan, " Sama dengan Nun Pantouw,
sudah punya istri dan anak..tapi masih saja dipanggil Nun, Biarawati..!"
Simbolon pun langsung menyahut, " Sama dengan Boyke Naiggolan,
selamanya tetap anak kecil, boy.....!" disambut gelak ketawa kami semua.
Bagi orang-orang tahanan, banyak soal-soal yang sepele bisa menjadi
serius. Tak kecuali urusan makan. Pernah sampai ada "gerakan politik"
mogok makan. Cuma gara-gara pengaturan makan yang berbeda keinginan
dengan petugas Rutan. Ada kisah tentang kompor buatan Simbolon. Lantaran
jatah makanan kami sering dinilai tidak enak - terlalu sering ikan dan
sayur tidak gurih, maka banyak yang menyesalkan sisa makanan yang dibawa
keluarga/pembezuk menjadi basi dan terbuang percuma. Makanan dari
mereka seringnya enak-enak, karena dibeli di restoran. Maka
dipikirkanlah cara bagaimana agar makanan bisa tahan lama dan tetap enak
dimakan. Yang bisa, karena murah adalah kompor. Tapi ada aturan tahanan
tidak boleh mempunyai kompor sendiri. Sempat ribut lagi dengan petugas
karena mereke tidak mengijinkan adanya kompor. Tapi Simbolon panjang
akalnya. Ia meminta para pembezuk/keluarga-keluarga jika datang membawa
lilin setiap kali. Lilin-lilin tersebut dilelehkan dalam wadah, dutaruh
beberapa sumbu, jadilah kompor. Suatu hari ketahuan petugas dan
dirampas!. Tapi Simbolon buat lagi yang baru.
Rencana Melarikan Diri, Meleteus G30S
Saya Bilang : Pihak Kita Yang Menang
Sepanjang tahun-tahun 1964 - 1965, merajalelanya kekuasaan PKI yang
terus bereskalasi. Kekuasaan mereka semakin luas, dari Pemerintahan
Pusat hingga ke daerah-daerah. Setidaknya mereka yang diarahkan, dan
pihak manapun sangat jarang yang berani secara terbuka untuk
bertentangan dengan PKI. TNI yang semula dikira sebagai kekuatan yang
mampu menghantamnya, dalam kenyataannya sekarang malah dipecah belah.
Semakin banyak kelompok-kelompok dalam tubuh TNI yang pro-PKI.
Adapun kami, sebagai pihak yang memang secara terang-terangan dan
seutuhnya bertentangan dengan PKI, tentu saja semakin menjadi sasaran
tembak. Kemenangan demi kemenangan PKI atas TNI dalam hal status kami
sebagai eks-pemberontak dimulai dengan dimentahkannya keputusan Presiden
sendiri mengenai amnesti dan abolisi yang kendati sudah diberikan
kepada kami. Kami tetap berada dalam tahanan, yang disebut "karantina
politik", tanpa kejelasan sampai kapan. Sudah begitu, terus menerus kami
disikat oleh media massa pro-kiri. Mereka menghantam pihak-puhak di
jajaran pimpinan Angkatan Darat yang dianggap membela kami. Mereka terus
menyindir-nyindir,
"Mengapa para pemberontak itu hidup seperti tuan-tuan besar di bungalow di Puncak?!"
Letjen TNI Ahmad Yani dan jajarannya akhirnya tak mampu membendung
fitnah dan hantaman dari mereka itu. Apalagi ketika BPI menyebar fitnah
bahwa mereka telah menyadap pembicaraan rahasia antara dinas Intelijen
Inggris dengan beberapa bekas pemberontak yang berada dalam tahanan.
Agustus 1963, kami dipindahkan ke umah Tahanan Militer di jalan Budi
Utomo, Jakarta. Langsung dibawah Kejaksaan Agung yang pula sudah dalam
cengkeraman kelompok pro-PKI. Penjagaan terhadap kami oleh tentara jadi
sangat ketat. Zulkifli Lubis bahkan sudah tidak lagi bersama kami. Ia
dimasukka dalam sel isolasi bawah tanah di Kejaksaan.
Beberapa
orang pimpinan Angkatan Darat yang tetap teguh membela kami, seperti
Ahmad Yani, S.Parman dari para staff inti di SUAD, juga beberapa
panglima Kodam di wilayah-wilayah, hanya bisa menyabar-nyabarkan kami.
Dan tetap mengirim bantuan kebutuhan kepada kami, walau secara
sembunyi-sembunyi. Adapun Staff Inti SUAD menjelang meletusnya G30S
adalah seperti berikut :
- Menteri Panglima Angkatan Darat : Letjen TNI Ahmad Yani ( Merangkap Kepala Staf KOTI )
- Asisten I/Menpangad : Mayjen TNI S. Parman
- Asisten II/Menpangad : Mayjen TNI Moersjid
- Asisten III/Menpangad : Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro
- Asisten IV/Menpangad : Brigjen TNI DI. Panjaitan
- Asisten V/Menpangad : Brigjen TNI Rukman
- Deputy I/Menpangad : Mayjen TNI Soeharto ( Merangkap Pangkostrad / Wakil Panglima Dwikora )
- Deputy II/Menpangad : Mayjen TNI R. Suprapto
- Deputy III/Menpangad : Mayjen TNI M.T. Haryono
- Deputy IV/Menpangad : Mayjen TNI Sukendro
- Oditur Jenderal : Brigjen TNI Sutojo Siswomihardjo ( Merangkap Inspektur Kehakiman )
Sedangkan beberapa Kodam yang sudah dijabat oleh Perwira Tinggi TNI seperti :
- Pangdam Diponegoro : Brigjen TNI Surjosumpeno
- Pangdam Jaya : Mayjen TNI Umar Wirahadikusumah
- Pangdam Siliwangi ; Mayjen TNI Ibrahim Adjie
- Pangdam Brawijaya : Mayjen TNI Basuki Rachmat
- Pangdam Mulawarman : Brigjen TNI Hario Kechik
PKI maupun militer pro-kiri semakin merajalela. Mobilisasi massa sesuai
politik konfrontasi ganyang Malaysia yang dicanangkan Bung Karno tahun
1963 mereka tunggangi untuk sekaligus menghantam kami. Teman-teman para
tahanan, sebagai politisi kawakan, dan terlebih kami yang militer,
secara naluriah segera menyimpulkan bahwa nyawa kami sudah dalam
ancaman. Apalagi ketika terdengar berita di sana-sini PKI sudah mulai
melancarkan aksi-aksi kekerasan secara sepihak. Hampir setiap hari ada
demonstrasi massa. Sering sekali demonstrasi di adakan di Lapangan
Banteng, yang notabene berdekatan dengan RTM tempat kami ditahan.
Maka teman-teman dalam tahanan, kalau ndak salah ingat Pak Sjaf yang
mulai usul, segera berunding untuk melarikan diri. Strategi pun disusun
sampai mendetail. Beberapa nama dari Sersan-Sersan CPM yang biasa
memimpin regu jaga di RTM sudah di inventarisir. Pelarian akan dibagi
dalam 3 kelompok yang dipercayakan kepada saya, Ahmad Hussein, dan
Simbolon.
"Saya dengan Panglima! Saya dikelompoknya Panglima..!"
kata Pak Natsir dan Mochtar Lubis. Begitu juga beberapa tahanan lainnya.
Maksud mereka, mereka memilih sendiri akan masuk dikelompok yang mana,
dan mereka berebutan masuk ke kelompok yang saya pimpin. Diantara para
tahanan, saya memang di apnggi "Panglima". Meski disini mantan petinggi
militer ada beberapa orang, seperti Ahmad Hussein, Simbolon, Nawawi, dan
sebelumnya ada juga Zulkifli Lubis.
Pada hari-hari menunggu
saat yang tepat untuk melarikan diri itulah terjadi peristiwa G30S.
Tanggal 1 Oktober 1965 pagi, beberapa teman mendengar berita radio RRI
Pusat tentang kudeta berdarah. Sejumlah Jenderal diculik. Suasana jadi
simpang siur, dan sangat jelas menjadi mencekam bagi kami. Kalau
jenderal-jenderal yang begitu berkuasa dan punya pasukan saja bisa
mengalami nasib seperti itu, apalagi kami yang tak berdaya dalam
tahanan...
Pikiran jadi simpang siur. Semua bertanya-tanya apa
sesungguhnya yang terjadi? Dan bagaimana selanjutnya?! Sebagai
pemimpin-pemimpin pemberontak, dan terlebih beberapa teman yang
negarawan, kami semua berfikir bahwa untuk mengerti apa yang terjadi,
dengar saja pihak mana yang tampil di radio dan apa isi pidatonya.
Namun, tetap tidaklah semudah itu. Datang berita-berita yang saling
bertentangan.
Jam demi jam berlalu melewati siang hari Jumat 1
Oktober itu. Berdasar berita-berita yang ada, kami sudah menyimpulkan
bahwa ada gerakan militer dari kelompok yang dikendalikan PKI dan mereka
berhadapan dengan kelompok tertentu dari pimpinan Angkatan Darat.
Begitu.
Lepas siang, sekitar pukul 15.00, saya minta tolong ke
Sersan penjaga RTM, namanya Muthalib, untuk pergi mengintai situasi di
Jln. Merdeka Utara, karena disana ada Istana Negara dan MBAD. Pusat
kekuasaan. Kira-kira 2 jam kemudian, Sersan Muthalib kembali. Dia bilang
terlihat di Lapangan Monas banyak pasukan hilir mudik dan dalam posisi
siaga, diantaranya baret merah. RPKAD! Sedang hilir mudik, tapi jalannya
melenggang biasa, tidak terlihat tegang. Saya langsung menyimpulkan :
"Pihak kita sudah menang!"
Saya bilang ke semua teman-teman di dalam RTM, kita tidak perlu lari, rencana melarikan diri batal!.
Zaman Berganti, Yang Dulu Penguasa Berbalik Jadi Tahanan.
Menyusul gagalnya G30S/PKI untuk meraih kekuasaan mutlak - digagalkan
oleh Soeharto, Sarwo Edhie, dan kawan-kawan - para pelaku peristiwa
berdarah itu di tangkap-tangkapi. Langusng dibawa masuk ke RTM tempat
kami. Sejumlah perwira militer pro-PKI, para gembong PKI,
menteri-menteri, semua dikerangkeng! Mereka yang tadinya sangat berkuasa
berbalik menjadi tahanan.
Kata- kata Achmad Yani kini terbukti
menjadi kenyataan. Waktu itu Yani, karena adanya abolisi - ternyata tak
seratus persen berhasil lantaran disabot oelh perwira-perwira pro-PKI,
sehingga kami tetap harus ditahan - maka ia sering menghibur kami. Saat
kami mulai di karantina di Cipayung, Yani bilang ke saya, "Inikan cuma
soal politik Pak Ventje. Hari ini tidak punya harga tapi besok siapa
tahu harganya naik 3 kali lipat." Begitu juga waktu kami harus
dimasukkan dalam tahanan militer, Agustus 1963, Yani kembali
menyampaikan kata-kata senada itu. "Tunggu saja waktunya Pak Ventje.
Kita lihat!" kata Yani.
Saya jadi teringat kata-kata Kapten CPM
Ariefin, Wakil Komandan di RTM Jln. Budi Utomo ini, ketika kami baru
masuk kesini. Dia bilang, "Bapak-bapak tenang saja. Disini biasanya
nasib orang bisa terbalik. Ynag tadinya berkuasa, jadi tahanan. Begitu
juga sebaliknya. Lihat saja Pak Chairul Salleh, Waperdam III yang hebat
itu. Dulu juga sempat disini....". Saya ndak pernah dengar apa yang
dialami oleh Chairul Saleh dulu itu. Apa benar pernah ditahan disini
ataukah hanya sempat diperiksa disini, saya ndak tahu masalah apa.
Mungkin terjadi waktu saya masih di hutan, dimasa PRRI. Tapi, kalau
betul itu pernah terjadi, menyedihkan. Karena kemudian, menyusul
peristiwa G30S, Chairul juga dijebloskan disini. Walau ia bukan PKI.
Begitulah politik. Siapa yang dihukum dan siapa yang menghukum sering
kali hanya ditentukan oleh kekuasaan politik.
Para perwira yang
dituduh terlibat G30S, yang di bawa ke RTM ini, selain Letkol Untung,
antaranya ada Kolonel Haryono, Kolonel Laut R. Sunardi, Kolonel Jusuf,
Brigjen Pol. Sugeng Sutarto, dan Letkol Bambang. Dan terus bertambah.
Letkol Untung - Komandan Gerakan 30 September, ditahan di dalam blok
isolasi. Ada yang bilang tangan dan kakinya di rantai.
Banyak
yang tidak begitu jelas pada kami. Karena mereka dibawa pada
tengah-tengah malam, kami sudah tidur, dan dimaukkan dalam "blok kapal
selam" pula. Sering kami baru tahu nama mereka dari koran yang kami baca
kemudian, atau daripada wartawan yang selalu datang memperdalam
informasi. Ada juga yang besoknya dibawa ketempat lain lagi. Adapula
yang membingungkan, karena mirip-mirip. Yaitu Nyoto, salah seorang tokoh
utama PKI. Kendati ia dibawa kesini masih pukul 8 malam, kami semua
belum tidur. Begitu diturunkan dari mobil langsung buru-buru digiring ke
sel tertutup. Kami tanya, siapa dia? Petugas yang membawanya menjawab
Nyoto. Tapi besok paginya penjaga RTM bilang Nyono. Sampai sekarang saya
ndak pernah tahu persis apakah Nyoto atau Nyono yang dibawa malam itu.
Semua memang jadi terjungkir balik. Mareka yang tadinya sangat
berkuasa, merajalela, dengan mudahnya menfitnah untuk menjebloskan orang
lain dalam penjara, sekarang dikejar-kejar, ditangkap, bahkan beberapa
telah tewas ditembak dalam operasi penangkapan.
Ada yang
dramatis. Yaitu dialami oleh Simbolon. Pagi-pagi di RTM, Pak Simbolon
sedang berjalan menghampiri kami, tiba-tiba ada orang yang datang
mendekatinya dan langsung berlutut memeluk kaki Pak Sim. Orang itu
menangis, memohon ampun. Ternyata dia Ulung Sitepu, Gubernur Sumatera
Utara. Baru tadi malam di masuk. Dia memang perwira simpatisan PKI.
Dialah yang memimpin pasukan yang hendak menangkap dan menghabisi Pak
Sim, Panglimanya sendiri, saat Pak Sim sedang merayakan Natal, Desember
1956. Ketika itu, Simbolon harus buru-buru tengah malam menyingkir,
menyelamatkan diri dari kota Medan. Panglima TT-I Kolonel Maludin
Simbolon mengumukan Dewan Gadjah akhir 1956 - menyusul Dewan Banteng,
mendahului Dewan Permesta. Sekarang terbalik, akhir 1965, Ulung Sitepu
ditangkap.
Makin hari, semakin banyak tahanan G30S/PKI yang
dijebloskan di RTM Budi Utomo, bersama kami. Jadi makin sempit. Akhirnya
kami, para tahanan non G30S/PKI, bahkan sangat anti-PKI, dipindahkan.
Januari 1966, kami dipindahkan ke Jln. Keagungan No..62. Sederet rumah
yang banyak kamar dibikin menjadi RTM.
Ketika kami dipindahkan,
kami dengar Dr. Subandrio, orang nomor dua paling berkuasa di negara ini
- Waperdam I merangkap Menteri Luar Negeri, merangkap Kepala Badan
Pusat Intelijen (BPI) - segera akan ditahan di RTM Budi Utomo. Ternyata
betul. Ia dimasukkan di bekas tempat Nun Pantouw. Suatu kebetulan
historis, Subandrio adalah raja intel rezim pro-komunis, sedang Nun
Pantouw, komandan intelijen kami PRRI yang sebaliknya anti-komunis
BEBAS DARI TAHANAN REZIM ORDE LAMA
Hari-hari setelah terjadinya
kudeta gagal Gerakan 30 September itu, kami semua tahanan politik di RTM
mulai diliputi perasaan suka. Tidak saja karena kebanyakan diantara
kami langsung berfikir tentang datangnya saat kebebasan, lepas dari
tahanan ini, tapi terutama karena pihak-pihak yang memusuhi kami, yang
memenjarakan kami, merekalah sekarang yang terbukti melakukan kesalahan
besar. Mengkhianati bangsa, dan mereka sedang dihantam oleh kawan-kawan
kami.
G30S/PKI Membantai Yani dkk. Ucapan Saleh Lahade Menjadi Kenyataan
Semua yang selalu ulang-ulang saya katakan, bahwa tujuan PKI selalu
pasti akhirnya akan mengambil alih kekuasaan negara dengan segala cara.
Dalam penjara dulu, saya sempat membuat tulisan/jurnal tentang ini dan
metode serta cara-cara mereka mengambil alih kekuasaan, sudah saya
kirimkan ke MBAD, diteliti oleh staf di SUAD, tapi ndak ada tindak
lanjutnya, dan sekarang terbukti. Korban sudah berjatuhan, yaitu pucuk
pimpinan TNI-AD sendiri.
Saya jadi teringat ketika Achmad Yani
dan Nasution menyalahkan saya dan Letkol M. Saleh Lahade karena
memproklamasikan Permesta 1957. Mereka merasa benar, dan merasa menang
atas kami. Sampai-sampai Saleh Lahade hanya bisa berkata, "Terserah
saja...kalau bapak-bapak mau digantung oleh PKI...lihat saja nanti!"
Dan itulah pula yang sayang sekali, harus terbukti. Jenderal Yani
dibantai, Nasution dapat meloloskan diri, tapi putri kesayangan dan
ajudannya menjadi tumbal.
Pucuk pimpinan dari kalangan tentara
yang sejak awal sudah tegas mengarahkan laras senjatanya terhadap PKI
dan kekuasaan yang melindungi PKI, pun adalah teman yang sehaluan dengan
kami. Mayjen TNI Soeharto, Panglima Kostrad, dia bersama saya saat
merancang pembenahan dalam kepemimpinan TNI-AD yang waktu itu dipegang
oleh Nasution bergandengan dengan penguasa pro-PKI.
Aktivis PRRI Mempelopori Kesatuan Aksi-Gestapu
Waktu nama Soeharto pelan-pelan muncul ke permukaan sejak hari-hari
pertama kudeta gagal Gestapu, banyak orang yang tidak tahu tentang dia.
Juga umumnya teman-teman dalam tahanan di RTM. Soeharto memang tidak
seperti nama-nama jenderal lainnya yang biasa tampil dalam koran-koran
dan juga dunia politik. Saya pun langsung cerita k teman-teman tentang
Soeharto ini. Saya yakinkan tentang kemampuan Soeharto. Kemampuan dan
ketenangannya yang secara cepat dan tepat mengkonsolidasi garis komando
ditengah-tengah suasana galau, sebagaimana saat Agresi Militer Belanda
II 19 Desember 1948, begitu juga lah yang ia kerjakan hanya dalam
beberapa jam tanggal 1 Oktober 1965 itu. Saya cerita bagaimana kami dulu
di Jogja melakukan serangan-serangan umum yang berpuncak pada SU 1
Maret 1949. Teman-teman di RTM sekarang jadi menaruh harap pada
kepemimpinan serta keberhasilan Soeharto.
Pada jam-jam yang
paling menetukan di hari Jumat 1 Oktober 1965 itu, oeharto dengan cepat
telah mampu mengambil kendali atas tentara di ibukota. Ia mengandalkan
pasukan Kostrad dan RPKAD di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.
Pangdam Jaya, Mayjen Umar Wirahadikusumah pun tidak sempat ditarik oleh
pihak lawan karena ketika Presiden Soekarno memangilnya ke Pangkalan
Halim Perdanakusumah, Soeharto mencegahnya, dan Soeharto maupun Umar
menyangka bahwa Soekarno disana sedang disandera sehingga pergi ke Halim
berarti amsuk jebakan. Sekarang Letjen Soeharto sudah menjabat Menteri/
Panglima Angkatan Darat, sehingga semakin mantap langkah-langkah
konsolidasinya maupun operasi menghantam musuh. Sedangkan Umar diangkat
menjadi Panglima Kostrad.
Pemimpin militer lain yang aktif
bersama Soeharto adalah Brigjen Kemal Idris dan Kolonel Sarwo Edhie.
Mereka pun saya anggap "bukan orang lain". Kemal yang menjabat Pnglima
Komando Tempur 1 Kostrad dibawah Soeharto, ia juga ikut dulu dalam
gerakan Zulkifli Lubis menentang Nasution tahun 1956, gerakan yang makin
meruncing sejak Alex Kawilarang menangkap Menteri Ruslan Abdulgani atas
tuduhan korupsi. Kemal sobat Kawilarang sejak lama. Kekuatan kelompok
Soeharto pun semakin bertambah sejak mereka dapat mengusahakan
pengangkatan Brigjen HR. Dharsono menjadi Pangdam Siliwangi pada awal
April 1966. Dari dulu Siliwangi memang umumnya dipihak kami, mereka
sangat anti-PKI.
Dalam kacamata analisis saya, langsung terbaca
bahwa peran intelijen sangat besar mengarahkan langkah-langkah politik
dan operasi Soeharto dkk. Saya kenal betul Soeharto. Meski ia seorang
strateg, penuh inisiaif, dan selalu bertindak cepat, patuh hirarki,
namun selalu harus konstitusional. Sementara yang saya amati,
langkah-langkah politik dan strategi mereka selalu mendahului dan rapi.
Saat memikirkan cara-cara kerja mereka, nama Ali Moertopo langsung masuk
dalam pemikiran saya. Ia rupanya orang kepercayaan Soeharto sejak lama,
sejak Soeharto masih Pangdam Dipenegoro lagi, jadi saya pikir ya "orang
kita " juga.
Secara formal Ali Moertopo bukanlah orang teratas
di jajaran intelijen Kostrad, tapi ada tugas khusus yang dilimpahkan
oleh Soeharto selama ini. Ali bertanggungjawab langsung pada Soeharto,
dan sukses. Sehingga tugas-tugas itu - tugas intelijen yang berkaitan
dengan urusan politik - terlembaga terus. Itulah Operasi Khusus atau
Opsus.
Kelak setelah saya aktif bekerjasama dengan Ali Moertopo,
menjadi jelaslah apa yang saya analisa tentang luar biasanya kerja
intelijen mereka diawal penumbangan rezim Orde Lama. Misalnya, ketika
mereka mengatur siasat yang dimulai dengan mengerahkan pasukan tanpa
lencana mengepung Istana Presiden. Ali yang rancang. Itu adalah pasukan
RPKAD, tapi dibawah kendali Kemal Idris langsung dari Kostrad. Surat
Perintah 11 Maret menjadi klimaks dari operasi-operasi intelijen mereka.
Sungguh-sungguh strategi intelijen yang sangat ampuh dan rapi, tetap
konstitusional.
Tanggal 26 Juli, sehari setelah Presedium
Kabinet dipegang oleh Soeharto, pagi-pagi sudah datang surat pembebasan
kami. Jaksa Adnan Buyung Nasution yang membawanya, dibagikan kepada kami
satu persatu.
"Bapak-bapak sekarang bebas ya...Pulang! Sudah
bebas. Bebas! "kata Jaksa Buyung dengan bersemangat. Ternyata Buyung
juga memang sudah mulai bergiat dalam penumbangan rezim anti-demokrasi.
Ia eksponen Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia.
TURUT BERPERAN DALAM AWAL KEBANGKITAN ORDE BARU
Masih dalam
tahanan saya sudah dihubungi oleh utusan Ali Moertopo. Saya diminta
untuk membantu dia dan Pak Harto. Banyak anak-anak muda aktivis
eks-PRRI/PERMESTA dipakai oleh Ali Moertopo sekarang. Setelah bebas,
saya kemudian dipertemukan dengan Ali. Ia langsung meminta saya untuk
aktif membantu. Mengulangi pesannya yang sudah ia sampaikan lewat
perantara, katanya Pak Harto yang minta.
"Ini sama dengan yang
Pak Ventje perjuangkan.." kata Ali meyakinkan saya, "Untuk mempercepat
pembangunan ekonomi, dan yang jelas anti-PKI..gimana Pak Ventje?"
sambunya lagi bertanya.
"Of course...pasti saya bantu. Sejauh itu tidak bertentangan dengan hati nurani saya sendiri"
Mendorong Dharsono Agar Mantap Tumbangkan Orde Lama
Suatu hari Ali Moertopo mengajak saya ke Bandung, ketika itu saya masih
tinggal di perumahan IPB Bogor. Ali bermaksud hendak mempengaruhi
HR.Dharsono, Panglima Siliangi yang menggantikan Ibrahim Adjie, agar
sudah harus tegas mengarahkan tekanan kepada kubu Soekarno. Sebagaimana
diketahui, pada waktu itu kekuatan Orde Lama masih terlalu besar.
Pendukung fanatik Soekarno mulai unjuk gigi dan merapatkan barisannya.
Negara diambang perang saudara yang dahsyat. Malah, hari-hari yang
selalu genting sejak Oktober 1965 sampai setahun berikutnya, Soeharto
lah yang justru berkali-kali terancam hendak dipecat. Selalu santer
nama-nama jenderal yang dibilang akan menggantikannya. Ada nama Mayjen
Suharyo, Mayjen Suadi, dan lain-lain. Disamping juga nama Mayjen Pranoto
tentunya.
Dari 3 Divisi terbesar di Jawa, Kodam Brawijaya di
Jawa Timur dan Kodam Diponegoro di Jawa Tengah sejak awal membela
mati-matian Soekarno. Hanya Kodam Jaya dengan Pangdamnya Mayjen Amir
Machmud sudah dibawah kendali Soeharto. Tapi Kodam Siliwangi di Jawa
Barat, meski selaras dengan aspirasi masyarakat Sunda yang anti-PKI,
tetapi Panglima sebelumnya Mayjen Ibrahim Adjie adalah pembela setia
Soekarno. Pukulan balik skenarion intelijen dari Ali Moertopo kemudian
bisa "mengkandangkan" Ibrahim Adjie. Dia dia mendapat perintah "tugas
belajar" di Seskoad di Bandung. HR. Dharsono yang sebelumnya menjadi
wakilnya kemudian naik menggantikannya.
Saya dan Letkol Ali
Moertopo tiba di Bandung senja hari. Kami langsung ke rumah dinas
Pangdam Mayjen H.R. Dharsono yang sudah pun menunggu kami, sebab Ali
sudah mengabarkan sebelumnya. Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke
Bandung Ali terus menerus membisikkan kepada saya apa saya yang harus
saya dan dia bikin saat ketemu Dharsono. Kami bicara bisik-bisik, agar
tak didengar orang. Ia takut misinya tak mencapai hasil yang
ditargetkan. Dalam grand scenario nya, Panglima Siliwangi ini adalah
faktor yang sangat besar dan strategis untuk menghadapi kekuatan Orde
Lama. Ali minta saya nanti mengatakan ini itu, semuanya sudah ia rancang
dengan teliti.
Tapi semuanya langsung berubah saat ketemu
Dharsono. Begitu melihat saya yang mendampingi Ali, ia langsung
tersenyum lebar. Sambil menjabat erat tangan saya, Dharsono langsung
berkata dengan suara keras, "Jadi kita akan memulai lagi penumbangan
sang juara yang tidak terkalahkan? Bukan begitu Pak Ventje?". Jadi tak
perlu basa basi dan pendekatan lagi. Bahkan tak perlu bisik-bisik lagi.
Semua yang dirancang teliti oleh Ali dalam perjalanan tadi jadi tidak
perlu. Yang dimaksud dengan undefeated champion oleh Dharsono adalah
Soekarno. Kenapa dia mengtaakan itu kepada saya, maksudnya dia tahu saya
sudah pernah memimpin pemberontakan terhadap Soekarno, jadi kali ini
adalah pengulangan. Dan sejak dulu Bung Karno selalu menang. Sekarang
kita memulainya kembali.
Dalam perbicaraan kami selanjutnya,
Dharsono hanya selalu bicara ke saya. Seolah-oleh Ali Moertopo tidak
perlu. Tapi ketika saya litik Ali, ia terlihat senyum-senyum saja.
Senang sekali dia. Karena misinya gol sepenuhnya. Bahkan lebih,
setidaknya lebih mudah selesai.
Dharsono bicara sangat
bersemangat. Nadanya terkesan mau memberi jaminan bahwa dia bisa kami
andalkan untuk misi ini. Kami ngobrol akrab sampai tengah malam. Sesudah
pamit, di jalan, Ali langsung komentar dengan senangnya, "Wah..ternyata
gampang sekali ya Pak Ventje."
25 Januari 1966, Pangdam
Siliwangi, Mayjen TNI HR. Dharsono mengundang Pangkostrad Mayjen TNI
Kemal Idris dan Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie ke Cipayung Jawa
Barat. 2 hari 2 malam mereka terlibat rapat. Setelahnya, Dharsono
sebagai Pangdam Siliwangi, dengan pasukan yang besar di sekepungan
ibukota, mengumumkan, "Persetujuan antara Siliwangi, Kostrad, dan RPKAD
ini diharapkan akan mempercepat hancurnya Orde Lama!". Pangkostrad Kemal
Idris pun mengumumkan bahwa pasukannya, seluruh slogarde Kostrad siap
tempur.
Mei 1967, Sidang Istimewa MPRS di Senayan. Agendanya
yang terpenting : Mencabut kekuasaan Presiden Soekarno. Tapi kekuatan
pendukung Bung Karno ternyata sudah merencanakan agenda lain. Pasukan
Brigade Mobile Kepolisian RI, yang memang sesuai protokoler sebagai
aparat kepolisian berada di Ring-1 gedung sidang, sudah diperintahkan
untuk menangkap anggota-anggota MPRS, dan selanjutnya dibawa ke Tanjung
Priok, dimana telah menunggu sebuah kapal perang untuk kemudiannya
diangkut ke Surabaya.
Dikemudian hari, Brigjen Pol. Arie
Sahelangi bercerita tentang perintah yang diberikan pada polisi untk
menangkap "anggota-anggota MPRS yang tidak loyak kepada Bung Karno" itu.
Katanya, "Bagaimana mungkin?!.. Ring-1 memang kami Brimob yang kuasai,
tapi Ring-2, 3 dan seterusnya saya lihat Pasukan Siliwangi sampai
berlapis lapis mengelilingi kami..Justru kami yang terkepung!". Dikepung
dengan kekuatan yang begitu besar, Brimob urung menjalankan
perintahnya. Rupanya Pangdam Siliwangi, Mayjen TNI Dharsono mengerahkan
segenap kekuatan Siliwangi untuk mengepung anggota Brimob dan Istana,
sehingga menggagalkan rencana pendukung-pendukung pro-Orde Lama.
Jadi "Diplomat Keliling" untuk Konsolidasi Pemerintahan Orde Baru
Saya bersama beberapa teman eks-Aktivis PRRI/Permesta lalu menjalankan misi ke luar negeri. Misi kami adalah :
1) Menjelaskan kepada para pemimpin-pemimpin negara-negara sahabat
tentang era baru Indonesia, haluan politik baru, yang tidak lagi
dikuasai oleh pemerintahan pro-Komunis.
2) Menjelaskan tentang
Soeharto, yang sekarang tampil berperan penting, karena kebanyakan
dikalangan luar negeri belum kenal nama Jenderal Soeharto, mereka bahkan
lebih mengenal Jenderal AH. Nasution.
3) Mengumumkan tentang
kepemimpinan Soeharto, bahwa kami memang membutuhkan dia, dan sejak
Sidang MPRS Maret 1967, Soeharto sebagai Pejabat Presiden RI.
4)
Menjelaskan, bahwa sekarang Indonesia mau mendahulukan pembangunan
ekonomi, dan karenanya butuh bantuan dari negara-negara sahabat.
5) Mengajak negara-negara di Asia Tenggara dan Timur untuk bersatu mencegah menjalarnya domino kamu Komunis.
Perjalanan keluar negeri kami pertamanya sangat panjang. Sekaligus ke
Singapura, Thailand, Hongkong, Taiwan, Filipina, dan Jepang. Ada juga
tim-tim lain yang ke Malaysia, Korea Selatan, AS, Inggris, dan Belanda.
Sesudah perjalanan pertama yang panjang, saya masih sering lagi
berangkat dengan team kecil yang lain. Bolak-balik, untuk tugas-tugas
khusus. Urusan-urusan seperti di Filipina, Taiwan, Hongkong, Singapura,
dan Jepang berjalan sangat lancar. Karena saya menggunakan hubungan
dengan teman dan kenalan semasa PRRI. Sekarang mereka sudah Jenderal,
pegang posisi-posisi kunci di negaranya masing-masing.
Tapi,
sempat ada masalah kecil. Berhubungan dengan pihak-pihak dijajaran
goverment negara asing, bagaimanapun adalah hubungan diplomatik. Penuh
tatakrama. Sedangkan saya orang yang tidak biasa berbasa basi. Saya
bahkan punya "kebiasaan buruk", yaitu sering tak menjawab pertanyaan
orang yang hanya berupa formalitas sopan santun. Kalaupun saya jawab, ya
sejujurnya, apa adanya. Misalnya kalau ditanya, "Apa kabar? Baik?",
saya jawab "Tidak baik" kalau keadaannya memang tidak baik. Akibatnya,
orang bisa jadi salah tingkah, dan pihak saya sendiripun tentu bukan tak
mengalami akibatnya.
Kalau saya pulang kerumah dan menceritakan
pengalaman-pengalaman seperti itu, istri saya Hetty hanya ketawa. Tapi,
karena ia punya wawasan yang luas, ia tahu ini bukan masalah yang
kecil. Ia lanta serius mendorong saya buat "mengatasi" masalah saya
tersebut. Ia mengajarkan ini itu. Bahkan pernah Hetty menuliskan
dikertas untuk saya hafal kalimat-kalimat percakapan tata krama.
Saat menghangatnya sengketa masalah wilayah antara Filipina dan
Malaysia - sehubungan dengan klaim wilayah Sabah, Indonesia mengambil
prakarsa buat menyelesaikannya. Karena Indonesia berkepentingan untuk
stabilitas kawasan ini. Pak Harto mengiri surat ke Presiden Marcos,
diantar oleh Ali Moertopo, saya menemaninya.
Tapi, sampai waktu
yang telah ditetapkan untuk kami berangkat, soal protokoler untuk kami
nanti di Manila belum beres. Ada beberapa yang menghambat, termasuk
jadwal Presiden Filipina yang sedang padat sekali dan banyak perubahan
mendadak. Atase Pertahanan RI di Manila pun mengalami hambatan untuk
menggunakan jalur Angkatan Bersenjata Filipina. Begitu juga Duber RI di
Manila, Letjen TNI Moersjid sudah berupaya, tapi tetap buntu. Selama
perjalanan, Ali Moertopo diliputi rasa khawatir mengenai misi yang
diembannya kali ini.
Nmaun. sesampai di Filipina, semuanya
langsung berubah. Diam-diam saya mengontak Jenderal Lapusz. Dulu dia
atase militer Filipina untuk RI, seorang perwira intel, ketika itu masih
berpangkat Kolonel. Jadi alangkah kagetnya Ali ketika kami ternyata
sudah dijemput langsung ditangga pesawat oleh Jenderal Lapusz. Kami
langsung dipertemukan dengan Kepala Staf AB Filipina. Padahal, Atase
Pertahanan RI di Filipina belum bisa menyiapkan apa-apa, kendati dia
berada di Filipina.
Atase Pertahanan RI untuk Filipina, Brigjen
TNI Sjarif Thajeb sampai geleng-geleng kepala, heran. Mantan Rektor
Universitas Indonesia dan Menteri Perguruan Tinggi & Ilmu
Pengetahuan yang sudah lebih full sebagai politisi inipun diperintah
langsung untuk penyelesaian masalah Sabah. Saya sudah kenal lama dengan
Sjarif. Ia Doketer tentara. Thaun 1950, sata saya menjadi Komandan
Pasukan Sulawesi Utara & Maluku Utara, ia datang bersama Kemal
Idris. Mereka ikut mengurus Yon 3 Mei yang sesuai dengan intruksi
Panglima Kawilarang, dikerahkan untuk penumpasan RMS.
Duber RI
untuk Filipina, Letjen TNI Moersjid sampai berkali-kali bilang terima
kasih kepada saya. Katanya saya sudah menolong konduite nya sebagai
Dubes. Ia bahkan dilain waktu bilang "maaf", maksudnya mengenai peran
dia sebagai salah satu pemimpin pasukan yang dikirim ke Sulawesi untuk
menumpas kami PRRI. Moersjid bahkan cerita, tiap kali ada perintah dari
Panglima Roekminto, Moersjid yang waktu itu Komandan Operasi Merdeka
dengan pangkat Letkol sengaja tidak mau menjalankan perintah
Panglimanya., atau ia berkonsultasi dulu ke Pangdam Brawijaya Kolonel
Surrachman. Maksunya mungkin ia mau bilang ke saya, bahwa secara pribadi
ia tidak sungguh-sungguh memusuhi kami dalam perang saudara itu. Saya
bilang, "Ah, itukan memang tugas dan tanggungjawab you...Pak Moersjid
sudah menjalankan tugas dengan baik".
Sikap Moersjid yang
"berlebihan" pada saya itu kemudian terjadi lagi. Pada saat memperingati
Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober yang sudah ditetapkan, pada upacara
yang diselenggarakan di KBRI Manila, tali bendera merah putih tiba-tiba
putus ketika sedang dikerek ke atas. Moersjid yang bertindak sebagai
inspektur upacara langsung meminta maaf ke saya. Solah-olah bagi
Moersjid, pejabar RI yang lebih tinggi dari dia disini adalah saya.
Padahal saya bukan siapa-siapa. Hanya "pembantu khusus" dalam Opsus nya
Ali Moertopo.
Keberhasilan misi-misi Internasional Indonesia di
awal Orde Baru ini banyak tertolong oleh faktor hubungan kami, para
eks-PRRI/Permesta dengan sejumlah tokoh-tokoh kunci di negara
masing-masing. Banyak dari mereka yang dulunya perwira menengah
intelijen, pelaksanan lapangan yng banyak berhubungan dengan kami di
PRRI, sekarang sudah menjadi jenderal-jenderal yang berkuasa di
negaranya masing-masing. Misalnya, di Taiwan ada Letjen Hwang. Ia
dulunya sering mondar mandir masuk wilayah Indonesia, memberi bantuan
kepada kami. Bahasa Indonesia, bahkan bahasa Jawanya sangat fasih. Tidak
mengherankan, Jend. Hwang memang kelahiran Cilacap - Jawa Tengah.
Deklarasi Berdirinya ASEAN Nyaris Batal!
Latar belakang historis
yang sedemikian rupa dari Orde Baru, telah menjadikan pemerintahan
pimpinan Soeharto ini sebagai yang paling mementingkan kerjasama
internasional dan persatuan regional. Bukan saja karena koreksi terhadap
rezim Orde Lama - yang berkonfrontasi dengan negara tetangga, keluar
dari PBB, menerapkan politik berdikari yang ekstrim dalam ekonomi -
melainkan karena sungguh-sungguh menyadari mutlaknya perdamaian,
keamanan dan persatuan regional untuk bisa membangun negara secara
optimal.
Setelah ditempuh berbagai upaya dan persiapan,
pendekatan disegala pihak yang terkait, sejumlah forum kajian, dan
berbagai perundingan, akhirnya awal Agustus 1967, perutusan lima negara :
Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Singapura berkumpul di
sebuah kota kecil rekreasi di Thailand. Hanya tinggal kesepakatan akhir,
mencetuskan deklarasi berdirinya ASEAN.
Delegasi Indonesi
dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Adam Malik, yang sekaligus menjabat
sebgaia Presedium Kabinet untuk Urusan Politik. Malaysia dipimpin oleh
Wakil Perdana Menterinya Tun Abdul Razak, yang juga menjabat Menteri
Pertahanan. Thailand dipimpin oleh Menteri Luar Negeri nya Thanat
Khoman. Filipina dipimpin oleh Deputi Menteri luar Negeri Narciso Ramos.
mewakili Menlu Filipina yang berhalangan karena sakit. Sedangkan
delegasi Singapira dipimpin oleh Menteri Luar Negeri nya S. Rajaratnam.
Mereka melaksanakan rapat-rapat marathon selama 4 hari di Bangsaen,
sekitar 100 km tenggara Bangkok. Sengaja dipilih tempat yang agak
terpencil, agar dapat lebih berkonsentrasi. Sudah dijadwalkan, ASEAN
akan di deklarasikan pada tanggal 8 Agustus 1967.
Saya tidak
termasuk dalam delegasi resmi Indonesia. Bahkan tidak direncanakan dari
awal untuk ke Bangkok, tapi kemudian saya diminta untuk berangkat juga.
Juga sudah diatur bahwa saya akan ketemu dengan Yoga Soegama di
Singapura, kemudian sama-sma berangkat ke Thailand. Dalam perjalanan ke
Bangkok baru kemudian jelas mengapa saya diminta untk untuk turut
datang. Kata Yoga, perundingan pembentukan ASEAN yang sudh berjalan
selama beberapa hari di Bang Saen mengalami hambatan serius dan
deadlock. Untuk itu, ia yang sedang berada di Eropah , langsung
dipanggil pulang untuk langsung ke Bangkok. Katanya lagi, Pak Harto
sampai pesan kepadanya via telepon : "Jangan pulang ke Jakarta kalau tak
selesai!". Tiba di Bangkok, kami langsng masuk hotel. Tidak ke Bang
Saen.
Senin tanggal 7, hampir tengah malam, ketika saya sudah
setengah pulas, tiba-tiba pintu diketuk dengan keras dari luar. Tidak
menggunakan bell. Segera terkesan ada yang gawat. Pintu saya buka,
ternyata Benny Moerdani. Ia baa kabar buruk dari Bang Saen. Pertemuan
lima negara menjadi deadlock. Filipina menolak untuk tandatangan
deklarasi besok. Padahal waktu sudah sedemikian mepetnya, inipun sudah
tengah malam. ASEAN terancam batal di deklarsikan besok. Apalagi menurut
Benny waktu tinggal 30 menit! Maksudnya, ia menghitung jam akan
berakhirnya jadwal rapat hari ini di Bang Saen, sedang besoknya tinggal
upacara atau sebaliknya, penegasan batal.
Sayapun langsung putar
otak, pertama saya pikir bahwa persoalan ini sebetulnya hanya mengenai
soal kompetensi. Bagi Narciso Marcos, pemimpin delegasi Filipina,
persoalan ini terlalu besar untuk ia putuskan sendiri. Apalgi ia hanya
Wakil Menlu, menggantikan Menlunya yang sakit. Sikapnya itu dapat
dimaklumi. Karena, bahkan bagi paham ketatanegaraan tertentu, soal
seperti ini hanya berwenang diputuskan oleh orang yang setingkat kepala
pemerintahan negara, atau oleh kongres. Ini soal kompetensi, tapi
sebenarnya, lebih tepat lagi, soal pandangan mengenai kompetensi atau
wewenang. Bukan soal subtansial, walau itu yang mungkin terlanjur sudah
berkembnag dalam diskusi yang memanas. Jadi, saya pikir, untuk mengatasi
persoalan ini, harus mengontak key person di pemerintahan Manila.
"Ok," kata saya. "Telepon Jenderal Vargas!". Mata Benny langsung
berkilat. Harapannya timbul. Dengan cepat ia menemukan nomor telepon
rumah Letjen Jesus Vargas, Sekjen SEATO yang asal Filipina itu. Dia
putarkan nomor teleponnya, tapi langsung diserahkan kesaya untuk bicara.
Kepada Vargas saya jelaskan point-point nya. Lengkap dengan semua reasoning dari draft itu. Ia langsung terima.
"You must do something my friend," saya bilang dengan nada mendesak.
"Ok. Nanti saya atur. Harap dimaklumi, begitulah birokrat," kata Vargas sambil tertawa mengomntari sikap delegasi Filipina itu.
"Beres. Nanti saya yang atur ke Presiden Marcos." sambunya lagi.
"Terima kasih banyak.!" Saya sungguh berterima kasih kepadanya.
Letjen Jesus Vargas adalah kawan saya sejak ia masih berpangkat
Kolonel. Sekarang ia yang memimpin SEATO yang bermarkas besar di
Bangkok. Dri dulu Vargas memang selalu memenuhi permintaan saya. Ia baik
sekali kepada saya. kenangan saya kembali kemasa dulu, tahun 1958, saat
bersama Nun Pantouw kami menginap beberapa hari dirumahnya di Manila.
Benny Moerdani menjabat erat tangan saya, berterima kasih sekalian
pamit. Ia harus buru-buru menyampaikan kabar gembira ini ke Ali dan Yoga
untuk kemudian disampaikan kepada Adam Malik. Ali Moertopo kemudian
menghubungi saya. Dengan gembira ia sampaikan terima kasihnya,
berulang-ulang. Rupanya Benny menceritakan ke Ali tentang proses
penyelesaian yang begitu cepat. Selasa, 8 Agustus 1967, Deklarasi ASEAN,
yang juga dikelan dengan nama Deklarasi Bangkok, ditandatangani.
Beberapa tahun kemudian, di Jakarta, dalam suatu acara summit
negara-negara ASEAN - yang sudah bertambah negaranya, bukan lagi lima -
saya hadir. Ali Moertopo mempertemukan saya dengan Tun Abdul Razak dan
mengatakan, "Ini Pak Sumual yang dulu atur di Bangkok sehingga Deklarasi
ASEAN bisa berhasil. Dia yang menyelamatkan." Tun Abdul Razak menjabat
erat-erat tangan saya.
Ali Moertopo : Saya Heran..Kok Kalian Bisa Kalah?"
Selama
menjalankan tugas-tugas bersama saya, Ali Moertopo amat sering
mengungkapkan rasa kagumnya pada cara-cara kerja saya dan teman-teman.
Apakah hanya sekadar puji-puji supaya saya tetap mebantu pekerjaannya,
itu soal lain, tai kenyatannya jenderal-jenderal lainnya pun memang
sering mengatakan hal yang sama. Ali menyaksikan sendiri bagaiman kami
dengan lancarnya menyelesaikan masalah-masalah yang mereka angap sulit.
Baik untuk langkah-langkah politil dalam negeri, maupun luar negeri.
Sehingga pada suatu hari, waktu sedang berdua dikamar hotel di Manila,
sambil ia seperti biasanya tanpa merasa perlu malu belajar bahasa
Inggris di depan saya, ia berkata, "Saya heran...kok kalian dulu bisa
kalah?" Yang dimaksud "kalian" adalah kami PRRI. Setelah ia mengenal
kami, melihat cara-cara kerja kami, termasuk jaringan-jaringan kami di
dalam maupun diluar negeri. Apalagi dia mungkin membayangkan betapa
dalam gerakan yang dimotori oleh saya itu, ada nama-nama militer
sekaliber Ahmad Hussein, Simbolon, Kawilarang, Joop Warouw, Zulkifli
Lubis, Dee Gerungan, Sukanda Bratamanggala, Saleh Lahade, Boyke
Nainggolan, Nawawi, Dahlan Djambek, dan banyak lagi. Ada pula
tokoh-tokoh politik sekaliber Sjarifuddin Prawiranegara, Sutan Sjahrir,
Muhammad Natsir, Burhanudin Harahap, Mr. Assaat, dan lain-lain.
Suatu hari, Presiden Soeharto sedang mengobrol santai dengan Ali
Moertopo. Tiba-tiba Ali berkata dengan nada serius, tapi buat
bercandaan,
"Saya sekarang bisa mengkudeta Presiden RI!"
"Gimana bisa..?" tanya Pak Harto.
"Kan dengan saya sekarang ada Ventje Sumual..!"
"Eitt..! Nda bisa!" Pak Harto langsung memotong.
"Saya lebih dulu dekat sama Ventje..dari dulu. Kamu baru!"
Artikel
ini aslinya dikutip dari Buku Memoar Ventje H.N. Sumual. Suntingan Sdr.
Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE Matindas. - Terbitan Bina Insani
Jakarta 2009, kemudian saya sendiri turut menambahkan hasil kutipan
daripada berbagai sumber dan pelaku sejarah yang bisa
dipertanggungjawabkan kredibilitasnya.
sumber copy paste :
http://ceritadamai.blogspot.com/
http://www.kaskus.co.id/post/50e7fb332775b4294c000003#post50e7fb332775b4294c000003