Perjalanan ORLA & ORBA dari kacamata Ventje H.N Sumual
kisah ini melihat sebuah perjalanan panjang Bangsa Indonesia dari sisi pelakunya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. cerita ini dimaksudnya untuk menambah kekayaan perbendaharaan sejarah dan menambah sudut pandang sejarah di negara ini.BIODATA SINGKAT
* Nama : - SUMUAL, Herman Nicolas Ventje
* Nama Populer/Alias : - Ventje Sumual
* Pangkat/NRP : - Letkol Inf. / 15958 (Brigadier Jenderal ADREV)
* Tempat & Tgl Lahir : - Remboken/Minahasa, 11 Juni 1923
* Orang Tua : - Ayah : Sersan KNIL ...
Ibu :
* Istri : -
1. (Orang Jawa) cerai?
2. Henny Lie Pondaag (cerai 1961)
3. Hetty Warouw (bekas istri Dee Gerungan)
* Pendidikan Umum : - Holland Inlandsche School (HIS) di Minahasa
- Meer Uitgrebreid Lager Onderwijs (MULO) di Minahasa
- Kotabu Kain Yo Seijo Sekolah Pelayaran Tinggi
Kaigun Jepang (Bagian Mesin) di Makassar (1942-1944)
- Fakultas Hukum - UGM di Yogyakarta (1946-1948)
* Pendidikan Militer : - Sekolah Staf & Komando AD (SSKAD)
* Jabatan dalam Pergolakan : Panglima TT-VII/Wirabuana - Indonesia Timur
Proklamator Permesta 1957
Ketua Dewan Tertinggi Permesta
Kepala Staf Angkatan Darat Revolusioner PRRI
Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) RPI
Pengalaman Kerja
----------------
* 1945-1948 : - Jakarta liaison officer untuk KRIS
- Pucuk Pimpinan Laskar "KRIS"
(Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) di Yogyakarta
- Kuliah di Fakultas Hukum-UGM di Yogyakarta
- Perang Kemerdekaan I (Clash I) sbg Perwira Staf Brigade-XII
(ex Laskar KRIS) di Yogyakarta
* 1948-1950 : - Kepala Staf KRU-X (ex Brigade XII) di Yogyakarta
- Kepala Staf Brigade-XVI (ex KRU-X) di Yogyakarta (1948)
- Komandan SWK-103A/WK-III di Yogyakarta (1949)
* 1950-1952 : - Perwira Staf Angkata Darat di Jakarta
- Pamen (perwira menengah) pada
Komisi Militer Indonesia Timur di Manado
- Pamen Territorial Komando Pasukan SU-MU
(Sulawesi Utara/Tengah & Maluku) di Manado
- Komandan Komando Pasukan SU-MU
(KOMPAS B) di Manado (RI-24)
* 1952-1953 : - Mengikuti pendidikan Militer Sekolah Staf & Komando
Angkatan Darat (SSKAD) di Bandung
- Kasi-I Inspektorat Infanteri Angkatan Darat di Bandung
* 1953-1956 : - Komandan Latihan & Inspektur Pendidikan di Bandung
* 1956-1958 : - Kepala Staf Tentara & Territorium VII/Wirabuana -
Indonesia Timur (Kep. Sunda Kecil/Nusatenggara,
Sulawesi, Maluku & Irian Barat) di Makassar
- Panglima TT VII/Wirabuana-Indonesia Timur
- Kepala Pemerintahan Militer Indonesia Timur PERMESTA
* 1958-1960 : - Kepala Staf Angkatan Darat Revolusioner (ADREV) PRRI di Manado
* 1960-1961 : - Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Republik Persatuan Indonesia
(RPI) di Manado (Februari 1960-1961)
* 1961-1966 : - Menyerah tanpa syarat kepada Pemerintah Orde Lama dan
ditahan di RTM (Rumah Tahanan Militer) di Jakarta
- Dibebaskan dari Tahanan oleh Pimpinan Orde Baru
selanjutnya bergerak di bidang usaha di Jakarta
- Aktif membantu pimpinan Orde baru bersama Presiden RI
Bidang khusus Keamanan & Politik di Jakarta
* 1972-Kini - Direktur Utama Kelompok Usaha PT. Konsultasi Pembangunan
di Jakarta
- Ketua Umum Pengurus Besar Gabungan Bridge Seluruh Indonesia
(GABSI) Pusat (1982-1986?)
- Aktif dalam Organisasi Paguyuban WHERKREISE III
Yogyakarta (Bendahara Umum) di Jakarta
- Aktif dalam Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949
(salah satu Ketua) di Jakarta
- Aktif Organisasi "SOKSI" (Anggota Majelis Pertimbangan
& Pengawasan Organisasi/MPPO) di Jakarta
- Aktif dalam organisasi Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK)
Jakarta (Ketua Umum)
- Aktif dalam organisasi Yayasan Gerakan Maju (Gerak Maju)
Mapalus Raya di Jakarta (Ketua Umum)
Peranan-Peranan
---------------
* Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, sebagai
Komandan SWK-103A/Jogja Barat WK-III, memimpin serangan dari
arah barat serta berhasil menyerang markas besar tentara Belanda
(T-Brigade) di tengah-tengah kota Yogyakarta
* Sebagai Panglima Tentara & Territorium VII/Wirabuana-Indonesia
Timur (Kep.Sunda Kecil, Sulawesi, Maluku & Irian Barat)
menandatangani, memproklamasikan serta memimpin langsung
perjuangan Piagam Perdjuangan Semesta ("PERMESTA")
* Setelah dibebaskan dari tahanan Orde Lama oleh pimpinan Orde
Baru, selain bergerak di bidang usaha juaga aktif membantu
pimpinan Orde Baru bersama Aspri - Presiden RI bidang Khusus
Keamanan & Politik (OPSUS) dalam hal:
- Stabilisasi Keamanan & Politik Dalam Negeri
- Dukungan Politik & Ekonomi dari Luar Negeri
( Phi;ipina, Cina Nasionalis/Taiwan, Thailand, Jepang)
- Penjajakan pembentukan ASEAN
INTEGRASI KRIS DALAM TRI
Sudah menjadi keputusan KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) untuk memperjuangkan laskarnya berintegrasi ke dalam TRI. TRI, Tentera Republik Indonesia, nama resmi tentara regular RI sejak kahir Januari 1946. Menggantikan nama TKR yang baru digunakan beberapa bulan sebelumnya, sejak Oktober 1945. Proses integrasi ini buka sekadar urusan adimistrasi. Ini perlu perjuangan. Kami harus berupaya membereskan internal Laskar KRIS, menata organisasi, menertibkan pasukan, tegas dan keras menegakkan disiplin militer. Disamping itu ada upaya-upaya khusus pendekatan ke Markas Besar TRI dan Kementerian Pertahanan. Di Kementerian Pertahanan ada Biro Perjuangan, bagian inilah yang menangani urusan-urusan kelaskaran. Pucuk pimpinan KRIS dan Laskar KRIS menyerahkan tanggungjawab untuk urusan integrasi ini kepada saya, Ventje H.N Sumual.
Sebagai Kepala Staf KRIS ada Henk Lumanuw. Saya seperti biasanya, selalu bersama Empie Kanter. Adakalanya kami pergi bersama-sama dengan Henk. Namun sering juga saya dan Henk pergi sendiri-sendiri, tergantung keperluan, tak jarang pula Empie yang saya minta pergi bersama Henk. Pada prinsipnya Laskar KRIS tidak ada masalah dalam integrasi ini. Beda dengan umunya satuan laskar lain, kami tidak berada dalam partai politik tertentu, sehingga tidak ada ganjalan apa-apa kalau berhadapan dengan pejabat pemerintahan yang kebetulan adalah orang daripada partai yang berseberangan.
Bagaimanapun, faktor terpenting yang membuat sulit bagi pemerintah untuk menghalangi integrasi Laskar KRIS kedalam TRI adalah prestasi Laskar KRIS sendiri yang sedemikian menonjolnya. Pasukan-pasukan KRIS di Bandung dan sekitarnya, ketika bersama beberapa kelompok laskar lainnya berintegrasi dalam TRI, sampai berani minta diresmikan dengan nama “Pelopor” untuk menyatakan kepeloporan mereka dalam perjuangan membela tanah air, dan pimpinan TRI mengakui itu. Panglima Divisi III Kolonel AH.Nasution meresmikan Kesatuan Pelopor Divisi III. Mereka terdiri dari 5 Detasemen. Pasukan dan Laskar KRIS Bandung ini kemudian menjadi Detasemen Stoottroepen Garuda, salah satu andalan Divisi Siliwangi.
Bagi pemerintah dan pimpinan TRI sendiri, integrasi dengan semua badan kelaskaran semakin menjadi kebutuhan untuk menghadapi musuh. Tapi integrasi dilangsungkan sebagai proses reoganisasi, restrukturisasi dan rasionalisasi. Rasionalisasi inilah ynag konsekuannya berupa pengurangan jumlah pasukan. Banyak yang dinilai tidak layak untuk menjadi tentara resmi. Banyak satuan dan laskar yang ditolak integrasi secara antero, namun hanya diterima secara individual atau dalam satuan-satuan kecil terpilih saja, atau juga dilebur dalam kesatuan resmi yang sudah ada. Salah satu ukuran terbilang jelas mengenai faktor persenjataan. Jumlah senjata dalam pasukan harus 1 berbanding 1 dengan jumlah anggota. Dalam hal ini pimpinan TRI sudah cukup obyektif, tidak benar kalau dituduh pilih kasih. Pasukan Siliwangi saja diciutkan menjadi setengahnya.
Brigade XII Divisi 17 Agustus
Laskar KRIS diintegrasikan kedala TRI secara menyeluruh, sebagai kesatuan, dan menjadi salah satu brigade dalam TRI. Beberapa hal segera disesuaikan. Pucuk pimpinan adalah Komandan. Tidak boleh sesuka hati meyebut Panglima lagi. Walau sehari-harinya masih sering Langkai, dan kemudian Rapar, dipanggil Panglima. Jumlah pasukan dalam tiap-tiap satuan disesuaikan dengan aturan yang berlaku. Sebelumnya batalyon maupun kompi jumlahnya tak teratur, karena hanya tergantung pada faktor kesamaan suku maupun sub-etnis.
Penyesuaian lain adalah soal kepangkatan, saya ingat antara lain Empie Kanter. Karena sering berhubungan dengan pimpinan di MBT (Markas Besar Tentara), terutama Mayjen Djokosujono yang kemudian pegang staf teritorial, Empie dan Henk Lumanuw lebih cepat naik pangkatnya. Saya masih Kapten, Empie sudah Mayor dalam Laskar KRIS. Tapi, setelah restrukturisasi Empie diturunkan lagi menjadi Kapten dalam Brigade XII. Mayjen Djokosujono kemudiannya terlibat dalam Pemberontakan PKI Madiun, padahal dia sangat baik dengan kami.
Struktur pimpinan inti Brigade XII tak berubah dari Laskar KRIS. Komandan Kolonel Evert Langkai, Wakil Komandan Letkol Jan Rapar, Kepala Staf Mayor Henk Lumanuw. Saya sendiri, Staf Intelijen dan Operasi. Walau sudah menjadi TRI, umumnya orang tetap merasa ini pasukan KRIS. Itulah mengapa sering disebut Brigade XII KRIS.
Dengan status dan posisi sebagai tentara reguler, kami semakin gigih berjuang. Brigade XII tetap sebagai pasukan yang banyak mencatat prestasi di banyak front. Banyak pasukan lain yang mau bergabung dengan kami. Melihat kenyataan ini, MBT lantas mempercayakan Brigade XII untuk menghimpun pasukan-pasukan lain. Dengan kriteria yang sudah ditentukan untuk menjadi satu Divisi. Tugas inipun kami lakukan. Sejumlah pasukan sudah menyatakan diri untuk bergabung dalam Brigade XII. Diantaranya, Laskar Hizbullah/Fisabilillah, BPRI dibawah pimpinan Bung Tomo, Barisan Banteng, resiman Pattimura, Resimen Ngurah Rai, Resimen Hasanuddin, juga pasukan-pasukan Kalimantan. Masing-masing terdiri dari banyak personil, bahkan ada yang sangat besar, misalnya Hizbullah yang personilnya mencapai dua ribuan.
Divisi kami ini mendapat kehormatan dengan nama Divisi 17 Agustus. Panglimanya Kolonel Evert Langkai. Segera diresmikan pada HUT II RI 17 Agustus 1947. Tetapi menjelang akhir Juli 1947 terjadi Agresi Militer Belanda. Semua rencana pembentukan Divisi baru pun buyar, kendati pasukan-pasukan yang akan diresmikan sudah gladi parade. Malah, bukan saja divisi baru yang dibatalkan, keseluruhan pasukan-pasukan TRI harus direorganisasi, disesuaikan dengan kondisi yang ada. Meskipun Divisi 17 Agustus batal berdiri, namun sejak inilah Brigade XII mendapat kepercayaan, baik pemerintah maupun pasukan-pasukan yang bergabung untuk menjadi penggalang semua pasukan yang orang-orangnya berasal dari luar Jawa dan Sumatera, untuk kemudiannya disiapkan sebagai rintisan TNI bagi daerah masing-masing. Rintisan ini terkenal dengan nama Pasukan Seberang.
Agustus 1947 kami bukan saja mengalami batalnya rencana Divisi 17 Agustus, tapi malah kehilangan panglimanya. Kolonel Evert Langkai tiba-tiba mengundurkan diri. Suatu hari di akhir Agustus itu, mendadak ada perintaah dari Kolonel Evert Langkai untuk upacara. Semua bingung, bertanya-tanya, upacara apa? Hari itu tidak ada perayaan atau peringatan apapun. Juga tidak ada acara yang berhubungan dengan pemerintah maupun MBT. Kalaupun ada, sayalah yang seharusnya lebih tahu dulu.
Upacara militer digelar di halaman Markas Brigade XII. Ditengah-tengah upacara, tiba-tiba maju seorang Bintara membawa nampan, yang biasa dalam kenaikan pangkat atau penyematan tanda jasa. Ini rupanya sudah diatur sebelumnya oleh Kolonel Evert Langkai. Namun kali ini bukan untuk kenaikan pangkat atau penyematan tanda jasa. Ternyata Komandan Brigade XII Kolonel Evert Langkai mencopot-copot dari seragamnya sendiri semua lencana, tanda komando, bahkan pangkatnya, dan langsung ditaruh di nampan itu. Setelah bicara sedikit, lalu pergi begitu saja. Upacara jadi terlantar, karena dialah inspektur upacaranya.
Wadan Brigade XII Letkol Jan Rapar langsung mengambil alih pimpinan upacara. Dan sejak itupun berfungsi sebagai Komandan Brigade XII. Umunya kami menduga persaingan dengan Rapar lah yang menjadi penyebab Langkai “merajuk” dan mengundurkan diri itu. Mereka sering bertentangan, ada juga yang bilang mungkin Langkai kecewa divisi batal dibentuk.
Brigade Seberang
Bulan-bulan akhir 1948 TNI di Jawa direorganisasi lagi. Disesuaikan dengan kondisi yang ada, dan kebutuhan yang dihadapi. Salah satu kebutuhan utamanya adalah bersiap-siap menghadapi agresi besar-besaran Belanda. Sudah sangat jelas mereka ingin merebut langsung jantung RI, Yogyakarta sebagai upaya merampungkan pelenyapan RI. Akhir Oktober rencana reorganisasi telah selesai. Ada 4 Divisi Teritorial. Divisi I, Divisi II, Divisi III dan Divisi IV. Divisi-divisi ini tidak sama dengan 3 divisi yang ada sebelumnya. Dalam reorganisasi sekarang, semua pasukan masuk dalam brigade-brigade. Disiapkan 17 Brigade. Kami KRU-X menjadi Brigade XVI. Empat Divisi baru itu membawahi 15 Brigade. Sedang 2 Brigade lainnya, Brigade XVI dan Brigade XVII langsung dibawah Panglima Komando Teritorium Djawa, Kolonel AH. Nasution. Komandan Brigade XVI Letkol AG. Lembong, Wadan Letkol Joop. F Warouw. Kemudian terjadi perubahan setelah Letkol AG. Lembong disiapkan untuk menjadi Atase Militer di Filipina. Struktur organisasi yang baru adalah sebagai berikut, :
Komandan : Letkol Joop. F Warouw
Wakil Komandan : Letkol Kahar Muzakkar
Kepala Staf : Mayor I Gusti Mataram
Wakil Kepala Staf : Mayor M. Saleh Lahade
Komandan Yon A : Mayor Andi Mattalatta
Komandan Yon B : Mayor HV. Worang
Komandan Yon C : Mayor Pudu Mas’ud
Komandan Yon D : Mayor Palupessy
Komandan Yon E : Mayor Lukas Palar
Komandan Depo Batalyon : Mayor Ventje HN. Sumual
Dalam struktur organisasi inilah terjadinya Agresi Militer Belanda II Desember 1948. Sesuai kebutuhan strategi perang gerilya, diadakan lagi reorganisasi sejumlah kesatuan TNI. Sesuai kebutuhan strategi, Joop Warouw sudah berangkat ke Jawa Timur dan bermarkas di Gunung Kawi. Di Yogyakarta saya diangkat menjadi Komandan Sektor Barat, membawahi sebagian besar pasukan Brigade Seberang, ditambah sangat banyak pasukan-pasukan lainnya.
Peristiwa Kahar Muzakkar dan Jan Rapar
Pasa masa-masa awal laskar baru bertransisi menjadi tentara reguler macam-macam ekses sempat terjadi. Dalam kesatuan kami biasanya saya yang menangani, meskipun saya bukan komandan maupun kepala staf. Ada beberapa masalah interen yang timbul. Terbilang serius yang saya sampai tidak akan lupa sampai sekarang, antara lain adalah peristiwa Letkol Kahar Muzakkar, Letkol Rapar, dan terbunuhnya Mayor Soekardi. Beliau dirampok dan dibunuh. Soekardi adalah ipar Letkol Soeharto, Komandan Brigade X yang meliputi Yogyakarta hingga Kedu. Soekardi pun adalah kakak daripada Mayor Soedarman, Komandan Pasukan Zeni TP. Mayor Soekardi sendiri adalah Kepala Bagian Keuangan di Resimen.
Waktu itu saya menjabat sebagai Komandan Gerilya Sektor Barat. Pelaku pembunuhan adalah anggota pasukan Brigade Seberang, Sersan Mahmud dan teman-temannya dari Pasukan 1001, yang terdiri dari orang-orang asal Kalimantan. Saya langsung tangkap. Pemeriksaan juga juga dilakukan terhadap Kapten Frits Runtunuwu dan Kapten Felix Tuyuh, karena Frits adalah komandan sektor 1 dan Felix wakilnya, sementara pelaku berasal dari wilayah sektornya. Tapi mereka semua mengemukakan alasan-alasan yang logis, bahwa Soekardi memang bersalah, dan bahwa tindakan mereka adalah benar dalam situasi perang. Akhirnya saya putuskan : menyarankan para pelaku dipecat secara resmi, tapi saya minta mereka pergi menyusup ke daerahnya di Kalimantan untuk meneruskan perjuangan pro-RI di daerahnya masing-masing. Jalan, cara bagaimana, transportasi, dana, cari sendiri.
Dengan berat hati mereka meninggalkan kesatuan, meningalkan tanah Jawa. Tapi masih lebih baik daripada kena hukuman militer. Lagi pula, saya pikir kami tidak mempunyai penjara yang aman dalam situasi perang gerilya seperti sekarang ini. Adalah bukan sesuatu yang sulit misalnya terjadi balas dendam dan kemungkinan penyusup menghabisi mereka di penjara. Begitu juga halnya terhadap Felix dan Frits. Dua perwira andalan Kawanua sejak KRIS ini saya perintahkan untuk cepat berinflintrasi ke Sulawesi. Tapi mereka tidak dipecat, terbukti di pedalaman Minahasa mereka aktif memimpin gerilya pro-RI. Saya putuskan untuk mengambil alih tanggungjawab masalah ini. Saya bersama Maulwi Saelan pergi mengurus penyelesaiannya dan menjelaskan semua duduk perkaranya.
Waktu menghadap Letkol Soeharto, Letnan Wim Sigar saya ajak serta. Setelah penjelasan Soeharto tidak langsung menanggapi. Kami diam dan menunggu jawaban dari Komandan Brigade X ini. Tapi dia tetap diam, lama sekali. Berpikir keras sambil berjalan mondar mandir disekitar kami. Kami duduk diam, tegang, Maulwi Sealan sudah membatu dari tadi. Tiba-tiba Letnan Wim berbisik,
“ Bekeng mati jo.....Soharto kita bereskan.....”
Wahhh...saya marah sekali! Tanpa suara saya pelototin Wim. Yang begini inilah sering menjadi masalah dalam pasukan ex-laskar, ekses-ekses seperti Sersan Mahmud yang sudah mengakibatkan masalah ini. Letnan Wim rupanya masih terbawa-bawa dengan sifat jelek kelaskaran yang sering bertindak semberono dan sembarangan, hanya mengandalkan fisik, apalagi dia sekarang menjadi pimpinan pasukan combat yang terlatih, bukan laskar lagi!. Wim lupa kalau ini adalah proses hukum yang sedang saya selesaikan dengan cara baik-baik. Wim langsung diam menunduk.
Akhirnya saya lihat, Letkol Soeharto mulai mengangguk-angguk perlahan. Ia bilang,
“ Ya sudah Je...selesai disini saja ya......”
Letkol Kahar Muzakkar kecewa ketika Resimen Hasanuddin, badan kelaskaran yang dibangunnya saat itu dilebur ke dalam KRU-X dan hanya menjadi 1 Batalyon. Dia mengingatkan pada kesepakatan awal berdirinya KRIS, bahwa kepemimpinan harus berasakan keseimbangan antara Sulawesi Utara dan Selatan. Kahar pura-pura tidak mau tahu bahwa kepemimpinan dalam Brigade diputuskan oleh pimpina di MBT dan Pemerintah. Kami dari pasukan hanya mengusulkan. Lgaipula kami sebenarnya sudah menyiapkan draf pengusulan yang didalamnya termasuk Letkol Kahar Muzakkar sebagai Wakil Komandan dan Mayor M. Saleh Lahade sebagai Kepala Staf.
Begitulah, Kahar sudah terlanjur panas hati, dia juga sudah terlanjur memanas-manaskan sejumlah pimpinan pasukan Resimen Hasanuddin. Suatu hari, saat kami sudah menjadi Brigade XVI, Kahar memimpin pasukan yang telah dihasutnya menduduki markas Brigade XVI di Saidan, Jogja. Semua staf dan pasukan yang ada di markas dilucuti. Sejumlah senjata juga mereka ambil, dibawa ke Klaten. Kolonel Lembong lagi tidak ada. Letkol Joop F. Warouw sebagai pemegang komando tidak bisa apa-apa, dia hanya melaporkan ke Markas Besar Komando Djawa. Kolonel AH. Nasution sendiri bingung, harus bertindak...tapi bagaimana caranya...? Saya lantas bilang kepada Warouw,
“ Biar jo...kita urus!”
Tanpa membuang waktu, saya langsung berangkat ke Klaten, Markas Pasukan Kahar. Turut serta bersama saya 2 Kompi dari Yon Palar. Satu dipimpin Gerard Lombogia, dan satunya oleh Lucas Palar sendiri. Arahan strategi baru saya infokan diperjalanan. Saya bilang, jangan harap untuk dapat berunding dengan Kahar. Saya teman lama dia, kenal sekali wataknya, keras seperti batu!. Begitu sampai di markas Kahar di Klaten, posisi tempur langsung digelar. Resiman Hasanuddin dan 2 Kompi Yon Palar, 2 pasukan sepulau dan begitu akrabnya waktu di KRIS saling berhadap-hadapan. Saya langsung memberi ultimatum ke Kahar.
Perhitungan saya tidak meleset, pertempuran sengit sesama saudara pecah di siang bolong. Pasukan Kahar menyambut kami dengan tembakan gencar, mereka stelling disektar markasnya.
Tembakan gencar berlangsung, saling balas-balasan berlangsung sekitar 2 jam. Tiba-tiba terdengar teriakan dari markas Kahar meminta cease fire. Rupanya 1 perwira andalan Resimen Hasanuddin tertembak, gugur ditempat, saya lupa namanya. Saya lantas memenuhi tuntutan Kahar. Saya juga berfikir, untuk apa juga harus saling menghabisi, toh mereka kan teman sendiri, sepulau, saudara, bukan musuh. Pelor-pelor yang sangar berharga ini sayang sekali kalau harus buat menumpahkan darah sesama bangsa sendiri. Dari Resimen Hasanuddin gugur 4 orang, luka-luka 12 orang. Dari Yon Palar gugur 2 orang, luka-luka 8 orang. Salah satunya yang gugur saya masih ingat namanya, Bert Polii asal Airmadidi.
Perundingan akhirnya digelar di Markas CPM. Komandan CPM Kapten Soenarso yang memimpin. Waktu itu, saya sampai di Markas CPM, Soenarso dan Kahar sudah ada. Begitu melihat saya, Soenarso langsung bilang sambil menunjuk ke Kahar,
“ Hij is uw gevangene.... Ini dia tawanan anda !”
Sejenak saya bingung juga. Tanpa perundingan, Kahar sudah menyerah? Ya sudah, langsung Kahar saya ambil, saya juga membawa Palar dan Lambogia untuk mengurus pengembalian senjata yang dirampas dari Markas Brigade. Tiba di Jogja, Kahar saya serahkan ke CPM, ditahan oleh Mayor Sudirgo. Namun atas berbagai macam pertimbangan, Letkol Joop F. Worouw melepaskannya.
Waktu dalam perjalanan membawa Kahar dari Kalten, sepanjang perjalanan dalam pikiran saya masih bertanya-tanya. Mengapa Kahar yang terkenal sangat kepala batu dan keras hatti begitu mudah menyerah, tanpa syarat pula? Apakah dia benar-benar sudah insaf atas perbuatannya, dan ingin menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak? Ataukah karena CPM sudah menyiagakan pasukan besar dari Siliwangi yang berada di Klaten untuk meringkus Kahar jika tetap membangkang?
Saya sering berfikir tentang Kahar, bahkan sampai sekarang. Ia teman seperjuangan yang baik, cerdas dan luar biasa beraninya. Dulu kami sama-sama sebagai perintis penggabungan APIS dan GAPEIS dalam KRIS. Melalui wadah KRIS, kami sama-sama banyak mencatat sukses besar, sehingga kami disegani baik kawan maupun lawan. Ia sangat disegani dilingkungan MBD, MBT dan pemerintahan. Bahkan Kolonel AH. Nasution, Gatot Subroto sangat segan padanya. Memang ia luar biasa beraninya, bahkan cenderung nekad, sayang sifatnya yang kepala batu dan cepat panas. Ia sudah berpangkat Letkol waktu kejadian, sedangkan saya masih Kapten. Walau sudah Letkol, Kahar Cuma mengurusi kesibukannya “keatas” dan kurang diimbangi dengan membina prestasi pasukan-pasukan yang menjadi tanggungjawbnya. Makanya, meski ia memegang mandat berupa Surat Perintah Panglima Besar Sudirman untuk memimpin kesatuan yang kelak akan menjadi TRIP Sulawesi, ketika KRU-X Brigade Seberang terbentuk yang salah satu mandatnya sama dengan mandat Pangsar, ternyata oleh Nasution, Kahar tidak termasuk dalam hitungan, apalagi memegang komando pasukan.
Begitu juga setelah pengkuan kedaulatan RI oleh Belanda. Kahar mendapat mandat langsung dari Pangsar Sudirman dan Kolonel Bambang Soepeno agar ia beserta Komando Grup Seberang akan memimpin APRIS di Indonesi Timur. Namun ternyata APRIS telah lebih dulu berdiri, dan pasukan-pasukan harus melalui proses perjuangan yang berat, tanpa Kahar. Kekecewaan inilah yang kemudiannya menjadi latar belakang pemberontakannya kelak, yang berakhir dengan kematian tragis patriot besar ini. Sungguh tragis nasibnya, mungkin saja seandainya dia tidak ikut campur dalam hal-hal politik, dan sedikit bisa sabaran dan tidak keras kepala, mungkin nasibnya tidak berkakhir tragis begini. Apapun, sejarah bangsa tetap mengenangnya sebagai salah satu patriot besar, jasa-jasanya besar dalam perjuangan kemerdekaan.
Kisah Jan Rapar lain lagi. Tapi sama-sama tragisnya. Dia adalah komandan kami sejak KRIS, bahkan dari sebelumnya. Komandan kami ini ternyata mengalami ketidak seimbangan emosional saat berada dalam sistem militer reguler. Terlebih ketika kemudiannya, sebagai mantan Panglima KRIS, ia sekarang aktif sebagai bawahan dari bekas orang yang pernah menjadi bawahannya. Rapar semaki sering berulah, baik ketika komandan dujabat Lembong, maupun Joop Worouw. Tapi, selama tidak sampai mengganggu policy kesatuan, kami berusaha memakluminya, sebagai seorang senior dan seorang pemberani yang juga berjasa besar.
Sekali waktu, Rapar sudah bertindak keterlaluan. Waktu itu yang menjadi Komandan sudah saya, juga merangkap sebagai Komandan Pasukan Gerilya Sektor Barat. Suatu hari, kami sedang menuju ke kota Jogja untuk menyerang beberapa pos-pos tentara Belanda, tiba-tiba Jan Rapar bilang tidak mau terus. Ini jelas-jelas pelanggaran berat disiplin militer, meninggalkan tugas dalam perang!. Tapi saya izinkan saja, berusaha memakluminya. Begitu juga, sering dalam gerilya apabila pasuka terpaksa menyeberangi sebuah sungai misalnya, ia selalu memerintahkan sampai 4 orang prajurit untuk membopong tubuhnya yang besar menyeberangi sungai, hanya karena tidak mau kena air, basah-basahan!.
Waktu itu kami baru saja kembali dari bertempur, mendekati markas gerilay kami di Godean, seorang staf berlari-lari menyampaikan laporan : Letkol Jan Rapar sudah melucuti semua pasukan yang berada di Markas!. Tindakan Rapar yang keterlaluan ini tidak mungkin lagi saya tolelir, langsung saya cari dia. Saya menemukannya sedang bersantai dibawah pohon. Ternyata ia kaget juga tiba-tiba saya muncul dihadapannya dan langsung membentaknya. Mungkin tidak pernah dia bayangkan, saya sebagai junior sanggup membentaknya yang lebih senior. Ia lantas berjanji akan mengembalikan semua senjata yang telah dirampasnya.
Kemudian saya tahu, tindakannya itu terutama bukanlah maksud “kudeta”. Ia rupanya membutuhkan senjata dalam jumlah tertentu untuk pasukan kecilnya yang rencananya akan dibawanya menyusup ke Jakarta. Jan Rapar ternyata merencanakan perang gerilya didalam kota, terutama Jakarta karena ia memang mengenal sekali seluk beluknya. Waktu Rapar dan beberapa teman Kawanua lainnya meninggalkan kami, kami sangat terharu. Bnayak yang, biasa tingkah lakunya kasar menjadi menitikkan airmata. Sedih berpisah dengan pemimpin yang khas, pemberani dan berkarakter ini. Jan Rapar menasehati kami semua,
“ Kita pesan pa ngoni-ngoni semua...jaga torang pe keluarga Minahasa di Jogja !”
Itu memang seakan menjadi etos bagi kami semua, sejak KRIS masih berdiri. Saya memberinya sejumlah senjata yang ia minta, juga bekal buat mereka di perjalanan.
Sebagai gerilyawan kawakan Rapar tahu apa yang harus ia lakukan dalam perjalanan dari Jogja ke Jakarta. Jalan-jalan telah mereka pilih untuk dilalui dan aman. Memasuki wilayah Jawa Barat, dimana wilayah-wilayah pedalaman ternyata dikuasai oleh DI/TII. Rapar kemudian memilih bergerilya dari kota ke kota dalam perjalanan ke Jakarta yang dikuasai Belanda. Beberapa kali ia pura-pura menyerahkan diri, kemudian melarikan diri setelah membawa sejumlah senjata dan perbekalan. Pasukan Belanda benar-benar kesal dibuatnya. Mereka akhirnya bisa selamat semua berkumpul di Jakarta setelah pengakuan kedaulatan RI pada akhir 1949. Tidak ada yang gugur maupun terluka.
Tapi menyusul peristiwa APRA di Bandung akhir Januari 1950, TNI mencurigai Rapar dan pasukannya sebagai pro Belanda. Apalagi ketika ditempat mereka kemudiannya ditemukan persenjataan yang demikian banyaknya. Namun sebagaimana berita beberapa teman kemudian yang memberi kesaksian, Rapar dan pasukannya memang sengaja masuk APRA dengan target untuk mengeksekusi Westerling dari jarak dekat. Rapar memang suka aneh-aneh, menempuh taktik seperti dalam filem-filem, ia mau buat suprise besar dengan melumpuhkan jagoan sekaliber Westerling. Pada waktu itu, setelah peristiwa Pembantaian di Sulawesi, banyak usaha-usaha untuk mengeksekusi Westerling yang dilakukan baik oleh TNI maupun kelaskaran, namun semua gagal. Mungkin atas dasar itu Rapar melaksanakan taktiknya.
Dalam suatu peristiwa, Rapar dan pasukannya yang bersiap-siap untuk mengawal Westerling dan selanjutnya sesuai rencana akan dieksekusi disuatu tempat, di ambush oleh pasukan TNI yang tidak mengetahui akan taktiknya, ditangkap dan langsung dieksekusi atas tuduhan pro-Belanda. Tragis! Jan Rapar dan kawan-kawan – patriot perintis perang mempertahankan kemerdekaan RI, justru tewas atas tuduhan pro Belanda, bahkan langsung dieksekusi! Untuk kesekian kalinya Westerling terselamatkan nyawanya, justru oleh pasukan TNI sendiri.
Kehidupan pribadi Jan Rapar memang penuh liku-liku dramatis. Cerita-cerita sekitar dirinya, sejak kami masih di Asrama Kaigun Jakarta pun sangat banyak dibungkus mitos. Para jagoan Senen bilang, pernah Rapar memukul seorang preman kawakan yang sedang bersandar di tiang listrik, preman itu berhasil mengelak, hasilnya tinju Rapar mendarat ditiang listrik yang lantas....bengkok!
Waktu di Jogja, ia sudah menjadi Komandan Reguler Pasukan sebuah Brigade yang berwibawa, yaitu Brigade XII. Rapar masih suka melakukan kebiasaan lamanya dengan kemana-mana membawa ular Python besar yang dililitkan dibadannya. Banyak sekali kisan tentang Jan Rapar, namun latar belakangnya tidak banyak diketahui orang. Ada yang bilang Rapar itu nama ibunya, sebenarnya dia vam (marga) Waworuntu.
SERANGAN UMUM 1 MARET
Agresi besar-besaran yang dilancarkan tentara Belanda pada 19 Desember 1948 merupaka keberhasila luar biasa dipihak mereka, baik secara militer maupun politik. NKRI yang secara de facto sudah mengecil wilayahnya, kali ini langsung sekaligus hendak dimusnahkan dengan cara menduduki langsung Ibukotanya, Yogyakarta. Pemerintah Belanda ternyata sudah merancang dengan sangat matang agresi mereka kali ini. Semua perlengkapan dan mesin perang termodern yang ada dalam inventorinya dikerahkan. Dengan mengandal kan armada udaranya beserta pasukan lintas udara, langsung menghujam ke jantung pemerintahan RI.
Serangan berlangsung pada hari Minggu agar tidak terduga, karena Belanda yang Kristen biasanya ke Gereja. Pasukan mereka sejak dinihari lagi mulai bergerak menuju Jogja, saat semua orang masih terlelap dimalam dingin penghujung Bulan Desember yang biasanya selalu turun hujan. Dan dipagi buta itu juga, PM Kerajaan Belanda dan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dr. L.J.M. Bell mengumumkan secara sepihak pembatalan gencatan senjata dan perjanjian Renville. Pengumuman yang tentu saja hanya tatakrama, agar didengar di dunia internasional.
Pukul 05.45, 13 pesawat tempur Belanda membombardir Lapangan Terbang Maguwo, kemudian diikuti dengan Dakota yang menerjunkan pasukan Linud. Pertahanan Mgauwo ternyata sangat lemah, tidak seperti yang digembargemborkan beberapa perwira MBT. Maguwo hanya dijaga oleh seratusan tentara dengan persenjataan minim. Mitraliyur 12.7 hanya sebuah. Ada 1 Kompi AD, tapi entah kenapa beberapa jam sebelum serangan justru ditarik keluar Jogja. 14 pesawat milik kita, antaranya 8 buah dalam hanggar, hancur terbakar. Ditambah sebuah pesawat Catalina AURI yang kembali dari Sumatera dan tidak mengira kalau Maguwo sudah dikuasai oleh musuh, ditembak jatuh. Setelah tidak sampai 1 jam Maguwo sudah dikuasai, berturut-turut tiba Dakota menerjunkan pasukan dalam jumlah besar. 15 Dakota Belanda mondar mandir Semarang-Maguwo menjemput dan menerjunkan pasukan dan peralatan. Sementara digerbang Jogja pasukan darat Belanda lengkap dengan lapis bajanya merengsek dengan cepat memasuki Kota Jogja.
Pukul 10.00 posisi-posisi vital di Jogja sudah menerima tekanan hebat dari Belanda baik darat maupun udara. Kekuatan Pasukan Pertahanan Kota sangat kecil dan tidak dapat berbuat banyak menghadapi serangan dadakan ini. Ini juga karena memang sudah adanya perintah menyingkir ke daerah gerilya yang langsung dilaksanakan pada jam itu juga.
Pasukan Belanda dengan Tijger Brigade nya dibawah pimpinan Kolonel Van Langen menyerbu Gedung Agung, tempat kediaman Presiden dan Wakil Presiden. Pucuk pimpinan RI, beberapa Menteri, KSAU kemudian menjadi tawanan dan diseret untuk menghadap Mayjen Meir, pimpinan Agresi Belanda untuk dipaksa menyerahkan kekuasaan. Karena Bung Karno menolak, dia beserta Hatta dan sejumlah menteri diasingkan ke Sumatera. Sejak ditangkap, maupun saat sudah ditempat pengasingan, beberapa kali Bung Karno dan Bung Hatto nyaris dihabisi.
Menjadi Komandan Sektor Barat, SWK 103 / SWK 103A
Pesawat-pesawat tempur Belanda sejak pagi menderu-deru dilangit Yogyakarta. Ada sekitara 20 pesawat yang terdiri dari Jager, Bomber, dan Fighter bergentayangan sambil terus menerus memuntahkan tembakannya. Mereka menembak setiap objek yang terlihat dan bergerak. Mobil, delman, gerobak, kereta api, sepeda, mobil, juga penduduk yang berlarian mengungsi tidak luput dari hantaman mereka. Mayat bergelimpangan, korban jatuh dimana-mana.
Saya melaju dengan sepeda ke arah Pingit, Markas Brigade XVI. Maksud saya, sebagai Komandan Depo Persenjataan/Perbekalan, mau mengajak staf Brigade yang saya tahu ada di markas : Piet Ngantung, Empie Kanter, Eddy Gagola, serta para perwira lainnya untuk mengatur kordinasi pasukan.
Dalam perjalanan menuju Pingit, saya beberapa kali berpapasan dengan pasukan darat Belanda yang sedang menyerbu masuk ke tengah kota Jogja. Tapi saya sempat menghindar, walau sempat ditembaki juga. Tapi karena saya sedang menuju utara-Pingit, sedangkan Belanda masuk dari arah utara, maka makin sering saya berpapasan dengan mereka, bahkan sempat nyaris dalam posisi terkepung. Maka saya putuskan untuk berbelok ke arah kiri, menjauh ke arah barat, nanti kemudiannya cari jalan lagi kearah Pingit.
Ternyata di barat saya bertemu rombongan-rombongan pasukan yang mengungsi, termasuk rombongan Brigade XVI. Pertama saya bertemu dengan rombongan Kapten Frits Runtunuwu dan Jan Wowiling, saya langsung menggabungkan diri dengan mereka. Kemudian kami bertemu juga dengan rombongan pasukan pimpinan Gerard Lombogia. Dipinggiran barat Jogja terdapat Markas Batalyon salah satu pasukan kami, yaitu Yon Palar. Maka saya putuskan untuk berhenti saja disini, tidak mengungsi terlalu jauh. Rombongan Brigade XVI pun secara bertahap berhenti di markas Yon Palar, stelling mengantisipasi serangan musuh. Rombongan TNI mengungsi melewati daerah Yon Palar semakin banyak, mengalir dari dalam kota lengkap dengan keluarganya masing-masing. Stelling kami di daerah Yon Palar secara tidak langsung melindungi bagian belakang pengungsian pasukan-pasukan TNI yang mengalir dari dalam kota mengungsi kearah selatan, menghindari gempuran pasukan Belanda dari arah utara.
Untuk lebih mengamankan pengungsian pasukan yang tidak putus-putus, khususnya ribuan pasukan Siliwangi yang bergerak kearah barat daya, untuk kemudiannya kembali ke Jawa Barat sesuai dengan rencana induk gerilya, pasukan Brigade XVI setelah konsolidasi singkat kembali ke arah kota. Secara hit and run kami bertempur dengan ujung tombak pasukan Belanda yang mencoba mengejar rombongan-rombongan pasukan Siliwangi yang hendak melaksanakan long march. Begitulah, hingga sore kami terus menerus kucing-kucingan dengan tentara Belanda. Setelah kami pastikan rombongan Siliwangi sudah cukup jauh kearah barat daya, dan dengan perkiraan tidak ada lagi pasukan TNI yang mengungsi dari dalam kota, kami pun kembali stelling di tempat semula, daerah Yon Palar sebelah barat kota Jogja.
Sekitar pukul 16.00, saya melihat serombongan kecil perwira TNI datang dari arah barat daya. Drai jauh langsung terkesan, mereka lagi mengiringi seorang pimpinan tinggi TNI. Ternyata mereka rombongan dari MBKD (Markas Besar Komando Djawa), dipimpin Letkol Sukanda Bratamanggala. Ada Mayor Abdul Ghani juga, mereka sedang berkeliling melakukan konsolidasi. Letkol Sukanda Bratamanggala adalah Wakil Kepala Staf Teritorial, tapi sekarang ia satu-satunya perwira tertinggi Komando Djawa yang ada di ibukota. Para pejabat lainnya sedang mengikuti Panglima MBKD Kolonel AH. Nasution ke Jawa Timur sejak beberapa hari lalu. Saya dengan Pak Sukanda sudah slaing kenal sebelumnya. Setelah saya jelaskan tentang kami, Brigade XVI, Letkol Sukanda lalu bertanya,
“ Je, mau mengungsi kemana? ”
“ Tidak, kami disini saja,” jawab saya.
Dia heran, sebab posisi kami sekarang sebenarnya beelum terhitung pengungsian, masih terlalu dekat dalam jangkauan musuh yang sudah menguasai kota. Saya balas,
“ Kan kita sekarang bergerilya......”
“ ohh..ya..ya! Betul” kata Pak Sukanda. Ia tersenyum senang
Saya juga menjelaskan kalau wilayah ini memang tanggungjawabnya salah satu pasukan kami, Yon Palar.
“ Baiklah kalau begitu. Mulai sekarang Mayor Sumual kami angkat menjadi komandan disektor ini. Sektor Barat!”
“ Siappp!”
Kembali ternyata kami salah duga, ternyata masih ada lagi rombongan-rombongan pasukan TNI yang mengungsi melewati pasukan kami, terus mengalir sampai malam. Kamu mulai menyiapkan akomodasi untuk pasukan-pasukan. Mulai berusaha mengenali medan, buat tempat berlindung. Markas Komanda saya akan ditempatkan lebih ke barat, tepatnya didesa Jering, Godean. Tidak menunggu lama, sayapun sudah mempersiapkan pasukan untuk melakukan gangguan kedalam kota malamnya.
Sekitar jam 20.00 saat pasukan sedang mengaso dalam perjalana masuk ke kota, dari arah selatan datang rombongan kecil, dikawal oleh beberapa naak buah saya. Ternyata rombongan Letkol Soeharto, Komandan Brigade X. Letkol Soeharto sedang berkeliling melakukan konsolidasi. Teritori Brigade X memang meliputi seluruh wilayah Kesiltanan Yogyakarta, termasuk daerah Godean ini. Markas komandonya sekarang berpindah ke Segoroyoso, sebelah timur Kali Opak, sebelah tenggara kota Jogja. Jadi ia sudah jauh berkeliling melakukan konsolidasi
Sebelum sampai ke markas saya, ia mampir dulu kerumah keluarganya di Rewulu. Katanya, semula ia mengira pasukan-pasukan kami adalah rombongan Siliwangi yang akan meneruskan perjalanan ke Jawa Barat. Saya dan Pak Harto memang sudah saling mengenal, kami kemudian larut dalam perbicaraan. Dia bercerita pengalamannya dalam kota saat serangan Belanda tiba tadi pagi, lalu mengungsi ke selatan, kemudian konsolidasi sejak siang tadi.
“ Terus, Tje mau bergerilya kemana? ” tanya Letkol Soeharto.
“ Disini. Kami disini saja. “
“ Apa ndak terlalu dekat markas Belanda? Saya dengar mereka di Tugu.”
“ Ah jauh. Ndak apa-apa,” jawab saya.
“ Baiklah. Sekarang saya angkat Mayor Sumual jadi Komandan Sektor Barat “
Jadi dalam beberapa jam saya saya sampai dua kali diangkat menjadi Komandan Sektor Barat. Mungkin karena saya tidak suka banyak bicara, saya tidak bilang ke Soeharto tentang pengangkatan saya oleh MBKD sebelumnya. Memang saya merasa tidak perlu mempermasalahkan masalah ini. Istilah “Pasukan Gerilya Sektor Barat” tersebut lantas dipakai terus, walaupun kemudian sudah ada nama SWK, Sub-Wehrkreise. Malam tanggal 19 Desember itu juga, kami di Sektor Barat melakukan serangan kedalam kota. Masih saya ingat pertempuran seru di Jl.Tanjung yang dilancarkan Pasukan Combat Brigade XVI pimpinan Letnan Sigar.
Penyerangan malam ini memang tidak direncanakan sebelumnya, namun diperjalanan bergabung pasukan Yon 151 yang dari sektor lain. Memang serangan kami ini hanya spontan saja, begitu juga Yon 151 yang spontan bergabung. Dalam kontak senjata di daerah Tugu, Komandan Yon 151 Kapten F. Hariadi gugur bersama sepuluhan anggotanya. Selanjutnya Yon 151 yang baru saja kehilangan pimpinannya meminta bergabung dengan kami untuk seterusnya.
Pasukan Sektor Barat kami hampir tiap malam melakukan penyusupan-penyusupan dan serangan kedalam kota. Inilah sebetulnya konsep prinsip gerilya, kami yang menentukan kapan dan dimana untuk bertempur, bukan pihak musuh. Begitu juga ketika tanggal 22 Desember Letkol Soeharto meminta bantuan saat ia memimpin pasukan masuk kedaerah Taman Sari dekat Kraton, saya kirim pasukan Combat Brigade XVI yang dipimpin langsung oleh komandannya, Kapten Kandou, biasa dipanggil Bos!.
Pengorganisasian baru berlangsung awal Januari 1949. Letkol Soeharto memimpin Wehrkreise III atau WK-III. Membawahi 6 Sub-Wehrkreise atau SWK :
SWK 101 di daerah Bantul Timur dengan Komandan Mayor Sekri Soenarto.
SWK 102 di daerah Bantul Barat dengan Komandan Mayor Sardjono.
SWK 103 di daerah Godean dengan Komandan Mayor Ventje HN. Sumual.
SWK 104 di daerah Sleman dengan Komandan Mayor Soekasno.
SWK 105 di daerah Gunung Kidul dengan Komandan Mayor Sardjono.
SWK 106 di daerah Kulon Progo dengan Komandan Letkol R. Soedarto.
Dalam perkembangan selanjutnya disesuaikan dengan pergeseran real di pasukan-pasukan, juga dengan pertimbangan-pertimbangan lain. Sejak pertengahan Januari, beberapa perubahan dilakukan.
1. SWK 101 untuk clandestine dalam kota Jogja, lebih sebagai mata-mata dan satuan penghubung gerilya. Komandan Letnan Marsudi.
2. SWK 102, Komandannya tetap Mayor Sardjono, tapi wilayahnya sudah mencakup hingga Bantul Timur yang sebelumnya masuk SWK lain.
3. SWK 103, bermarkas di Gamping dengan Komandan Letkol Suhud.
4. SWK 103A, didaerah Godean tetap saya pegang. Hanya nama berubah ditambah huruf A untuk membedakan dengan SWK 103. Terkesan kami hanya bagian dari SWK 103.
5. SWK 104, di daerah Sleman tetap dengan Komandan Soekasno.
6. SWK 105, di daerah Gunung Kidul tetap dengan Komandan Soejono.
7. SWK 106, di daerah Kulon Progo tetap dengan Komandan Soedarto.
Ada yang menjelaskan kepada saya, bahwa kami menjadi SWK 103A sedangkan 103 Untuk Suhud karena pangkatnya Letkol, sehingga jangan dimasukkan komando saya yang Mayor. Padahal Gamping adalah daerah teritori kami. Memang jabatan Letkol Suhud sebelumnya bahkan pararel dengan Letkol Soeharto. Soeharto adalah Komandan Brigade X yang berkedudukan di Yogyakarta, sedangkan Suhud justru adalah Komandan Sub-Teritorium Divisi III untuk wilayah Yogyakarta.
Saya sendiri sama sekali tidak memikirkan soal-soal begitu. Rupanya meski dalam suasana darurat, dalam gerilya ada saja orang yang tetap merasa penting akan formalitas jabatan seperti itu. Padahal, dalam suasana begini yang terpenting hanyalah soal besarnya kekuatan real, jumlah pasukan, senjata, dan berani apa nggaknya maju ke medan front. Bukan soal levelitas jabatan!
Pasukan saya SWK 103A adalah yang terbesar. Ada 4 Yon Mobile, yaitu Yon Lukas Palar, Yon Andi Mattalatta (Resimen Hasanuddin), Yon Palupessy (Dulu Divisi Pattimura), dan Yon 151 dengan pimpinan Hardjosoedirjo menggantikan pimpinan asal yang gugur. Semua sektor teritori gerilya kami penuh terisi dengan pasukan dan dibagi dalam 5 sektor. Sektor 1 dipimpin oleh Kapten Frits Runtunuwu, Sektor 2 Letnan Wim Sigar, Sektor 3 Mayor Palupessy, Sektor 4 dikomandani Widarto bersama Asmasmarmo, dan Sektor 5 oleh Letnan Goenarso. SWK-SWK lain hanya berkekuatan 1 Batalyon plus, bahkan SWK 105 dan 103 hanya berkekuatan 2 Kompi plus. Juga SWK 101 yang memang tidak perlu mengefektifkan pasukan besar sebab khusus untuk clandestine dalam kota. Komandan Yon 151 Kapten F. Hariadi yang gugur dalam pertempuran malam 19 Desember, dan sejak itu pula Yon 151 ikut dalam pasukan saya. Danyon kemudiannya dipegang oleh Letnan P.C. Hardjosoedirjo. Letkol Soeharto yang langsung datang ke markas saya melantiknya.
Sejak hari-hari pertama bergerilya, telah datang bergabung dengan kami di Sektor Barat sejumlah pasukan dari luar Brigade XVI. Ada 2 pasukan Mobile Brigade Kepolisian dipimpin oleh Ajatiman dan Soebroto. Lalu ada Kolonel Laut Darwis Djamin, Panglima ALRI Pangkalan Tegal bersama-sama anak buahnya juga mengungsi kesektor kami. Pasukan Marinirnya sebenarnya punya persenjataan yang bagus dan canggih, kami beruntung mereka bergabung disektor kami dan bahu membahu bergerilya. Ada pula Laskar Burhanuddin Harahap, yang bersama beberapa politisi berlindung di sektor kami, mengkonsolidasi Barisan Hizbullah. Banyak tokoh politik berlindung di daerah sektor saya termasuk Mr. Kasman Singodimedjo, Sukarni dari KNIP, juga apa Pandu Wiguna, Ir. Sakirman, Setiadi. Chairul Saleh juga sempat berlindung disektor saya, kemudian mengatakan akan ke daerah Jawa Barat, bergerilya disana. Banyak juga yang mendapatkan jodohnya disektor ini, dan saya membantu acara pernikahan mereka.
Masih dalam suasana Natal tanggal 26 Desember 1948, saya menerima Surat Perintah Operasi dari Lekol Soeharto agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk serangan umum tanggal 29 Desember 1948. Inilah serangan umum yang pertama. Pukul 7 malam kami mulai bergerak, hampir seluruh pasukan di Sektor Barat, baik regular Brigade XVI maupun yang berlindung di sektor ini saya kerahkan. Secara tersamar kami mendekati pinggiran kota, menuju sasaran maisng-masing. Pasukan kami dibagi menjadi dua, sebagian melambung ke utara, masuk Jogja dari arah utara, sebagiannya pula langsung menyerbu dari barat.
Serangan dimulai tepat pukul 21.00. Tembakan bergema diseantero kota. Letusan senjata yang diselingi siulan mortir terdengar dahsyat dari seluruh penjuru kota. Tujuan utama operasi adalah untuk mengembalikan kepercayaan rakyat, disamping mengetes dan mengetahui kekuatan pasukan lawan. Cukup banyak prajurit yang gugur malam itu. Diantaranya asisten saya sendiri, Letnan Karel Pondaag. Ia ex-KNIL, gugur berjibaku dengan brencarrier Belanda. Pertempuran berlanjut hingga pukul 03.00 dinihari, kami mengundurkan diri. Walau kelelahan ditambah udara yang cukup dingin karena musim penghujan, saya menyiapkan serangan balasan selanjutnya. Beberapa prajurit diperintahkan mengurusi jenazah mereka yang gugur, termasuk jenazah Letnan Karel Pondaag yang sudah tidak utuh lagi.
Serangan balasan tanggal 31 Desember malam berlangsung singkat namu efektif, dengan titik-titik sasaran yang tegas, serangan dari Sektor Barat ini saya pimpin sendiri. Sejumlah komandan operasi andalan Brigade XVI pun turun lapangan. Diantaranya Kapten Willy Sumanti, Kapten Runtunuwu, Mayor Gustav Kamagie, Letnan Kailola. Begitu juga jagoan-jagoan tempur Tim Khusus Combat Brigade XVI seperti Latnan Kandou, Letnan Woimbon, Letnan Sigar, dan lain-lain.
Kembali dari bertempur, kami langsung ke daerah Jering, karena harus sibuk persiapan menyambut malam perpisahan tahun. Ini memang hari terakhir tahun 1948. Sejal awal masa gerilya 1945, orang-orang asal Minahasa dalam laskar KRIS tidak pernah alpa dengan tradisi perayaan dari kampung halamannya ini. Demikian seterusnya dari tahun ke tahun, sehingga prajurit dari daerah manapun dalam Brigade XVI ini sudah ikut turut mentradisiknnya. Dan sekarang, lebih banyak teman-teman baru yang berasal dari Sulawesi Utara dalam kesatuan gerilya Sektor Barat. Malam tahun baru kami rayakan dengan meriah, walaupun tentu secara sederhana. Rakyat disektor kami turut serta bergabung bersama-sama. Terasa suasana keakraban dan persaudaraan antara TNI, Pejuang dan Rakyat. Inilah nyawa dari peperangan gerilya sebenarnya.
Rapat Kecil di Desa Semaken
Usul Serangan Umum Bergema Internasional
Suatu sore, tanggal 12 Februari, saat itu saya sedang memimpin penyerangan terhadap Pos Besar tentara Belanda di Jembatan Bantar, seorang anak buah datang menghadap menyerahkan sepucuk surat yang dihantar oleh kurir. Ternyata surat dari Letkol Soedarto, Komandan SWK 106. Saya diminta untuk datang ke Kulon Progo, di Desa Semaken, ada pertemuan besoknya dengan Komandan WK-III Letkol Soeharto. Malamnya, komando pertempuran saya percayakan ke Letnan Harjosoedirjo. Besoknya, hari Minggu pagi-pagi sekali saya berangkat ke Kulon Progo ditemani Bob Mandagie. Sengaja saya bawa Mandagie karena memang ia kenal daerah Kulon Progo dan bisa berbahasa Jawa. Ini penting buat perjalanan di wilayah pedalaman. Di Kulon Progo, kami dijemput oleh utusan Soeharto dan mengantar kami ketempat pertemuan. Ternyata yanga akan rapat cuma kami bertiga, Soharto, Soedarto, dan saya.
Tanpa membuang waktu, Soeharto langsung memulai pertemuan dan masuk kepokok rapat. Strategi kedepan, sambil mengevaluasi langkah-langkah yang sudah dan sedang dilaksanakan. Kedepan, sesuai dengan strategi umum perang gerilya, tentu saja juga mengenai serangan umum lagi. Itu memang sudah digariskan, sudah menjadi teori umum dalam konsep perang gerilya. Langsung saja kemudian saya ajukan usul,
“ Pak Harto, kita kan sudah beberapa kali melakukan serangan umum, tapi semuanya dimalam hari. Bagaimana kalau kemudian kita lakukan pada siang hari, supaya mendapat perhatian luas, diberitakan dikoran-koran, sebab berita di Koran selama ini hanya menguntungkan pihak Belanda.”
Soeharto setuju, “ Itu baik. Serang pada waktu siang,” katanya sambil mangut-mangut.
“ Baiklah, nanti dipikirkan cara-caranya. Harinya akan saya tentukan” sambung Pak Harto lagi.
Kami bertiga kemudian masuk ke pembahasan teknis untuk pelaksanaan serangan umum. Masing-masing memberi masukan ini itu. Soeharto mengatakan ke Letkol Soedarto,
“ Nanti waktu serangan ke dalam kota, Pak Darto mengikat Belanda yang di Bantar. Supaya mereka ndak pergi membantu temenya yang kita serang dalam kota”
“ Siap!” kata Soedarto.
Seperti beberapa hal yang disampaikan Soeharto pada kami, bukan lagi sekadar usul tentang strategi, melainkan sudah harus kami terima sebagai perintah. Pos Belanda di Jembatan Bantar itu memang adakalanya dijaga sampai lebih 1 Kompi. Mereka sering kami serang, seperti juga penyerangan yang saya pimpin beberapa hari terakhir ini. Tapi Belanda tidak mau meninggalkan posisi disitu, karena merupakan gerbang penghubung Yogyakarta dengan semua wilayah-wilayah di barat.
1 Maret 1949 Pukul 01.00 - 06.00 - 12.00
Perintah operasi serangan umum kelima yang akan dilakukan pada hari tanggal 1 Maret saya terima tidak melalui surat yang diedaran Markas WK-III melalui kurir, melainkan langsung oleh Komandan WK-III Letkol Soeharto. Ya, Pak Harto memang sering datang ke markas saya di Godean. Mungkin karena dia merasa sreg kalau selalu bisa memastikan langsung pasukan terbesar yang paling dekat saat penyerbuan ke markas utama tentara Belanda dalam kota Jogja. Setiap kami ngobrol, dia pasti menanyakan satu persatu keadaan pasukan-pasukan yang tergabung dalam SWK 103A ini. Tapi mungkin juga sebab sederhana saja, daerah Godean adalah kampung halamannya. Hari-hari menjelang 1 Maret, Pak Harto semakin sering singgah berkunjung ke Markas saya.
Waktu markas kami diserbu oleh pasukan Belanda tanggal 27 Februari pagi, Pak Harto juga ada. Untung dia cepat menyelamatkan diri, padahal serangan Belanda ini terbilang cukup besar. Belanda sudah sangat geram pada kami, karena pasukan-pasukan dari Godean tidak hentinya menyerang kedudukan pos-pos mereka, terutama Jembatan Bantar. Tentara Belanda, walaupun dengan konvoi takut keluar kota, apalagi kewilayah barat, karena pasti akan kami sergap. Penyerbuan ini dapat kami pukul mundur, selanjutnya kami berbalik mengejar mereka secara. Terbirit-birit tentara Belanda melarikan diri dan bertahan dengan kuatnya di Jembatan Bantar. Satu pertanyaan saya, mengapa Belanda bisa mengetahui dengan detail posisi pasukan-pasukan saya? Rupanya mereka sudah lama menyusupkan mata-mata, mempelajari posisi pasukan dan markas komando saya di Godean.
Pagi-pagi Belanda menyerbu dengan kekuatan besar mengepung dari beberapa jurusan, disertai bantuan tembakan dari pesawat udara. Dalam duel sengit jarak dekat di daerah perbukitan Godean, dipihak kami gugur 3 orang. Yaitu Letnan Bos Kandou, Sersan Jack Runtukahu, dan Ipda Toet Harsono. Bos Kandou adalah sorang perwira lapangan jago perang kami, ia pernah mengikuti pendidikan di Akademi Militer. Runtukahu juga seorang jagoan perang pemberani yang sudah bersama dengan kami sejak di KRIS lagi. Ipda Harsono bersama saya saat tertembak. Waktu itu, musuh sudah mengepung kami, tapi saya cepat melompat kebelakang tiarap tepat pada detik terlihat kilasan peluru dari permukaan air. Beberapa angota kami patah kaki lantaran nekad melompat ke dalam jurang menghindari sergapan Belanda.
Mereka yang gugur kemudian dikebumikan mengikut upacara keagamaan masing-masing. Pemakaman Bos Kandou juga dilaksanakan, banyak penduduk yang menghadiri kebaktiannya. Ternyata banyak juga penduduk disekitar Sektor Barat yang beragama Kristen. Mereka ikut menangis, sebab walaupun Kandou dan Jack adalah pendatang, tapi sudah akrab dan sering bantu-bantu pekerjaan warga.
Besoknya sejak pagi, perhatian kami tertuju pada persiapan-persiapan serangan umum. Jam 7 malam saya kumpulkan staf dan semua komandan pasukan, termasuk komandan pasukan yang mengungsi dan berlindung di Sektor Barat. Rapat dilaksanakan di Pasar Jering. Sengaja dibikin malam hari, karena harus menunggu los-los yang sudah kosong, sudah tidak ada yang berjualan. Disini, saya memberikan briefing terakhir untuk pelaksanaan operasi besok pagi. Gerakan pasukan ke dalam kota akan dilepas mulai tengah malam nanti.
Sekitar jam 01.00 pasukan sudah bergerak kearah timur, menuju kota Jogja. Tidak dalam barisan bersaf banyak, melainkan berbanjar satu persatu, ada juga yang berdua. Sengaja saya intruksikan agar tidak bersaf banyak karena akan berisik tentunya. Pasukan berjalan memanjang menembus kegelapan malam. Saya berjalan cepat disamping barisan panjang ini yang langsung dipimpin oleh komandannya masing-masing. Semua kekuatan Brigade XVI, simpatisan pejuang, pasukan –pasukan luar yang berlindung di sektor barat, ALRI, Brigade Mobile Kepolisian, satuan AURI, Resimen Hasanuddin, Resiman Pattimura, Resimen Bali, pasukan Hizbullah, bergabung menjadi satu dalam barisan yang sangat panjang. Inilah kekuatan terbesar dalam serangan umum ini.
Saat melewati sebuah pasar, masih di daerah Godean bagian timur, dari kegelapan terdengar di depan saya seruan-seruan memberi salam, “Merdeka!...Merdeka!...Merdeka! ”. Ternyata anak buah saya didepan melihat Letkol Soeharto sedang berdiri sendirian dipinggir jalan. Anak-anak memang pada umumnya sudah mengenal Komandan WK-III ini karena sering berkunjung kemarkas kami. Saya langsung menghampirinya, dia bertanya,
“ Tje, ini pasukannya? “
“ Ya, ini,” saya menunjuk mereka yang terus berjalan kearah timur.
“ Banyak juga ya,” sambung Pak Harto menyaksikan barisan panjang pasukan saya yang seperti tidak ada putus-putusnya.
“ Ya..masih banyak dibelakang Pak. “ balas saya.
Kami berbincang-bincang sebentar sambil mengamati pasukan yang terus menerus mengalir melewati kami. Hanya sebentar, saya kemudiannya pamit. Saya ingin berada tepat di depan pasukan saat menjelang detik-detik penyerbuan yang sudah ditetapkan. Saya hanya membawa sepucuk pistol yang selalu tergantung dipinggang saya, sesuai tradisi komando saja. Tapi kalau saat mulai pertempuran, saya akan menggunakan senjata laras panjang juga.
Sesuai dengan intruksi Letkol Soeharto, semua pasukan yang akan menyerbu mengenakan sehelai janur-daun kelapa yang masih berwarna kuning muda, diikat dipangkal lengan kiri atau meneggantung dibahu. Dengan sandi ini pasukan gerilya maju mengalir dari seluruh penjuru mengepung kota Jogja dari semua arah.
Belum pukul 05.00 semua pasukan SWK 103A dari Sektor Barat sudah berada ditepian barat kota Jogja. Sesuai dengan rencana saya, mereka lalu memecah dalam dua kelompok besar. Kelompok pasukan yang pertama lebih dulu bergerak cepat kekiri untuk memasuki kota dari arah utara. Sedangkan saya yang memimpin kelompok besar lainnya maju terus perlahan-lahan mulai mengambil posisi didalam kota. Semua pasukan memasuki kota melalaui jalur dan kearah sasaran, dipandu oleh personil dari Sektor 1 dan 2. Pasukan dari dua sektor ini yang dikomandani oleh Kapten Runtunuwu dan Letnan Sigar ini memang yang paling menguasai seluk beluk jalur didalam kota, karena 2 sektor ini semenjak gerilay saya tempatkan menguasai teritori daerah gerilya kami paling timur, dekat kota. Selama bergerilya, anak buah Runtunuwu dan Sigar ini mondar mandir sesukanya kedala kota tanpa takut. Tak selalu tugas untuk mata-mata, sering cuma buat keperluan-keperluan kecil, seperti nonton bioskop, atau membeli makanan yang enak-enak, Mereka memang rata-rata bernyali besar. Banyak dari mereka adalah termasuk Pasukan Khusus Combat Brigade XVI.
Makin mendekati sasaran pasukan mulai mengendap-endap, bahkan lainnya harus tiarap. Semua sudah siap dengan senjata masing-masing dalam jarak tembak yang efektif. Sekitar pukul 05.45 semua pasukan sudah dalam posisi senjata terbidik pada titik sasaran masing-masing. Tinggal menunggu saat yang tepat, yaitu sirene berakhirnya jam malam pukul 06.00 tepat, sirene ini dibunyikan tiap hari oleh pemerintah pendudukan Belanda di Jogja. Jadi tentara Belanda sendiri yang akan memberikan komando bagi semua pasukan kami untuk mulai menembaki mereka.
Pertempuran Pecah
Tepat pukul 06.00 sirene Belanda itu berbunyi meraung-raung, namun langsung tenggelam oleh bunyi letusan ribuan tembakan, ledakan granat, siulan mortir yang serentak dan terus menerus, sehingga tidak ada lagi yang mendengar bunyi sirene kapan berhentinya. Serangan ini luar biasa dahsyatnya, petempuran pecah seantero kota disemua tangsi dan pos dan markas-markas tentara Belanda. Serangan Umum 1 Maret yang kemudian terkenal ini sudah dimulai.
Kami dari SWK-103A diserah kan untuk menghantam Markas Brigade Tjiger, Markas Yon 1-15RI di Benteng Vredeburg, Hotel Merdeka yang menjadi sarang perwira-perwira Belanda. Sebagian pasukan juga menyerbu pos-pos Belanda yang berada disepanjang jalan Malioboro. Bahkan semakin semangatnya, satu pasukan kami dibawah pimpinan Letnan Ajatiman menyerbu jauh, sampai Lempuyangan. Mungkin juga Ajatiman melihat pasukan kmi sudah cukup besar untuk menghantam sasaran-sasaran yang ditargetkan. Begitu juga pasukan kami yang menyerang Benteng Vredeburg, ternyata sangat cepat karena ada juga pasukan dari SWK yang ada disana. Benteng Vredeburg diobrak-abrik sehingga tentara Belanda lari kearah Kotabaru.
Pasukan yang saya pimpin langsung menekan tentara Belanda yang bermarkas di daerah Tugu, sehingga mereka terkepung, hanya bisa bertahan didalam markas masing-masing. Saya lantas membuat Pos Komando di daerah Dagen. Dari sini saya mengendalikan pasukan dengan sejumlah kurir yang berlarian kesana sini, soalnya alat komunikasi sangat tidak memadai. Pasukan kami yang menuju ke arah Malioboro setelah melewati Ngampilan dan Notoyudan, dibelakang pertokoan dikasih makanan enak-enak oleh ibu-ibu Cina. Banyak susu disediakan, padahal pasukan kami sudah lama tidak minum susu. Hasilnya banyak yang mencret-mencret dan sakit perut, namun sambil tetap bertempur.
TNI dan gerilyawan memenuhi hampir kesemua jalan-jalan raya dipusat kota Jogja, terlebih disepanjang jalan Mlaioboro dan daerah Tugu. Pekik “ Merdeka!” terdengar dimana-mana. Kalau Belanda sudah sempat menaikkan bendera bendera dikantor-kantor resminya pasti ada yang menggantinya dengan merah putih atau merobek bagian birunya. Jadi tentara Belanda itu lebih mementingkan nyawanya masing-masing daripada kewajiban menaikan bendera yang merupakan eksitensi kekuasaan negaranya. Sepanjang pagi hingga siang, TNI dan gerilyawan menguasai kota Jogja. Hanya kami memang tidak berencana untuk masuk dan menduduki markas-markas Belanda, kecuali di Benteng Vredeburg, Pabrik Anem, dan beberapa pos yang kami kuasai sepenuhnya. Pasukan Belanda yang berada ditempat-tempat tersebut sudah lebih dulu melarikan diri meninggalkan mayat teman-temannya.
Belanda di Jogja shock!. Tentaranya terdesak dimana-mana, walau sudah mengerahkan seluruh mesin-mesin perangnya di Jogja. Mereka meminta bantuan pasukan dari kota-kota disekitar Jogja, dan ini bisa karena TNI di daerah lain tidak diperintahkan oleh pucuk pimpinan untuk untuk mengikat kedudukan tentara Belanda diwilayahnya masing-masing. Satu kesalahan strategi menurut saya. Barangkali kalau serangan umum ini serentak juga terhadap kota-kota disekitar Yogyakarta, apalagi seluruh Jawa Tengah, mungkin sejarah akan mencatat lain. Tentara Belanda pasti bisa langsung dihabisi dan merebut kota jogja pada waktu itu juga.
Pengunduran dan Masuknya Bantuan Tentara Belanda
Setelah melakukan pengintaian dengan pesawat Auster, Kolonel Van Zanten, Komandan Brigade tentara Belanda di Magelang, mengirimkan 2 batalyon andalannya. Batalyon “Andjing Nica” dan Batalyon “Gadjah Merah”. Sekitar jam 11.00 mereka sudah tiba di Jogja, tapi itupun harus mengalami hambatan dan penghadangan oleh pasukan-pasukan TNI, antaranya Kompi Martono. Sesudah jam 11.00 situasi mulai berubah. Terutama karena pasukan-pasukan kita memang sesuai rencana operasi sudah saatnya mundur ke pangkalan masing-masing. Tembakan-tembakan yang kami lepaskan hanya sebagai penghambatan. Pasukan saya agak terlambat mundur. Bala bantuan tentara Belanda sudah berdatangan dengan tank, panser, bahkan hujan peluru dari pesawat udara. Sejumlah mobil yang dilengkapi dengan senapan mesin mengejar gerilyawan disetiap ruas jalan. Pertempuran dari lorong ke lorong, jalan ke jalan berlanjut.
Kami harus mengundurkan diri ke arah selatan lebih dulu, karena jalan yang ke barat sudah diblokade dan dipenuhi pasukan musuh. Saya perintahkan pasukan saya untuk jangan lagi sibuk menembaki musuh, jangan masih terbawa dengan suasana beberapa jam lalu saat kita masih diatas angin. Berupaya menyelamatkan diri, masuk ke selokan atau gorong-gorong. Mundur dengan teratur dan taktis, perhatikan samping kanan dan kiri, jangan sampai terkepung. Pasukan saya terus sampai ke Winongo, menyeberangi kali sudah lumayan aman, tetapi harus masih tetap berlari cepat dan dalam posisi terlindung menuju Wirobrajan. Ternyata di Wirobrajan kami sudah ditunggui, sudah ada pasukan Belanda disana. Tembak menembak pun pecah lagi. Dalam situasi tembakmenembak dengan musuh, sambil sebagian pasukan tetap melaju kearah barat, seorang dari pasukan saya tertembak dan gugur. Namanya Sunaryo dari Kompi Brigade Mobile pimpinan Ipda Ajatiman.
Jam 14.00 kami sudah berada diwilayah yang diluar jangkauan musuh. Hanya Yon Mattalatta yang tercecer, ketinggalan sehingga harus bermalam dikota. Kenapa Yon Mattalatta tidak segera mengundurkan diri? Apakah perintah saya tidak sampai kepasukannya? Ternyata Batalyon Kapten Andi Mattalatta sebetulnya sudah terlebih dahulu mengundurkan diri bersama SWK-SWK lain begitu balabantuan Belanda tiba. Namun, setelah pisah arah dengan SWK lain, makin ke barat makin terasa mereka hanya sendiri. Mana pasukan lainnya? Mana pasukan-pasukan dari Sektor Barat? Masih dikota kah? Terkepung tentara Belanda? Mungkin mereka tertanya-tanya seperti itu.
Batalyon yang dipimpin oleh Kapten Andi Mattalatta ini, yang didalmnya juga ada Letkol Kahar Muzakkar, jadi merasa tidak enak hati. Mereka mengira sudah meninggalkan teman sendiri. Maka para pemberani ini segera balik kanan, masuk lagi kedalam kota, bertempur dengan tentara Belanda yang sudah menguasai kota. Ternyata pasukan Belanda sudah begitu kuatnya. Bala bantuannya sudah banyak mengalir dari kota-kota tetangga. Yon Matalatta sedapat mungkin berusaha bertahan namun musuh demikian kuat serta berusaha mencari pasukan-pasukan Sektor Barat yang dikira terkepung didalam kota. Ya sudah, mereka kemudian menghindar dari posisi-posisi musuh, sampai lepas tengah malam baru mereka bergerak keluar kota. Begitulah gara-gara tidak adanya alat komunikasi.
Pagi-pagi sekali Mattalatta datang melapor ke Markas saya, sambil semua tertawa-tawa. Lucu bercampur gembira karena sudah selamat, dan terutama gembira karena sudah memenangkan misi pertempuran, berjalan sesuai rencana. Jadi, kalau TNI lainnya Cuma menduduki kota Jogja selama 6 jam, Yon Mattalatta mendudukinya selama 14 jam. Bahkan setelah bala bantuan Belanda datangpun mereka masih bertempur, sebab merasa pasukannya tinggal sendiri. Mengira kami semua sudah dihabisi Belanda didalam kota. Pikirnya mungkin, kalau memang Ventje dan semua pasukan-pasukan yang ada di Sekor Barat gugur, kenapa saya tinggal diam? Mending berjibaku masuk kedalam kota bertempur sampai mati!. Begitulah mungkin pikiran para pemberani jagoan perang ini.
Kontroversi Sejarah Pencetus Ide SU 1 Maret 1949 dan
Salah Siapa Jatuhnya Ibukota RI Yogyakarta
Dikemudian hari terjadi kontoversi berkenaa sejarah perang gerilya periode Desember 1948 – Maret 1949 yang dramatis itu, sampai ada 2 kontoversi. Kontoversi yang satu bersifat saling tuding, sedangkan kontoversi satunya lagi bersifat saling mengaku. Yaitu saling menuding kesalahan berkenaan jatuhnya Ibukota RI pada 19 Desember 1948, dan kemudian saling mengaku sebagai pengasas Serangan Umum 1 Maret 1949 yang terbukti telah membawa Indonesia pada kemerdekaan nasional secara de facto.
Perbedaan lain dari dua kontroversi tersebut ialah waktu pecahnya. Kontoversi mengenai siapa pencetus ide SU 1 Maret 1949 itu, bisa saya pastikan baru akan berkembang lama dikemudian hari, selama cara saya mengisahkan peranan saya dalam sejarah itu biasa-bisa saja tanpa disertai nada meng-claim bahwa yang benar ini dan yang itu salah. Sedangkan slaing tuding suapa yang paling bersalah atas jatuhnya Ibukota RI Yogyakarta hanya dalam tempo beberapa jam pada 19 Desember 1949, kontoversinya langsung pecah pada masa itu juga. Siapa yang paling bertanggungjawab atas fakta begitu mudahnya Ibukota RI jatuh ketangan musuh, langsung ditudingkan pada AH. Nasution.
Mengenai siapa yang paling bertanggungjawab atas fakta begitu mudahnya Ibukota RI jatuh ketangan musuh pada pagi hari 19 Desember 1949, pada hari-hari itu juga langsung ditudingkan kepada Kolonel AH. Nasution sebagai Panglima Komando Djawa. Terlebih, karena pada hari-hari itu Panglima Besar Sudirman baru aktif kembali setelah lama cuti sakit, sementara Nasution yang padahal sudah tahu pasti segera akan terjadinya agresi Belanda itu ternyata masih sempat-sempatnya melakukan perjalanan meninggalkan ibukota sampai beberapa hari tanpa lebih dulu melakukan persiapan-persiapan yang matang dalam menghadapi serangan Belanda, sebagaimana dikatakan perwira intelijen Kolonel Zulkifli Lubis, sudah diketahui jelas akan terjadi! Nasution bersama hampir semua staf Markas Besar Komando Djawa sejak beberapa hari sebelum 19 Desember sedang melakukan perjalanan dinas ke Jawa Timur. Lantaran itulah, maka para perwira dan pemimpin politik yang menyesalkan tindakan Nasution tersebut lantas memunculkan sindiran : “MBKD itu singkatan dari Markas Belanda Keliling Djawa!”
Lapangan terbang Maguwo yang sudah jelas menjadi gerbang utama masuknya tentara Belanda, persiapannya sangat jauh dari memadai. Bom-bom yang sudah dipasang di sisi-sisi landasan belum bisa difungsikan alat pemicu ledaknya, cuma tinggal detonatornya tapi ternyata juga tidak beres. Satuan keamanan lapangan terbang cuma berjumlah seratusan orang dengan persenjatana sangat minim. Tadinya sempat ditambah perkuatan pasukan AD dengan persenjataaan lengkap, tapi hnya 1 Kompi, dan itupun malah ditarik lagi hanya beberapa jam sebelum serangan Belanda tiba. Akibatnya parah. Pesawat-pesawat AURI yang ada di Maguwo dihancurkan semua. Pasukan payung Belanda diterjunkan dengan aman, pesawat-pesawat Dakota pengangkutnya bolak balik lenggang kangkung dengan amannya mendrop pasukan dan perlengkapan. Di Jogja, TNI kocar kacir tanpa adanya kordinasi yang memadai. Baik kordinasi untuk melakukan perlawanan seperlunya, maupun pengungsian kedaerah gerilya. Meski sudah ada Perintah Siasat Panglima Besar sejak bulan Juni 1948 untuk bergerilya, tapi pada 19 Desember itu ternyata tetap saja banyak pasukan yang bingung mau melakukan apa dan bagaimana. Hasilnya ya seperti saya lihat sendiri pada jam-jam serangan Belanda tiba. Eksodeus dan pengungsian pasukan-pasukan TNI beserta keluarganya mengalir dengan banyaknya kearah barat. Cuma sedikit satuan yang berinisiatif melakukan penghambatan. Diantaranya Brigade X Letkol Soeharto yang tetap bertempur menghambat kemajuan musuh dari Maguwo, juga Brigade XVI pasukan saya yang berinisiatif sendiri melakukan penghambatan dan memberi perlindungan dibelakang pasukan-pasukan Siliwang yang ribuan jumlahnya ber long march untuk kembali ke Jawa Barat.
Dikemudian hari, antara lain oleh Jenderal AH. Nasution, kontoversi peristiwa 19 Desember itu dialihkan topiknya. Bukan lagi soal siapa yang paling bertanggungjawab atas kenyataan begitu gampangnya ibukota jatuh ketangan musuh, tapi ke soal Soekarno-Hatta yang tidak mau bergerilya. Topik ini dikembangkan sampai menuju perdebatan mengenai peranan pihak mana yang lebih penting, militer atau politisi sipil? Perang gerilya atau diplomasi internasional?. Terjadi polarisasi bersifat hitam putih, terbentuk dikotomi opini. Perdebatan membesar hingga sedemikian rupa, sehingga pada sepanjang puluhan tahun pemerintahan Jenderal Soeharto, dimana banyak sejarahwan berusaha menyenangkan hati pihak militer, sampai terbentuk opini yang serba memuja pihak militer, semua sejarah peran militer jadi serba mulia tanpa cacat. Apa yang sebelumnya dikritik para pengamat sebagai kelalaian besar Nasution, jadi terlupakan. Meski peran diplomasi pun tidak sampai dinihilkan sama sekali.
Langkah Soekarno-Hatta tidak turut bergerilya sebenarnya memang sudah menjadi keputusan Sidang Pemerintah RI dan dalam sidang kabinet 19 Desember pagi itu pun terlibat para pimpinan APRI, kecuali Nasution tentunya yang sedang tour keluar kota. Pertemuan dan hasil sidang ini sudah disepakati bersama Panglima Besar Sudirman. Ternyata kemudian langkah politik Soekarno-Hatta ini sangat tepat. Jenderal Spoor, pucuk pimpinan tentara Belanda, kecewa luar biasa mendengar laporan bahwa tidak terjadi pertempuran dikediama Presiden dan Wakil Presiden RI. Karena itu berarti tidak bisa menembak pucuk pimpinan RI itu. Tatakrama politik internasional hanya bisa memaklumi kalau tewas pada saat pertempuran, killed during action.
Jenderal Spoor lebih marah besar lagi mendengar Soekarno-Hatta ditawan karena menyerah, tidak melakukan perlawanan. Padahal dalam rencana operasi militer Belanda ini, bilamana pucuk pimpinan RI turut bergerilya maka pasukan elit Belanda yang sudah dipersiapkan dan dilengkapai perlengkapan tempur dalam jumlah besar akan langsung menyerbu kemanapun Soekarno-Hatta berada. Belanda berpikir, dengan begitu maka sempurnalah operasi pemusnahan RI, Agresi Militer ke II Ibukota RI diduduki, dan pucuk pemerintahan RI tewas terbunuh dalam pertempuran. Nmaun karena hanya menyerah maka hanya bisa ditawan, tidak bisa dieksekusi pada saat itu.
Setelah dicoba untuk memaksa pemerintahan Soekarno-Hatta untuk menyerahkan kekuasaan, seperti ketika pucuk pemerintaha Belanda menyerahkan kekuasaan kepada tentara Jepang tahun 1942 , maka diperintahkan agar diusahakan agar Bung Karno-Hatta terdorong untuk melarikan diri, supaya ada alasan untuk ditembak ditempat. Namun semua muslihat Belanda gagal. Dengan langkah serta sikap Bung Karno-Hatta yang berani dan konsisten itu maka perjuangan diplomasi diarena politik internasional pun mancapai hasil yang terbaik.
Beda dengan kontroversi sejarah peristiwa 19 Desember 1948 yang sudah cukup ramai semenjak masa di Jogja dulu, mengenai sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 baru terjadi kontroversi lama kemudiannya. Baru setelah kepemimpinan Jenderal Soeharto sebagai Kepala Negara mulai banyak dikritik. Sebelumnya, SU 1 Maret 1949 itu tidak dibahas, dan umunya orang Cuma tahu pemimpin perangnya adalah Soharto. Dimasa Orede Baru, saat peran militer pada umumnya dan peran Soeharto pada khususnya sedang diagung-agungkan, juga dalam rangka legitimasi historis doktrin politik Dwi-Fungsi ABRI, maka sejarah 1 Maret 1949 diangkat sampai mendetail. Kemudian sampai muncul bahasan untuk membedakan antara pemimpin pelaksana operasi perang dan pencetus ide. Sebanya ada beberapa, yaitu :
Satu, karena banyak pelaku sejarah yang ingat bahwa sebelum Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letkol Soeharto Komandan Brigade X, memang sudah ada perintah untuk serangan umum, bahkan sudah menjadi teori yang seharusnya dalam perang gerilya. Maka mulai ada keraguan pada peran Soeharto dalam hal asalnya ide atau keaslian ide. Dua, karena perintah yang ada itu dari pihak yang lebih tinggi dari Soeharto, biasanya perintah pelaksaan, dan simpul mereka Soeharto hanya sebagai pelaksana. Tiga, karena munculnya suara saksi-saksi hidup, seperti Marsoedi yang bersaksi tentang pertemuan rahasia antara Soeharto dan Sultan. Lalu ada lagi kesaksian yang bicara tentang perintah Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng untuk Letkol Soeharto. Dan lain-lain kesaksian berkaitan dengan pemimpin lain diatas Soeharto. Semua sebab tersebut menjadi satu, menjadi sangat kuat menopang pendapat bahwa bukan Soeharto pencetus ide yang sebenarnya, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX atau Kolonel Bambang Sugeng. Sehingga menjadi 3 nama yang paling sering dibicarakan di media massa, sebab Soeharto secara eksplisit menegaskan perananya itu sambil menolak pendapat yang menyebut nama Sultan.
Dalam perkembangan selanjutnya, para peneliti mendapat kejelasan bahwa Bambang Sugeng pasti bukan. Karena Surat Perintahnya sebagai Panglima Divisi III untuk Letkol Soeharto itu itu baru bertanggal 1 Januari 1949 dan entah kapan tiba ditangan Soeharto, sementara Soeharto sendiri sudah melaksanakan serangan umum sejak 29 Desember 1948 dengan surat perintah operasi dari Soeharto sendiri yang diedarkan ke seluruh SKW-SWK sekitar menjelang Natal 1948. Tidak mungkin menghubungkan dalam sebuah garis komando antara SP Bambang Sugeng tanggal 1 Januari itu dengan serangan umum yang dilaksanakan pada 1 Maret 1949. Karena sesudah Januari, ada 3 kali serangan umum sebelum serangan umum 1 Maret. Meskipun ada perintah lain, perintah tersebut tidak membicarakan tentang serang pada siang hari atau menduduki posisi musuh.
Khusus dalam persiapan serangan umum 1 Maret, saya termasuk yang turut dalam dalam pertemuan-pertemuan dengan Soeharto yang terjadi menjadi sangat sangat sering, terutama menjelang hari H nya. Satu orang lainnya Letkol Soedarto. Juga dalam pertemuan-pertemuan itu, saya tidak pernah sama sekali mendengar Soeharto menyebut tentang kordinasi dengan pasukan WK-1 dan WK-II. Hal yang tentunya tidak mungkin kalau kordinasi Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng itu memang ada, karena pasti sangat penting, baik untuk kepentingan teknis operasional maupun moral pasukan kami. Juga kalau memang benar ide SU dari Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng, mengapa pasukan-pasukan yang berada di SWK I dan SWK II yang juga organik dari Divisi III tidak sama-sama melancarkan serangan umum ke Jogja? Atau setidaknya mengikat pasukan Belanda yang berada diwilayah teritori masing-masing, agar tidak membantu temen-teman mereka yang dikepung gerilyawan di dalam kota Jogja. Kenyataannya bala bantuan pasukan Belanda mengalir dari Semarang, Magelang, Solo, dan kota-kota kecil lainnya memasuki kota Jogja. Serangan Umum 1 Maret 1949 murni hanya dilakukan oleh pasukan-pasukan SWK III, terutamanya organik Brigade X dan Brigade XVI, disamping juga tentunya pasukan-pasukan lain yang menyingkir dari pendudukan Belanda, berlindung diwilayah SWK III.
Sekarang tinggal dua, antara Sultan dan Soeharto, belakangan menjadi tiga. Nama saya dimasukkan belakangan. Beda dengan pertentangan antara pendukung pendapat mengenai peran Sultan dan peran Soeharto, yang tidak ada saksi dalam pertemuan mereka kecuali mereka berdua saja, perhadapan antara peran saya sebagai pengusul ide dan pengakuan Soeharto yang yang tidak menyebut peran saya (walau juga tidak pernah membantah, karena mungkin tidak ada yang mengingatkannya) itu ada saksi lain disamping saya dan Soeharto, yaitu Letkol Soedarto. Kelak Letkol Soedarto pensiun dengan pangkat Mayjen TNI jabatan terakhir di militer Kepala Direktoret Zeni TNI-AD dan selaku Pemimpin Proyek Pembnagunan Masjid Istiqlal Jakarta.
Di bab terdahulu sudah saya singung tentang rapat kami bertiga. Dalam rapat kami, Soeharto, Soedarto, dan saya di Semaken Kulon Progo, saya dan Soedarto ingat persis bahwa Soeharto tidak pernah sekalipun menyebut-nyebut tentang usul atau perintah dari siapapun. Tidak sekalipun Soeharto dalam rapat mengucapkan kata-kata bahwa pertemuan ini adalah untuk penjabaran atau untuk menindak lanjuti perintah dari atas, atau seseorang. Juga tidak pernah ada ucapan Soeharto yang mengomentari bahwa usul saya tersebut sama dengan yang diusulkan sebelumnya oleh siapa-siapa. Padahal kalau memang ada, sebagai pemimpin perang, Soeharto tentu akan dengan semangatnya menyampaikan kepada kami bahan penting bagi kebutuhan teknis operasi militer maupun untuk membesarkan moril kami sebagai pelaksana operasi yang akan maju ke fornt terdepan. Lagi pula tidak ada alasan untuk Soeharto menyembunyikan hal itu pada kami berdua. Toh, waktu itu belum ada urusan meng-claim siapa pencetus ide. Malah sebagai pemimpin yang baik tentu Soeharto akan menyebut usul saya itu dengan mengatakan, “Bagus! Usul kamu sama dengan Sri Sultan!” atau paling tidak mengatakan “Bagus, Saya juga berpikir seperti itu” Tapi ternyata tidak satupun komentar seperti itu yang saya dan Soedarto dengan dalam rapat bertiga kami.
Mayjen Ir. H.R. Soedarto selalu, dan dimana-mana, bersaksi bahwa sayalah yang pertama kali mencetuskan ide seranagn umum di siang hari, serangan umum yang akan dimuat di media massa sehingga membawa dampak yang resonasi yang luas. Pak Soedarto bahkan, kalau dia lihat saya yang diam saja pada saat orang-orang merayakan peristiwa bersejarah itu, sering bicara ke saya dengan nada mengingatkan bahwa sayalah pencetus ide aslinya. Di mengira saya lupa karena saya memang lebih suka diam.
Pak Darto menceritakan dimana-mana, dan bukan nanti setelah Soeharto tidak berkuasa lagi sebagai Presiden. Soedarto meninggal sebelum Soeharto turun. Banyak teman-teman kami di Yayasan Serangan Umum 1 Maret maupun PaguyubanWehrkreise III, yang semula tidak tahu, dia cerotakan. Soedarto bahakn sering menceritakan peran saya itu pada orang-orang sejak dulu. Bahkan sebelum Soeharto menjadi Presiden, jauh sebelum Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 mendapat apresiasi oleh masyarakat seperti sekarang. Pada tahun 1950-an hingga 1960-an, kisah perjuangan kami yang dimulai dengan Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 itu memang kurang dirayakan. Mungkin karen apemimpin militer pada saat itu, Nasution tidak terlalu suka kalao cerita itu diungkit-ungkit. Setelah masa orde baru, pada saat peran militer pada umunya, dan lebih khusus lagi peran Jenderal Soeharto diangkat luar biasa, Soedarto beberapa kali mengisahkan cerita yang sebenarnya mengenai usul saya sata kami rapat didaerah sektornya itu kepada para wartawan-wartawan yang mewawancarainya. Tapi katanya, ternyata tidak ditulis oleh wartawan-wartawan tersebut. Mungkin dianggap soal kecil.
Tahun 1996, dalam rangka menyongsong 50 Tahun Perang Gerilya yang akan dirayakan pada tahun 1998, Yayasan 19 Desember 1948 menyiapkan penerbitan buku sejarah dan kesaksian-kesaksian para pelaku sejarah. Judulnya, Perang Gerilya - Perang Rakyat Semesta. Di dalam buku ini, pada kesaksian tertulis Mayjen TNI Purn. Ir. HR. Soedarto menegnai pengalaman perang gerilya, tegas dikatakan peran saya sebagai pencetus ide serangan umum disiang bolong. Saya juga diminta untuk menulis pengalaman perang gerilya dalam buku itu, dan saya pun menceritakan tentang usul saya kepada Soeharto untuk melakuka serangan umum disiang hari, dan kalau bisa menduduki kota Jogja walau cuma beberapa jam saja. Buku ini diterbitkan dimasa puncaknya kekuasaan Jenderal Soeharto, penerbitannya pun menjadi apresiasi luar biasa bagi Soeharto, karena pada tahun 1997 dianugerahkan pangkat Jenderal Besar Bintang Lima. Sama sekali tidak ada bantahan Soeharto mengenai tulisan dibuku tersebut.
Lain dengan orang-orang yang bermacam latar belakang dan motivasi berusaha mengecilkan peran sejarah Soeharto, terlebih setelah Soeharto tidak berkuasa lagi, Pak Soedarto tidak ada alasan untuk mengecilkan peran sejarah Pak Harto. Seperti saya, Soedarto pun sangat sering memuji-muji jasa-jasa dan kelebihan Soeharto yang memang nyata. Memang beda dengan Pak Soedarto yang bersaksi, atau orang lain. Kalau saya, karena masalah ini sudah sedemikian ramai, saya justru jadi sungkan, ndak enak hati. Apalagi kalau langsung membantah peran orang lain, kecuali kalau ditanya, pasti akan saya jelaskan dengan serincinya. Bukan takut, saya hanya tidak mau berbantahkan dengan Pak Harto. Lagipun Soeharto juga tidak pernah mengiyakan maupun membantah kenyataan saya. Pak Harto tidak pernah, langsung maupun tidak langsung mengucapkan kata-kata yang bernada negatif mengenai diri saya maupun peran sejarah saya itu. Tidak pernah sekalipun. Di bab-bab selanjutnya akan dijelaskan mengenai hubungan baik saya dengan Soeharto, semenjak saya ditahan akibat Permesta, maupun setelah kami sama-sama sepuh. Hubungan kami cukup rapat.
MENGAKHIRI SISA-SISA KOLONIALISME DI INDONESIA TIMUR
Keberhasilan dan dampak strategis dari Serangan Umum 1 Maret 1949 segara mengubah situasi Perkembangan dihari-hari berikutnya terus meningkatkan posis RI. Pemimpin tentara Belanda di Indonesia yang mungkin masih menilai peristiwa 1 Maret itu hanya semacam keuntungan sesaat bagi Indonesia, segera melancarkan apa yang mereka sebut pembersihan. Lebih 150.000 tentara lengkap dengan mesin-mesin perangnya yang baru dikerahkan. Tapi dari pasukan gerilya justru disambut dengan perlawanan yang lebih hebat lagi dan meluas. Tidak hanya disekitar Yogyakarta, tapi pula hampir diseluruh Jawa, timur, tengah sampai kebarat, begitu pula di Sumatera. Keberhasilan di Yogyakarta telah menaikan semangat semua pasukan TNI.
RI kemudiannya berhasil mempertahankan eksitensinya sebagai negara merdeka dan berdaulat, dimulai dengan ditandai pengembalian kota Yogyakarta kepada RI. Ini merupakan wujud nyata dari spirit kemerdekaan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Maka, target perjuangan selanjutnya ialah melenyapkan sisa-sisa dan peluang kolonialisme dinegeri ini, antara lain adalah sistem federalisme yang digalang oleh Letnan-Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dr. Van Mook. Sistem federalisme itu sendiri baik, tetapi itu sudah dijadikan sebagai alat muslihat untuk pihak kolonialis mencengkeram lagi bangsa ini. Salah satu masalah penting yang masih terhalang antara lain adalah Irian Barat. Dalam struktur federalisme dalam RI Serikat, dimana Negara Indonesia Timur (NIT) dan sejumlah daerah adalah negara berdaulat yang setara dengan RI, maka konsekuensinya ialah selama NIT tidak mengklaim Irian Barat, maka Irian Barat akan selamanya menjadi milik Belanda. NIT sulit diharapkan untuk mengklaim wilayah Indonesia paling timur itu, karena pengaruh politik kolonialis masih sangat kuat mengendalikan NIT.
Memimpin Bagian Pendidikan Angkatan Perang,
Gugurnya Lembong
Pada hari-hari dimana posisi politik Belanda di Jawa mulai melemah, RI maupun TNI terus melancarkan konsolidasi. Untuk tujuan jangka panjang TNI mulai menyusun sistem pendidikan, yang akan dipusatkan di Yogyakarta dan Bandung. Di Yogyakarta, sebagai kelanjutan Akademi Militer yang sudah ada, muncul usulan akan dipindahkan ke Jakarta. Tapi ada pula rencana agar dipusatkan di suatu tempat di Jawa Tengah. Sedang yang di Bandung untuk memanfaatkan sarana peninggalan lembaga-lembaga pemdidikan militer Hindia Belanda, dan kemudian BFO yang sudah tersedia memadai.
Saya teringat waktu Adolf Lembong datang bergabung dengan apsukan KRIS. Dia, sebagai militer profesional langsung kami minta untuk melatih pasukan. Saya lihat dia hebat sekali, langsung saja saya berfikir jauh kemudian hari dia bisa melatih perwira-perwira muda TNI. Lembong adalah mantan KNIL dengan pangkat Letnan, bahkan kemudian dalam pasukan Sekutu dia naik menjadi Kapten. Bandingkan dengan Nasution cs. Yang sekarang menjadi penentu garis kebijakan TNI, termasuk mengarahkan Panglima Besar Sudirman. Waktu Lembong berpangkat Letnan KNIL, Nasution masih Sersan Taruna. Belum selesai pendidikan, hanya dipercepat karena perang Pasifik keburu berkobar. Dalam pasukan Sekutu, Kapten Lembong bahu membahu dengan serdadu Inggris, Australia, New Zealand, India, dan Malaya mempertahankan benteng terakhir Inggris di Asia, pulau Singapura menghadapi serbuan bala tentara Jepang. Setelah Singapura jatuh, dia menyusup keluar hingga berhasil mencapai Sumatera.
Saya kembali mempromosikan Letkol Adolf Lembong buat memimpin Bagian Pendidikan TNI. Semula ada hambatan, tetapi kemudian lancar saja. Habatannya bukan saja banyaknya saingan, yaitu perwira tamatan sekolah tinggi militer Belanda dan sudah membuktikan kerjanya yang bagus di Akademi Militer Yogyakarta, tapi juga masalah sekitar pribadi Lembong sendiri. Letkol Lembong dulu sempat di isukan sebagai mata-mata Belanda, sekarang isu itu ditiupkan kembali. Tidak ikutnya Lembong dalam perang gerilya seolah menjadi pembuktian tuduhan itu. Maka saya harus makin berjuang keras. Boleh dibilang, sayalah yang menjadi ‘penyebab’ tertangkapnya lembong oleh tentara Belanda pada saat Agresi 19 Desember 1948 itu.
Waktu itu, Lembong memang sudah bukan Komandan Brigade XVI lagi, ia disiapkan untuk menjadi Atase Pertahanan RI di Filipina. Ketika Komandan Brigade XVI Letkol Joop F. Worouw menyertai rombongan MBKD ke Jawa Timur, kepemimpinan Brigade banyak dipercayakan kepada saya. Begitu Agresi Belanda tiba, suasana agak kacau. Banyak yang tak jelas arah karena kurangnya informasi dan kordinasi dari pucuk pimpinan. Keadaan pasukan-pasukan kacau balau, banyak diantara kami yang melaksanakan rencana yang tidak tepat dan tidak jelas arahnya. Pada waktu itu saya bilang ke Lembong,
“ Ngana disini jo, nyanda usah iko pa torang barundur maso kampung!”
“ Kiapa dang kita nyanda iko?” tanya Lembong.
“ Kita tentara kwa!” balasnya lagi.
“ Sudah jo, ngana iko torang pe nasehat” balas saya memutuskan pembicaraan.
Sebenarnya saya khawatir, dalam situasi serba kacau seperti ini mungkin akan lantas dimanfaatkan oleh orang-orang yang memang berniat membunuhnya, akibat tuduhan mata-mata tadi. Jadi saya sarankan sembunyi saja dulu dalam kota, nanti setelah selesai konsolidasi dan satuan-satuan gerilya sudah tersusun dikantong-kantong perlawanan, baru dia akan saya jemput. Tak disangka kalau pendudukan Belanda atas Ibukota RI itu betul-betul luar biasa, betul-betul hendak memusnahkan RI. Sejak 19 Desember 1948, mereka tiap hari melakukan razia-razia siang dan malam. Yang dicurigai langsung ditangkap. Lembong tertangkap oleh razia Belanda dan dipenjarakan di Ambarawa.
Setelah TNI Kembali ke Jogja, saya berusaha mempercepat pembebasan Lembong di Ambarawa. Setelah bebas, sesuai prosedur, Lembong tetap harus menjalani pemeriksaan oleh CPM di Jogja. Sebelumnya saya sudah jelaskan ke Nasution tentang soal tidak ikutnya Lembong bergerilya. Jadi pemeriksaan ini hanya sekedar formalitas saja sesuai tata cara tentara
Didalam struktur terbaru pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), Kolonel AH. Nasution menjadi KSAD, Pangsar Sudirman menjadi KSAP dengan pangkat Letnan Jenderal. Wakil KSAP Kolonel TB. Simatupang. Mendampingi Nasution di MBAD, Kolonel Bambang Sugeng menjadi Kepala Staf G atau Umum. Kolonel Hidayat menjadi Kepala Staf Q, Letkol Soehoed menjadi Kepala Staf A (Ajudan Jenderal). Para pimpinan AD yang bermarkas di Jl. Merdeka Barat Jakarta itu langsung menerima usul saya agar mengangkat Letkol A.G. Lembong jadi Kepala Pendidikan AD dan akan dikembangkan menjadi Pendidikan Angkatan Perang RIS. Saya tidak tahu apakah ada pengaruh keberhasilan kami dalam perang gerilaya yang berpuncak dengan Serangan Umum 1 Maret itu sehingga mereka sangat terbuka menerima usul saya. Kemudian saya bahkan langsung diminta menjadi Wakil Kepala Bagian Pendidikan, mendampingi Lembong.
Saya dan Lembong naik bus dari Jogja ke Semarang. Di Semarang harus urus Surat Jalan darinTentara Belanda untuk ke Jakarta. Kami naik kereta api ke Jakarta, setiba disana langsung menghadap Nasution dan Bambang Sugeng di MBAD. Kemudiannya, Letkol Lembong harus berkantor di Bandung, saya kembali ke Jogja. Kami berdua di instruksikan untuk mempersiapkan seluruh sistem pendidikan APRIS, untuk semua angkatan. Di Jogja diadakan serah terima pimpinan Pendidikan Militer AD RI dari Letkol Sitompul kepada saya. Saya sekarang membawahi Akademi Militer yang ada di Yogyakarta. Pusat Pendidikan APRIS di Bandung dipimpin Lembong, dimulai dengan jabatan Kepala Bagian Pendidikan TNI-AD, saya Wakil Kepala tetap berkantor di Jogja.
Karena saya smaa sekali baru dalam pendidikan tinggi militer formal, saya angkat Lettu Leo Kailola menjadi asisten saya. Leo adalah tamatan Akademi Militer Yogyakarta Angkatan I. Sesudah cukup mengerti, dan saya nilai Leo ini hebat dalam soal pendidikan militer, dia saya suruh ke Bandung menjadi ajudan Lembong, sekaligus berfungsi menjadi pembantu/asisten. Say tidak apa-apa, toh di Jogja rencananya hanya sementara, yang penting adalah pengembangan kedepannya buat TNI secara menyeluruh. Ternyata betul, Lembong kemudian cerita kepada saya tentang kerja Leo yang bagus dan sangat membantu semua rencana kami kedepannya.
Semua berjalan bagus sesuai rencana, tapi tiba-tiba berubah......! Malam itu di Jogja, saya mendengar berita radio : DI BANDUNG TERJADI PEMBERONTAKAN TENTARA KNIL YANG MENAMAKAN DIRINYA ANGKATAN PERANG RATU ADIL. SEJUMLAH PERWIRA TNI TERBUNUH, DIANTARANYA....LETKOL A.G. LEMBONG!
Sejumlah politisi Belanda pro-kolonialisme rupanya telah menghasut KNIL, para pendukun Negara Pasundan, dan bahkan pasukan DI/TII di Jawa Barat. Mereka menamakan dirinya dengan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Mereka berencana untuk mengkudeta pemerintahan RIS di Jakarta, untuk itu mereka harus melumpuhkan Divisi Siliwangi dulu di Bandung. Sejak tanggal 22 Januari 1950 mereka mulai bergerak.
Pagi-pagi menjelnag subuh tanggal 23 Jnauari di Bandung, sepasukan besar bersenjata lengkap terdiri dari sekitar seribuan personil bergerak dari Batujajar, dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling. Dengan beringasnya, mereka menyerbu Markas Divisi Siliwangi dan sarana-sarana APRIS lainnya. Mereka menembak siapa saja anggota TNI yang ditemui. Pagi itu, Lembong datang ke kantornya seperti biasa didampingi ajudan Lettu Leo Kailola, mereka tidak tahu kalau markasnya sudah dikuasai oleh APRA. Begitu masuk ke halaman kantornya, Lembong dan Leo langsung diberondong tembakan dari berbagai arah. Mereka gugur seketika. Staf Lembong lainnya yang juga tidak mengetahui apa sebenarnya yang terjadi, turut bernasib sama. Jenazah mereka bergelimpangan dipintu masuk Markas Komando Pendidikan APRIS di Bandung.
Besok paginya saya langsung ke Jakarta menumpang pesawat terbang AURI, dan langsung melapor ke MBAD. Nasution sedang tidak berada di Jakarta. Saya menghadap wakilnya Kolonel Bambang Sugeng. Saya bicara sebagai Wakil Kepala Pendidikan AD, mengenai gugurnya Lembong yang menjadi Kepala saya. Kolonel Bambang Sugeng langsung bilang,
“ Tje, langsung oper...ambil alih!”
“ Siappp..!”
Padahal sejak semalam, dan sepanjang perjalanan dari Jogja tadi, saya sudah berpikiran lain. Peristiwa APRA itu telah mendorong saya untuk harus segera ke Indonesia Timur. Disana kekuatan pro-kolonialisme maupun kekuatan militer yang bisa mereka manfaatkan masih sangat besar, terutama pasukan KNIL. Lagi pula, pengambilan kekuasaan militer untuk kepentingan RI di Indonesia Timur memang merupakan misi kami, Brigade XVI/Brigade Seberang. Apa yang telah APRA lakukan di Bandung dan Jakarta, bisa jauh lebih besar di Indonesia Timur, berupa bom waktu bagi RI. Saya harus segera ke Makassar. Saya pun sudah bicara dengan Kolonel Bambang Supeno yang meminta saya untuk memimpin Komisi Militer RIS yang khusus di Sulawesi Utara.
Tapi tentunya tanggungjawab Bagian Pendidikan AD tidak bisa saya tinggalkan begitu saja. Saya berangkat ke Bandung, melanjutkan tugas yang ditinggalkan mendiang Lembong.
Saya sedih mengenang kematiannya yang tragis. Apalagi 2 hari setelah gugurnya Lembong, Jan Rapar ditembak mati di Jakarta. Ini ironi sejarah daripada dua komandan kami di pasukan KRIS. Letkol Jan Rapar, komandan kami, yang sejak awal dikenal penuh semangat patriotisme Indonesia, justru terbunuh oleh tentara Indonesia lantaran dituduh terlibat gerakan pro-Belanda. Sebaliknya, Letkol Adolf Lembong, juga komandan kami, tapi yang berawal dari tentara Belanda dan masih sering dituduh sebagai mata-mata Belanda, terbunuh oleh tentara pro-Belanda karena menjadi pemimpin pendidikan militer Inonesia. Sungguh ironis sekali.!
Peristiwa Andi Aziz di Makassar dan Pendaratan Batalyon Worang
Beda dengan di Sulawesi Utara dimana kami dapat membereskan masalah-masalah pengalihan kekuasaan militer secara lancar, tanpa pertumpahan darah, dan membawa kebaikan bagi semua pihak, di Sulawesi Selatan ternyata harus terjadi pertumpahan darah dan banyak memakan korban. Juga di Maluku Selatan, dan berlangsung berlarut-larut, sangat lama.
Akhir Maret 1950, 300 serdadu KNIL dengan komandannya Kapten Andi Azis diresmikan menjadi APRIS. Andi Azis adalah mantan ajudan Perdana Menteri NIT, dan segera akan disusul oleh pasukan-pasukan KNIL lainnya.
3 April 1950, ketika sudah dipastikan akan datangnya 1 Batalyon APRIS ke Makassar, yaitu Batalyon Worang, Mr. Soumokil memimpin rapat para politisi yang sehaluan dengannya, berupa sejumlah oknum pemerintahan NIT bersama para pemimpin pauskan KNIL. Hasil rapat mereka : APRIS harus dilawan, NIT akan keluar dari RIS. Akan mereka proklamirkan bersama Republik Indonesia Timur. Begitulah, tepat pada hari yang sudah dijadwalkan tibanya dua kapal pengangkut pauskan yang membawa Batalyon Worang di Makassar.
5 April 1950, pasukan KNIL bergerak dipimpin Kapten Andi Azis menyerbu Markas APRIS dan Kantor Komisi Militer RIS. Letkol AJ. Mokoginta beserta para stafnya ditawan, begitu juga Markas CPM di Makassar, semua dikuasai oleh pasukan Andi Azis. Semua senjata APRIS dirampas, pembunuhan terjadi dimana-mana.
Bertepatan hari itu saya tiba dari Manado, mau melaporkan pada Ir.Putuhena dan Letkol Mokoginta tentang tahap-tahap keberhasilan yang sudah kami capai di Silawesi Utara.
Sejak turun dari tangga pesawat saya telah menangkap suasana yang tidak beres. Ada suasana tegang. Ini terlihat pada gerak-gerik dan mata para polisi yang ada di lapangan terbang Mandai, lebih-lebih ketika memasuki ruang tunggu. Pemandangannya aneh sekali. Ada seorang pemuda, tegap, kelihatannya seperti seorang perwira militer atau polisi, tapi.....kok hanya pakai kain sarung? Didalam ruangan kantor Polisi Airport, pada jam kerja seperti ini memakai..kain sarung? Aneh..!
Karena perhatian mata saya sempat tertuju pada pemuda berkain sarung itu, ia lalu mendekati saya. Memberi hormat secara tentara, menyapa saya. Katanya dia tamatan Akademi Militer Yogyakarta, dia mengenali saya. Namanya Gatot Suherman. Dengan setengah berbisik dia bercerita tentang apa yang terjadi. KNIL mengadakan kudeta, merebut kekuasaan dari APRIS dan RIS. Dia dan sejumlah orang lainnya sudah menjadi tawanan, dan ditahan ditempat ini. Diserahkan ke Polisi, sambil pasukan pemberontak KNIL bergerak terus ke sasaran-sasaran lainnya.
Berdasar keterangan tersebut, saya langsung bergerak cepat menyusun strategi. Pertama-tama saya menemui Komandan Polisi di mandai, namanya Van Visjen. Saya tahu sekali kondisi psikologi para perwira warisan Belanda. Dalam masa sekarang ini, mereka yang justru takut dan bimbang terhadap kami tentara RI. Jadi ketika saya datangain, hanya sedetik saja dia dan stafnya memasang tampang galak, karena saya lebih galak lagi. Saya langsung seret dia menjauh dari teman-temannya, namun saya bicara dengan ramah. Dalam bahasa Belanda. Dan tepat perkiraan saya, ia langsung menyatakan siap untuk membantu saya, sambil minta tolong untuk nasibnya kemudian. Saya berjanji pasti akan menolong kalau semua ini sudah beres. Saya coba mengajak polisi lainnya yang justru bukan orang Belanda, yaitu Tatang Surya dan Sahelangi. Tapi mereka takut.
Sesuai taktik yang saya susun, saya akan berpura-pura ikut menjadi tahanan pasukan Van Visjen, tapi justru untuk bisa menggunakan semua fasilitas yang ada pada mereka. Telepon, mobil dinas mereka, dan bebas kemana saja karena ada pengawalan dari anak buahnya. Pengawal saya itu akan terlihat seperti penjaga saya yang menjadi ‘tawanan’. Untuk penginapan, saya menyuruh Visjen atur memindahkan ‘tempat tahanan’ dari Airport Mandai kesebuah Hotel ditengah kota Makasar. Semua dengan cepat langsung diaturnya.
Saya harus bergerak cepat dengan cermat. Saya sudah mendapat info, Letkol AJ.Mokoginta, Mayor Hartasning dan lain-lain sudah dalam tahanan Andi Azis. Jadi sekarang tinggal saya satu-satunya pemimpim APRIS di Makassar yang masih bebas. Saat itu juga saya minta diantar ke tiga tempat. Pertama, menemui Kapten Guus Supit Kepala PHB. Saya tahu orang teknis seperti dia tidak mungkin ditahan. Saya minta Guus Supit selidiki via telepon siapa saja teman-teman dari TNI yang bisa lolos dan tidak tertangkap, dan kalau bisa dihubungi dimana dan bagaimana. Dapat, antara lain Kapten Harry Pangemanan, juga dari Brigade Seberang. Guus Supit lantas mengajak saya makan di restoran di kampung Cina, katanya enak. Ternyata disini memang aman untuk perundingan. Tidak lama, Harry Pangemanan muncul setelah dihubungi Guus Supit via jaringannya.
Sambil makan, tanpa buang waktu langsung saya suruh Harry cari tahu siapa saja orang Minahasa yang ada dalam pasukan inti Andi Azis, yang punya kedudukan berpengaruh. Kemudian dapat,
“ Namanya Ronny Pinaria. Tapi pangkatnya cuma Peltu.......” kata Harry.
“ Ndak apa-apa. Saya jamin dia mampu,” kata saya.
“ Usahakan cepat ketemu. Kita kasih jaminan bahwa APRIS akan tetap pakai dia nanti. Dia tidak akan dihukum nanti sebagai anak buah Andi Azis. Tugasnya, pengaruhi pimpinan pasukan gara ketika menyerbu Markas Pasukan Gagak Hitam di Sungguminasa jangan dengan kekuatan besar. Diatur agar dipecah kesasaran lain juga, supaya cukup seimbang. Pasukan kita di Sungguminasa adalah andala kita satu-satunya, jadi kalau mereka bisa melakukan perlawanan yang berarti maka akan mempengaruhi semangat laskar-laskar rakyat di kampung-kampung untuk bangkit. Suruh juga itu Pinaria mengaturr pengambilan senjata serta amunisi di gudang KNIL, langsung kasih ke laskar-laskar rakyat yang membutuhkannya.” Jelas saya panjang lebar memaparkan rencana saya.
Setelah itu saya langsung meluncur ketempat Letkol Mokoginta ditahan, tahanan rumah. Saya minta Van Visjen sendiri mengawal saya, supaya lebih dipercaya oleh pasukan KNIL yang jaga disana. Ketika masuk kedalam ruangan, saya sendiri langsung bersikap seperti bukan tawanan. Maksud saya adalah untuk bisa segera memulihkan semangat Mokoginta, karena saya tahu persis bagaimana kondisi kejiwaan seorang tentara jika berada dalam tawanan musuh. Tapi justru melihat saya muncul dalam situasi bukan tawanan seperti itu, Mokoginta jadi marah-marah. Dia takut akan memperparah hukuman yang ditimpakan oleh pasukan Andi Azis terhadap dirinya. Saya kaget juga dimarahi seperti itu. Mokoginta sepertinya sudah takut sekali dengan Andi Azis.
Disana juga saya ketemu Letkol Herman Pieters, saya cerita maksud saya, mungkin Pieters tahu ada hal-hal lain yang telah dialami oleh Mokoginta. Tapi Pieters Cuma kasi komentar yang berupa penilaiannya terhadap pribadi Mokoginta yang dilihatnya buruk sebagai serdadu. Bukan itu yang saya perlu.
Peltu Pinaria berhasil menjalankan misi dari kami. Pertempuran di Tangsi Gagak Hitam di Sungguminasa berjalan seimbang, malah kemudian pasukan KNIL dipukul mundur. Apalagi kemudian laskar rakyat dari berbagai penjuru datang membantu. Kemudian, pasukan yang dipimpin Brandes Angkow, Sam Mnagindaan, Willem Maleke, Jan Rombot dan Goan Sangkaeng itu bahkan maju ke front tengah kota, mengejar pasukan KNIL yang berundur. Pertempuran besar pecah di Verlengde Klapperlaan. Dalam pertempuran ini gugur beberapa personil Gagak Hitam. Diantaranya, Letnan Joost Karaouwan, Letnan Yo Rei, Letnan Tangkudung, Sersan Palengkahu dan Sersan Pantouw. Tapi justru dampak dari penampilan mereka laskar rakyat bangkit dimana-mana. Masyrakat pun berpikir, pasukan APRIS yang di Sungguminasa saja tidak dapat ditaklukkan oleh KNIL Rakyat dimana-mana bangkit melawan, bahu membahu dengan sisa-sisa pasukan APRIS. Malam tanggal 5 April itu juga situasi mulai berubah, Mokoginta dibebaskan dari tahanan rumah.
Melihat situasi makin lemah bagi pihak mereka di Makassar, Mr. Ch. R.S. Soumokil bersama Overste Gisjberts, Kepala Staf Teritorial Tentara Belanda di Indonesia Timur, tanggal 15 April berangkat dengan pesawat ke Manado. Rencananya, mereka akan menggerakkan KNIL di Minahasa dan mendirikan Republik Timur Besar, karena mereka tahu orang-orang Minahasa lebih pro-Belanda.
Tapi mereka tidak tahu kalau justru di Sulawesi Utara sudah lebih dulu kami konsolidasikan. Terbayang juga bagaimana sekiranya Sulut belum sempat dikonsolidasikan, pasti peristiwa APRA di Bandung dan Andi Azis di Makassar akan terulang di Manado. Bahkan mungkin lebih hebat lagi.
Di Markas KNIL ia bertemu dengan Mangundap. Ajakan Soumokil ditolak mentah-mentah. Begitu juga ketika Soumokil bertemu pemuka-pemuka masyarakat, dia ditolak dimana-mana. Biak warga kota Manado dan pedalaman, Amurang, pedalaman Minahasa sama ditolak keras. “ Kami pilih Indonesia Merdeka, bukan Timur Besar!” kata para pemimpin pemuda.
Di Amurang malah Soumokil hampir saja dihabisi oleh para pemuda, dia sampai harus meloloskan diri tengah malam dengan perahu nelayan dari pantai Tanawangko, takut kembali ke Manado. Juga dia berpikir, tidak mungkin lagi juga kembali ke Makassar. Maka ia lari ke Pulau Seram, Maluku Selatan. Disini ia mendirikan Republik Maluku Selatan. Satu lagi bom waktu “dipasang” oleh sang petualang ini.
Para Polisi keturunan Belanda yang menolong pada hari terjadinya peristiwa Andi Azis kemudian saya tolong salurkan kedalam TNI. Puluhan tahun kemudian, sekitar tahun 1970-an saya sudah aktif berbisnis, sata sedang mengantar seorang relasi bisnis dari Jepang ke Lanud Halim Perdanakusumah yang akan pulang, tiba-tiba sepasukan Polisi Militer TNI-AU mendapat aba-aba memberi hormat kepada kami secara militer. Saya kaget, karena saya tahu tidak ada prosedur militer untuk memberi penghormatan kepada rombingan kami, apalagi kami sipil. Teman-teman yang pengusaha Jepang tidak mengerti, mereka senang-senang saja, dia mengira sudah aturan disini. Ternyata Komandan Paukan POMAU itu Van Visjen. Rupanya ia terus menjadi polisi dilapangan terbang. Ia datang menyalami saya, ia masih kenal wajah saya walau sudah lama dan sudah banyak berubah. Mungkin saja karena wajah saya sering diliput media massa saat Peristiwa PRRI/Permesta. Berkali kali dia mengucapkan terima kasih kepada saya, padahal dulu sudah.
Gatot Suherman, pemuda berkain sarung dilapangan terbang, tawanan Van Visjen kelak menjadi Pangdam Udayana. Saya sempat bertemu dengannya saat acara GABSI di Lombok. Gatot sangat berterima kasih kepada saya karena perubahan statusnya dari tahanan beneran menjadi tahanan pura-pura yang bahkan mendapat fasilitas hotel dan pengamanan di Makassar saat peristiwa Andi Azis.
Andi Azis lain lagi. Saya bertemu dengannya tahun 1953, waktu saya sudah di Pusat Infanteri di Bandung. Joop Worouw, Panglima di Makassar minta tolong saya besuk dan bantu-bantu Yo Wenas di Penjara Cimahi. Letnan Yo Wenas bekas anak buah saya, dan juga menjadi sopir merangkap ajudan Joop. Dia buat kesalahan, ndak bisa menahan diri, berangasan, nembak-nembak ban mobil orang. Akhirnya kena disiplin Militer. Yo Wenas sebenarnya seorang perwira yang cerdas. Alumni Akmil Yogya yang sangat pintar, encer otaknya. Nah, waktu menjenguknya di Cimahi, Yo bilang dikamar atas ada Andi Azis. Saya kemudian naik melihatnya.
Dua minggu lebih saya di Makassar. Kelompok KNIL Andi Azis sudah tidak mengganggu lagi. Batalyon Worang pun sudah mendarat. Rombongan pasukan APRIS yang lebih besar, dipimpin Kolonel Alex Kawilarang akan segera tiba. Sesudah bantu-bantu Mokoginta buat laporan ke Jakarta, saya pulang ke Manado. Tapi sebelum pulang, masih sempat datang makan bersama dengan apsukan Brandes Angkow di Pandang-pandang, Sungguminasa.
Kepada semua anggota AU Belanda maupun KNIL yang saya temui sepanjang perjalanan, saya dorong untuk bergerak. “Ambil alih secara baik-baik. Yang penting pengaruhi lebih dulu sebanyak-banyaknya teman lain dalam kesatuan.”
“Cepat-cepatlah melapor ke APRIS. Tetapkan saja hati, jangan bimbang untuk berkarir dalam TNI. Kalau ada kesulitan, hubungi saya di Tomohon,” pesan saya setelah memberi petunjuk buat proses masuk APRIS.
Begitulah proses pengalihan kekuasaan militer di Indonesia Timur. Berhasil dengan lancar di Sulawesi Utara, tapi berdarah-darah di Sulawesi Selatan dan Maluku. Sesudah peristiwa Andi Azis awal April 1950 itu, masih terjadi lagi pertempuran di Makassar pada pertengahan Mei, dan terjadi lagi di bulan Agustus 1950. Belum lagi yang di Maluku, pemberontakan KNIL dengan bendera RMS ini sempat berlangsung lama. Ini lah “bom-bom waktu” yang ditanam oleh penjajah Belanda.
Tragis..Kasihan serdadu-serdadu KNIL di Makassar itu, banyak yang fisiknya sudah tidak kuat lagi. Mayoritasnya orang Ambon, lainnya Minahasa, Makassar, Jawa dan Sunda. Semakin mereka dalam keadaan diombang-ambingkan, makin gampang pula dihasut provokasi, lalu dengan nekat memberontak. Padahal, sebagaimana fakta yang sudah terjadi pada pemberontakan awal April itu, dengan pasukan kami-APRIS, yang masih sangat sedikit itu saja mereka tidak bisa berbuat banyak. Apalagi sekarang, setelah pendaratan Worang dan pasukan Kawilarang tiba di Makassar.
Di lain pihak, orang-orang KNIL dan politisi federalis itupun semestinya ada empati. Mereka harus tahu apa yang merupakan garis politik dan tekad juang setiap personil TNI, naik yang sudah menjadi TNI semasa di Jawa maupun teman-teman kami para gerilyawan pro-RI di wilayah Indonesia Timur. Begitu juga dengan faktor emosional disetiap anggota TNI dan gerilyawan pro-RI itu, termasuk perasaan dendam yang baru tumbuh dengan terjadinya Peristiwa APRA di Bandung dan Jakarta. Dan pasti langsung ditambahkan pada dendam yang sudah tumbuh akibat pembunuhan massal di Sulawesi Selatan yang juga dilakukan oleh oknum yang sama, Kapten Raymond Westerling.
Begitulah dalam kesimpang siuran situasi revolusi fisik. Meski diantaranya terdapat beberapa pihak yang memegang garis politik yang maisng-masing sebetulnya benar, namun tetap ada yang harus dikorbankan. Ini hukum sejarah, dan sudah menjadi sejarah perjalanan bangsa ini.
KOMPAS SUMU dan SSKD
Struktur Komando diseluruh wilayah Indonesi Timur telah tersusun. Panglima Tentara & Teritorium Indonesia Timur dijabat Kolonel A.E. Kawilarang, Kepala Staf Letkol Sentot Iskandardinata, Staf I Mayor Dolf Runturambi, Staf II Mayor Leo Lopulisa, Staf III Mayor Sanyoto, Staf IV Mayor Suprayogi, dan Staf V Mayor M. Saleh Lahade. Mereka adalah perpaduan dari staf dan pimpinan pasukan Brigade Seberang. Sedang Letkol Soeharto tetap memimpin Brigadenya, Brigade Garuda Mataram yang berkedudukan di Makassar dan sekitarnya. Beberapa bulan kemudian struktur Staf terjadi perubahan. Kepala Staf dipegang Letkol Kosasih, Staf II Mayor Lendy Tumbelaka, dan Staf IV Mayor Pattimana. Yang lainnya tetap.
Setelah Slamet Riyadi gugur dalam penumpasan RMS, Kawilarang mengangkat Warouw untuk menggantikannya sebagai Komandan Operasi Penumpasan RMS. Saya menggantikan Warouw sebagai Komandan Kompas-B. Nah, pada saat saya menjabat ini datang Edi Gagola menemui saya. Dia dulu staf Brigade XVI SWK 103A yang saya pimpin. Sebetulnya Edi sudah desersi dari TNI, ketika menghadapi Agresi II Belanda, waktu ada konvoi pasukan Belanda lewat dekat sektor kami, Edi malah menyerah kepada tentara Belanda untuk ditawan, saya sampai marah waktu itu. Walau sering ragu akan kesetiaannya kepada RI, sebagai staf ia amat pintar. Makanya dia saya pakai lagi.
Belum lama menduduki jabatannya di Makassar, Panglima Kawilarang berkunjung ke Sulawesi Utara. Disamping kunjungan dinas sebagai Panglima, dia menyempatkan untuk bertemu sanak keluarganya di Tondano dan Remboken. Saya, sebagai pimpinan APRIS di daerah ini mengawalnya kemana-mana. Walau Alex orang Minahasa, dia tidak banyak tahu tentang daerah ini. Kawilarang lahir dan tumbuh besar di Pulau Jawa.
Pertama bertemu, Panglima Kawilarang bilang,
“ Tje, ada salam dari Overste Soeharto”.
Rupanya Soeharto sudah menceritakan kepada Panglima tentang kerjasama erat kami dalam perang gerilya di Yogyakarta. Mungkin Soeharto ingin menyatakan bahwa dirinya sudah tidak asing lagi bekerjasama dengan para perwira dan pasukan Brigade Seberang yang sekarang berperan besar di Indonesia Timur. Sekarang, Letkol Soeharto memimpin Brigade Garuda Mataram yang menjadi bagian dari ekspedisi APRIS untuk Indonesia Timur yang dipimpin Kawilarang. Brigade ini memang sangat diandalkan oleh Kawilarang. Mereka ditempatkan disektor kota Makassar dan ditebar hingga ke Sungguminasa dan Maros.
Panglima Kawilarang sering memuji-muji Soeharto. Katanya,
“ Tje,.. Soeharto itu kerjanya bagus, tenang, selalu memperhitungkan segala situasi dengan matang.”
“ Ya, dia memang begitu orangnya. Selalu sangat tenang dalam menghadapi masalah besar.” balas saya.
“ Tapi Tje, kamu tau nda? Ada persamaan antara kamu dengan Soeharto.”
“ Apa dia Panglima?” tanya saya heran.
“ Sama-sama suka diam, nda banyak omong! susah bercandanya.." Jelas Panglima Kawilarang
Kawilarang lantas bercerita bagaimana Soeharto mengatasi pemberontakan KNIL pada pertengahan Mei 1950 di Makassar. Itu pertempuran yang lebih besar dibanding peristiwa Andi Azis sebulan sebelumnya.
“ Overste Soeharto itu disiplinnya luar biasa, terhadap dirinya, juga terhadap anak buahnya,” puji Kawilarang berulang-ulang.
Peranan Batalyon 3 Mei
Republik Maluku Selatan (RMS) diumumkan berdiri pada tanggal 24 dan 25 April 1950. Proklamasinya dibacakan oleh Manuhutu, Kepala Daerah Maluku Selatan. Disponsori oleh Dr. Soumokil dan Mayor Nanlohy, Nanlohy adalah komandan pasukan KNIL di Ambon. Presiden RMS Manuhutu, Perdana Menteri Dr. Soumokil merangkap Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan A. Nanlohy. Setelah proklamasi, pasukan KNIL di Ambon langsung bergerak, menolak kedatangan APRIS diwilayahnya.
Pemerintah Jakarta bertindak tegas. Gerakan pemecah belahan wilayah negara Indonesia tersebut dipadamkan secara militer. Panglima Wilayah Indonesia Timur, Kolonel AE. Kawilarang ditunjuk memimpin operasi. Meski Kawilarang mengangkat Letkol Slamet Riyadi sebagai Komandan Operasi Penumpasan RMS, namun Kawilarang pun terjun langsung ke front. Sehingga pasukan APRIS lebih bersemangat.
Segera saja Kawilarang menghitung bahwa tidak cukup pasukan yang sudah dikirim pertama di Sulawesi Selatan, dan sudah tidak bisa ditambah lagi dari sana, karena harus juga tetap berjaga-jaga di sana, karena pasukan KNIL di Sulawesi Selatan masih besar, dan dengan perlengkapan kuat. Jadi, hampir seluruh pasukan kami yang ada di Sulawesi Utara dikerahkan, termasuk Batalyon Worang dan Batalyon 3 Mei. Letkol Joop F. Warouw dan saya mengatur pasukan-pasukan yang akan menyerbu dari utara.
Peranan Batalyon 3 Mei amat besar. Karena ke-3 Kompi besar mereka adalah bekas KNIL, sedangkan lawan yang kami hadapi juga sesama KNIL. Jadi mereka kenal betul taktik-taktik maupun sifat-sifat dari gerakan, dan juga senjata yang digunakan lawan.
Ada cerita lucu. Suatu hari, kebetulan saya sedang berada di dekat alat Telegraf di Markas saya, masuk kawat dari Makassar, ternyata dari Panglima Kawilarang. Saya langsung ambil dan baca sendiri. Saya memang sedikit mengerti pekerjaan telekomunikasi ini karena pernah sekolah pelayaran di Makassar. Isinya : SEGERA DISIAPKAN PASUKAN ‘BARET HIJAU’ UNTUK SEGERA DIKIRIM KE FRONT MALUKU!
Pasukan KNIL yang dalam RMS itu memang banyak personilnya yang berasal dari Baret Hijau dan Baret Merah. Mereka sangat kuat dan taktis. Pasukan-pasukan APRIS sering kelabakan dibuatnya, dan menderita banyak korban. Mereka juga penembak yang jitu dan jempolan. Salah satu korbannya adalah Slamet Riyadi yang menjadi Komandan Operasi Penumpasan RMS. Untuk menghadapi mereka, Panglima Kawilarang minta dikirimi “Pasukan Baret Hijau” dari Manado. Nah, justru disini masalahnya.
Bung Lex tidak tahu kalau jumlah personil “Baret Hijau” mantan KNIL di Manado sudah sangat sedikit sekali. Cuma sekitar 20 orang yang masih aktif, banyak yang sudah pensiun dan keluar. Lainnya sudah masuk kedalam Yon 3 Mei yang sudah dikirim lebih dulu.
Tapi saya lantas punya pikiran lain, saya panggil Empie Kanter, saya ungkapkan rencana saya. Bikin saja Depo Batalyon yang dipimpin Mamengko menjadi pasukan “Baret Hijau”! Ini pasti akan memperlancar diterimanya mereka semua secara resmi sebagai APRIS. Mereka sebenarnya sedang terancam tidak diterima dalam APRIS, soalnya MBAD, Kolonel Nasution menerapkan syarat-syarat teknis kemiliteran yang terlalu ketat, dan Kawilarang pun menjalankan intruksi MBAD itu. Padahal, pasukan Mamengko ini hanya terdiri dari umumnya laskar pemuda yang pemberani, masalah ini sudah cukup memusingkan saya. Saya mengkonsolidasi pasukan-pasukan di Sulawesi Utara ini untuk masuk APRIS, tapi sekarang, setelah misi politis strategis RI berhasil, ternyata tidak semua dari mereka akan dipakai terus.
Sebagai kesatuan, Batalyon 3 Mei ex KNIL Alex Mengko dan Lexy Anes, Depo Batalyon Frans Mamengko, dan 3 Kompi lainnya sudah diresmikan sebagai APRIS. Tapi lantas ada program APRIS yang disebut Restrukturisasi, yang antara lain berwujud penyaringan kembali semua pasukan secara individu. Individu yang dinilai tidak memenuhi syarat, tidak boleh terus sebagai TNI, mereka akan disalurkan keberbagai bidang-bidang pekerjaan lain melalui Badan Restrukturisasi Nasional (BRN). Sekarang proses penyaringan itu masih berjalan, dan pasukan anak-anak dibawah Mamengko ini banyak yang kena. Sering kali saya merasa tidak enak pada mereka, namun alasan-alasan pemerintah pun memang logis. Kebijakan sama juga diterapkan kepada bekas laskar-laskar di Sulawesi Selatan.
Nah, kali ini saya mendapat kesempatan untuk menolong para bekas laskar yang tidak jelas nasibnya itu. Saya menyuruh Empie Kanter ke tukang jahit, pesan topi Baret Hijau 800 buah. Padahal, Panglima Alex hanya minta, “biar beberapa peleton saja”. Latihan secara intensif pun langsung saya mulai untuk mereka, siang malam, tidak perlu sampai mendekati kualitas pasukan komando atau Raiders, yang penting sudah ditingkatkan jauh lebih baik daripada biasanya.
Dan ternyata, fakta dilapangan membuktikan. Para pemuda “Baret Hijau” gadungan ini, yang bahkan tidak masuk Yon 3 Mei luar biasa beraninya di medan front menghadapi pasukan KNIL Baret Hijau dan Merah asli. Bahkan, teman-teman mereka di Batalyon 3 Mei sampai terkagum-kagum. Sedemikian hebatnya Green Barret gadungan ini, sehingga tidak ada yang mempertanyakan kesahihan “ Baret Hijau” mereka. Pasukan KNIL Baret Hijau dan Merah kocar kacir dibuatnya, banyak yang tewas oleh mereka, sisanya menjadi tawanan. Mungkin KNIL Green Barret asli yang tertawan terheran-heran, karena merasa tidak mengenal mereka, merasa tidak pernah bertemu dalam latihan komando.
Selesai operasi di Maluku Selatan, pasukan yang kemudian dikenal dengan nama Deetasemen Mamengko ini tidak langsung kembali ke Minahasa. Mereka selanjutnya ditugaskan di wilayah Kendari Sulawesi Tenggara. Komandannya, Frans Mamengko hanya murni laskar pemuda, tapi luar biasa beraninya dan sangat cerdas. Baru berumur 20 tahun sudah dipercayakan menjadi Komandan Depo Batalyon. Tidak sedikit yang lebih senior dan berpengalaman diantara pasukan yang dipimpinnya. Frans Mamengko pernah bertugas sebagai Komandan Kodim di Minahasa dan terakhir bertugas sebagai Direktur Penelitian dan Pengembangan Intelijen TNI-AD dengan pangkat terakhir Kolonel Inf.
Saya dengar MBAD akan menyelenggarakan pendidikan latihan khusus untuk perwira di Jakarta. Semacam pendidikan dan latihan insentif peningkatan profesionalisme para komandan tentara. Saya sangat tertarik, apalagi saya dengar para pelatih teknis kemiliterannya didatangkan dari luar negeri. Merka yang memang sudah berpengalaman sebagain instruktur, saya sangat antusias sekali, ini yang saya butuhkan dari dulu!. Lembaga Pendidikan Tinggi TNI-AD itu kemudian dinamakan SSKD, Sekolah Staf & Komando Angkatan Darat.
Ketika Panglima TT-VII Kolonel Gatot Subroto berkunjung ke Manado, langsung saya sampaikan niat saya untuk masuk SSKAD itu. Saking inginnya, saya sampai “setengah minta tolong”, bukan sekadar usul. Tapi Pak Gatot malah balik minta tolong,
“ Ventje tolonglah saya, jangan kemana-mana dulu. Saya masih baru disini, dampingi saya dulu, saya perlu banyak belajar. Nanti kalau sudah beres, saya pasti atur!..pasti!”
Niat saya tertunda, tapi saya tidak berhenti melangkah, saya tetap bertugas dan bekerja sebaik-baiknya, sehingga Pak Gatot sebagai Panglima menjadi sangat senang. Banyak yang kami kerjakan, merintis ini itu, disamping menjaga dan mengembangkan apa yang sudah ada.
Ketika kemudian sampai waktunya, Panglima, Pak Gatot sendiri yang langsung bertanya,
“ Siapa ya kira-kira yang pantas memegang komando menggantikan Ventje disini?”
Dia tanya begitu saya sempat bingung. Soalnya, saya dengar-dengar Pak Gatot menghendaki Subroto Kusmardjo yang akan naik menggantikan saya, sedang saya sendiri sudah pernah bicara dengan Hario Kechik, dan saya menilainya sebgaai seorang komandan yang pintar dan profesional. Sementara, kalau ikut “kewajaran hirarki” dari Brigade Seberang untuk perwira asal Sulawesi Utara yang ada di Manado, setelah Joop Worouw dan kemudian saya, maka yang seharusnya adalah Kembi Worang. Belum lagi bicara tentang prestasi Worang akhir-akhir ini, sejak mendarat di Makassar dan kemudian Operasi Penumpasan RMS. Pada PAK Gatot saya menjawab,
“ Siap.! Mayor Worang Pak!”
Pak Gatot diam, lantas mengangguk-ngangguk perlahan. SK Panglima TT VII kemudian terbit, Mayor HV. Worang diangkat sebagai pengganti saya di Manado, bukan Broto maupun Hario.
Saya sudah di Jakarta ketika mendengar munculnya gerilya Pasukan Pembela Keadilan (PPK) di Minahasa. Pemimpinnya tak lain adalah Sam Mangindaan dan No Korompis, pemimpin-pemimpin dalam pasukan Gagak Hitam di Makassar. Sam Mangindaan maupun No Korompis merasa sakit hati, karena merasa sudah berjasa secara militer maupun politik bagi kepentingan RI tapi diturunkan pangkatnya oleh Panglima Kawilarang. Kapten No Korompis diturunkan menjadi Sersan, begitu juga teman-teman mereka yang lainnya. Termasuk Goan Sangkaeng yang lantas desersi. Gerilya PPK ini menjadi pasukan liar bersenjata, pengganggu keamanan masyarakat. Setelah Sam Mangindaan meninggal, tempatnya digantikan oleh No Korompis, wakilnya Jan Timbuleng yang kemudian terkenal dengan petualangannya di Sulawesi Utara.
Kelompok ini boleh dibilang sama dengan Kahar Muzakkar, korban dari proses transisi. Ketika pucuk pimpinan TNI berupaya membangun organisasi militer negara, proses restrukturisasi, reorganisasi, rasionalisasi, penegakan disiplin, selalu akan ada individu-individu ataaupun kelompok tertentu yang merasa dirugikan, merasa sangat berjasa dan di tidak adili. Penanganan masalah seperti ini memang harus benar-benar bijaksana.
KONFLIK POLITIK TNI-AD
AWAL YANG NYARIS TIADA AKHIR
Saya sedang mengikuti pendidikan SSKAD di Cililitan Jakarta ketika terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Pimpinan MBAD mengerahkan demonstrasi massa rakyat mengobrak-abrik ruang Parlemen. Sederet meriam dihadapkan ke istana Presiden dan Gedung Parlemen. KSAD dan semuan Panglima menuntut Presiden untuk membubarkan Parlemen. Berikut saya kutip sedikit kesaksian Mangil, mantan Komandan DKP Tjakrabirawa, tentang situasi di Istana Negara pada hari itu.
“ Pagi itu saya berangkat dari rumah pukul 06.30. Saya kaget, melihat didepan Istana, sejumlah meriam dengan moncong mengarah tepat ke Istana,” kenang AKBP Purn. Mangil Martowidjojo, Komandan Polisi Pengawal Pribadi Presiden, dalam pernyataan tertulis tahun 1999, terbit dalam buku bertajuk Kesaksian Tentang Bung Karno. “...sewaktu lewat belakang Istana, saya semakin kaget melihat beberapa Panser berjajar ditepi sungai, meriamnya tepat diarahkan ke Istana Negara juga.”
Meski sudah menyatakan dirinya Polisi Pengawal Presiden, Mangil tetap dilarang masuk oleh pasukan yang sedang melakukan pengepungan. Mangil tidak boleh masuk ke Istana karena, “ Saudara tidak meakai tanda kain putih dileher......” Perwira Mobile Brigade tersebut tidak kehabisan akal.
“ Saya segera mengambil sapu tangan, kebetulan warnanya putih. Saya robek dan ikatkan dipundak. Saya dekati lagi pasukan yang mengepung itu. Kapten Kavaleri itupun segera mengizinkan saya masuk. Saya melenggang bebas masuk halaman Istana dan berpikir, Kapten model opo iki, gampang banget diapusi karo bocah Wonogiri...”
Menurut Mangil, “ Saya lihat Bapak sedang olahraga pagi, jalan kaki keliling halaman Istana bersama Kombes Ating, Kepala Kepolisian Jakarta, dikawal oleh anak buah saya AKP Sardi. Setelah melihat Bapak dalam keadaan aman, saya perintahkan Peltu CPM Mimbar, Komandan Peleton Pasukan Pengawal Istana, mengecek meriam yang ada didepan Istana, diisi peluru atau tidak?”
Beberapa saat kemudian Mimbar melapor, semua meriam dipastikan sudah di isi peluru tajam dan siap ditembakkan! Mangil berpikir, “......walah, bocah gendeng!, kalau meriamnya sampai meledak, seluruh Istana pasti akan hancur, dan kita akan diterbangkan jadi bubur sampai ke Pasar Ikan!.”
“ Seingat saya, mereka yang pagi itu datang menghadap Bapak ialah Kolonel Simatupang, Kolonel Nasution, Letkol S.Parman, dan beberapa perwira AD lainnya. Di dekat pos jaga depan Istana, saya lihat seorang perwira mondar mandir dengan gelisah sambil matanya sesekali melirik ke Istana, seakan-akan menunggu isyarat atau menanti rekan-rekannya yang sedang menghadap Bapak. Saya perintahkan anggota saya mengusirnya. Setelah perintah dilaksanakan, Agen Polisi Pardi melaporkan. Tugas sudah saya laksanakan, namanya Kemal Idris, Mayor Angkatan Darat.”....demikian kesaksian Mangil.
Malamnya saya bertemu Joop Warouw, Kepala Staf TT Indonesia Timur yang sedang berada di Jakarta. Kami mengobrol lama dipinggir jalan Gunung Sahari. Dengan kami ada juga Mayor Muhammad, dulu perwira Mabes TKR yang ditempatkan di Laskar KRIS, jadi dia sudah biasa dan akrab bergaul dengan kami orang-orang Kawanua. Kami mendiskusikan kejadian tadi pagi.
Bung Joop mengecam langkah KSAD Nasution dan para Panglima daerah yang melampaui garis politik prajurit itu. Ia marah Presiden ditekan-tekan seperti itu. Muhammad juga begitu, membela Bung Karno. Sekembalinya ke Makassar, Warouw menegur keras Panglimanya, Kolonel Gatot Subroto, yang ikut gerakan 17 Oktober itu. Warouw bahkan kemudiannya bertindak terlalu jauh, mendepak Pak Gatot dari kedudukannya sebagai Panglima TT VII, dan mengenakan tahanan rumah.
Saya sendiri tidak berpihak kepada kubu manapun berkenaan peristiwa 17 Oktober itu. Latar belakang konflik ini adalah perhadapan antara, disatu pihak Kolonel AH. Nasution beserta sejumlah perwira ex-KNIL yang dibilang mengutamakan ”profesionalisme tentara/pengembangan teknis militer” dan dipihak lainnya, yaitu Kolonel Bambang Supeno beserta ex-PETA dan ex-Laskar yang dibilang “mengutamakan semangat juang/politik nasionalisme”. Nah, dalam perhadapan kubu-kubu pemikiran seperti itu, saya berada didalam kedua-duanya. Walaupun saya dari latar belakang laskar, tapi saya juga sangat menilai pentingnya pengembangan kemampuan teknis serta profesionalisme tentara. Dalam SSKAD sekarang pun saya sedang menikmati mendapat banyak ilmu baru, sesuai program pengembangan teknis militer yang dikembangkan KSAD Nasution.
Peristiwa 17 Oktober itu adalah suatu masalah besar, masalah kenegaraan, menimbulkan pro dan kontra yang meluas. Akibatnya banyak, dan parah sekali. Inilah yang menjadi awal konflik besar yang simpang siur dari politik praktis kaum militer di Indonesia. Bahkan pribadi-pribadi dan pihak-pihak yang semula menilai tepat untuk tidak terlibat, kenyataannya harus tergulung dalam konflik yang kelak berkembang multi-polar.
Pergolakan Sekitar Peristiwa 17 Oktober 1952
Peristiwa 17 Oktober sangat berbuntut panjang, konflik demi konflik yang berentetan. Tidak hanya selesai dengan diberhentikannya para perwira yang terang-terangan berkonflik itu, Kolonel AH. Nasution dan Mayjen TB. Simatupang diberhentikan., Kolonel Bambang Supeno sudah terlebih dahulu diberhentikan dari Inspektur Infanteri AD oleh Nasution sebelum peristiwa 17 Oktober. Peristiwa demi peristiwa berikutnya terus saling berangkai.
Pemerintah mengganti Nasution dengan Kolonel Bambang Sugeng, mantan Panglima Brawijaya. Ia dari kelompok Bambang Supeno, yang lainnya termasuk Kolonel Lubis, Kolonel Suhud dan sejumlah Letkol dan Mayor. Warouw tidak dari awal dalam kelompok yang kemudian disebut “Anti 17 Oktober” ini. Mungkin hanya karena memiliki pandangan politik yang sama, yang pula oleh sejumlah perwira dalam kelompok ini dihayati sebagai politik Sapta marga karena sejalan dengan Presiden.
Ketika KSAD Bambang Sugeng hendak mengukuhkan Letkol Joop F. Warouw sebagai Panglima TT-VII, Pemerintah setuju. Tapi Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX protes keras dengan meletakkan jabatan. Pada hari Warouw akan dilantik, Pemerintah mengubah keputusan, hendak membatalkan pelantikan Warouw dan mengangkat Kolonel Sadikin. Sebaliknya, KSAD Bambang Sugeng yang menjadi keberatan dan mengajukan untuk berhenti, dan itu memang terlalu beresiko bagi Sadikin, Panglima TT-VII yang pro 17 Oktober itu. Sadikin menolak, maka, Warouw tetap Panglima Indonesia Timur. Ketika KSAD Bambang Sugeng hendak memindahkan Kolonel Sudirman dari Brawijaya, Sudirman juga membangkang, dna baik MBAD maupun Pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Kondisi seperti inilah yang membuat KSAD Mayjen Bambang Sugeng kewalahan, sehingga berkali-kali menyatakan pengunduran diri dari KSAD, tapi tak dikabulkan oleh Pemerintah. Mayjen TB. Simatupang diberhentikan dengan cara meniadakan jabatan KSAP, tapi menarik fungsi KSAP ke tangan Menteri Pertahanan itu, masalah-masalah barupun segera bermunculan.
Sebab Pemerintah, disamping kurang memiliki wawasan mengenai profesinalisme militer serta seluk beluk teknis militer, juga kenyataannya Pemerintah selalu dengan gampang berubah arah, berubah keputusan. Pemerintah hanya menjadi permainan para politikus partai-partai yang berkuasa, sehingga tentara bakal diombang ambingkan oleh segala kepentingan. Misalnya, ketika Menteri Pertahanan yang menggantikan Sri Sultan, Mr. Iwa Kusumasumantri berencana mempersenjatai pasukan-pasukan laskar baru. Umumnya para perwira TNI menolaknya dengan keras, baik yang pro maupun kontra 17 Oktober. Mereka melihat ini gejala yang sangat berbahaya, mereka menantang dengan keras.
Dibawah pemerintahan PM Ali Sastromidjojo yang menggantikan PM Wilopo pada Juli 1953, Menhan Iwa Kusumasumantri mengangkat Kolonel Zulkifli Lubis sebagai Wakil KSAD dan Letkol Abimanyu serta Letkol Sapari sebagai Asisten di SUAD. Ketiga-tiganya dari kelompok anti 17 Oktober. Tentangan dari sejumlah pihak pun muncul, terutama dari kelompok pro 17 Oktober.
Pertengahan 1954 Kolonel Zulkifli Lubis mengambil inisiatif untuk mengajak Letkol Sutoko, Letkol S.Parman, dan Letkol Suprapto, 3 perwira pro 17 Oktober untuk duduk bersama merumuskan jalan rekonsiliasi total AD. KSAD Bambang Sugeng memfasilitasi, puncaknya diadakan Konfrensi di Jogja pada Februari 1955 yang dihadiri hampir 300 orang perwira, menghasilkan Piagam Keutuhan Angkatan Darat atau yang lebih dikenal dengan nama Piagam Yogya.
Tapi ternyata suasana tenang dalam kekompakan ini tidak berlangsung lama, lantaran digoncang lagi oleh Pemerintah. Dimulai dengan Pemerintah yang tidak menggubris tuntutan KSAD Bambang Sugeng untuk segera merealisasikan hasil-hasil Piagam Yogya. Pemerintah hanya sibuk dengan macam-macam urusan, memang waktu itu sedang menghadapai Konfrensi Asia Afrika di Bandung. Juga Pemerintah hanya fokus kepada menghadapi Pemilu 1955. Akibatnya Bambang Sugeng lagi-lagi minta berhenti. Kali ini pemerintah mengabulkannya.
Diangkat dalam Team Asistensi Pimpinan AD
Untuk Penyelesaian Masalah
Wakasad Kolonel Zulkifli Lubis, dalam kapasitasnya sebagai caretaker KSAD, menyiapkan rencana pemilihan KSAD baru oleh Pemerintah. Ia menyusun kriterianya sebagai pokok-pokok pikiran yang diputuskan Konfrensi Yogya. Antara lain adalah senioritas. Maka masuklah nama-nama calon KSAD dengan urutan senioritas, Kolonel Simbolon, Kolonel Gatot Subroto, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Adapun Kolonel Djatikusumo menolak untuk dicalonkan.
Namun yang diangkat oleh Pemerintah adalah Kolonel Bambang Utoyo yang sama sekali tidak masuk nominasi., dan langsung dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal. Zulkifli Lubis pun langsung melancarkan boikot, Pemerintah membalasnya dengan men-skors Lubis. Kolonel Mursito yang diangkat Pemerintah untuk menggantikan Lubis menolak, sementara Lubis menggalang para panglima daerah, situasi semakin meruncing.
Puncaknya, akan digelar perundingan penyelesaian antara perwira-perwira AD kelompik Lubis dan Pemerintah. Rencana perundingan untuk menuntaskan masalah ini adalah hasil keputusan pertemuan antara KSAD pilihan Pemerintah Mayjen Bambang Utoyo, dan tiga perwira senior AD, Kolonel Sungkono, Kolonel Gatot Subroto, dan Kolonel Dr. Azis Saleh.
Angkatan Darat, yang dalam perundingan dengan Pemerintah nanti akan dipimpin oleh WKSAD Kolonel Zulkifli Lubis, segera mengadakan persiapan matang. Untuk itu, dibentuklah Team Asistensi Pimpinan AD. Di samping untuk mendampingi Lubis dalam perundingan itu, tim ini juga segera merumuskan garis-garis pokok yang akan diperjuangkan dalam perundingan dengan Pemerintah. Tim ini terdiri dari 6 orang perwira : Kolonel Dr. Azis Saleh, Letkol Sapari, Letkol Abimanyu, Letkol AJ. Mokoginta, Letkol Herman Pieters, dan saya sendiri Letkol Ventje HN. Samuel.
Saya dan Pieters adalah yang paling muda. Herman Pieters ini adalah orang yang terpelajar. 10 tahun lampau saja, 1945 ia sudah menjadi Asisten Gubernur Militer. Waktu itu juga, umur 20 tahun ia menjadi Perwira Penghubung PM Sutan Sjahrir. Anggota tim lainnya adalah senior kami. Pak Azis Saleh sudah lama di SUAD, Abimanyu Panglima Siliwangi, Sapari Deputi KSAD, sedangkan Mokoginta Komandan SSKAD.
Banyak analisa dan penjelasan yang disusun oleh tim kami. Namun garis besarnya adalah harus mengangkat KSAD yang baru, serta harus sesuai dengan kriteria yang telah diajukan oleh AD. Mayjen Bambang Utoyo kami minta mengundurkan diri dengan sukarela, dan Pemerintah menerima pemberhentian dengan hormat Bmabang Utoyo. Pemerintah juga harus segera mencabut skors yang dikenakan terhadap WKSAD Zulkifli Lubis.
Dalam perundingan dengan Pemerintah pada pertengahan Juli 1955, Pemerintah tetap bertahan mengenai KSAD. Pihak kami juga sama kerasnya, masing-masing ngotot. Cuma 1 poin yang tercapai, skorsing WKSAD dicabut.
Angkatan Darat tetap mendesak masalah KSAD. Ditambah bermacam masalah politik, pertengahan Juli 1955 Menhan Iwa Kusumasumantri meletakkan jabatan. PM Ali Sastromidjojo mengajak WKSAD Zulkifli Lubis berunding lagi. Pemerintah mengajak kompromi, yaitu akui saja dulu formalitas status Bambang Utoyo sebagai KSAD, nanti kemudian akan diberhentikan. Tapi AD tetap menolak kompromi. Pertengahan Agustus 1955, Kabinet Ali bubar. Wapres Hatta, karena Presiden sedang berangkat Haji menunjuk Burhanuddin Harahap menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan.
Pak Burhanuddin dulu pernah memimpin Pasukan Hizbullah dibawah komando sektor saya di Jogja. Burhanuddin dari Partai Masyumi yang menguasai kabinet. Keputusan Pemerintahan yang baru adalah, masalah 17 Oktober dinyatakan selesai. Para perwira seperti Gatot Subroto, Nasution, Suwondo, dan sebagainya harus dibukakan pintu untuk masuk berdinas kembali. Sedangkan, perjuangan Zulkifli Lubis cs. Dikabulkan. Pemerintah mempensiunkan KSAD Mayjen Bambang Utoyo, selanjutnya Pemerintah mengangkat KSAD baru, berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan AD, termasuk kriteria senioritas. Calon-calonnya adalah: Maulidin Simbolon, Nasution, Gatot Subroto, Alex Kawilarang, dan Zulkifli Lubis
Skenario Soekarno Mengangkat Kembali Nasution sebagai KSAD
Presiden Soekarno pada akhir 1955 sudah lain sama sekali dengan Soekarno pada sekitar Peristiwa 17 Oktober 1952. Sangat lain, bahkan untuk beberapa hal sudah sangat bertolak belakang dan berputar 180 derajat dalam rentang waktu 3 tahun yang penuh dengan gejolak politik ini. Kalau pada 1952 Soekarno membela kelompok politisi yang mneguasai Parlemen dan menentang para pimpinan AD, sekarang ia berbalik mengutuk para politisi parpol itu, baik secara emosional politis maupun segala konsepsi politik. Dulu Soekarno dengan tegas memecat Nasution yang dikatakannya mempunyai pemikiran akan mendirikan negara dalam negara, sekarang Nasution akan diangkat kembali menjadi KSAD, tidak mematuhi Piagam Jogja.
Langkah Bung Karno merangkul Nasution segera dipadukan dengan sekaligus usahanya mengambil hati para politisi Muslim. Caranya, bukan saja menolak Kolonel Simbolon yang menjadi pilihan utama KSAD dan didukung oleh semua kalangan, tapi penolakannya itu sengaja diungkap secara eksplisit – bahwa presiden tidak mau karena Simbolon beragama Kristen!. Dan ini disebar secara bisik-bisik sehingga menumbuhkan kesan konfidens pada Soekarno oleh para politisi Islam yang jadi targetnya itu.
Joop Warouw mengeluh kepada saya. Ia sangat kaget dan kecewa luar biasa, ketika mengetahui sikap dan tindakan Soekarno seperti itu. Ceritanya, Presiden bicara dengan Komandan CPM Letkol Prajogo, Soekarno mengatakan bahwa ia tidak suka Simbolon jadi KSAD karena Simbolon seorang Kristen. Dia tidak tahu kalau Prajogo itu juga Kristen-Katholik. Waktu bertemu Bung Joop, dia lantas cerita pertemuannya dengan Soekarno.
Bung Joop merasa sangat kecewa. Ia merasa kehilangan. Karena sejak lama dia sangat mengagumi Bung Karno. “ Selalu pidato-pidato tentang nasionalisme, persatuan bangsa, tapi ternyata begitu?! Pemimpin negara macam apa itu..?!” keluh Joop.
Sejak itu, saya amati sikap Bung Joop terhadap Soekarno berubah. Ketaatannya hanya sekadar formalitas hubungan hirarki organisasional antara seorang Panglima Daerah Militer dan Panglima Tertinggi APRI. Walaupun Soekarno tidak tahu akan perubahan itu, Soekarno sendiri tetap memperlakukan Bung Joop seperti biasanya. Menjadi andalannya. Skenario menaikkan Nasution menjadi KSAD berjalan mulus. Akhir Oktober 1955 Kolonel AH. Nasution diangkat kembali menjadi KSAD. Pangkatnya kemudian dinaikan menjadi Mayor Jenderal.
KUDA TROYA KE PRESIDEN SOEKARNO,
KUDA TROYA KE DAERAH BERGOLAK
Pimpinan TNI-AD merasa bangga SSKAD telah tumbuh sebagai pusat studi yang berniali tinggi dan berhasil. Pencapaian SSKAD itu tentunya tidak terlepas dari keseriusan para penyelenggaranya sejak awal. Sejak dari tahap penerimaan siswa, seleksi secara ketet sudah diterapkan, dan diupayakan seobyektif mungkin. Tidak semua yang mendaftar bisa lolos, meskipun sudah senior dan berpangkat tinggi. Begitu juga dalam proses penggemblengan, para pengajar betul-betul instruktur pilihan dan jempolan, bukan karena faktor jabatan saja. Demikian pula ditahap akhir, tidak semua peserta yang ikut lulus, biarpun pesertanya dalam satu-satu angkatan hanya sedikit. Angkatan saya selesai sekitar bulan September 1953. Acara penamatan dihadiri KSAD Mayjen Bambang Sugeng di Bandung.
Kepala Litbang Infanteri & Sekertaris Kelompok Bandung
Selesai SSKAD saya ditempatkan di Inspektorat Infanteri AD di Bandung, dengan pangkat sudah naik Letnan Kolonel – masa itu masih biasa disebut Overste. Saya menjabat Kepala Seksi 1 membidangi Penelitian dan Pengembangan. Teman-teman bilang, Inspektur Infanteri Kolonel Sukanda Bratamanggala sendiri yang sejak jauh-jauh hari sudah “memesan” agar saya setelah selesai akan dia pakai.
Di Bandung saya sangat menikmati pekerjaan saya ini, sebagai peneliti dan perencana strategis untuk pengembangan Infanteri. Dalam keadaan ini, saya teringat Alm. Adolf Lembong yang bersama-sama saya dulu membangun Pusat Pendidikan AD. Sayang kepintaran dan keintelektualannya tidak lama terpakai di TNI beliau keburu gugur oleh peristiwa APRA.
Mengangkat Kesatuan Komando Siliwangi Jadi Andalan TNI
Sewaktu baru berdinas di Inspektorat Infanteri, dalam sebuah pertemuan dengan Panglima Siliwangi, Kolonel AE. Kawilarang di Bandung, ia bercerita tentang pasukan istimewa yang yang ia dirikan. Katanya, pelatihan pasukan baru itu mencapai hasil yang sangat baik. Saya diajak untuk melihat langsung di Batujajar. Sebetulnya, saya sudah mendengar tentang pasukan yang dinamai Kesatuan Komando TT-III atau Kesko Siliwangi itu. Beberapa pelatihnya juga dari kami, orang-orang Pusat Infanteri di Cimahi. Kesko Siliwangi dengan cepat sudah menjadi buah bibir karena kabarnya mereka memang luar biasa. Juga sudah dibuktikan dalam beberapa kali operasi penumpasan gerombolan DI/TII di Jawa Barat. Pasukan Komando itu memang sepenuhnya ide Bung Lex. Sewakto memegang Sumatera Utara pun dia pernah buat pasukan serupa, tapi belum maju seperti sekarang ini.
“ Jalan-jalanlah ke Batujajar, Ven..lihat sendiri,” kata Bung Lex sampai beberapa kali.
Waktu saya datang ke Batujajar, melihat dari dekat latihan mereka, saya terkagum-kagum luar biasa. Sungguh lebih dari apa yang saya bayangkan sebelumnya. Mereka begitu tangkas, bergerak amat cepat dalam formasi-formasi yang sangat tersusun dan terlatih. Sehingga saya jadi berpikir “lain”. Ini toh bidang dinas saya, sebagai kepala bidang pengembangan, menyangkut pendidikan latihan personil TNI-AD. Maka spontan saya bilang,
“ Bagaimana kalau ini saya ambil?” Artinya, bukan hanya dalam jajaran Siliwangi saja tetapi Pasukan Komando ini menjadi milik AD, menjadi milik nasional.
Tak disangka-sangka, Bung Lex langsung menjawab,
“Ya! Silahkan Ven.”
Padahal saya bicara tadi hanya spontanitas saking kagumnya. Saya pun tidak merasa bersalah untuk bicara spontan seperti itu, karena hubungan saya dengan Kawilarang sudah sedemikian rupa akrabnya, seolah-olah sudah tidak ada lagi hubungan hirarki kedinasan.
Ternyata sejak awalnya Kawilarang memang mengidamkan pasukan elit yang ia rintis menjadi besar. Menjadi 1 Resimen. Maka dia berharap, dengan diangkatnya pasukan komando ini menjadi berskala nation wide, langsung dibawah MBAD, akan lebih cepat menjadi besar. Sebagai seorang pejuang, ia sangat senang kalau keseluruhan TNI menjadi kuat.
Proses ini dengan cepat saya urus ke Pak Sukanda, saya presentasikan rencana saya ini ke SUAD. KSAD Mayjen Bambang Sugeng sangat mendukung, langsung buat surat resmi untuk Panglima Siliwangi. Kemudian, Kesko Siliwangi segera berubah nama menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD), tapi markasnya tetap di Batujajar. Tugas saya selanjutnya ialah mempromosikan KKAD ke daerah-daerah untuk mendapatkan calon-calon prajurit komando yang terbaik, karena segera akan dimekarkan menjadi 1 Resimen.
Saya berkeliling semua Teritorium. Dari TT-I Bukit barisan hingga TT-VII Wirabuana Indonesia Timur. Saya promosikan, saya tekankan setiap Panglima TT harus mendukung, saya jelaskan syarat-syaratnya untuk jadi anggota pasukan komando ini. Untuk tujuan promosi, saya selalu memutar film dokumentari berisi kegiatan latihan dan simulasi operasi pasukan yang sudah ada di Batujajar. Saya kemana-mana bersama Kapten Supardjo Rustam yang meneteng peralatan film dokumentari kami. (Letjen Supardjo Rustam, mantan ajudan Pangsar Sudirman pada masa clash fisik, pernah menjabat Menteri Dalam Negeri RI 1983-1988)
Ajudan Presiden Dengan Misi Istimewa
Sejak bulan-bulan akhir 1955 sangat kentara Presiden Soekarno sudah mulai condong kekiri. Makin lama kecondongan Soekarno makin ekstrim dengan merangkul PKI masuk kedalam pemerintahan. Satu lagi bom waktu yang siap meledak. Bagi kebanyakan pimpinan TNI, PKI memang sudah secara apriori dipandang sebagai bahaya besar. Karena pengalaman, PKI nyata-nyata menikam teman seperjuangan pada Pemberokan PKI Madiun 1948. Didahului dengan program pemerintah yang dikendlikan PKI, berupa Pendidikan Politik Tentara (Pepolit) yang menjadi pangkal terpecah-belahnya tentara.
Melihat gelagat Soekarno yang seperti ini, kami yang sudah tergabung dalam Kelompok Bandung menyimpulkannya sebagai ancaman serius bagi bangsa dan negara. Dalam setiap pertemuan, Kolonel Sukanda Bratamanggala, Kolonel Askari, Kolonel Suryosurarso, Kolonel GPH. Djatikusumo, dan saya, sepak terjang politik Soekarno selalu menjadi topik utama kami.
Akhirnya Kelompok Bandung menyimpulkan solusi : menempatkan saya untuk mengendalikan Soekarno dari “dalam”. Menjadi orang yang harus dekat secara pribadi sehari-hari, inner-link. Menjadi Ajudan Presiden Soekarno.
“ Ventje sudah yang paling cocok untuk misi kita ini,” kata Pak Sukanda pada saat kami sedang berdua di kantor, maksud kata-katanya adalah untuk menguatkan saya.
Dijelaskan pula, tugas khusus ini hanya bisa dijalankan oleh orang-orang yang teguh, tidak gampang hanyut oleh retorika-retorika Soekarno, serta mengerti soal ide-ide politik. Saya diharapkan berfungsi mirip Kuda Troya. Bisa masuk kedalam lingkaran dalam pihak lawan, karena tidak dilihat sebagai ancaman.
Usul Kelompok Bandung segera ditersukan ke MBAD, dan KSAD Nasution langsung menyetujuinya. Kami mendengar Presiden Soekarno juga sangat antusias menyetujui pengalihan saya menjadi Ajudan Presiden, dan ketika ternyata tidak terealisasi, saya tidak pernah tahu apa sebabnya.
Sudah Lulus ke Fort Leavenworth USA, Tapi........
Dalam bulan-bulan awal 1956, berlangsung seleksi perwira-perwira yang hendak tugas belajar ke AS, untuk masuk ke Command and General Staff College di Leavenworth, Kansas. Saya juga ikut seleksi. Setelah melalui seleksi yang sangat ketat diadimistrasi dan syarat-syarat dasar, tersaring 50-an perwira, selanjutnya ke 50-an orang calon ini harus mengikuti ujian seleksi di Jakarta, hanya 1 orang yang akan terpilih.
Ujian terdiri dari 2 tahapan. Ujian lisan dan ujian dalam bentuk tanya-jawab lisan. Tahap akhir ujian lisan ini dihadapan tim penguji, KSAD Nasution, didampingi anggota tim penguji, Mokoginta, Rachmat Kartakusumah dan Cakradipura. Boleh dibilang pada masa ini, mereka berempatlah yang dipandang sebagai intelektual di jajaran TNI-AD.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Mokoginta saya jawab, dia langsung puas. Apalagi Cakradipura, dia pengajar saya di SSKAD, dan dia tahu bagaimana saya dalam penguasaan teori. Selanjutnya Kartakusumah mengajukan topik yang masih asing bagi umunya perwira kita. Tpai karena saya seorang kutu buku, dan sudah cukup akrab dengan literaturnya, saya bisa juga menjawabnya, dan dia tersenyum puas.
Tiba giliran Nasution, jadi sangat panjang. Karena bukan lagi sesi tanya jawab, tapi lebih kearah diskusi antara kami berdua. Nasution tidak lagi menggunakan menit-menit yang berlaku sebagai ujian, melainkan diskusi yang ia sendiri menikmatinya. Nasution memfokus diskusi kepada menajemen organisasi militer angkatan darat, dan justru topik itu yang sudah beberapa bulan kebelakangan ini, saya yang justru memberi masukan kepadanya di MBAD, karena memang sudah tugas saya. Ia juga membuka topik standardisasi, diskusi menjadi semakin seru. Hampir 1 jam kami berdiskusi, penguji yang lain Cuma bertindak sebagai penonton. Beberapa hari kemudian, Mokoginta bilang ke saya, “ Selamat ya Tje, kamu yang terpilih”.
Terpilihnya saya dengan nilai terbaik itu mengagetkan banyak orang. Karena umumnya mereka sudah memastikan bahwa yang akan keluar sebagai juara ialah Mayor WP. Nainggolan, yang merupakan perwira dari Sumatera Utara yang cerdas luar biasa!. Kecerdasannya sudah diakui oleh banyak pimpinan AD.
Saya sangat gembira. Lalu saya mulai siap-siap untuk berangkat ke AS. Tapi......! Kemudian terjadi perubahan besar. Saya tidak jadi berangkat, melainkan diarahkan ke Makassar. Ya, ini hal “besar” dalam segala segi bagi saya. Segi positif maupun negatif. Sebagai prajurit, saya tetap menerima tugas tersebut. Saya berangkat ke Makassar untuk menjadi Panglima Indonesia Timur, dengan lebih dulu menjabat sebagai Kepala Staf untuk beberapa hari.
Saat sedang persiapan meninggalkan pekerjaan di Inspektorat Infanteri, suatu hari saya bertemu dengan Achmad Tirtosudiro. Dengan gembira ia mengatakan terima kasih ke saya. Katanya, karena saya batal ke Fort Keavenworth maka dia yang mendapat kesempatan pergi. Saya sempat bingung, tidak mengerti.
Ternyata, setelah melihat hasil ujian dimana Boyke Nainggolan tidak terpilih, MBAD menganggap itu adalah sesuatu yang sangat disayangkan, sayang kalau perwira secerdas Boyke tidak dikembangkan optimal. MBAD mengajukan permohonan ke Fort Keavenworth agar menambah ‘quota’ untuk Indonesia. US Embassy di Jakarta juga di-approach, agar ikut memperjuangkan ke pemerintahannya. Akhirnya berhasil. Yang akan berangkat, saya dan Nainggolan, peringkat 1 dan 2. Lalu karena saya batal, peringkat ke-3 naik, yaitu Achmad Tirtosudiro. Itulah mengapa dia datang berterima kasih kepada saya.
(Mayor W.P Boyke Nainggolan kemudian hari turut serta dengan kami dalam PRRI/Permesta, dan gugur tertembak oleh Tentara Pusat).
Menjadi Kepala Staf TT-VIII
Untuk Ganti Panglima Indonesia Timur
Saya dibatalkan ke Fort Leavenworth US karena ditugaskan oleh pemerintah pusat, juga dibujuk oleh WKSAD Gatot Subroto untuk menjadi Panglima Indonesia Timur. Waktu itu saya sedang dalam hari-hari yang sangat bahagia, karena sudah diumumkan menjadi juara-1 dalam seleksi untuk studi ke Command & General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas.
Suatu sore, Pak Sukanda bilang ada telepon dari Jakarta, saya diminta menghadap ke MBAD. Isi perintahnya “Penting!”. Saya tanya Pak Sukanda, ada apa? Atasan saya ini bilang tidak tahu, tapi ia menduga 2 kemungkinan : soal persiapan keberangkatan saya ke AS atau realisasi usulan jadi Ajudan Presiden.
Jadi Ajudan Presiden? Wah, saya sudah hampir lupa soal itu. Saya ndak tahu lagi, ndak pernah mau tau, apa sebab pengusulan tersebut masuh terbengkalai. Saya ndak ingin tahu, apalagi ketika ikut seleksi buat studi ke Fort Leavenworth. Perhatian dan harapan saya sepenuhnya sudah tercurah disini. Saya ingin belajar banyak, buat bisa membangun tentara negara ini. Pengalaman di SSKAD, dan kemudian selama bekerja di Seksi Penelitian dan Pengembangan Inspektorat Infanteri, semuanya telah menumbuhkan kesadaran penuh saya mengenai pentingnya pengetahuan untuk membangun TNI, bukan melalui politik!. Fort Leavenworth! Disitu Jenderal Einshower pernah belajar, dan disitu pula sekarang Ahmad Yani sedang belajar. Saya mau sekali kesana.
Sore itu juga dari Bandung saya langsung ke MBAD di Jakarta. Saat sedang diruang tunggu KSAD, ajudan WKSAD datang menjemput.
“ Overste, ditunggu Pak Gatot,” katanya.
Rupanya urusan penyampaian ke saya, Nasution menyerahkannya kepada Pak Gatot. Pak Gatot Subroto pernah Panglima Indonesia Timur, atasan langsung saya. Tapi saya sama sekali tidak berpikiran lain, tidak ada rasa curiga. Bagi saya tidak ada yang aneh, Nasution memang sering mempercayakan pada Pak Gatot segala urusan. Pak Gatot memang jauh lebih senior dari Nasution.
Begitu masuk ruang kerjanya, Pak Gatot langsung menyambut hangat. Dengan suara keras khasnya, penuh keakraban,
” Hai Kawanua! Sudah tahu kenapa harus melapor?”
“ Untuk menerima perintah keberangkatan Pak?”
Karena suasana gembira yang ia bawakan, saya langsung pikir ini tentu sesuatu yang menyenangkan buat saya. Yaitu segera ke Fort Leavenworth, makanya saya jawab begitu.
“ Betul! Berangkat.....,” katanya
“ Duduklah dulu Ven.”
Saya duduk didepannya, Pak Gatot mulai ancang-ancang ubah sedikit bicara menjadi serius. Ia bicara perlahan,
“ Ventje, kamu memang sudah harus berangkat. Tapi jangan kaget..kamu tidak jadi ke Amerika...”
Sampai disitu saya kaget. Masak diminta jangan kaget?!
“ Kenapa tidak jadi Pak...?! Ada apa ini...?!
“ Ven, kami telah memutuskan mengangkat Ventje sebagai Kepala Staf TT-VII. Ventje harus bantu Joop, sekarang ini, Joop sangat membutuhkan bantuan Ventje, kan untuk membangun daerah kamu sendiri juga Ven....”
Pak Gatot bicara terus. Saya diam terus. Nada nya semakin lama semakin membujuk dan memberi dorongan. Dibukakan pada saya bahwa semua Panglima sudah pasti akan diganti, dan setiap Panglima diminta usulannya tentang siapa yang dikira layak menggantikannya, dan Panglima Joop memilih nama saya. Nasution juga setuju, dan makin dikuatkan oleh Pak Gatot bahwa “itu pilihan terbaik, jangan sampai lepas!”. Sedangkan usulan paanglima-panglima lain masih dipertimbangkan.
“ Bagaimana Ven?” tanya Pak Gatot tiba-tiba.
“ Siap Pak! “
“ Terimakasih, Ven! Terimakasih,” kata Pak Gatot sambil berdiri dari kursinya dan menepuk-nepuk bahu saya.
“ Kesediaan Ventje sangat penting bagi kami saat ini, sangat-sangat menolong kami. Kami sangat yakin Ven, kamulah orang yang kami perlukan.”
Yang selalu disebut dengan “kami” oleh Pak Gatot itu, saya tahu, bukan hanya dia dan KSAD Nasution beserta para staf dalam posisi mereka sebagai pengambil kebijakan pucuk pimpinan AD, melainkan kubu politik yang didalamnya ada Presiden Soekarno, PM Ali Sastroamidjojo, dan lain-lain. Kubu-kubu ini memang sudah mulai terbentuk, mulai terpolarisasi.
“ Ventje, “ tambah Pak Gatot lagi,
“ Ini adalah kesempatan baik buat kamu menunjukkan kemampuanmu. Selama beberapa tahun ini kamu sudah maju luar biasa, tapi baru saya dan Pak Nas yang merasakannya, baru kami yang tahu, juga Pak Sukanda. MBAD mendapat banyak dari majunya kemampuan Ventje, sekarang...daerahmu juga harus mendapatkan itu.”
“ Tapi, Pak Gatot,....kalau sewaktu-waktu saya akan ikut pendidikan di Fort Leavenworth itu, saya ndak perlu ikut ujian lagi, kan?” tanya saya.
“ Ahh, ..itu soal gampang!” jawab Pak Gatot setelah mengangguk.
“ Pokoknya ke Makassar dululah.”
Akhir Mei 1955 saya sudah mulai bertugas sebagai Kepala Staf TT-VII di Makassar. Sejak awal Joop Warouw menerima saya dengan tangan terbuka, betul-betul sangat terbuka...tanpa reserve. Saya sungguh-sungguh merasakan sikap tulusnya itu.
“ Pokoknya apa yang Ventje sudah atur, pasti saya setuju!” kata Bung Joop.
Saya diminta Bung Joop untuk buat apa saja yang saya pandang baik buat membangun TT-VII Wirabuana, dan itu katanya juga terbaik baginya. Kami, saya dan Bung Joop selalu bicara dalam bahasa Belanda campur Melayu, campur Manado.
Persahabatan saya dengan Bung Joop sudah bermula dari Brigade Seberang masa revolusi dulu. Waktu Markas Brigade dikepung dan dilucuti senjatanya oleh Kahar Muzakkar, Bung Joop sebagai Komandan Brigade, dan dia tidak bisa berbuat apa-apa...saya yang kemudian membereskannya.
Tak disangka seperti pengulangan sejarah saja. Semuanya sama, antara saya dan Bung Joop, lalu antara Bung Joop dan Kahar. Memang salah satu program yang nyaris sudah menjadi rutin di TT-VII ialah menghadapi gerombolan yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Gerombolan anak buah Kahar ini menguasai wilayah pedalaman selatan dan tenggara Pulau Sulawesi. Kami bertanggungjawab menjaga keamanan masyarakat daripada gangguan mereka.
Ini sungguh ironi sejarah. Ketika kami mengadakan Reuni Brigade XVII di kota Makassar, saya, Warouw, Saleh Lahade, Andi Mattalatta dan teman-teman lainnya, justru Kahar pada saat itu berada dalam hutan dalam daerah teritorium kami. Padahal Kahar adalah salah satu perintis utama KRIS, cikal bakal Brigade XVI....ia perintis Pasukan Seberang.
Dalam rangka penyegaran didalam jajaran perwira TT-VII Indonesia Timur, mutasi-mutasi kami laksanakan. Mutasi-mutasi para perwira ini adalah untuk pengembangan karir mereka kedepannya, disamping juga untuk memperjuangkan para perwira ex-Brigade XVI mendapatkan jabatan di pusat atau daerah-daerah lain. Mayor Andi Rivai diangkat menjadi Komandan Resimen Infanteri 23 untuk Sulawesi selatan dan Tenggara, Letkol Herman Pieters menjadi Komandan Resimen Infanteri 25 di Maluku dan Irian, Letkol Minggu menjadi Komandan Resimen Infanteri 26 di Nusa Tenggara dan Bali, Mayor DJ. Somba menjadi Komandan Resimen Infanteri 24 yang meliputi Sulawesi Utara dan Tengah, menggantikan Worang. Sedangkan Worang menjadi Komandan Resimen Infanteri di Sumatera Selatan. Letkol Andi Mattalatta menjadi Komandan KMK Makassar.
Begitu juga perwira-perwira lainnya, namun ada juga posisi-posisi tertentu yang ditentukan oleh panglima sendiri. Misalnya, Asisten Intelijen TT-VII bahkan pejabatnya tidak saya ganti. Tetap Mayor Bing Latumahina. Banyak pertimbangan saya buat untuk tidak memutasi perwira intelijen yang cerdas ini, meski Bing belum mengikuti SSKAD.
AWAL PERGOLAKAN
MENJURUS KE PERANG SAUDARA
Menurut Jenderal Besar Purn. AH. Nasution, awal pergolakan yang meletuskan pemberontakan-dalam arti perlawanan konseptis dan politisi terhadap kepemimpinan politik nasional, perlawanan yang sudah dengan konsekuensi tindakan fisik yang kemudian membesar menjadi perang saudara. Dimulai dengan penangkapan Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani oleh Kolonel Kawilarang, Panglima daerah militer yang menguasai ibukota negara, menangkap politisi andalan Presiden Soekarno ditengah-tengah suasana konflik politik yang sudah eksplosif.
Pendapat Nasution ini disimpulkan sesudah pergolakan PRRI/Permesta, berdasar sudut pandangnya sendiri, sebagaimana diakuinya, maupun ia sebagai sejarahwan yang banyak menuangkan pengalaman dan perenungannya mengenai masa lalu dalam sejarah-selanjutnya menjadi pendapat resmi pemerintah, juga oleh umumnya sejarahwan.
Peristiwa penangkapan Menlu Ruslan Abdulgani tersebut jelas bukanlah suatu awal yang sama sekali berdiri sendiri. Itu hanya kelanjutan dari serangkaian panjang konflik politik yang sedang berkecamuk lama. Didalamnya, para politisi dari berbagai kubu saling bertarung, termasuk tak kurang dari Bung Karno dan Bung Hatta, Presiden dan Kepala Negara berhadapan justru dengan Wakil Presiden sendiri, jadi bukan hanya para pimpinan AD.
Dalam pergolakan yang memanas lagi sejak 1956 ini, oleh banyak kalangan dinilai sebagai konflik besar yang bisa menjurus pada perang saudara. Bung Hatta sendiri dalam banyak penyampaiannya pada waktu itu berulang kali memperingatkan tentang kemungkinan bahayannya pecah perang saudara.
‘Anak Manis’ Menjadi Pemberontak!
Saya sendiri pada saat peristiwa itu terjadi, Agustus 1956, masih dipandang sebagai ‘anak manis’ oleh Nasution maupun Bung Karno. KSAD Nasution sendirilah yang meluluskan ujian saya dengan nilai tertinggi untuk melanjutkan studi perwira komando di Leavenworth AS. Meskipun kemudiannya tidak jadi ke AS, itupun karena Nasution dan Gatot Subroto pula yang mengangkat saya sebagai Kepala Staf TT-VII untuk dipersiapkan menjadi Panglima.
Joop Warouw juga sama dengan saya, dipandang sebagai Sukarno’s good boy. Warouw adalah kesayangan Bung Karno sejak lama. Antara lain tentang peristiwa di Surabaya 1945, Joop dinilai telah menyelamatkan nyawa Bung Karno, dan makin bertambah sejak peristiwa 17 Oktober 1952. Tetapi kemudian Joop menjadi penetang rezim Soekarno-Ali-Nasution. Juga saya. Bahkan sayalah yang kemudian jadi simbol tipikal “pemberontak”, jadi penentang yang justru bertindak paling tegas dan keras. Memproklamirkan Permesta, mengumumkan SOB, dan kemudian jadi seorang pemimpin PRRI yang paling terakhir menghentikan perlawanan bersenjata. Baru berhenti setelah dibujuk secara resmi oleh pucuk pimpinan PRRI Mr. Sjarifudin Prawiranegara dan Moh. Natsir.
Akhir 1956 saya memutuskan bahwa adalah langkah yang benar untuk secara tegas menentang rezim Soekarno-Ali-Nasution yang semakin meninggalkan prinsip-prinsip demokrasi, pemerintah pusat yang semakin menyibukkan diri dengan segala gelora politik yang menelantarkan rakyat, menelantarkan pembangunan daerah-daerah, serta menyuburkan kekuasaan komunis.
Panglima Siliwangi Kawilarang Tangkap Menteri Ruslan,
Panglima Indonesia Timur Warouw Bela Kawilarang
Tanggal 13 Agustus 1956, atas perintah Panglima Siliwangi, Kolonel AE. Kawilarang, garnizun Jakarta menangkap Menteri Ruslan Abdulgani. Ruslan dituding telah melakukan perbuatan korupsi dalam kasus yang menyangkut pengusaha Lie Hok Thay. Penangkapan ini dipimpin oleh KMKB Jakarta sendiri, Mayor Juhro.
Penangkapan terhadap Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani merupakan pukulan besar terhadap Soekarno-Ali. Ruslan Abdulgani, yang pula tokoh separtai dengan Soekarno dan PM Ali adalah politisi yang sangat diandalkan oleh Soekarno. Juga sebagai Menteri Luar Negeri ia diandalkan untuk gerakan politik internasional yang sedang digalakkan oleh Soekarno. Sejak Indonesia dinilai sukses menggalang politik solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika yang ditandai dengan terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun lalu. Soekarno sedang menikmati gelombang pasang politik luar negeri yang mengangkat namanya menjadi pemimpin besar dikelas dunia. Saat ditangkap pun, Menlu Ruslan Abdulgani sedang siap-siap berangkat ke London untuk sebuah konferensi internasional dimana Indonesia diundang sebagai andalan negara Asia yang sedang bersengketa, yakni Mesir.
Nasution deengan cepat membebaskan Ruslan Abdulgani dari tahanan garnizun. KSAD menggunakan alasan: menangkap seorang Menteri harus melalui prosedur khusus, bukan seperti menangkap maling biasa.
Tapi dipihak penentang politik Soekarno-Ali-Nasution, tindakan membebaskan Ruslan Abdulgani itu segera menyulut api yang cepat menjalar meluas, karena Panglima Indonesia Timur Joop F. Warouw langsung bereaksi keras, berpihak kepada Kawilarang.
Kolonel Zulkifli Lubis menuding PM Ali dan Mayjen Nasution mlindungi kejahatan kolar putih, berkomplot dengan pencoleng negara. Kolonel Sukanda Bratamanggala, tokoh yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Pasundan dan Jawa Barat pada umumnya, pun mendukung Kawilarang. Sukanda bahkan mengontak Panglima Kalimantan, Abimanyu yang juga asal Siliwangi untuk turut mendukung Kawilarang.
Warouw Mendukung Karena Menyesal Pernah
Tentang Kawilarang Duel
Reaksi Kolonel Joop F. Warouw itu sungguh diluar dugaan banyak kalangan. Ia langsung terdepan membela Kawilarang, padahal sebelumnya semua tahu, Warouw sangat erat dan sejalan dengan Bung Karno. Warouw dulunya selalu berseberangan dengan Kawilarang, imbas daripada peristiwa 17 Oktober, Wraouw mendepak Panglimanya sendiri, Gatot Subroto dan mengenakannya tahanan rumah. Pemihakan Bung Joop pada Kawilarang ini sangat mengguncang kubu pihak Soekarno. Dan sebaliknya, sangat membesarkan moril kubu penetang kelompok Nasution dan Soekarno, seperti Lubis, Sukanda, dan Abimanyu. Tapi mengapa Joop Warouw bisa bersikap demikian? Ini faktor perasaan pribadi Joop Warouw berkenaan dengan Kawilarang, dan saya sangat tahu itu.
Kisahnya sekitar 6 tahun lalu, saat Kolonel Kawilarang menjabat Panglima Indonesia Timur. Joop Warouw Komandan Pasukan Sulawesi Utara (Kopas SUMU), kemudian diangkat oleh Kawilarng menjadi Komandan Operasi Penumpasan RMS. Ada hal-hal yang tidak disukai Joop Warouw pada cara-cara Kawilarang. Dan Joop Warouw rupanya sudah terlalu marah, sehingga sudah tidak perduli dengan disiplin tentara serta kewajiban mematuhi atasan. Ia bahkan mengirim surat tantangan untuk duel kepada panglimanya, tidak tanggung-tanggung, surat tantangan untuk berkelahi itu ditulisnya dengan tinta merah!
Waktu itu saya sudah menggantikan Warouw di Kopas SUMU. Panglima Kawilarang menemui saya dan mengeluhkan hal ini. Saya diperlihatkan surat tantangan bertinta merah tersebut.
“ Tje,.....lihat..Masak dia menantang saya duel....?!”
Lex Kawilarang betul-betul kaget. Bahkan heran, bukan takut, Lex tidak takut. Dia heran bukan main, bagaimana bisa ada tentara menantang duel berkelahi dengan Panglimanya sendiri. Lex memang orang Manado tapi lahir dan besar di Jawa, sehingga ia belum mengenal betul kelakuan dan sifat orang Manado seutuhnya. Meski dikalangan teman-temannya diluar lingkungan Kawanua dirinya sendiri terlihat mirip seperti pribadi Warouw, pemberani dan cenderung nekat. Ya, di front manapun, di Jawa Barat, Sumatera, Maluku, Kawilarang selalu dilihat para stafnya sebagai pemimpin dengan nyali besar. Selalu mau tampil di depan, di front, turut mengangkat senjata bersama anak buahnya.
Perang dingin Warouw dan Lex masih berlangsung sampai Lex meninggalkan Makassar dan menjadi Panglima TT-III/Siliwangi. Masing-masingnya tidak mau bersikap ramah. Warouw keras kepala, tak pernah mau minta maaf. Atau mungkin Warouw sudah merasa menyesal atas tindakannya, tapi malu untuk minta maaf kepada Lex. Saya kemudian meninggalkan Kopas SUMU untuk masuk SSKAD di Jakarta. Setamat SSKAD menjabat Kepala Seksi I Inspektorat Infanteri di Bandung, sekota dengan Lex Kawilarang.
Waktu saya di Bandung itulah sering bertemu Lex maupun Warouw, bila Warouw sedang urusan dinas di kantor saya ataupun di Jakarta. Jadi saya mulai dorong Warouw untuk berbaik dengan Kawilarang.
“ Baku bae jo ngoni dua........malu kwa kita liat pa ngoni dua” saya bilang ke Warouw beberapa kali.
Begitulah, suatu hari datang utusan Warouw dari Makassar, yaitu Nun Pantouw, Staf Intelijen TT-VII. Warouw minta tolong pada saya agar bisa mengatur perdamaiannya dengan Lex Kawilarang. Warouw sudag Panglima TT-VII/Indonesia Timur, Kawilarang juga Panglima Siliwangi. Begitulah akhirnya, dua seteru ini akhirnya bisa saya damaikan, dan dikemudian hari, kami bertiga sama-sama bahu membahu membela tanah kelahiran kami yang dibom sepihak oleh tentara pusat.
Menjadi Panglima Daerah Bergolak
Ditengah pergolakan politik yang terus meruncing ini, saya diangkat oleh Nasution dan Gatot Subroto menjadi Panglima Indonesi Timur menngantikan Warouw, sebelumnya sejak Mei 1956 saya lebih dulu ditempatkan menjadi Kepala Staf TT-VII/Indonesia Timur.
Pergantian panglima daerah militer ini merupakan perjuangan yang sangat tidak mudah bagi Nasution. Meski ini telah menjdai programnya sejak awal menjabat kembalai sebagai KSAD pada November 1955, terlebih Pnglima Siliwangi Kolonel Kawilarang, dan Panglima Sumatera Utara Kolonel Simbolon. Karena sedari awal, menurut Nasution, ia merasakan sikap ketidaksukaan mereka terhadapnya. Sebetulnya bukan hanya mereka, masih ada WKSAD Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Sukanda Bratamanggala, Abimanyu, dan banyak lagi.
Akhirnya Nasution dapat akal. Ia melakukan pendekatan langsung sambil mengajukan pertanyaan taktis: Siapa yang panglima masing-masing usul untuk menggantikan mereka? Rupanya cara ini secara prikologi terbukti ampuh, karena yang diganti tetap merasa berdaulat, bahwa penggantinya dialah yang menentukannya. Dan mereka pun merasa bahwa orang yang akan menggantikannya adalah tetap “orangnya”. Simbolon akan digantikan oleh Zulkifli Lubis yang dianggap satu kubu. Lubis mau, karena memang sejak dari dulu ia berniat membereskan DI/TII di Aceh. Abimanyu, juga orang sekubu mejadi Panglima Kalimantan. Hanya Askari yang diusulkan oleh Kawilarang tidak disetujui oleh Nasution. Sampai akhirnya terpilih Suprayogi untuk TT-V/Jawa Timur dan TT-IV/Jawa Tengah-Brawijaya dan Diponegoro pun tidak lancar, sebelum akhirnya pilihan jatuh kepada Surrachman dan Soeharto.
Namun demikian, pergantian Panglima Siliwangi pada oertengahan Agustus berlangsung tegang, karena sebelumnya telah terjadi penangkapan terhadap Menlu Ruslan yang menggegerkan itu. Ditambah, pemerintah pusat mendapat laporan analisa intelijen tentang kemungkinan PM Ali akan dikudeta bila menghadiri acara serah terima Panglima Siliwangi di Bandung. PM Ali takut datang, ia hanya mewakilkan Menteri Moh. Roem dari Masyumi. Sedangkan serah terima Panglima Sumatera Utara batal terus, karena Kolonel Lubis tidak pernah datang. Ia sibuk dengan gerakan politik di Jakarta, sampai akhirnya dinyatakan sebagai buron dan dipecat dari TNI-AD.
Ketika menentang tindakan KSAD Nasution dan PM Ali yang akan membebaskan Menteri Ruslan dari tahanan, Wraouw mengancam tidak akan melepas jabataan Panglima, yang kedati secara resmi dijadwalkan akan diserahkan ke saya antara tanggal 23-25 Januari 1926. Tapi ternyata kemudian Bung Joop menyerahkan juga Komando Indonesia Timur pada saya, malahan lebih cepat dari jadwal semua. Serah terima jabatan di Makassar dipimpin KSAD Mayjen Nasution berlangsung dibawah guyuran hujan deras.
Reuni SSKAD,
Soemitro Tulis : Sumual Ganti KSAD Nasution
Sejak memimpin TI-VII, mata hati saya selalu tertikam saban kali menyaksikan kondisi prajurit dan keluarga mereka di tangsi-tangsi kami. Betul-betul menyedihkan......kumuh. Mereka hidup dalam asrama yang amat sempit, lembab, gampang kena penyakit. Anak-anak dan ibunya terlihat sangat kekurangan gizi, apalagi soal kebutuhan mental, sungguh sangat menusuk perasaan sanubari saya.
Rakyat sipil, dikampung-kampung pedalaman lebih parah lagi, banyak pemuda dengan masa depan yang sangat tidak jelas, hingga banyak dari mereka memutuskan ikut gerombolan Kahar agar bisa seenaknya merampok apa saja dari rakyat. Kalau di Sulawesi Selatan ada gerombolan Kahar, di Sulawesi Utara/Tengah ada gerombolan Jan Timbuleng. Keduanya sama saja, orang-orang yang merasa sangat berjasa dalam perang gerilya melawan penjajah, kemudian sakit hati dan melakukan petualangannya. Mereka selalu seenaknya merampok dan memeras milik penduduk bila tidak ada petugas keamanan.
Kemiskinan dan kemelaratan berlaku dimana-mana, bukan di Indonesia Timur saja, tapi umumnya seluruh Indonesia. Ini adalah diakibatkan tidak seriusnya pemerintah pusat membangun perekonomian. Mereka hanya sibuk dengan politik...politik dan, saling sikut merebut kekuasaan, dan itu terjadi terus menerus. Pemilu 1955 yang begitu lama ditunggu-tunggu sebagai jembatan emas menuju perubahan dan kesejahteraan, ternyata tidak membawa apa-apa. Kecuali persaingan konflik politik dengan peta yang baru. PKI tampil dengan kekuatan besar.
Soekarno dan Nasution bukannya tidak sadar akan kondisi ini, mereka sadar...sangat sadar, tapi bukannya melakukan perbaikan sistem demokrasi, sebagaimana yang terus menerus diupayakan Hatta, Soekarno malah terus over-kompensasi. Soekarno merasa harus meninggalkan demokrasi seperti ini. Soekarno sudah dirasuk luar biasa oleh semangat anti-imperialisme, anti-kolonialisme, anti-kapitaslime, mulai berpaling pada jalan-kalan revolusi sosialisme. Ini sangat menguntungkan PKI dan Komunisme.
Penentangan terhadap rezim Soekarno-Ali-Nasution oleh para politisi seperti Hatta, Syafruddin Prawiranegara, Natsir, Sjahrir, Soemitro Djojohadikusumo, dan sejumlah intelektual, termasuk intelektual dikalangan perwira militer, berpangkal daripada sikap Soekarno yang ingkar pada prinsip-prinsip demokrasi, pembangunan dan pengesejahteraan rakyat, Demokrasi menurut Soekarno harus terpimpin, dan dia yang memimpin.
Saya sudah mengambil keputusan melepas label “anak emas” untuk berada dalam posisi menentang rezim Soekarno-Ali-Nasution yang anti demokrasi dan pembangunan. Apapun resikonya. Untuk membela serta memperjuangkan apa yang harus diperjuangkan, yaitu pembangunan daerah yang sangat terbengkalai, dan pembangunan kesejahteraan para prajurit yang sudah amat meneydihkan dan berada dititik nadir.
Pergolakan politik di kalangan perwira TNI-AD terus berkecamuk. Tapi karena para penetang Nasution tidak melakukan aksi yang berarti sejak pergantian panglima-panglima dan beberapa staf MBAD ynag pro-perubahan dan pembangunan, maka aksi dari pihak Nasutionlah yang maju terus. Memang ada rencana aksi sejumlah batalyon Siliwangi untuk bergerak menyerbu Jakarta pada pertengahan Oktober 1956 tapi tidak jadi. Sukanda, Lubis dan Sapari mendapat panggilan ke MBAD. Tanggal 7 November, proses hukum atas mereka segera dimulai. Sukanda dan Sapari dutahan, Lubis yang menolak datang selanjutnya menjadi buron.
Kolonel Zulkifli Lubis memprotes penahanan dua rekannya, dan mengancam bahwa daerah militer Sumatera Utara dan Kalimantan akan memutuskan hubungan dengan pusat. Dan betul, Panglima TT-I Kolonel Simbolon mengeluarkan pernyataan kecaman terhadap KSAD Nasution. Panglima Kalimantan, Kolonel Abimanyu mengeluarkan perintah tangkap semua pejabat dari pusat, sipil maupun militer, yang masuk ke wilayahnya.
Tanggal 16 November terjadi aksi penyerbuan ke Jakarta oleh RPKAD dipimpin oleh komandannya Mayor Jaelani. Sebelum masuk Jakarta, Resimen Cirebon yang dipimpin oleh Mayor Kemal Idris akan bergabung. Begitu juga dalam kota, KMKB Jakarta yang dipimpin Mayor Juhro akan bergabung. Mereka akan menangkap Nasution dan PM Ali.
Tapi ternyata terjadi miss komunikasi, RPKAD yang sudah terlanjur bergerak dan menunggu di pinggiran tenggara Jakarta, di daerah Kranji, terdampar disana. Resimen Cirebon yang ditunggu-tunggu tidak datang, begitu juga batalyon Siliwangi. Setelah lama menunggu yang ditunggu tidak ada yang muncul, RPKAD akhirnya balik kanan kembali ke Batujajar. Ternyata.....kontra-aksi dari pihak Nasution telah bekerja efektif. Mengacaukan komunikasi para pimpinan pergerakan.
Tanggal 19 saya ke Bandung untuk menghadiri Reini SSKAD. Pertemuan ini sedari awal sudah memperdengarkan tuntutan perubahan kepemimpinan TNI-AD. Sasaran konkritnya, terutama ganti Nasution. Bahkan sebelum acara reuni, tanggal 17 November, utusan SSKAD yang terdiri dari Sutarno, Yunus, dan Rusman telah menghadap SSKAD di Jakarta. Mengajukan kritik secara terang-terangan, dismaping mengajukan pelbagai perbaikan solusi.
Teman-teman korps SSKAD mengkritik keras cara-cara Nasution menyelesaikan setiap masalah. Sukanda dan Supari sudah menjadi tahanan rumah. Abimanyu dipanggil ke Jakarta lalu ditahan. Kawan seperjuangan sendiri pun dijebak.
Ditengah acara reuni kami yang sangat akrab, seorang rekan alumnus, Soemitro, maju kedepan menulis di papan. Ia Alumnus SSKAD Angkatan I, sekarang Asisten Operasi TT-V/Brawijaya (kelak menjadi Pangkopkamtib dan Pangab). Dengan kapur, dipapan tulis ia membuat bagan struktur kepemimpinan TNI-AD menurut versinya, yang ia mau jadikan rekomendasi Korps SSKAD ke Pemerintah. Dipuncak bagan struktur itu, untuk jabatan KSAD, ditulisnya nama.........saya!
Dari dulu, memang teman-teman sering mengangkat saya untuk memimpin kegiatan macam-macam, tapi yang diutlis Soemitro itu sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh kami, mungkin karena sekarang saya sudah Panglima. Macam-macam saja!
Saat kami semua sedang tertawa-tawa, karena menganggap tulisan Soemitro itu hanya gurauan, dan teman-teman lain bertepuk tangan karena setuju dengan pemikiran Soemitro, tiba-tiba ada kilatan blitz kamera dari luar jendela. Ternyata seorang CPM memotret papan tulis di depan kami itu. Memotret bagan struktur personalia pimpinan TNI-AD yang ditulis Soemitro itu. Rupanya, ia mata-mata yang ditugaskan Nasution untuk memperhatikan kami, tapi kami tenang-tenang saja, toh hanya bergurau dan tidak dari kami yang mencemaskannya.
Tnaggal 21 November, acara puncak Reuni SSKAD dihadiri oleh Presiden Soekarno dan KSAD Nasution. Terjadi keributan, ternyata CPM hendak menangkap Mayor Djaelani, Komandan RPKAD yang pada 5 hari sebelumnya memimpin aksi penyerbuan ke Jakarta. Perintah penangkapan dikeluarkan oleh KSAD Nasution dan Komandan Garnizun Bandung, Mayor Rukman (yang kemudian hari diketahui ternyata perwira binaan PKI). Sedangkan kami mendukung tindakan Djaelani, Kemal Idris, dan kawan-kawna tersebut. Kami harus membela Djaelani.
Saya memarahi pasukan CPM yang hendak menangkap Mayor Djaelani. Saya bilang, Djaelani adalah tamu saya. Selama ia menjadi tamu remi kami, maka ia tanggungjawab kami. Tetapi saya dan teman-teman sadar bahwa Djaelani tetap tidak akan aman bila acara SSKAD telah selesai nanti. Maka kami mendatangi Nasution, waktu itu, selesai acara SSKAD, KSAD Nasution dan Presiden Soekarno pergi ke Gubernuran.
Kami mendesak Mokoginta untuk langsung memimpin kami menyampaikan protes kepada KSAD. Mokoginta pun ikut, saya yang pimpin rombongan, tapi resminya dia. Saya dapat memahami konflik perasaan Mokoginta, karena ia memihak Nasution, tapi sekarang ia terpaksa memimpin delegasi yang menentang Nasution.
Di Gubernuran, saya bicara keras menyalahkan Nasution. Karena rupanya, dalam emosi, saya sudah menjalankan tindakan menghadapi Nasution ini sebagai wujud aksi gerakan mengalahkan kubu politiknya. Sehingga, tentu saja, terlalu lemah sebagai aksi non-fisik.
Alasan kami hnaya mempermasalahkan penagkapan tamu kami itu sebagai pelanggaran atas kehormatan Korps kami. Nasution menangkis dengan dalih, bahwa perintah penangkapan atas Djaelani sudah sejak beberapa hari lalu, tidak ada hubungannya dengan acara kami. Waktu saya sedang mengajukan protes kepada Nasution, saya lihat Mayor Rukman menangis. Saya ndak mengerti apa artinya.
Mayor Djaelani, Komandan RPKAD akhirnya dapat ditangkap, karena didalam jajaran RPKAD sendiri telah ada yang dapat dipengaruhi oleh pihak Nasution. Ada yang bilang melalui Letkol Kaharuddin Nasution, perwira dari angkatan I RPKAD, yang kemudian diangkat menggantikan Djaelani.
Hatta Meletakkan Jabatan
Dewan-Dewan Daerah Bergolak!
Konstelasi politik nasional semakin memanas, belum pernah setegang ini. Tanggal 24 November 1956, Reuni Divisi Banteng, pasukan-pasukan yang dulu berjuang di Sumatera Tengah mendirikan Dewan Banteng, yang tak lain sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim penguasa pusat yang dinilai semakin menelantarkan daerah.
Dewan yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Hussein ini pun sebetulnya sudah beberapa bulan berkonsolidasi, antara lain menjalin hubungan dengan Bung Hatta, dalam kebersamaan melawan rezim anti-demokrasi yang bergandeng tangan dengan PKI dan id kawal secara militer oleh KSAD Mayjen Nasution. Beberapa mereka yang hadir di acara Dewan Banteng ini mengatakan, garis politik dan tuntutan mereka jadi tambah keras karen adipengaruhi oleh aksi kami dalam reuni SSKAD di Bandung.
Reuni Divisi Banteng di Padang itu dihadiri oleh dua Panglima Sumatera. Panglima TT-I Kolonel Mahaudin Simbolon, dan Panglima TT-II Letkol Barlian. Letkol Ahmad Hussein memang adalah Komandan Resimen Infanteri 4 dibawah Panglima TT-I Kolonel Simbolon, dan Panglima-nya mendukung langkah Komandan RI-4 itu.
1 Desember 1956, Wapres Mohammad Hatta meletakkan jabatan. Politik negara berguncang luar biasa, terlebih para pemimpin politik dan militer di daerah-daerah, yang selama ini memandang kehadiran Bung Hatta dalam Dwi-Tunggal kepemimpinan nasional sebagai reperentasi aspirasi politik daerah, dan sebagai kutub penyeimbang terhadap kekuasaan Soekarno bersama PKI.
14 Desember 1956, Panglima TT-I Kolonel Mahaudin Simbolon membuat pertemuan besar dengan perwira-perwira di Sumatera Utara. Dalam acara itu, para perwira tamatan SSKAD yang hadir dalam reuni kami di Bandung sekali lagi diminta menjelaskan kepada semua yang hadir tentang apa yang mereka saksikan, mengenai aksi politik kami terhadap KSAD Nasution. Gerakan TT-I Sumatera Utara ini kemudian melahirkan Dewan Gajah. Tanggal 22 Desember, Simbolon menyataka pemutusan hubungan dengan pusat, tapi pemerintah pusat langsung menindaknya. Simbolon nyaris di tangkap, dan berhasil lolos.
Panglima TT-II Letkol Barlian mencetuskan Dewan Garuda di Sumatera Selatan, dengan sikap dan tuntutan politik yang lebih keras lagi. Panglima TT-II ini memang tidak sampai mengambil alih pemerintahan, sebagaimana yang dilakukan Letkol Ahmad Hussein terhadap Gubernur Sumatera Utara, Ruslan Mulyohardjo.
Di Sulawesi Utara, para politisi dan pemimpin tentara mulai menggalang Dewan Manguni, sementara di Sulawesi Selatan muncul Dewan Hasanuddin. Di Kalimantan ada Dewan Lambung Mangkurat, dan di Jawa Barat wadah bertujuan sama, yang justru lebih banyak jumlahnya dan sudah lebih dulu bergerak, menyatu dalam Dewan Sunda.
Jadi, ini sesungguhnya bukan sekadar pergolakan politik daerah, ini adalah gerakan nasional yang mulai bergolak dari daerah-daerah!
PROKLAMASI PERJUANGAN PERMESTA
DITERIMA MUSYAWARAH NASIONAL
Kemiskinan terus bertambah luas dan makin mendalam. Pemerintah Pusat sama sekali tidak mementingkan pembangunan ekonomi, apalagi pembangunan di daerah-daerah. Penduduk di kota-kota besar di Jawa lebih baik penghidupannya karena tetap berlangsungnya roda perekonomian yang sudah tumbuh sejak jaman kolonial. Sedang didaerah-daerah, yang dulu berkembang, semakin merosot. Pemerintah Pusat, dalam keterbatasan sumber daya maupun perhatian mereka yang tersita besar dalam urusan politik, menjadi sangat sentralistis.
Dalam masa itu, saya dan juga teman-teman, melihat dengan hati sedih semua fakta kemiskinan dan kemelaratan rakyat itu. Hingga kondisi keluarga-keluarga prajurit di barak-barak. Saat itu kami hanya berpikir bahwa penyebab kekacauan politik, terlantarnya pembangunan, daerah-daerah mengalami ketidakadilan, semua itu adalah akibat dari masa-masa sebelumnya dan semakin [arah dihari-hari mendatang , karena makin tidak demokratisnya negara. Apalagi ditambah dnegan kehadiran PKI dalam pusat kekuasaan, dimana pemerintahan semakin condong ke kiri.
Saya yang semula, sebagai orang yang disayangi Presiden Soeharto dan KSAD Nasution, sebagai orang yang ‘diutus’ untuk menjinakkan Panglima TT-VII Kolonel Joop F. Warouw dan meredam gejala-gejala politik di Indonesia Timur, kini terlihat sebaliknya. Apapun resikonya, saya tidak mau hidup dengan rutinitas jabatan tinggi ini meskipun bergelimang kenikmatan, jika itu berarti merutinkan atau hanya meneruskan kehidupan masyarakat banyak dalam penderitaan.
Perjuangan Kami Jadi Pejuangan Nasional :
Soeharto dan Gatot Subroto Terlibat Aktif
Dalam bekerja, saya selalu tidak mau tanggung-tanggung. Sejak bulan-bulan akhir 1956, kemanapun saya pergi, saya mendorong gerakan pembangunan daerah dengan konsekuensi apapun. Tidak kecuali harus lebih dulu menetang pusat kalau menjadi penghalang.
Teman-teman di Sumatera Tengah dan Selatan mulai mengontak saya. Mereka mendengar cerita tentang aksi-aksi kami di Reuni SSKAD pada November 1956 yang sampai mempengaruhi Panglima Sumatera Utara, Kolonel Simbolon untuk segera bergerak. Di Jakarta pun begitu, saya langsung menggerakkan teman-teman di SUAD, di sekitar Nasution sendiri. Bahkan saya menemui WKSAD Brigjen Gatot Subroto.
Semula Pak Gtaot masih mau berbantahan, berusaha menjelaskan ini-itu. Dia memang jauh lebih senior. Juga atasan, sejak dulu. Tapi dilihatnya saya sangat yakin dengan apa yang saya sampaikan. Ia jadi lebih serius memperhatikannya. Padahal jelas saya sedang menghantam pihaknya, pihak pimpinan TNI-AD.
Tak disangka-sangka waktu saya pamit dari ruang kerjanya, tiba-tiba Pak Gatot yang mengiringi saya keluar berbisik, “Kita bicara dengan Soeharto di Tawangmangu.”
Saya mengentikan langkah. Karena nadanya terdengar serius, saya menatap Pak Gatot. Dia mengangguk, meyakinkan saya. “Ya, sekalian sudah lama ndak tetirah.”
Wah..., kalau begini, ini sudah gerakan nasional. Indonesia Timur, Sumatera Utara, Tengah, sampai Selatan. Jawa Barat sudah lebih dulu. Mereka pasti. Saya sudah bicara dengan Pak Sukanda, sekarang Jawa Tengah. Juga WKSAD, juga teman-teman SUAD di MBAD!
Sepanjang minggu ke-3 dan ke-4 bulan Januari 1957, saya, juga Pak Gatot, menjadi tamu Panglima TT-IV/Diponegoro Letkol Soeharto di Tawangmangu. Daerah pegunungan, sebelah timur kota Solo, kami menempati sebuah bungalow. Hawa disini sejuk, apalagi musim hujan. Pak Gatot sangat menikmati liburan nya disini.
Kami berunding dan membahas masalah-msalah nasional selama 2 minggu. Kalau kami sedang ngobrol bebas, Pak Gatot banyak memberi nasehat buat kami. Pak Gatot memang sesepuh Diponegoro. Kalau Pak Gatot ngobrol dengan Soeharto, saya lebih banyak diam, karena skaing asyiknya mereka ngobrol dalam bahasa Jawa. Sebaliknya, kalau sedang ngobrol santai begini dengan Soeharto, apalagi kalau ngobrol kenang-kenangan kami masa gerilya, Pak Gatot lah yang menjadi pendengar.
Bertiga kami merundingkan kesatuan pandangan kami mengenai masalah-masalah TNI-AD dan politik negara. Dalam hal pergantian pimpinan AD, Pak Gatot mengatakan siap menjadi KSAD, yang penting melalui prosedur yang benar. Jadi, Panglima TT Jawa Tengah, Soeharto bukan saja pendukung perjuangan kami menentang rezim Soekarno-PKI-Nasution, melainkan ia adalah eksponen perjuangan ini juga.
Itulah mengapa dalam Munas bulan September 1957, Soeharto-lah yang justru mendorong saya dan kawan-kawan perwira daerah untuk menuntut secara lebih keras.
“Kita paksakan saja!” kata Soeharto kepada saya dan DJ.Somba berkali-kali.
Sikap posisi Soeharto tesebut, sudah kesepakatan kami di Tawangmangu, bukan hanya ia perlihatkan kepada kami. Ia bahkan sudah menanamkan garis perjuangan kami itu pada jajaran TT-IV Jawa Tengah. Sehingga banyak kalangan di negeri ini sudah tahu posisi Soeharto, termasuk Bung Hatta.
Itulah mengapa ketika pecah PRRI, awal 1958, tak kurang dari Bung Hatta yang, dalam usahanya mencegah operasi militer pusat terhadap kami di Sumatera dan Sulawesi, mengatakan bahwa pasukan-pasukan di Jawa Tengah tak akan mendukung operasi militer pusat untuk memerangi kami. Ketika KSAD memerintahkan Panglima TT-IV untuk menggempur kami, Soeharto beralasan minta waktu untuk mempersiapkan pasukan. Nanti, setelah didekati langsung oleh Presiden Soekarno, baru akhirnya dikirim juga. Karena yang meminta adalah Kepala Negara, dan diingatkan bahwa itu untuk tugas negara, maka para panglima di Jawa itu akhirnya ‘terpaksa wajib’ mengirim pasukan.
Dikemudian hari, Dokter Engelen cerita ke saya kalau bertemu Gatot Subroto di Puncak. Pak Gatot bilang, “Soeharto sudah nunggu-nunggu, ndak dihubungi”.
Ya, memang kordinasi kami payah.
Upaya Nasution Memecah-Belah
Kekuatan Indonesi Timur
Bagi Nasution yang orientasinya hanya kekuasaan dan kekuasaan, politik dan politik saja, tidak dapat mengapresiasi upaya pembangunan ekonomi masyarakat yang padahal tidak boleh ditunda-tunda. Proklamasi Permesta segera terlihat sebagai tantangan dan ancaman. Maka, ia berusaha keras dengan segala cara untuk memotong perjuangan kami. Ia memecah belah kekuatan kami di Indonesia Timur. Dan ia berhasil, karena menemukan celahnya, yaitu Mayor M. Jusuf.
Sejak sebelum saya Panglima TT-VII Indonesia Timur, upaya tersebut sudah dilakukan, yaitu dengan mengadakan KoDPSST. Komando Daerah Pengamanan Sulawesi Selatan & Tenggara ini jelas-jelas merupakan pemecah belah komando Indonesia Timur, memotong dan memperkecil komando TT-VII. Ini terlihat dari 21 Batalyon Tempur yang ada di Sulawesi Selatan dan Tenggara, hanya 1 yang dibawah TT-VII. Pembagian itupun hanya berdasarkan suku. Satu batalyon kami, yaitu Yon 702 pimpinan John Ottay yang kebanyakannya orang Minahasa. Sedangkan 20 batalyon lainnya terdiri dari orang-orang dari Jawa dan Sulawesi Selatan. Begitu juga dalam staf KoDPSST, sebagai diangkat para perwira asal Sulawesi Selatan. Letkol M.Saleh Lahade menjadi Kepala Staf, Letkol Andi Mattalatta sebagai Wakil Panglima.
Sejak semuala saya tidak mempersoalkan kehadiran KoDPSST. Kalau alasan Nasution bahwa ini demi efektifitas operasi penumpasan DI/TII Kahar Muzakkar, mungkin karena ia berpikir kami dengan Kahar Muzakkar teman lama, sejak dari KRIS dan revolusi fisik di Jawa, bagi saya terserah saja. Walau pikiran saya itu adalah mengada-ada karena sesungguhnya Nasution sangat mengenal sifat saya yang obyektif dalam bekerja.
Kalau dibilang TT-VII didominasi perwira-perwira asal Minahasa itu prasangka orang yang tidak mengerti persoalan. Semua penempatan berdasarkan keputusan Reuni Brigade XVI, juga sudah sesuai dengan tingkat senioritas dan syarat-syarat lainnya, seperti lulus SSKAD. Reuni dimotori oleh Saleh Lahade dan Andi Mattalatta, jadi semua berjalan fair dan didukung oleh semua pihak berdasarkan semangat persatuan nasional. Mayor M. Jusuf yang baru pulang mengikuti pendidikan di AS, tidak disukai oleh tokoh-tokoh militer di Sulawesi Selatan sendiri, seperti Latkol M. Saleh Lahade dan Letkol Andi Mattalatta. Ia pernah ikut SSKAD, tapi tidak melalui prosedur dan ujian yang layak, Cuma karena membujuk Pak Gatot, karena ia bukan peserta reguler SSKAD, dan hanya berstatus sebagai pendengar saja. Bahkan, banyak rumor yang mengatakan bahwa M.Jusuf membujuk Pak Gatot dengan menyogok sesuatu yang saya rasakan tidak etis untuk diungkap di memoar ini. Begitu juga untuk masuk ke Fort Benning, pendidikan setingkat dibawah Fort Leavenworth, tidak melalui prosedur dari daerah, tidak melalui seleksi yang fair. Menurut Mattalatta, Jusuf langsung mendekati perwira-perwira kunci di MBAD.
Di AS, Mayor M. Jusuf berteman dekat dengan Ahmad Yani. Yani studi di Fort Leavenworth. Sepulang ke Indonesia, Jusuf tetap berhubungan baik dengan Yani yang menjadi Deputi KSAD. Setelah KoDPSST dibentuk, 3 bulan kemudian Jusuf dikasi memegang komando yang kemudian menjadi Resimen Infanteri Hasanuddin, dan mulailah semangat pengkotak-kotakan sukuisme oleh Nasution berjalan.
Begitu Permesta di Proklamirkan, Jusuf langsung melapor ke Ynai dan MBAD, dan minta intruksi militer. Artinya, memberi diri untuk menghantam kami. Padahal kenyatannya bersama M. Saleh Lahade, Dr. Engelen, Bing Latumahina, dia yang paling aktif merancang Permesta, justru sebelum saya ikut serta. Jusuf juga memprakarsai Dewan Hasanuddin, mengikuti jejak Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda di Sumatera. Mungkin tujuan Jusuf cepat-cepat melapor ke MBAD itu hanya sekadar untuk menyelamatkan diri sendiri bila ternyata Pusat menindak kami. Tapi itu sudah cukup menjadi celah penting untuk siasat Nasution bisa masuk, untuk memecah kekuatan inti dari Permesta.
KSAD Mayjen Nasution kemudiannya memanggil panglima-panglima daerah untuk rapat di Jakarta yang akan dimulai pada 15 Maret. Tapi tanggal 14 Maret mereka sudah mengumumkan SOB. Artinya, dalam rapat ia akan menekan kami dan dengan konsekuensi paling kecil yaitu kami akan ditangkap! Ahmad Hussein sampai tidak datang. Seperti itulah gambaran mengenai suasana tegang pada waktu itu, tapi saya tetap datang memenuhi panggilan. Dengan posisi saya yang seperti itu, yaitu sudah mendengar adanya rencana penangkapan, Nasution menjelaskan niatnya membagi TT-VII Indonesia Timur menjadi 4 wilayah militer yang masing-masingnya akan dipimpin oleh seorang Panglima. Sama dengan pembagian wulayah yang kami buat dalam struktur Permesta, namun bedanya kami dalam rangka memperlancar pembangunan disemua daerah, sedangkan Nasution hanya bertujuan untuk memecah belah kami.
Saya menolak keras. Sambil pura-pura tak mau menyinggung tentang tujuan Nasution yang sebenarnya berada dibelakang rencana pembubaran TT-VII itu, saya tetap bicara dalam rangka rasionalitas organisasi militer, efektifitas komando dan efisiensi administrasi sebuah organisasi teritorium tentara. Nasution tidak bisa membantah argumen saya soal-soal organisasi. Saya menyampaikan kesimpulan saya : Membubarkan TT-VII hanya akan memperpanjang dan mengakibatkan kekacauan. Saya bersuara lantang,
“ Tolong jangan diteruskan. Karena tuan-tuan akam menimbulkan perang saudara!” saya tegaskan. Semua hadirin terdiam.
Sebenarnya ada juga usaha nasution untuk menyelesaikan masalah kami dengan cara lain. Diluar rapat, saya juga mengadakan pertemuan dengan Nasution dirumahnya. Waktu saya datang, pagi hari, Nasution bilang,
“ Saya belum pernah menyediakan minum dan snack untuk tamu lho, tapi untuk Ventje saya harus cari dan beli tadi.”
Dalam suasana yang lebih pribadi ini, saya melihat bahwa dia berharap saya mau minta maaf. Tentu saja saya akan minta maaf kalau memang saya ada salah sama dia secara pribadi. Tapi Permesta adalah perjuangan rakyat, bukan urusan saya pribadi. Dan Permesta pasti bukan kesalahan, tidak mungkin saya akan minta maaf untuk itu! Dalam perbincangan kami itu saya sampaikan kepada Nasution kemungkinan intervensi AS secara langsung lantaran keberadaan PKI yang sudah duduk manis dalam pemerintahan. Keberadaan PKI dalam pemerintahan dimulai berdasar Konsepsi Presiden yang di umumkan pada Februari 1957. Intervensi AS berdasar doktrin resmi mereka, yang terkenal dengan Einshower Doctrine.
Dengan jaminan keamanan dari Resimen Hasanuddin Mayor M. Jusuf, Nasution berkinjung ke Makassar akhir Mei 1957. Nasution berusaha menaklukkan saya, melakukan psywar. Pernah juga Saleh Lahade memperingatkan Ahmad Yani tentang apa yang terjadi. Saleh Lahade mengatakan,
“ Pangkal persoalan sebenarnya bukan karena hirarki militer, tidak ada urusan soal itu. Ini soal pembangunan dan sekaligus dengan itu membendung bahaya merah. Ahmad Yani menangkis,
“ Ah, itu soal politik saja Pak Saleh....... Mendengar jawaban Yani yang seperti itu, Saleh jadi putus asa menjelaskan, maka Saleh hanya berkata berkata,
“ Kalau begitu, silahkan! Kalau bapak-bapak mau digantung sama PKI!”
(Siapa sangka kemudian ucapan Saleh Lahade ini ternyata benar-benar terbukti. Yani dibunuh oleh PKI, Nasution berhasil lolos, namun putrinya menjadi tumbal)
Dalam suatu perdebatan sengit di Makassar itu, saya dan Nasution berdebat berjam-jam. Saya lantas bilang,
“ Saya sebetulnya bisa saja menangkap kamu! Tapi saya pikir, untuk apa coba? Tidak ada gunanya. Itu tidak akan menyelesaikan masalah!”
“ Ya, saya pikir juga begitu,” kata Nasution.
Bagaimanapun upaya Nasution berhasil. Ia memainkan terus sentimen perbedaan Suku. Dukungan terhadap Permesta di Sulawesi Selatan tersu menurun. Maulai dari Mayor M. Jusuf, Komandan Resimen Hasanuddin, hingga Gubernur Andi Pangerang Pettarani, semuanya dibakar dengan sentimen kesukuan. Setelah likuidasi oleh Nasution, saya tetap memimpin Permesta. Mayor DJ. Somba kemudian meminta agar saya pindah saja ke Utara. Juni 1957, Markas Permesta saya pindahkan ke Kinilow, Minahasa.
Dikemudian hari, datangkah para menteri-menteri dario Pusat mengunjungi Sulawesi Utara, lengkap dengan segala janji-janjinya tentang pembangunan nasional, serta perbaikan taraf hidup masyarakat. Nmaun, semuanya hannya retorika belaka. Politik memang dengan gampang saja menjanjikan suatu janji yang semu, namun tanpa realisasi sama sekali. Dengan itu, tekad Permesta tetap berjalan terus, bahkan makin merakyat.
Peristiwa Cikini, Siapa Dalangnya?
Tanggal 30 November, Presiden Soekarno yang tengah menghadiri acara sekolahan anaknya di Perguruan Cikini di granat. Presiden luput dari maut, tapi beberapa anak kecil, murid sekolah tewas. Dengan adanya peristiwa ini, semuanya langsung berubah! Karena pihak "sebelah" cepat-cepat menyebar tuduhan bahwa pelaku peristiwa keji itu adalah Kolonel Zulkifli Lubis, maka didalam suasana polarisasi politik seperti ini semua yang ada dipihak kami langsung menjadi sasaran tembak.
Malam itu juga, pada waktu Nasution menghadap ke Istana, Presiden Soekarno dengan emosinya langsung memutuskan :
" Stop pembicaraan dengan mereka! "
Yang dimaksudkan "mereka" itu adalah kami. Artinya, tidak akan ada lagi runding-runding, musyawarah, dan tidak akan ada lagi damai seperti yang telah disepakati. Di Istana waktu itu ada Letkol Djahar, Komandan KMKB Jakarta. Begitu mendengar perintah Presiden, Djahar menghadap Nasution dan berkata,
" Mulai sekarang, saya hanya patuh pada perintah Panglima Tertinggi! "
Artinya, Nasution dan Yani pun sekarang tidak bisa lagi menghalangi langkah-langkahnya untuk memperjuangkan kepentingan PKI, yaitu mengantam kami. Djahar kemudian hari diketahui sebagai perwira binaan PKI.
Kmai semua kaget luar biasa mendengar kejadian di Cikini itu. Pihak kami berusaha keras menyelamatkan hasil-hasil Munas. Besoknya saya memerintahkan teman-teman untuk mencari tau keberadaan Lubis. Ia memang sudah lama buron, tapi diantara kami, ada yang tahu dimana tempat-tempat persembunyiannya. Saya mau tau, kalau benar dia yang mendalangi peristiwa itu, apa maksudnya? Kalau tujuannya benar, kami akan mendukungnya, namun kalau terbukti salah, saya sendiri yang akan meringkusnya dan saya serahkan ke aparat hukum! Namun, sedari awal saya sangat yakin ini bukan perbuatan Lubis. Zulkifli Lubis perwira intelijen dan lapangan yang snagat jempolan, pasti tidak akan mungkin melakukan perbuatan pengecut itu.
Alwin Nurdin dan Kusnowibowo kemudian berhasil bertemu Lubis ditempat persembunyiannya di daerah Cideng, dan menyampaikan pesanan saya. Di rumah Prajitno, Lubis menjelaskan semuanya. Bukan hanya mengenai sama sekali bukan perbuatannya dan ketidak terlibatannya, tapi sebagai “Raja nya Intel” dia cepat tau semua informasi, siapa-siapa saja yang berada dibalik peristiwa Cikini yang pengecut itu.
Pada tanggal 30 November malam itu, Kolonel Zulkifli Lubis yang masih buron justru ada appointment dengan Kolonel Mokoginta dan Kolonel Sudirman. Mereka berencana bertemu disuatu tempat. Lubis akan memberikan penjelasannya selaku orang yang bisa mengetahui semuanya apa saja langkah selanjutnya, juga menjelaskan sejernihnya tentang konstelasi politik seerta langkah-langkah obyektif yang tidak boleh dan harus diambil. Lubis sangat yakin, Mokoginta dan Sudirman akan bisa diarahkan untuk lebih tegas dalam obyektifitas, demi menyelamatkan bangsa dan negara yang diambang perang saudara. Tapi akibat peristiwa Cikini, pertemuan mereka batal, karena Jakarta sudah geger. Peristiwa Cikini ini dengan cepat langsung tersebar luas baik didalam maupun diluar negeri.
Malam itu, Lubis langsung bertemu dengan Saleh Ibrahim, pengikutnya, yang juga ketua kelompok pemuda Sumbawa yang asramanya di Cikini. Disini terungkap oleh Lubis, bahwa pelaku penggranatan sebenarnya adalah anak asrama disitu yang bernama Jusuf Ismail yang juga adalah aktivis kelompok politik Islam dari gerakan Nasuhi, yang beberapa bulan sebelumnya melakukan penggranatan terhadap kantor pusat PKI dan SOBSI. Saleh Ibrahin mengaku sudah berupaya keras mencegah, tapi ditersukan juga. Kemudian muncul cerita tidak sedap, bahwa para pemuda Sumbawa itu sebetulnya memilik dendam pribadi pada Bung Karno, lantaran seorang anak saudara perempuan mereka pernah dibuat sakit hati. Merasa dipermainkan oleh Bung Karno.
Dalam Peristiwa Cikini itu, bukan Lubis, tapi tuduhan awal yang diarahkan padanya, pada pihak kami, ternyata sudah cukup untuk merubah situasi jadi terbalik semua. Semuanya langsung percaya saja akan cerita yang kemudiannya terbukti sebenarnya adalah karangan intelijen yang pro PKI. Semua jadi percaya bahwa Lubis adalah dalangnya. Semua lantas percaya bahwa bahwa granat yang dipakai itu dibawa langsung oleh Mayor Nawawi dari Palembang. Pendeknya, ceritanya sudah lengkap, berikut kronologinya.
Sampai tahun 1960-an Lubis selalu menuntut agar dirinya diperiksa dalam proses pengadilan yang obyektif, namun pemerintah tidak berani. Pemerintah selalu mengatakan : Masalahnya sudah selesai! Ktika kemudian Lubis menyerahkan diri untuk ditangkap, saat diperiksa oleh Jaksa Eddy Mambu, Lubis mengatakan dalam nada bercanda, namun sangat logis :
“ Tuan Jaksa, kalaulah benar saya adalah dalangnya, mana mungkin meleset?! Presiden pasti mati waktu itu juga...!” Percakapan ini diceritakan langsung Eddy kepada saya.
Begitulah, lawan dengan lihainya dan sebenarnya sudah terdesak oleh hasil Munas bisa berbalik menghantam kami. Dengan amat lihai dan cepat, memanfaatkan isu Peristiwa Cikini. Kami sebagai pihak yang sudah menang hasil Munas dan berhasil memaksa pemerintah Pusat untuk memprioritaskan pembangunan nasional dan pemberantasan kemiskinan, sekarang bukan hanya berbalik menjadi pihak yang kalah, bahkan buron! Bahkan, Korps SSKAD yang aktif dalam Fact Finding Comission – Letkol Sutomo, letkol Rusman, Mayor Alwi Nurdin, dan Mayor Kusnowibowo kemudian ditangkap. Alwi Nurdin dan Kusnowibowo kemudiannya ditahan samapai 4 tahun lamanya. Mungkin karena ‘dosa’ mereka bertemu Lubis, padahal kemudiannya Lubis terbukti tidak berbuat apa-apa.
Saya merasa penting untuk mencatat tentang penangkapan teman-teman saya dalam memoar ini. Sebab lain, yang bagi saya merupakan yang terpenting, yaitu karena saya selalu mengingat akan keteguhan dan setia mereka kepada prinsip-prinsip yang benar. Pengorbanan mereka sangat luar biasa besar. Mereka adalah perwira-perwira cerdas yang sangat langka, dan negara sangat beruntung pernah memiliki mereka. Alwin Nurdin adalah angkatan pertama perwira Indonesia yang studi di Breda, Belanda. Bersama Gerungan, Alwin Nurdin sejak lama sudah menjadi konseptor dalam TNI-AD. Mereka telah menskorskan diri mereka yang seharusnya sangat berharga untuk kepentingan militer negara ini. Memang sejak diskors oleh Nasution beberapa bulan sebelumnya, Wakasad Gatot Subroto sudah pernah memberi peringatan, bahwa selama Nasution masih berkuasa, jangan harap karir mereka akan bisa lancar dan selamat!
Sungai Dareh: Husein Bingung Karena Barlian Takut
Karena aparat hukum dan tentara di Pusat mulai gencar mengarah kepada kami, beriringan dengan kampanye besar-besaran media massa yang pro-PKI begitu hebat menghantam kami, saya di Sulawesi Utara segera melakukan langkah-langkah untuk berjaga-jaga. Nmaun, perhatian tehadap proyek-proyek pembangunan seperti pembangunan jalan raya, bandara udara, pelabuhan, infrastruktur, pusat pertanian, perumahan prajurit, tetap berlangsung. Malahan saya pernah berpikir untuk berkonsentrasi saja pada pembangunan yang sedang kami jalankan di daerah. Jangan terlalu sibuk dengan politik di Jakarta.
Suatu hari, Letkol Barlian mengontak saya, meminta saya ke Sumatera untuk bersama sejumlah tokoh politik nasional membahas langkah-langkah selanjutnya setelah terjadinya pembatalan hasil-hasil Munas. Memang sejak tanggal 7 Desember, pemerintah melalui Dr. J. Leimena, sudah secara resmi mengumumkan bahwa hasil-hasil Munas dibekukan sampai waktu yang tidak ditentukan. Sudah buyar semua! Bahkan kami sekarang sedang menjadi sasaran untuk dihukum!
Menjelang Natal 1957, saya meninggalkan suasana persiapan perayaan Natal di Sulawesi Utara, menuju Sumatera. Tapi sudah tidak bisa lagi melalui jalan biasa, yaitu dengan pesawat ke Jakarta dan seterusnya, karena mungkin saya akan ditangkap di Jakarta. Saya menumpang kapal Kopra dari Manado. Arah pertama adalah pelabuhan Sandakan di Sabah, kemudian Miri di Sarawak, lalu ke Kuching. Dari Kuching saya menyeberang ke Singapura. Dari Singapura, bersama dengan Arie Supit dan Soemitro Djojohadikusumo saya menyeberang ke Pekanbaru. Kemudian melalui jalan darat ke Padang, dari Padang terus ke selatan, ke Sungai Dareh. Salah satu negeri bagian di daerah selatan Sumatera Barat. Pertemuan di Sungai Dareh adalah atas inisiatif Letkol Barlian, Panglima Sumatera Selatan. Pertemun rencananya pada tanggal 9-10 Jnauari 1958. Turut hadir pada pertemuan tersebut selain saya dan Barlian, ada Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Ahmad Husein, Kolonel Dahlan Djambek, juga hadir para politisi negarawan senior.
Menjelang tengah malam, saat saya hampir tertidur, pintu kamar diketuk. Kedengarannya mendesak. Saya buka pintu, ternyata Ahmad Husein. Saya lihat dia seperti kebingungan, sepertinya ada yang gawat.
“ Ada apa? ” tanya saya.
Husein tidak langsung menjawab, sepertinya sedang mencari kata-kata yang tepat. Dia mengajak saya bicara diluar rumah, mungkin dia tidak mau jika ada yang mendengar pembicaraan kami. Dia lantas bicara dengan tegang,
“ Barlian kemungkinan besar akan mundur Tje. Tak jadi ikut. Padahal, dia yang dari dulu paling keras bicaranya. Dia takut.....”
“ Kenapa takut? “
“ Katanya.....karena dia terlalu dekat dengan Jakarta.”
Begitulah kalau dasarnya sudah takut. Faktor kedekatannya dengan Jakarta bukannya jadi sesuatu yang menguntungkan, faktor yang mempermudah mencapai kemenangan, malahan jadi faktor yang negatif dimatanya.
“ Jadi, bagaimana? Kita berdua saja bisa? “ tanya Ahmad Husein.
“ Ok! “
Begitulah, hasil pertemuan di Sungai Dareh memutuskan berdirinya Dewan Perjuangan., Dengan Ketua : Kolonel Ahmad Husein, Sekjen : Kolonel Dahlan Djambek. Anggota : Saya, Kolonel Mahudin Simbolon, Kolonel Zulkifli Lubis, Mayor Sjoeib, Mayor Anwar Umar, Muhammad Natsir, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Burhanuddin Harahap, Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Mayor Boyke Nainggolan, mayor Nawawi, Mayor Sahala Hutabarat, Mayor Nusjirwan, dan Amelz. Amelz berasal dari Aceh dan merupakan tokoh Perti – Partai Islam terbesar di Sumatera.
Diminta Memimpin Angkatan Perang Pemerintahan Tandingan
Dewan Perjuangan akan memperjuangkan secara lebih tegas semua yang kami tuntut selama ini, baik yang kami rumuskan dalam Piagam Palembang, maupun Piagam Permesta. Dan, berdasar penngalaman Munas maupun kondisi politik yang berkembang setelah terjadinya Peristiwa Cikini, maka tuntutan kami sekarang lebih kepada pergantian manusia-manusia yang sedang memegang kekuasaan. Karena sudah jelas masalah selama ini bersumber dari ahlak, moral dan perilaku manusianya.
Dalam rapat, saya dan Lubis sama menekankan ulang-ulang bahwa Jakarta pasti akan bertindak keras. Untuk menghadapi langkah-langkah Nasution Cs. Yang memposisikan kami sebagai pihak yang harus ditindak secara militer, kami harus bersikap realistis. Harus sipa dengan segala kemungkinannya. Jadi, harus siap perang! Si Vis Pacem Parabellum. Untuk hidup damai sebagai suatu bangsa, kami ternyata harus siap-siap berperang. Bila tuntutan damai tidak tercapai, Dewan Perjuangan akan ditingkatkan menjadi pemerintahan tandingan, karen apemerintah yang berkuasa sudah melanggar sendiri konstitusi.
Dalam pemerintahan alternatif, untuk angkatan perangnya, rapat mempercayakan kepada saya. Saya yang akan memimpin. Saya tak menolak untuk saat itu, tapi untuk idelanya, saya juga mengusulkan nama Bung Alex Kawilarang. Semua setuju, saya yang akan menghubungi Bung Lex di AS. Kalau Bung Lex setuju, dia akan kami angkat menjadi Panglima Besar dengan pangkat Mayjen. Saya KSAD dengan pangkat Brigjen, sambil tetap memegang komando di Indonesia Timur. Kolonel Simbolon menjadi Kordinator Pertahanan. Panglima-panglima utama di Sumatera adalah Ahmad Husein dan Barlian. Kalau Barlian memang mundur, Mayor Nawawi yang akan memegang pasukan andalan Sumatera Selatan. Sumatera Utara ada Mayor Boyke Nainggolan. Semua nanti rencananya akan bergerak ke selatan, memperkuat posisi penyerbuan ke Jakarta. Dua pimpinan militer di Sumatera Selatan, Mayor HV. Worang dan Mayor Panggabean sudah tidak muncul lagi di Sungai Dareh. Itu berarti, sama dengan Barlian mengundurkan diri. Maraden Panggabean sebenarnya mau ikut, dia pernah mengatakannya kepada Zak Kamidan, dia mau ikut asalkan dikasi uang yang memadai untuk biaya hidup keluarganya.
Barlian akan didekati lagi. Alasannya dia kekurangan senjata. Ahmad Husein menjanjikan akan mengirimkan 1000 pucuk senjata baru. Dia bilang kurang logistik, saya menyanggupi untuk mengirimkan beras, hasil barter Kopra di Singapura. Beras kualitas A dari Indocina.
Pertengahan Januari 1958, dari Sumatera Barat, saya bersama Soemitro Djojohadikusumo, Kapten Arie Supit dan Letnan Tema ke Singapura untuk membeli senjata. Rencanayan, kami juga akan menyeberang ke Hongkong, Taiwan, dan Jepang. Dari Sumatera menyeberang ke Penang, kami dijemput oleh Nun Pantouw, langsung kami diantar ke Singapura. Nun memang selalu berada diwilayah-wilayah ini, ia selaku perwakilan badan perdagangan luar negeri yang didirikan Permesta.
Waktu berada di Singapura, saat sedang makan di restoran, datang beberapa orang bule, diperkenalkan oleh Soemitro. Yang paling depan mengaku dari Inggris, tapi namanya tidak saya hapal, karena sejak semua saya sudah tau mereka adalah agen rahasia, jadi pasti nama yang diperkenalkan nama samaran. Kalau nda salah ingat, waktu itu dia bilanga namanya “Fisher”.
Setelah bicara-bicara, dia lantas menawarkan senjata. Wah, kami memang cari itu! Ternyata kemudian saya tau, Soemitro dan Nun Pantouw sudah berhubungan lebih dulu dengan mereka. Tepatnya, CIA yang lebih dulu menghubungi mereka. Dan ternyata lagi, mereka sudah lama menjalin kontak dengan Simbolon dan Ahmad Husein, saya saja yang baru tau. Saya sekarang tidak mempermasalahkan hal tersebut, orang ini sudah datang kepada saya, mempermudah perjalanan saya dan pekerjaan saya untuk membeli senjata.
Dengan bersemangat, saya menyebutkan satu persatu mesin-mesin perang yang kami butuhkan. Fisher mencatat satu persatu. Selain persenjataan untuk infanteri, saya juga meminta persenjataan artileri untuk 2 batalyon dengan persenjataan yang paling modern, termasuk persenjataan anti-aircraft. Fisher kemudian menyebutkan juga beberapa item yang bukan produk negaranya yang bis ia siapkan. Dua menawarkan saya memesannya. Setelah saya hitung cukup, cukup buat kebutuhan kami dan cukup untuk kemampuan uang kami saat itu, saya lantas bertanya,
“ Tital harganya berapa semuanya? “
Fisher tersenyum, menggelengkan kepala,
“ Free Sir! “
PRRI DI INDONESIA TIMUR
SABOTASE AS DI FRONT SUMATERA
Di Sulawesi Utara dan Tengah, dukungan buat PRRI sangat luar biasa. Drai semua lapisan masyarakat, pemuda, mahasiswa, laki-laki, maupun wanita. Bahkan pelajar sekolah pun meninggalkan bangku sekolah, karena umumnya para guru juga turut serta. Prajurit TNI, Perwira, Bintara, dan Tamtama, terutama yang berdarah Minahasa mengalir masuk dari Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Selatan, bahkan Filipina. Mereka dari berbagai macam kesatuan. Ada yang dari RPKAD, Kostrad, KKO, dan lain-lain. Mereka umunya minta bercuti untuk “pulang kampung’, padahal datang bergabung dengan PRRI. Bahkan 1 Peleton RPKAD yang bergabung lengkap dengan senjata mereka. Dukungan juga mengalir dari masyarakat Gorontalo dan Sangihe-Talaud. Begitu juga masyarakat etnis Bolang Mongondow.
Memang diakui, meski tetap ada sejumlah orang asal Gorontalo dan Sangihe-Talaud dijajaran pemerintahan maupun tentara sampai saat akhir, namun dukungan masyarakat daerah-daerah tersebut menjadi merosot dan mengalami kemunduran saat babak-babak akhir pergolakan PRRI. Hal ini tak lain adalah karena gagalnya pembinaan teritorial oleh pasukan-pasukan PRRI di wilayah-wilayah tersebut. Bnayak anggota pasukan PRRI yang berlaku semena-mena terhadap penduduk setempat, bahkan Nani Wartabone selaku orang yang dituakan diwilayah tersebut, berbalik mendukung musush PRRI. Begitu juga dengan Mayor John Rahsia, hampir saja ditangkap oleh PRRI kalau dia tidak cepat-cepat meloloskan diri.
Kekecewaan seperti ini memang sering jadi faktor beralihnya sikap politik. Seperti yang dialami oleh Mayor TNI-AL John Lie misalnya. Semula ia sangat bersimpati dengan permesta, dan langsung bergabung ketika saya ajak. Waktu itu, saya ngobrol dengannya diatas kapal yang dinahkodainya, KRI Gajah Mada, salah satu kapal andalan ALRI. Saya waktu itu mengawal Presiden Soeharto yang berkunjung ke Jailolo dan Merotai menggunakan KRI ini. Sewaktu menyaksikan kecanggihann kapal ini dari dalam, betapa peralatannya lengkap dan modern, termasuk persenjataannya. Maka, saya jadi berpikir lain. Waktu itu, Permesta sudah saya Proklamirkan. Saya menegur John Lie,
“ Ngana bawa jo ni kapal ka Manado voor gabung deng torang “ saya ‘menghasut’ John Lie saat sedang bersama disalah satu ruang kapal, dalam dialek Manado. Joh Lie memang berasal dari Manado. Jawaban John Lie tidak saya duga sebelumnya, sebetulnya saya bicara seperti itu hanya sebagai pengungkapan rasa kekaguman saya terhadap kacanggihan kapal yang dinahkodainya. Joh dengan mantap langsung menjawab,
“ Boleh! Saya mau. Saya setuju dengan Permesta. Asal membawa kemakmuran, pembangunan untuk rakyat dan negara ini, saya sangat setuju.”
Tapiii....ada ‘tapi’-nya. Walau dia menyakan setuju, tapi dia mengajukan semacam syarat,
“ Setuju! Tapi pecat dulu si . . . . . . .!” (Ia menyebut dua nama perwira yang tidak perlu saya sebutkan disini).
Dikemudian hari saya mendapat keterangan dari berbagai pihak, bahwa kekecewaan John Lie terhadap ke dua perwira tersebut karena mereka berdua sudah terlalu sering terlibat bisnis curang, juga menjadi backing untuk bisnis curang, bahkan memeras, sehingga snagat merugikan para pedagang keturunan Tionghoa di Sulawesi Utara. Beberapa pedagang yang mengalai kerugian akibat dicurangi dan diperas oleh kedua perwira tersebut adalah kerabat dekat John Lie.
Begitulah dukungan bagi PRRI mengalami kemunduran besar dimana-mana, sehingga sangat merugikan posisi kami disaat perang. Karena, pihak orang-orang kami sendiri yang lebih dulu membawa kekecewaan besar dimana-mana, lebih dari sekadar apa yang bisa kita maklumi sebagai ekses dalam situasi darurat perang. Mak, dalam pergolakan PRRI, sedari awal John Lie yang sangat pemberani itu sudah diandalkan oleh Pemerintah Pusat untuk memadamkan pemberontakan di wilayah Sumatera. Dengan pangkat Letkol, John Lie dipercaya sebagai Wakil Komandan I mendampingi Kolonel Ahmad Yani. Begitu juga saat menyerbu Sulawesi Utara, John Lie yang kendati adalah teman dekat Alex Kawilarang itu, menjadi Komandan Armada yang bahkan mengarahkan penyerangan dan pendaratan oleh pasukan Rukminto.
John Lie atau Jahja Daniel Dharma berkarir terus di TNI-AL dan mencapai pangkat Laksamana Muda sebelum pensiun. John Lei, lahir di Manado 1911 dengan nama Lie Tjeng Tjoan, tapi sejak kecil diberi nama John, nama yang khas di masyarakat Minahasa, karena sejak beberapa generasi memang sudah berasimilasi dengan penduduk Minahasa.
Kawilarang Panglima Besar PRRI
Joop Warouw Waperdam PRRI, Jadi Kebanggaan!
Saya menyurati Kawilarang di AS. Nun Pantouw saya suruh me,bawa surat itu ke Washington DC. Sebagai Atase Militer RI untuk AS, Bung Lex berkedudukan di disana. Setalah Bung Lex setuju, kami mengangkatnya sebagai Panglima Besar PRRI. Bung Lex juga langsung berangkat meninggalkan AS menuju Sumatera. Sampai di Singapura ia tidak bisa langsung ke Sumatera Barat, lantara pesawat milik tentara Inggris yang akan mengantarnya ‘mengalami kerusakan’, sementara pesawat-pesawat AURI sudah mulai gencar menguasai wilayah itu, tentara Pusat juga sudah diterjunkan ke pekanbaru. (Kemudian terbukti bahwa perjalanan Kawilarang ternyata disabot oleh Inggris dan AS, karena kedua negara ini sudah beralih haluan menjadi pro-Nasution Cs.). Namun upaya Kawilarang tidak terhenti disitu, ia antaranya merancang organisasi dan strategi operasi Angkatan Perang PRRI dari Singapura. Di Singapura, Kawilarang bersama Kolonel Daah Jahja yang juga menjadi Kepala Staf dalam APREV.
Begitu juga dengan Bung Joop Warouw. Ia sedang menjabat sebagai Atase Militer RI untuk RRC. Periwra 40 tahun yang cemerlang inipun terkenal sebagai kepercayaan Bung Karno. Bung Joop langsung menyatakan dirinya bergabung dengan kami ketika saya bertemu dengannya di Hongkong. Joop Warouw kemudiannya menjadi Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Pembnagunan PRRI.
Saya merasa sangat terharu dengan pengorbanan Kawilarang dan Warouw yang rela meninggalkan kedudukan nikmat mereka dan jabatan masing-masing, bahkan ternyata karir mereka!. Di zaman manapun, selalu akan ada orang-orang yang oportunis, tetapi yang membedakan dengan zaman kami ialah begitu banyak sata mengenal teman yang seperti Bung Lex dan Bung Joop ini, mereka selalu siap sedia berdiri dipihak yang benar dan adil tanpa memikirkan resiko bahaya bagi jabatan mereka sendiri, bahkan nyawa nya. (Perlu diingat, pada masa itu harkat seorang Atase Militer sangat dipandang tinggi. Sebagai perbandingan, para politisi yang telah berkali-kali menjabat sebagai menteri pun tidk pernah mempermasalahkan ketika diangkat menjadi Duta Besar).
Bersiap Raid to Jakarta
Saya memimpin langsung operasi besar merebut Maluku Utara. Traget kami Merotai, dan tentu saja Ternate. Kota Ternate sebagai bandar laut dan pusat perniagaan daerah kepulauan tersebut. Yang terpenting Merotai dengan pelabuhan udaranya. Lapangan terbang Merotai baru dibangun pasukan Sekutu pada PDII, memiliki landasanpacu yang panjang, sehingga bisa dijadikan sebagai pangkalan untuk pesawat-pesawat pengebom B-29 yang bermesin empat. Disinilah armada AUREV – yang dipimpin langsung oleh Petit Muharto Kartodirdjo akan bertolak menyerbu Jakarta. Ini Grand Strategy kami sejak awal.
Pendudukan Merotai adalah sukses besar, dan sangat bernilai strategis. Kendati pasukan saya hanya 1 batalyon minus, 4 kompi plus 1 kompi artileri. Masing-maisng dipimpin oleh Felix Tuyuh, Yo Lumanauw, Togas, Tangka, dan Jongky Kumuntoy. Umumnya, prajurit kami pun hnyalah para pemuda dan anak sekolah yang belum lama dilatih. Artileri kami hanya menggunakan meriam-meriam peninggalan KNIL. Untuk air cover, hanya sebuah pesawat Mustang yang dipiloti oleh Hari Supandi (Penerbang AURI yang ikut AUREV-PRRI). Kmai juga menyiapkan rumah sakit darurat diata sebuah kapal, yang dipimpin oleh dr. Mochtar. Saya selaku Komandan Operasi, Nun Pantouw Kepala Staf.
Dari Manado kami berangkat dengan 4 kapal kecil, tidak ada kapal perang. Menyeberangi laut Maluku, saat mendarat di Susupu kami menggunakan tongkang. Tongkang-tongkang ditarik dengan tugboat. Hanya dalam 1 pekan di akhir April 1958, lapangan terbang Merotai, Kota Ternate, dan Jailolo berhasil kami rebut. Saat kami mendarat di Susupu dan Merotai, pasukan Brimob yang berjaga disana langsung melarikan diri. Tanpa perlawanan berarti, pasukan penjaga lapangan terbang Jailolo pun menyerah dna menyatakan diri bergabung dengan kami. Komandannya, seorang Kapten asal Padang datang menghadap saya. Kami mengadakan upacara atas masuknya mereka kedalam APREV. Saya perintahkan mereka dikasih uang masing-masing dua kali lipat dari gajinya.
Pendudukan Merotai langsung disiarkan secara meluas oleh pers-pers Barat, semacam berita kemenangan. Karena kemajuan yang penting dan strategis ini, pemerintah AS langsung menjanjikan untuk mengerahkan segala bantuan peralatan perang untuk kami. Padahal, niat mereka semula sudah surut, sudah berbalik arah, sehingga PRRI di front Sumatera jadi mudah dihantam Pusat.
Kami pun melancarkan operasi-operasi yang bertujuan untuk menghalangi armada udara maupun angkatan laut tentara pusat agar tidak dengan mudah menjangkau wilayah Sulawesi Utara, Tengah yang sekarang menjadi Markas PRRI setelah dipindah dari Sumatera. Seminggu sebelum Mlauku Utara kami duduki, tepatnya tanggal 13 dan 16 April, bandara udara Mandai di Makassar, dan Balikpapan kami bombardir. Habis sudah tempat-tempat transit strategis yng mungkin akan bisa dipakai oleh pesawat-pesawat AURI dari Jawa.
8 Mei 1958, pasukan yang dipimpin oleh DJ. Somba menguasai kembali wilayah Sulawesi Tengah. Pasukan tentara pusat di Parigi dihancurkan. Sulawesi Tengah memang adalah wilayah teritorium KDMSUT yang dipimpin Somba. Tapi sepanjang bulan April, tentara Pusat yang didatangkan dari Kalimantan, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, berangsur-angsur menguasainya. Bermula dari ‘berbalik gagang’ nya Frans Karangan. Padahal saya yang dulu menfasilitasi Frans Karangan membangun pasukannya. Dengan membaliknya pasukan Frans Karangan waktu itu, pasukan-pasukan yang dikirim oleh Nasution menjadi lebih bebas menyusup masuk kedalam Kota Donggala dan Palu. Sampai akhirnya, pasukan Pusat tersebut mengejar-ngejar pasukan kami yang dipimpin oleh Bolang, disinilah Mayor Palar gugur. Pasukan tentara pusat semakin jauh merengsek maju, terus menghantam pasukan PRRI yang dipimpin Mayor Dee Gerungan dibagian timur Sulawesi Tengah. Sekarang, dengan masuknya kembali pasukan PRRI yang dipimpin oleh Letkol DJ. Somba, keadaan menjadi terbalik. Tentara Pusat menjadi yang dikejar-kejar dan masuk hutan, menjadi pasukan gerilya. Namun, aksi mereka tidak menjadi hambatan berarti bagi rencana operasi kami merebut Jakarta.
Kami sudah mempersiapkan operasi yang matang untuk merebut Jakarta. Teman-teman menamakan strategi operasi ini Jakarta Special Operation. Garis besarnya dari saya, perancangan strategi rincinya saya minta dikerjakan oleh tim yang dipimpin Dee Gerungan, tamatan Sekolah Tinggi Ilmu Perang (Hogere Krijgschool) Breda, Belanda. Rencana ini sebenarnya sudah rampung sejak Februari 1958. Tapi, rencana operasi awal tersebut berbeda dengan yang sekarang sedang kami jalankan. Yang sebelumnya itu bersifat nasional, realisasinya oleh seklaigus 3 Komando Daerah Militer sebagai ujung tombak itu sudah batal. Sikap Panglima Sumatera Barat, Letkol Barlian yang menarik diri disaat-saat akhir sangat berdampak besar bagi teman-teman di Sumatera, meski Nawawi tetap setia.
Saya putuskan, Komandan Operasi Jakarta Special ini adalah Mayor Wim Tenges. Perwira ini sangat berpengalaman sejak Perang Kemerdekaan di Jawa lagi. Di dalam PRRI, ia adalah satu komandan Distrik Militer di Minahasa. Pasukan-pasukan dibawah komando Tenges itu sendiri terhitung yang paling berkualitas di kalangan pasukan-pasukan PRRI di Sulawesi. Mereka memang mantan TNI, termasuk didalamnya satuan RPKAD, KKO yang desersi dan bergabung dengan kami. Alex Kawilarang sendiri aktif memberikan masukan-masukan dan nasehatnya tentang rencana operasi kami.
Sambil persiapan dan perjalan pasukan menuju Jakarta, pesawat-pesawat kami-yang akan di datangkan lagi dalam jumlah lebih banyak melalui Home Base AS Clark Field di Filipina, akan membom semua tempat pasukan musuh. Dengan kawalan pesawat-pesawat tempur, pasukan penyerbu akan bergerak dari Sulawesi Utara dan Tengah dengan menggunakan armada kapal pesisir. Kami akan menyeberangi Selat Makassar menuju Balikpapan lalu tersu ke Banjarmasin. Dari selatan Kalimantan itulah kami akan melakukan persiapan final menyerbu Jakarta. Armada AUREV selain mengawal operasi, akan juga melancarkan starfing bilamana pasukan menghadapi halangan oleh musuh didarat maupun dilaut. Sejumlah pesawat pembon akan beredar ke segala penjuru untuk menghantam basis-basis tentara Pusat. Di Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat, teman-teman sudah menunggu. Disini kami sangat mengandalkan kesatuan Siliwangi di Jawa Barat, sementara sebuah ormas milisi dengan jaringan yang sangat luas dalam kota Jakarta sudar bersiaga penuh.
Pusat Minta Berunding, Kami Tolak Karena...
Meski sudah menang besar di Front Sumatera, tapi menghadapi PRRI di Indonesia Timur ternyata Nasution cs. minta berunding Alasannya biasa, “untuk menghindari penderitaan rakyat”, “membangun persatuan dan kesatuan bangsa”, dan sebagainya. Tapi jelas kenyataanya di medan yang berbicara, pasukan tentara Pusat memang keteteran melihat semangat dan daya gempur kami. Jika misalnya sekarang kita bertanya kepada para veteran-veteran TNI, veteran combatan, operasi dimanakah yang dirasa paling sulit, paling sukar, paling berat? 80 persen pastinya akan menjawab, Penumpasan PRRI-Permesta di Manado!
KSAD Mayjen AH. Nasution cs yang, dibanding Pemerintah Juanda, maupun Presiden Soekarno, sejak awal selalu mendahulukan tidakan keras terhadap kami, sekarang minta berunding! Sebelumnya kami tidak secara serius mempersiapkan perang dengan pusat, sehinggalah tanah air kami, bumi Minahasa di bom oleh pesawat-pesawat AURI tanpa peringatan apapun. Itu sangat membuat sakit hati kami orang-orang Kawanua. Tidak tanggung-tanggung, akibat pengeboman yang memakan cukup banyak korban rakyat itu, Alex Kawilarang sebagai Atase Militer RI di AS yang sebelumnya masih pikir-pikir untuk bergabung dengan kami, Bung Joop Atase Militer RI di RRC, langsung menyatakan diri bergabung, mendengar tanah air mereka dibom pemerintah pusat. Begitu juga para anggota-anggota TNI Kawanua dari seluruh penjuru negeri, baik perorangan maupun berkelompok, mengalir masuk menyatakan diri bergabung dengan kami. Sekarang, ketika kami sedang kuat, sedang kokoh bertahan, mereka minta berunding? Letkol M. Jusuf diutus oleh Nasution ke Manado untuk menjajaki perundingan damai ini.
Joop Warouw sudah bersedia untuk bertemu utusan Nasution itu. Tapi saya mencegahnya. Saya bilang, Nasution dan Jusuf tidak dapat dipercaya. Ini hanya muslihat mereka, karena kita sedang kuat, setelah damai, tidak ada jaminan kita nantinya tidak akan ditindas. Buktinya, Salah Lahade , Mochtar Lintang dan lain-lain di Makassar ynag tidak bikin gerakan apa-apa dalam PRRI toh akhirnya mereka ringkus juga. Letkol Andi Mattalatta yang hanya bersikap netral saja, karena tau kebaikan perjuangan kami, merasa terus menerus ditekan untuk menghantam kami. Perlu diketahui, setelah Kahar Muzakkar, Mattalatta punya pengaruh yang sangat besar di Sulawesi Selatan. Jusuf yang pada waktu itu masih Mayor, dinaikkan pangkatnya oleh Nasution menjadi Letkol untuk mengimbangi pengaruh Mattalatta di Makassar.
(Beberapa bulan kemudian, Jusuf pun naik menggantikan Mattalatta menjadi Panglima KDMSST, dan sejak itu Mattalatta tersingkir dari struktur komando TNI).
Saya lalu menceritakan kepada Bung Joop apa yang Jusuf dan Nasution buat kepada kami, Permesta di Makassar. Apalagi Jusuf pun ikut menandatangani Piagam Permesta, setelah ia berkhianat kepada pihak kami, maka ia tentu harus juga menunjukkan secara ekstra kesetiannya kepada Pusat. Ia harus demonstartif menghantam teman-teman lamanya.
“Kalau Nasution cs. sama mencintai persatuan kita, mereka tidak akan cepat-cepat menjawab tuntutan politik dari Padang 10 Februari 1958 itu dengan operasi militer dan membom kota Padang dan Manado,” kata saya. Mereka sekarang sedang bermuslihat, karena menyaksikan besarnya kekuatan PRRI di Timur.
Akhirnya Bung Joop sadar. Ia membatalkan rencana perundingan dengan M. Jusuf yang sudag datang ke Manado. Bung Joop malah menasehati Jusuf agar menggabungkan saja pasukan-pasukan TNI di Sulawsi Selatan dengan PRRI-Permesta.
Awal Kekalahan, Saya Di Ajak 'Pulang' Jadi Warga AS
Rencana Jakarta Special Operation tidak bisa kami wujudkan, karena AS sudah tidak menambah lagi armada udara kami. AS sudah mengubah sikapnya terhadap kami, begitupun sebaliknya terhadap para perwira pimpinan TNI di Pusat yang menjadi musuh kami. AS tak lagi memandang mereka sebagai musuh, sehingga meski AS belum memandang kami sebaliknya sebagai musuh, namun dalam hari-hari perang seperti ini tentu saja kami menjadi kehilangan momentum untuk menuntaskan kemenangan. Akibatnya, pesawat-pesawat AURI dari Pusat mulai dapat menyaingi kami.
Setelah AUREV melancarkan rangkaian pengeboman atas pelabuhan Ambon, yang antara lain menghancurkan sejumlah kapal dagang, kemudian pelabuhan Balikpapan dimana kapal Fregat ALRI Hang Tuah dapat ditenggelamkan, menghantam sejumlah kapal pengangkut TNI di pelabuhan Donggala, membom Markas Indonesia Timur AURI di Kendari – yang berarti kemajuan sangat berarti kami - tapi selanjutnya justru posisi-posisi pihak kami yang mulai mengalami serangan oleh pesawat-pesawat AURI. Di selatan Maluku, Ambon, tentara Pusat bisa membangun kekuatan bersama tentara setempat. Operasi merebut kembali Ternate, Jailolo dan Merotai mereka gencarkan. Bahkan pasukan-pasukan dari Pusat sudah masuk sampai ke Sulawesi Tengah dan Gorontalo. Pasukan Somba tertahan di Kebun Kopi, lantaran tanpa air-cover.
Tertangkapnya pilot asal AS Allen Pope mempercepat mengecilnya kekuatan pihak kami. Bantuan dari pihak luar yang sebelumnya mengalir dari Jepang, Hongkong, Taiwan, Singapura, Filipina, Thailand, Malaya, dan terutama Inggris dan AS, pun terhenti. AS bahkan membuka izin pembelian senjata oleh Pemerintah Pusat. Allen Pope tertangkap diperairan Ambon. Hari itu, 18 Mei 1958 seperti biasanya para pilot asing yang tergabung dalam AUREV sering melakukan operasi sesuka hatinya dalam pengeboman. Mereka sering keluar jalur operasi yang dirancang oleh Petit Muharto, Panglima AUREV. Sementara pihak musuh sudah kuat, jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Allen Pope, setelah membom pasar, sehingga banyak jatuh korban warga sipil, pesawat pembom B-26 yang dikemudikannya tertembak langsung dari dua arah. Oleh senjata anti anti-aircraft KRI Sawega, dan gempuran canon oleh pesawat AURI yang mengejarnya. Pope bersama navigatornya, Harry Rantung berhasil menyelamatkan diri keluar pesawat dengan payung terjun dan mendarat di pulau kecil di gugusan kepulauan Maluku. Tidak lama kemudian mereka diringkus.
Panglima Kodam Maluku, Letkol Pieters yang langsung menghantarkan tawanan penting ini ke Jakarta. Ia marah besar, gara-gara Pope suka membom negerinya secara membabi-buta, termasuk membombardir pasar yang biasanya selalu ramai warga sipil. (Walau kemudiannya terungkap, bahwa kehancuran sarana-sarana sipil itupun sebenarnya hanya dilebih-lebihkan dalam pemberitaan media massa pro-PKI, untuk membentuk opini masyarakat terhadap perjuangan kami).
Sore itu juga saya didatangi orang-orang CIA. Dia meminta agar saya menyuruh intel kami secepatnya menghabisi Pope dalam tahanan. Agar ia tidak buka mulut rahasia keterlibatan AS. Saya jawab dengan tegas : “Tidak! Kami tidak siap untuk yang begitu!”
Menghukum mati anak buah yang melakukan kesalahan besar, wajar dalam dinas militer. Tetapi membunuh orang yang tidak bersalah, apapun alasannya, misalnya hanya untuk membungkam rahasia, tidak! Apalagi, bagaimanapun, Allen Pope itu sudah berjuang untuk kami. Diluar soal ia sering bertindak sesuka hati, tak sesuai dengan rencana operasi kami. Kalau AS akan marah kepada saya, itu soal lain. Tidak ada prinsip hidup yang bisa saya langgar. Di Jakarta, Letkol Pieters langsung membuat pernyataan pers, hingga segera menyulut heboh dunia internasional. Dan pemerintah AS memang merasa tercoreng habis wajahnya, sebab baru beberapa saat sebelumnya, AS bersikukuh menyangkal keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI. Pemerintah AS langsung memerintahkan untuk menghentikan segala bantuan kepada kami. Juga memerintahkan pilot-pilot AS, Taiwan, Filipina dan lain-lain dalam AUREV agar segera meninggalkan Indonesia.
Sesungguhnya, pilot-pilot dari luar ini berat hati meninggalkan kami. Mereka sampai 2 kali dikirimi kawat surat perintah untuk harus secepatnya meninggalkan Indonesia, tapi mereka tidak mau. Karena mereka sudah menyatu dengan perjuangan kami, mereka masing-masing secara pribadi sudah menghayati kebenaran perjuangan kami. Saya terharu, mereka sampai begitu beraninya membangkang terhadap perintah militer negaranya.
Pemimpin regu mereka kemudian datang menghadap saya. Tapi bukan terutama untuk melapor tentang rencana keberangkatan mereka meninggalkan kami, ia menyampaikan pesan dari pemerintah AS agar saya bersama-sama keluarga ikut bersama mereka. Pemerintahnya sudah menyiapkan segala fasilitas buat saya dan keluarga.
“Hushh! Yang benar saja!!” Saya langsung memotong kata-katanya. Saya tidak memerlukan waktu barang sedetikpun untuk mempertimbangkan tawaran tersebut. Saya mencintai bangsa ini. Segala kekurangan yang ada dalam negara ini bukan harus membuat saya berpaling kenegara lain, melainkan sebaliknya saya harus ikut berjuang memperbaikinya. Tidak terkecuali, meskipun saya harus mati terbunuh dalam pertempuran.
Air mukanya terlihat sedih karena penolakan saya yang mungkin tidak ia duga. Ia tahu, sangat banyak orang yang ingin menikmati kehidupan yang nikmat di AS. Tapi, barangkali juga ia bersedih karena membayangkan nasib saya sebagai seorang militer yang akan jatuh ketangan musuh. Ya, sebagai pimpinan tentara saya bukan tidak mempertimbangkan kemungkinan kalahnya pihak kami setelah menyaksikan perkembangan-perkembangan yang terjadi pada hari-hari terakhir ini. Tapi, tentu saja, bayangan negatif demikian langsung tertimbun dengan rencana-rencana baru untuk meraih kemenangan.
AS Meninggalkan Kami, Sesudah Mereka Menunggang Kuda Lain, PRRI Terpukul di Front Sumatera
Pemerintah AS memutuskan untuk menghentikan segala bantuan pada pihak kami, termasuk memerintahkan pulang semua penerbang bersama pesawat yang masih tersisa, itu tentu saja bukan hanya lantaran tertangkapnya Allen Pope, melainkan terungkapnya keterlibatan CIA sendiri dalam PRRI. Bagi AS, Indonesia sangat penting. Untuk perang demi kepentingan negaranya serta kebebasan umat manusia sedunia, AS tidak akan kepalang tanggung. Khusus mengenai Indonesia, AS bukan saja melihat kawasan ini sebagai arena yang penting buat dijaga dari pengaruh komunisme Uni Soviet, lebih dari itu Indonesia seutuhnya dilihat sama persis dengan China. Negara luas dengan jumlah penduduk yang besar, yang bukan saja kuat pengaruh komunismenya, tapi bahkan menjadi negara Komunis. AS tidak dan tidak akan meninggalkan Indonesia. Mereka hanya meninggalkan kami, PRRI. Tujuan mereka jelas hanya untuk menghalau komunisme, jadi kalau mereka melihat ada kelompok lain yang bisa digunakan untuk melawan PKI, maka AS dapat saja beralih ke kelompok itu, tidak terkecuali kelompok itu yang justru musuh kami.
Jadi, harus cukup jernih melihat soal kealahan PRRI di awal. Nukan karena PRRI kalah dalam serbuan pertama tentara Pusat lantas AS tinggalkan, sebaliknya karena AS sudah mendua hati, dalam hal ini mereka memang pecah dua pada saat itu, maka PRRI kalah. AS sudah tidak sepenuhnya membantu pada hari-hari menjelang penyerbuan tentara Pusat. Bantuan yang ada hanyalah sekadar memenuhi apa yang sudah “terlanjur” mereka janjikan sebelumnya. Malah sebaliknya, AS sudah membantu operasi yang dipimpin Kolonel Yani.
Lagipula, siapapun sudah berhitung bahwa kalau saja AS tidak menahan semua bantuan yang sudah disiagakan di sekitar Sumatera – lantaran Panglima di Pasifik, Admiral Strump dan Atase Militer AS George Benson punya arah politik lain, kekuatan yang ada itu saja sudah cukup buat membantu PRRI Sumatera untuk menggempur Jakarta.
Tanggal 6 Maret 1958 Howard Jones tiba di Indonesia, hanya 1 hari besoknya ia menghadap PM Juanda untuk minta izin mengevakuasi warga AS beserta kapal-kapal US Navy yang ada dipertambangan minyak di Sumatera. Kapal-kapal US Navy tersebut adalah termasuk dalam satuan gugus tempur dari 7th Fleet yang sekarang lego jangkar di Singapura, lengkap dengan Kapal Induk, Destroyer, dan 1 Brigade Marinir.
Jadi, disamping AS mengupayakan “cuci tangan” secara keseluruhan, ia sekaligus menarik Armada militernya dari pihak PRRI tanpa kemungkinan serangan dari TNI Pusat. Tanggal 15 April 1958, Kedubes AS untuk RI melayangkan surat resmi pemerintahannya di Washington DC agar berpihak pada TNI Pusat.
Danny Muakar Memberondong Istana Presiden
Kemunduran kekuatan maupun posisi teritorial kami di Sumatera dan Sulawesi memang tidak serta-merta berarti surutnya perjuangan PRRI beserta kelompok-kelompok pendukungnya di Jawa, Mereka tetap bergerak dibawah tanah. Terutama di ibukota Jakarta, dengan pusat pengendali dari Jawa Barat. Ada Legiun Sunda, yakni para aktivis politik di Jawa Barat yang juga membina kelompok-kelompok pro PRRI di jajaran TT.III-Siliwangi. Sasaran utama gerakan di Jawa Barat/Jakarta yang kemudian diberi nama Komando Operasi Perdamaian Nasional (KOPN) ini, sesuai yang digariskan kami PRRI sejak awal, tetap untuk merebut kekuasaan di ibukota negara. Minimal sesuai rencana baru mereka, yaitu yang digariskan Gerakan Perdamaian Nasional, menangkap Presiden Soekarno dan memaksanya untuk berdamai dengan PRRI. Pemerintah Pusat harus mengakui kebenaran tuntutan PRRI dan mewujudkannya.
Menurut rencana awal, termasuk kemudian direncanakan berupa Operasi Jakarta Special, pada saat itu pasukan dari Sumatera ,maupun Sulawesi akan mendarat dengan kawalan starfing pesawat-pesawat AUREV, mereka yang di Jakarta maupun Jawa Barat ini akan langsung menyerbu dan merebut sejumlah sarana-sarana vital dan strategis di ibukota. KOPN yang mengandalkan sejumlah unsur pendukung PRRI dalam Kodam Siliwangi dan Kodam Jaya, maka untuk keamanan berencana akan mengamankan dulu Brigjen Kosasih (Pangdam Siliwangi) dan Brigjen Umar Wirahadikusumah (Pangdam Jaya) sementara waktu untuk kelancaran operasi.
Rencana KOPN ini tercium oleh jaringan intelijen TNI-AD. Mayor TH. Tombeng, slaah seorang komandan wilayah operasi di Jakarta, tertangkap pada 11 Februari 1960. Darinya didapati senjata api. Gerakan bawah tanah dipusat kekuasaan negara ini pun terbongkar. Namun, tekad memerangi musuh sudah terlanjur kukuh. Beberapa kelompok tetap bergerak, secara sendiri-sendiri.
Tanggal 6 Maret 1960, Lettu Pnb. Maukar denegan pesawat MIG-21 AURI menembakkan roket serta memberondong Istana Merdeka, kemudian Istana Bogor. Targetnya jelas: nyawa Presiden Soekarno! Juga diserangnya tangki-tangki minyak di Tanjung Priok, sesuai dengan rencana awal, yaitu melumpuhkan dan mengacaukan Jakarta.
Presiden Soekarno hari Rabu itu sedang mengadakan rapat dengan Dewan Pertimbangan Agung di Istana Merdeka. Saat dihujani peluru dari udara, mereka sedang makan. Ruangan jadi porak poranda. Perabotan luluh lantak, namun tidak ada korban jiwa. Presiden Selamat. Barangkali saking jitunya tembakan Maukar, umunya tembakan masuk tepat dibagian tengah ruangan, sehingga peluru hanya mengenai meja, bagian tengah ruangan yang tidak ada orang, juga lampu-lampu kristal yang menggantung di bagian tengah langit-langit ruangan.
Maukar kemudian melarikan diri, setelah mendaratkan pesawatnya secara darurat di persawahan derah Leles Garut, Jawa Barat. Ia kemudian tertangkap dan dijatuhi hukuman mati.
( Dalam Pemerintahan Orde Baru, Soeharto dan Ali Murtopo membebaskan tahanan politik ex-PRRI, Daniel Maukar pun dibebaskan, dan menetap di Bandung )
KEMUNDURAN & KEHANCURAN PRRI
Setelah Front Sumatera dengan mudahnya digempur oleh Tentara Pusat-lantaran dilemahkan sedari awalnya oleh para pemimpin militer seperti Letkol Barlian yang mundur, dan para komandan batalyon yang mengkhianati Ahmad Husein, dan terutama akibat politik AS yang dengan gampangnya beralih memihak kepada musuh kami. Pusat segera mengerahkan konsentrasi dan kekuatan penuh terhadap kami di Indonesia Timur. Dan lantaran tidak optimalnya lagi bantuan AS, dalam hal ini yang terlanjur kami andalkan yaitu kekuatan udara, maka wilayah-wilayah Indonesia Timur yang kami kuasai pun jatuh ketangan pusat. Kalimantan Timur, Halmahera, sampai Sulawesi Tengah dan kemudian Gorontalo, semua jatuh ketangan tentara Pusat. Pusat PRRI kami pindahkan dari Sulawesi Tengah ke Sulawesi Utara dengan Joop Warouw sebagai pemegang pucuk pemerintahan. Teman-teman di Sumatera sudah tidak bisa diharapkan lagi, mereka kini hanya bergantung asa perjuangan kepada kami di Indonesia Timur. Tapi sekarang, Front Timur pun dihantam habis-habisan oleh Tentara Pusat.
Sekarang Terbalik, Kami yang Dikepung
Penyerbuan Tentara Pusat ke tanah Minahasa pada pertengahan Juni 1958 ini secara besar-besaran. 17 Kapal Perang dan pengangkut pasukan dikerahkan, diantaranya KRI Gjajh Mada, KRI Hasanuddin, KRI Pattimura, dan KRI Pati Unus. Panglima tempurnya adalah Rukminto. Tapi pemimpin armada laut adalah John Lie. Dia menjadi arsitek dan pengarah seluruh pendaratan. Tentara Pusat mulai mengepung posisi-posisi kami.
Sejak tanggal 8 Juni, selama seminggu, kapal-kapal perang yang dipimpin oleh John Lie terus menerus menembaki kota Manado. Tangki-tangki besar penampungan minyak di pantai Pondol hancur dan terbakar habis. Masyarakat mengalami krisis bahan bakar minyak. Untunglah teman kami di Kalimantan Timur, Letkol Hartojo, simpatisan gerakan kami, cepat turun tangan membantu. Dia mengirim 1 kapal tanker penuh muatan minyak untuk kepentingan bahan bakar PRRI di Manado.
Sambil dengan gencar menembaki kota Manado dari laut, diam-diam pauskan RPKAD mendarat dipesisir sebelah utara kota Manado. Sedang dari pantai Minahasa Utara, di Kema, pendaratan dilakukan oleh Batalyon Pendarat KKO.
Saya memimpin langsung perlawanan di Minahasa Utara. Pasukan kami hanya terdiri dari pasukan Nyong Rompas, Kompi Sumakud dan Tentara Pelajar (CTP) yang dipimpin oleh Martin Rintjap. Tentara pusat mengalami hambatan didaerah ini, pasukan PRRI bertempur luar biasa. Duel infanteri, kemudian mundur, maju lagi, duel lagi, kadang-kadang duel artileri mewarnai pertempuran disini. Korban berjatuhan dikedua belah pihak. Sejengkal demi sejengkal Tentara Pusat maju, sejengkal demi sejengkal pula kami mundur. Dalam suatu duel infanteri, saya kena peluru di kaki. Mundur sebentar buat pengobatan, kemudian maju lagi ke front. Ketika itu, Tentara Pusat sudah mencapai Airmadidi, pasukan saya bertahan di Kolongan. Musuh sampai ke pertahanan kami, kembali duel artileri terjadi, kemudian disambung dengan duel infanteri. Maju, mundur, kemudian maju lagi. Saya melihat luar biasa anak-anak kami berjuang menahan serbuan pasukan elit tentara Pusat. RPKAD, KKO, Batalyon Siliwangi, Batalyon Brawijaya ditahan berhari-hari di front ini. Kemajuan Tentara Pusat sangat lamban. Padahal, area pertempuran adalah jalan raya yang lurus-lurus saja. Masuk seminggu, Tentara Pusat menambah bala bantuannya, tapi tetap saja mereka hanya dapat maju 25km dalam 10 hari! Selain RPKAD dan KKO, pasukan Tentara Pusat yang terbesar adalah dari Brawijaya, ditambah lagi dari Hasanuddin, Diponegoro, dan Siliwangi. Tapi, pasukan kami masih dapat membendung serbuan mereka. Selama PRRI-Permesta, disinilah, di Gunung Potong ini, pertempuran terbesar, paling sengit, dan paling banyak meminta korban dari kedua belah pihak.
Setelah bobolnya pertahanan pantai, 26 Juni 1958 Manado diduduki Tentara Pusat. Pasukan kami berundur ke arah kantong-kantong gerilya yang sudah dipersiapkan. Tidak terjadi bumihangus terhadap kota Manado oleh pasukan kami. Biarlah kota Manado diduduki, yang penting Pineleng, Warembungan dan sekitarnya dijaga, tidak boleh tembus. Saya sempat mendirikan Posko sementara di Koka, dirumah Eddy Lapian, komandan CTP yang selalu berada di front depan dalam setiap pertempuran.
Pusat pemerintahan dan pertahanan kami sekarang di kota Tomohon. Akses dan jalur yang menuju kota Tomohon kami jaga rapat. Jalur Manado-Tomohon kami potong di Pineleng. Dari Pineleng, pasukan-pasukan kami seringa masuk kota Manado dimalam hari untuk menyerang pos-pos Tentara Pusat yang berkubu didalam kota. Tentara Pusat didalam kota Manado mengandalkan tembakan-tembakan meriam artileri untuk menghujani pengunduran, dan mengebom kantong-kantong oauskan kami seperti di Pineleng, Koka, dan Lota. Serbuan pauskan-pasukan PRRI ke kota Manado disambut dengan hantaman artileri meriam. Banyak yang gugur terhantam meriam Tentara Pusat, sisanya yang masih hidup ditawan. Namun Tentara Pusat tidak berani mengejar sampai ke Tomohon, akibat kuatnya basis pertahanan PRRI yang dibangun. Garis pertahanan kami dari Pineleng sampai Waarembungan sangat kokoh dan tidak bisa ditembus oleh Tentara Pusat, hinggalah kami tinggalkan sendiri menjelang akhir Agustus 1958 sebab tidak berguna lagi sejak Tomohon jatuh ketangan Tentara Pusat akibat pengkhianatan yang memalukan.
Pertengahan Juli 1958, pasukan Tentara Pusat mengerahkan kekuatan besar untuk merebut Tondano. Melalui Airmadidi dan Tanggari. Serbuan mereka disambut oleh perlawanan keras oleh pasukan kami. Kembali duel-duel berlangsung seru. Setelah seminggu pertempuran sengit, Tondano kemudian jatuh ketangan Tentara Pusat.
Lapangan Terbang Mapangat dengan mudahnya dikuasai oleh Tentara Pusat, karena memang sudah kami kosongkan. Dalam pertempuran sengit antara CTP pimpinan Martin Rintjap dan RPKAD di daerah ini , Kopral Toegiman dari RPKAD gugur, 2 lainnya tertawan. Kemudian oleh Tentara Pusat lapangan tempat terjadinya pertempuran dinamakan Lapangan Toegiman, untuk mengenang prajurit RPKAD tersebut.
Konsolidasi Gerilya, Peran Kawilarang
Setelah Tomohon jatuh – yang kemudian disusul dengan Langowan, Kawangkoan dan Amurang – saya merumuskan bahwa kami sudah harus masuk pada perang gerilya. Dan itu berarti strategi, dan semua tentang sistem yang kami jalankan, sudah harus lain dan sangat lain. Konsolidasi pasukan pun sudah harus konsolidasi untuk perang gerilya, bukan seperti sebelumnya. Sebetulnya, keputusan ini sudah saya pikirkan sebelum musuh mendarat di Tanah Minahasa. Di Kema dan Manado. Saya lalu instruksikan Eddy Gagola untuk memimpin team penyusunan strategi baru. Mayor Eddy Gagola adalah staf saya dulu masa perang gerilya di Jogja. Ia perwira yang cerdas. Mereka langusng bekerja. ,menyusun organisasi gerilya, strategi perang gerilya, dan semua hal yang diperlukan, dari posisi bertahan sampai mencapai kemenangan. Team pun bekerja tekun siang dan malam.
Kemudian ada yang lapor kepada saya bahwa Bung Lex (Alex Kawilarang) ikut membantu dalam team. Bukan main senang dan terharunya saya! Bukan saja karena senor saya itu pasti akan berkonstribusi sangat besar – mengingat ia seorang ahli strategi perang yang sangat jarang ada tandingannya di Indonesia, tapi terutama dengn ini Bung Lex menunjukkan jiwa besarnya sebagai seorang pemimpin sejati. Soalnya dia sudah saya larang untuk berperan dalam komando. Gara-garanya, akibat peristiwa pengkhianatan Mondong yang berakibat jatuhnya Tomohon. Waktu itu, saya emosi sekali, lantaran Tomohon jatuh ke tangan tentara pusat dengan begitu mudahnya, laporan John Ottay tentang Bung Lex mungkin sudah tidak saya nilai dengan cermat lagi. Untunglah Joop Warouw mencegah saya untuk menindak Bung Lex. Saya kemudian hanya menjatuhkan sangsi kepada Bung Lex, berupa larangan untuknya memegang fungsi komando lagi dalam Permesta/PRRI. Sekarang, saya jadi tidak enak hati, dan sangat terharu, betapa Bung Lex yang adalah senior saya, sambil secara militer tetap meatuhi larangan saya namun seklaigus dengan jiwa besar tetap membantu kami melaalui tugas yang saya berikan kepada Eddy Gagola.
Saya sungguh-sungguh terharu. Apalagi kemudian Bung Lex sendiri yang bilang ke saya tentang keterlibatannya dalam team itu. Kali ini saya bukan lagi terharu. Ada rasa jengah. Bagaimanapun ia pernah jadi Panglima saya, tahun 1950-1951. Dan lagi, didluar hubungan formal dulu itu, pribadi Bung Lex dengan integritas pemimpin dan sebagai seorang militer profesional pasti menimbulkan rasa hormat siapa pun termasuk saya. Apalagi mengingat bahwa sayalah yang mengajak seorang Alex Kawilarang untuk bergabung dalam PRRI. Ada cerita masuk dari pertempuran antara pasukan tentara Pusat dengan pasukan yang dipimpin oleh Bung Lex. Waktu itu, pasukan pusat dengan artileri dan infanterinya sudah maju jauh kewilayah pertahanan Permesta, diarahkan untuk menghabisi pasukan kami. Rupanya, pasukan tentara pusat tersebut banyak yang berasal dari unsur-unsur Siliwangi. Mereka tau pasukan pemberontak dipimpin oleh Bung Lex, mantan Panglima Siliwangi. Tembakan artileri dan gempuran mereka arahkan ketempat yang kosong, bukan kepada pasukan kami. Ini mungkin untuk membiarkan Bung Lex dan pasukannya meloloskan diri dari gempuran. Begitulah Alex Kawilarang, seorang ahli strategi dan panglima tempur yang sangat disegani baik kawan maupun lawan.
Strategi yang disusun Mayor Eddy Gagola dan Bung Lex ini terbukti memang ampuh. Pusat Pemerintahan PRRI ynag dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Joop F. Warouw telah kami pindahkan ke selatan. Tepatnya di tenggara Minahasa. Untuk waktu-waktu selanjutnya kami dalam posisi lebih aman. Saya masih lancar memeberi perintah-perintah operasi untuk teman-teman di Sumatera yang tersisa dan masih terus berjuang. Sementara di Sulawesi Utara, walau dalam posisi terkepung, sumber-sumber logistik sudah diblokade pasukan Pusat, tetapi PRRI Sulawesi Utara tetap bisa melakukan serangan setiap saat. Penghadangan-penghadangan terhadap iring-iringan konvoy dan patroli tentara Pusat sering kami lakukan, dan banyak memakan korban jiwa. Juga serangan-serangan sporadis terhadap pos-pos mereka. Bahkan, beberapa kali serangan umum yang meniru Serangan Umum 1 Maret di Jogja kami lancarkan. Kalau di Jogja sandinya adalah janur kuning diikatkan dilengan, kamu dengan daun “seho”. Serangan-serangan umum serentak terhadap kedudukan tentara pusat pun banyak memakan korban jiwa dipihak mereka. Terutama serangan umum besar-besaran yang berlangsung serentak selama beberapa hari, dari tanggal 17 – 19 Februari 1959 di Kawagkoan, Amurang, Tondano dan Langoan. Bahkan, kota-kota tersebut diatas dapat kami kuasai sepenuhnya, sebelum datanganya bala bantuan dari Tentara Pusat yang merebutnya kembali. Memang benar rekapitulasi dari Pusat bahwa pertempuran paling sengit yang dialami oleh tentara Indonesia selama periode penumpasan pembangkang-pembangkang di daerah-daerah adalah, pertempuran dengan PRRI/Permesta di Sulawesi Utara. Disini, ribuan jiwa prajurit terkorban akibat perang saudara antara TNI dengan TNI.
Rupanya, konsep strategi perang gerilya diatas merupakan karya terakhir dari Eddy. Segera setelah merampungkan konsep strateginya, Eddy memohon kepada saya untuk izin keluar menyerahkan diri, meninggalkan PRRI, keluar hutan. Banyak alasan yang ia kemukakan, semuanya memang masuk di akal, tapi bagi saya hanya satu, ia sudah ragu dan tak mungkin lagi diharapkan untuk berjuang dengan sepenuh hati. Tak ada sedikit pun kata-kata saya untuk menahan langkah Eddy. Itulah kelemahan sifat Eddy Gagola, sering ragu. Waktu perang gerilya di Jogja dulu juga begitu. Kendati staf dan pimpinan dalam komando saya, ia pergi menyerah kepada tentara Belanda, tidak ikut kami menyingkir ke Sektor Barat. Tapi, selesai perang, waktu saya memegang komando Sulawesi Utara dan Maluku Utara, ia mau masuk lagi dan saya terima. Sebab dia pintar dan rajin bekerja. Apalagi kakaknya, Gayus Gagola dalah teman lama saya.
Demikianlah, Eddy Gagola berpisah dari kami, dari PRRI/Permesta. Dia keluar hutan dengan maksud menyerahkan diri kepada tentara Pusat. Tetapi dalam perjalanannya di daerah Sea, bagian barat daya luar kota Manado, Eddy tertangkap oleh pasukan PRRI/Permesta pimpinan Lawalatta. Nyaris saja Eddy dihabisi disana. Untung mereka cepat lapor, saya pun memerintahkan untuk melepasnya.
Beda dengan sikap saya sebelum-sebelumnya, sekarang dalam menghadapi masalah dan keputusan Eddy ini saya sudah lebih banyak memaklumi. Saya lebih berfikir tentang masa depan dia sebagai sahabat, juga keluarganya, dibanding berfikir bahwa langkahnya ini adalah desersi atau apapun yang harus dinilai negatif. Rupanya, beginilah perang saudara.
Perintah Operasi DAR-004
Konsolidasi Perang Gerilya Semesta
September 1959, Kotamobagu jatuh! Inipun snagat parah kalau dihitung bagi kepentingan strategi pertahanan kami. WPM PRRI Joop F. Warouw amat kecewa. Apalagi ketika ia mendengar yang menyerbu Kotamobagu hanya berkekuatan 1 Batalion saja dari Siliwangi. Bung Joop memaeahi Dolf Runturambi, Panglima Daerah Pertemputan III, yang wilayahnya meliputi Bolaang Mongondow dan Gorontalo. Sebagai seorang perwira yang berlatar belakang intelijen, Dolf dinilai lalai, sama sekali tidak membuat persiapan untuk menghadapi datangnya musuh. Bahkan, untuk sekadar persiapan kordinasi proses mundurnya pauskan dan pengungsian keluarga-keluarga. Banyak korban jatuh bukan saja lantaran tembakan musuh, melainkan kesengsaraan di pengungsian. Lantaran itulah, maka banyak teman yang sibuk mempersalahkan Dolf Runturambi. Sebegitu rupa kecewanya teman-teman pada Dolf, sampai-sampai kepribadiannya pun jadi gunjingan di sana-sini.
Saat Kotamobagu jatuh, Dolf malah sedang berada di tempat lain. Saya memarahinya kersa. Sebelumnya ia pernah minta tambahan pasukan, sudah saya kirim satu batalion yang kuat. Batalion 1 Brigade 999 pimpinan Mayor Victor Lisangan. Tapi apa yang terjadi? Disana batalion yang saya kirim ini malah diabaikan, bahkan tidak dikasi makan! Ini keterlaluan, apalagi disana terkenal dengan lumbungnya logistik kami. Sungguh aneh! Tentu saja Lisangan dan pasukannya kemudian pulang lagi ke markas mereka.
Tapi sekarang saya sudah tidak sibuk lagi memikirkan Dolf Runturambi. Saya segera memimpin langsung kordinasi perlawanan seberapa bisa. Pasukan pasukan KDP III yang sudah mundur saya usahakan untuk konsolidasi kembali. Itu bukan perkara mudah, karena banyak yang sudah tidak mau lagi kembali ke front. Sebetulnya bukan tidak berani, mereka semua saya tahu pemberani, tapi yang terjadi adalah moril yang jatuh. Sebagian bahkan sudah frustasi. Saya kemudian himpun lagi sisa-sisa kekuatan KDP III untuk menyerang balik. Perlawanan kami mulai dengan serangan jarak jauh, pakai senjata berat. Artileri kami menghujam tempat-tempat kedudukan tentara Pusat.
Tapi ternyata sudah sulit. Tentara pusat sudah menguasai posisi-posisi yang strategis. Bahkan dalam salah satu operasi, posko saya disergap. Musuh, pasukan Kujang, sudah terlihat amat dekat. Untung saya dan teman-teman bisa meloloskan diri. Tembak menembak beberapa saat. Kebetulan malam tiba, musuh kelihatannya tidak berani untuk melakukan pengejaran. Saya pindah Posko ke daerah Gunung Tagui. Disini saya tiba pada posisi kesadaran bahwa posisi kami memang sudah lain. Bukan hanya posisi kekuatan pasukan kami dalam menghadapi musuh yang menyerbu Kotamobagu, tapi posisi PRRI/Peremesta secara keseluruhan. Maka saya pun merancang konsolidasi secara menyeluruh. Konsolidasi untuk perjuangan kedepannya.
Saat masih di Posko Gn. Tagui ini, Panglima Daerah Pertempuran II DJ. Somba datang menghadap. Langsung saya paparkan kepada Somba rencana strategis saya ini. Jus Somba senang sekali. Ia mengungkapkan rasa kagumnya dan siap melaksanakannya. Dalam rancangan baru ini, Jus Somba akan memimpin wilayah yang lebih luas, seluruh Minahasa – Bolang Mongondow. Somba menginap disini dua malam. Saya sendiri beberapa hari kemudian bergeser memindahkan Posko ke daerah lain.
Kemudian, sebelum Kotamobagu jatuh, saya mengedarkan konsep strategi baru itu melalui Perintah Operasi No.004/DAR/10/10/59. Intruksi ini yang kemudian biasa disingkat “DAR/004”. Ini konsolidasi gerilya untuk perang semesta. Tapi sayang sekali tidak dijalankan, terutama oleh kelompok yang justru sangat saya andalkan. Yaitu WK-III di bawah pimpinan Wim Tenges. Alasanya, macam-macam, ada yang logis, tapi umumnya hanya lantaran belum sempat mengerti dengan jelas lantas sudah ditambah sikap yang sudah berprasangka terhadap komando saya. Apalagi memang saat itu sudah mulai biasa terjadi insubordinasi dimana-mana, akibat keberhasilan pihak musuh mengadu domba, menyesatkan pola pikir, bahkan membujuk untuk melawan rekan sendiri. Padahal, keberhasilan psywar atau “operasi damai” oleh musuh itu justru hanya terjadi akibat kelemahan pihak kiatyang berpangkal pada insubordinasi di kalangan pemimpin pasukan.
Sampai sekarang saya sangat menyesalkan kegagalan konsolidasi gerilya semesta ini. Apalagi ketika di kemudian hari sering terbukti dipelbagai negara, betapa pauskan gerilya yang semula sangat lemah dan kecil bisa membesar, jadi sangat kuat, dan mampu memaksakan kehendak mereka terhadap rezim pemerintahan yang berkuasa resmi. Tidak perlu melihat jauh-jauh, di Indonesia saja, di Aceh dan Timor Timur. Kelompok pemberontak di Aceh pada tahun-tahun 1959-1962 boleh dibilang sudah nyaris habis, karena keberhasilan Nasution mengadu domba dan membujuk sejumlah pimpinan pasukan untuk “kembali ke pangkuan Ibu pertiwi”. Sama persis dengan yang dibuat Nasution terhadap PRRI di Sumatera maupun di Sulawesi Utara. Tapi orang-orang Aceh tetap konsisten menetang rezim pro-komunis tetap melanjutkan gerilya. Mereka Cuma berbekal senjata yang sebagiannya saya yang suruh supply waktu mereka bergabung dalam wadah RPI (sebagian besar senjata yang dibawa dari kami sudah dibawa mereka yang menyerah untuk disita oleh tentara Pusat). Kelompok baru Gerakan Aceh Merdeka (GAM) inipun sudah berjuang dalam garis perjuangan yang sama dengan kami, yaitu memperjuangkan demokratisasi dan pembangunan adil untuk daerah. Grais perjuangan ini banyak mempengaruhi kamu muda dan terpelajar. Akhirnya, perjuangan mereka tercapai. Pemerintah RI melakukan perundingan bilateral, setara, dan terhormat. Dan semua tujuan penting yang mereka perjuangkan terpenuhi. Aceh satu-satunya daerah yang di beri keleluasaan mendirikan partai-partai politik yang tidak sentralistis dari Jakarta. Otonomi khusus dengan segala implikasinya yang terbaik bagi pembangunan ekonomi daerah, juga mereka dapatkan. Sebaliknya daerah-daerah Indonesia Timur lain, diluar Timor Timur dan Aceh, dalam kultur politik saja tak berkembang secara baik. Tak terkecuali Sulawesi Utara. Umumnya politisi daerah hanya berjuang sebegitu rupa agar disayangi elit politik di Pusat, baik elit partai di dewan pimpinan pusat maupun elit penguasa dalam birokrasi negara.
Intruksi 004/DAR yang saya rancang pada Oktober 1959 itu memang sepenuhnya sesuai asas-asas idela perang gerilya. Bukan hanya untuk bertahan, melainkan justru bisa berkembang untuk menyelamatkan dan melanjutkan perjuangan. Tak ada cara lain! PRRI/Permesta dalam kondisi seperti kami pada Oktober 1959 itu yang diteruskan, tanpa perubahan seperti yang saya rancang, maka yang pasti akan terjadi hanyalah mengulur waktu untuk satu persatu nyawa kami melayang secara konyol. Dihabisi musuh. Dihabisi teman-teman sendiri yang semakin liar, insubordinasi, dihabisi penyakit, dan macam-macam lagi.
Konsep saya ini intinya dalah konsolidasi dengan cara menyebar. Menyebar dan mengisi sebanyak-banyaknya wilayah dalam kawasan seluasnya. Jangan lagi setiap hari dalam bentuk gerombolan besar yang terkumpul disuatu tempat-tempat tertentu. Kecuali markas komando dengan detasemen kawalnya, tapi itupun harus berada di tengah-tengah wilayah yang sangat sulit dijangkau oleh operasi pasukan lawan. Dan wilayha seperti itu masih banyak di antara Minahasa dagian tenggara dan Bolaang-Mongondow bagian timur. Lebih banyak lagi di Gorontalo sampai Sulawesi Tengah. Saya sendiri sudah memerintahkan staf untuk mempelajari lokasi untuk markas di hutan sekitar Kotabunan. Pasukan dalam unit-unit yang snagat kecil, bahkan berjalan dalam jarak terpisah, akan dengan lancar masuk kesetiap wilayah tersebut. Dengan satuan-satuan kecil lebih bisa, dan memang harus, masuk kedaerah-daerah yang dikuasai musuh. Pasukan yang berpencar-pencar dalam unit-unit sekecilnya itu akan pasti terlatih secara alamiah untuk menyusup kedalam kota, bahkan hidup tenteram didalam kota. Dengan demikian kami dapat memiliki akses yang lebih luas, baik untuk kebutuhan logistik maupun perekrutan anggota baru dari generasi yang lebih segar.
Kalau hanya melanjutkan kondisi seperti sekarang ini – terkepung dimana-mana, dukungan masyarakat sudah menurun, malah sebaliknya banyak masyarakat sudah berbalik menjadi alat musuh – yang terjadi adalah : disamping mudah diserbu dan dihabisi oleh musuh, juga akan condong untuk konflik internal kita sendiri, antara lain untuk berebut sumber-sumber penghidupan. Pasukan kita hanya akan jadi makin terampil memeras masyarakat, dan ini sangat tidak saya sukai.
Wim Tenges tak mau menjalankan perintah saya, alasannya karena tidak mungkin ia dengan rombongan besar pasukan serta keluarga mereka melakukan long march sampai jauh ke selatan. Tapi menurut saya, Tenges punya logika untuk tahu bahwa saya tidak segila itu hendak menyuruh mereka pergi secara demikian. Lagipula itupun bertentangan dengan prinsip konsolidasi yang saya rancang, yaitu jangan bergerombol besar. Tidak begitu. Mereka akan pergi dengan kelompok-kelompok kecil, dan pula secara bertahap. Tidak sekaligus. Dengan begitu kami pun akan lebih mampu menyiapkan logistik dan bekal mereka. Kami juga akan lebih bisa mengatur pengamanan bagi perjalanan mereka. Beda kalau mereka dalam rombongan yang amat besar.
Saya dapat memaklumi Tenges. Dia menolak perintah saya lantaran pikirannya sudah berisi prasangka bahwa saya lebih mementingkan pasukan Timbuleng. Dengan persepsi seperti itu Tenges menilai perintah saya sebagai cara menggeser pasukannya dari Minahasa dan mengisi posisi yang ditinggalkannya itu dengan pasukan Timbuleng. Itu persepsi yang salah besar. Bahkan salah banyak. Terbalik, saya justru lebih mengandalkan pasukan Tenges dalam program saya ini. Karena pasukan Tenges, WK-III adalah yang paling berdisiplin baik dan lebih profesional dibanding pasukan Timbuleng. Maksud saya disini bukan berarti semua pasukan lain kurang dibanding WK-III, tapi dalam hal ini saya membandingkan dua pasukan terbesar yang masih eksis di jajaran PRRI/Permesta sekarang ini, sejak Oktober 1959, yaitu Brigade 999 Jan Timbuleng dan WK-III Wim Tenges.
Pasukan Tenges inilah yang saya andalkan untuk mewujudkan program besar saya. Dan ini tidak mungkin dijalankan oleh pasukan Timbuleng yang liar. Gerakan ini harus dijalankan oleh pasukan dengan personil yang berdisiplin tinggi, intelektualitas yang memadai untuk bisa masuk ketengah masyarakat dan membentuk citra pejuang ideal ditengah masyarakat. Apalagi PRRI/Permesta terlanjur punya reputasi buruk lantaran perilaku liar sejumlah pasukan, dan terlebih lantaran berhasilnya agitasi Pemerintah Pusat dan PKI mengubah opini masyarakat terhadap gerakan perjuangan kami.
Wim Tenges, yang juga banyak memimpin pasukan lainnya di utara, mengira saya membela Timbuleng dengan segala perilakunya. Padahal sebaliknya, sayalah yang termasuk paling awal mengetahui bahwa Timbuleng main mata dengan musuh. Ia sudah merancang penghianatan terhadap kami. Bahkan sebelum RPKAD mendarat di Kema, info sudah sampai kepada saya bahwa pendekatan oleh musuh sudah dilakukan melalui Daan Karamoy. Bahkan ketika pertama kali masuk kabar pasukan Timbuleng menghantam sesama PRRI, saya langsung bilang : “Hati-hati, kita juga nantinya akan jadi sasaran Timbuleng!” ( Sehingga ketika kemudian hari diperoleh info jelas bahwa Jan Timbuleng sudah membuat perjanjian dengan musuh melalui Jan Mongula – politisi Parkindo yang sangat dekat dengan PKI – saya sudah tidak kaget lagi. Ketika Timbuleng menculik Kapten Silangen, saya langsung bilang ke asintel saya, Nun Pantouw, agar ekstra waspada karena kita sudah jadi target Timbuleng ).
Saya sama sekali sudah tidak lagi mengandalkan pribadi Timbuleng. Yang saya mau adalah pasukannya, karena pasukannya sangat besar, dan saya melihat ada harapan untuk menggarap pasukannya itu untuk menjadi sejalan lagi dengan kami. Tentu salah jika seluruh pasukannya disia-siakan, apalagi dibasmi. Jan Timbuleng sendiri tidak bisa saya harap. Apalagi dia semakin dipengaruhi oleh Bie Mandang, asintel Brigade 999 merangkap asisten pribadinya. Lebih dari itu, Mandang yang adalah kader politik kiri itupun berperan sebagai penasehat politik Jan Timbuleng. Itulah mengapa saya mendekati secara khusus Otje Lisangan dan Goan Sangkaeng. Otje dan Goan
Adalah komandan-komandan dari dua batalion utama Brigade 999. Batalion 1 dan 2. Brigade 999 saya hitung boleh ditempatkan di Minahasa. Walau wilayah itu bisa dikatakan sudah sepenuhnya dalam kepungan musuh. Yang main mata dengan pihak musuh toh hanya pimpinanya, bukan pasukannya. Lagi pula, di wilayah Minahasa masih ada Jus Somba. Jan Timbuleng sangat segan pada Somba.
Anak-anak buah Timbuleng dapat diandalkan. Mereka sudah terbukti hebat sewaktu bersama Jus Somba menyerbu sampai Sulawesi Tengah. Somba yang meresmikan mereka jadi pasukan PRRI pertama yang berasal dari luar TNI. Saat itu disahkan dengan nama Garda Nasional, karena psukan yang dipimpin oleh Jan Timbuleng dan Goan Sangkaeng itu memang hebat. Brigade 999 adalah nama yang baru, setelah mereka berkembang cepat dan berkekuatan 7 batalion.
Menyerah Tanpa Syarat, Saya Siap Dihukum Mati!
Tentara Pusat sangat menghancurkan kami melalui berbagai macam bujukan dan pendekatan, sehingga memecahbelahkan persatuan pasukan kami, memecah belah kekuatan kami, menarik kawan-kawan kami, sehingga mengecilkan perlawanan yang tersisa. Sejak dari Sulawesi Selatan, Sumatera, sampai kami di Sulawesi Utara, satu-satunya langkah yang bisa membuat kami bertahan dan berkembang, yaitu strategi gerilya yang saya intruksikan pada Oktober 1959, gagal. Banyak teman-teman yang tidak melaksanakannya. Maka, akibatnya, kami harus menjalani waktu-waktu yang selanjutnya sebagai proses kehancuran kami.
Jus Somba yang memimpin puluhan ribu pasukan di wilayah Sulawesi Tenggara, Tengah dan Gorontalo, sebelum secara resmi menandatangani persetujuan dengan Pusat, masih berusaha menemui saya. Ia jauh-jauh dating ke Selatan, yaitu markas besar saya. Sayang sekali ia tidak terus ketempat saya, kendati sudah sampai di Motoaling. Saya pribadi sangat senang ketikan mendengar bahwa Jus Somba akan menemui saya, saya pikiri ini pasti akan menjadi awal semua perbaikan-perbaikan kedepan, apalagi setelah terbunuhnya Joop Warouw oleh penghianatan Jan Timbuleng. Tetapi sewaltu ia singgah di di markas Joost Wuisan, dia lantas membatalkan perjalanannya, tidak terus menemui saya. Rupanya ia sudah ditakut takuti. Maka buyarlah semuanya……!
Awal April 1961, Jus Somba menandatangani kesepakatan mengakhiri perlawanan. Hampir 35 ribu pasukan yang bersamanya akan menyerahkan diri dan dilucuti. Kesepakatan akhir akan ditandatangani di Malenos, dekat Tumpaan. Yang kemudiannya dikenal dengan nama Piagam Malenos, tanggal 4 April 1961.
Bersama dengan itu juga diaturlah penyerahan pasukan Somba yang puluhan ribu kepada tentara pusat yang diadakan di Woloan. Kepada Somba cs, Pusat menghibur dengan rumusan kata-kata yang disetujui oleh kedua belah pihak : “ Tak ada yang kalah, juga tak ada yang menang”. Juga disampaikan bahwa mereka-mereka yang menyerah akan di bawa ke Jawa dan tetap sebagai anggota TNI.
Walaupun saya cukup kecewa dengan kejadian ini, saya tetap berusaha melihatnya dari sisi positif.
“Biarlah kita terpisah sekarang, tapi kalau tujuan kita masih sama maka kita pasti akan bersatu kembali. Lebih baik daripada masih bersama-sama tapi arah sudah berlainan”.
Tanggal 14 April upacara besar di adakan di Woloan, dekat Tomohon. Jus Somba pimpinan resmi mewakili Permesta, sedangkan Panglima Kodam XIII/Merdeka dari pihak Pusat. Karena dalam penyerahan Jus Somba, Kawilarang juga turun gunung ikut menyerah, sedangkan dari pihak Pusat, Nasution merasa tidak enak hati untuk bertemu Kawilarang dalam posisi seperti itu, maka Nasution mengutus seorang perwira senior Mayjen TNI Hidayat. Yang sebetulnya dirasakan oleh Nasution itu bukan hanya sungkan, segan, tak enak, melainkan pula karena ia takut, ia tahu bahwa ia sudah salah. Ini terbukti kemudian, ketika Nasution dipertemukan dengan Kawilarang di suatu tempat di Tomohon, Bung Lex justru memarahi Nasution dengan keras, dan Nasution diam saja.
(Kawilarang merupakan senior 2 tingkat Nasution di Akademi Militer Bandung, ketika Kawilarang sudah berpangkat Letnan aktif di KNIL, Nasution masih Sersan Kadet dan tidak bias meneruskan pendidikan militernya karena keburu Jepang menyerang Pulau Jawa)
Di Sumatera, teman-teman pimpinan PRRI pun melangsungkan perundingan-perundingan dengan Pusat. Puncaknya, Zak Kamidan bersama lebih 10 ribu pasukannya meletakkan senjata dan diterima oleh pemerintah Pusat di Bengkulu pada 17 Juni 1961. Akhmad Hussein bersama dengan sisa pasukannya menyerahkan diri di Solok pada 23 Juni. Kemudian Agustus 1961, Ahmad Simbolon bersama sekitar 20 ribu pasukannya menyerahkan diri juga.
Akhir Agustus 1961, Sjarifuddin Prawira Negara, Zulkifli Lubis dan Burhanuddin Harahap menyerah. M.Natsir baru menyerah akhir September sebab harus bersembunyi dulu di Agam. Soalnya banyak pasukan PRRI sendiri yang sudah menyerah bergabung dengan tentara Pusat dan organisasi bentukan PKI lantas berbalik memburu bekas teman-temannya. Mungkin dengan ini mereka merasa menjadi berjasa dengan Pusat, tetapi justru ini sangat berbahaya bagi teman-teman kami yang masih bertahan, tak lain karena mereka tahu tempat-tempat persembunyian dan jalur-jalur yang biasa digunakan oleh PRRI. Kolonel Dahlan Djambek terbunuh oleh oleh operasi perburuan seperti itu. Itulah yang dihindari oleh Pak Natsir dan teman-temannya.
Kelak dikemudian hari, waktu saya ketemu Simbolon, saya Tanya kenapa mereka menyerah tanpa instruksi dari saya. Jawab Simbolon,
“Kita semua kan tahu, kami yang di Sumatera hanya berharap pada kalian di Sulawesi. Jadi kalau Jus Somba dan Kawilarang saja dengan pasukan sebanyak itu turun gunung, apalagi yang kami harapkan….?!
Saya Masih Konsolidasi Pasukan yang Tersisa, Melawan Seberapa yang Bisa
Setelah pasukan PRRI banyak yang menyerah, bahkan sangat banyak, yang tersisa kalau dikumpulkan barangkali hanya tinggal sekitar 3 atau 4 Batalyon. Mereka tercerai berai dimana-mana. Maka saya konsolidasi agar bisa melanjutkan perjuangan dengan kondisi yang ada. Saya atus sistem perlawanan gerilya sepenuhnya yang terdiri daripada satuan-satuan mobile namun dengan teritori masing-masing. Saya membaginya dalam 3 Komando Resimen Militer (Koresmil). Koresmil 1 saya sendiri yang pegang merangkap KSAD PRRI/KSAP RPI, Koresmil 2 oleh Goan Sangkaeng, dan Koresmil 3 oleh Jefta Kamagie. Otje LInsangan pegang Suad 1, dia memang cocok di Intelijen. Nun Pantouw sebagai wakil saya. Kemudian dalam satu penyergapan, Nun Pantouw bersama adik saya Evert, Manurip, dan Empie Mateos terjebak. Waktu mereka mengunjungi markas sesama pasukan PRRI yang dikira belum menyerah, tapi ternyata sudah menjadi alat Pusat, mereka tertawan.
Tiga Koresmil ini akan menjadi pusat-pusat penyebarluasan pasukan, membentuk jaringan yang sangat luas, bukan saja sesuai dengan strategi perang gerilya total jangka panjang, melainkan pula dalam kondisi sekarang buat meminimalisi akibat-akibat buruk dari gerakan musuh. Sekarang, karena lawan sudah tahu bahwa pihak kami sudah tidak sebanyak dulu, mereka mempergencar operasi perburuan terhadap kami. Itulah mengapa diawal saya tetapkan untuk bukan mengutamakan penyerangan maupun penghadangan terhadap musuh, melainkan survival sambil konsolidasi memperbesar kekuatan
Surat Terakhir Presiden PRI, Meminta Saya Mengakhiri Perlawanan
Hari-hari akhir September sampai awal Oktober 1961, pihak Kodam Merdeka mengerahkan daya upaya yang intens untuk mencari hubungan dengan saya. Untuk berunding tentunya. Dari dulu tidak pernah tawaran berunding diarahkan kepada saya, jadi yang sekarang tentu ada kaitan dengan batas waktu " 5 Oktober 1961 " yang ditetapkan dalam maklumat Presiden Soekarno bagi kami para pemberontak yang masih bertahan belum menyerah. Jadi, upaya mereka ini jelas ada unsur untuk "menolong" saya.
Lalu mengapa mereka mau menolong saya? Padahal bukan tidak mungkin banyak dikalangan pihak musuh yang justru menghendaki nyawa saya, tanpa ampun bila sudah melebihi batas waktu. Boleh jadi dalam hitungan Pusat, saya memang sudah tidak ada gunanya lagi. Bahkan pula bukan tidak mungkin dari pihak-pihak tertentu dari teman-teman kami yang juga berpikir seperti saya. Jadi mengapa saya mau diselamatkan sebelum batas waktu itu? Saya bisa menduga, keputusan mereka adalah dilatar belakangi oleh hasil perjuangan dua orang, Goenarso dan Bert Supit. Atau mungkin juga tiga orang, termasuk Panglima Kodam Merdeka sendiri.
Mayor Goenarso adalah Asisten Intelijen Kodam Merdeka. Dia bekas anak buah saya di Jogja. Ketika saya menjabat Komandan Gerilya Sektor Barat, dia yang sebelumnya Komandan Kompi di Detasemen 300/CTP saya angkat menjadi Komandan Sektor 5 dalam SWK 103A. Ketika kami melancarkan Serangan Umum 1 Maret, pasukan Goenarso adalah salah satu yang berjasa besar mengobrak-abrik kedudukan Belanda di Malioboro dan sekitar Tugu. Pasukannya juga berperan melambat-lambatkan masuknya bala bantuan Belanda dari Magelang dengan menahan mereka dengan kontak senjata seru di pinggiran Jogja. Ketika saya menjabat Komandan Pasukan Sulawesi Utara dan Maluku Utara, Goenarso menjadi ajudan saya.
Saya sangat menduga, Goenarso lah yang beriktiar mempengaruhi policy Panglima Kodam Merdeka, Kolonel Sunandar. Dan kalau saya berfikir positif menilai Kolonel Sunandar, saya mau katakan bahwa sikapnya ini adalah dilatar belakangi pandangannya sebagai seorang aktifis Korps Alumni SSKAD. Pandangan kelompok SSKAD dalam hal perhadapan antara PRRI dan Nasution-Soekarno-PKI, jelas dan tegas memihak kami. Faktor lain saya kira tentu dari Bert Supit.
Berbeda dengan umunya perwira lain yang dikirim untuk menumpas PRRI di Sulawesi, yang umunya dari pelbagai Komando Derah Militer, Kapten Bert Supit adalah perwira dari Pusat langsung. Segera setelah PRRI pecah, Pusat mempercayakannya sebagai Kepala Pelaksana Penguasa Perang di daerah bergolak, semacam pemerintahan darurat militer. Selain untuk kebutuhan dalam situasi perang, juga karena para kepala-kepala daerah di Sulawesi Utara memang sudah ikut kami dalam PRRI. Dalam kedudukannya itu, juga karena ketegasannya yang dikenal luas, para panglima militer dari Pusat sejak Roekminto, Moersjid dan Sunandar, sangat menaruh perhatian pada setiap pandangan-pandangannya. Dan Betb Supit lah yang sejak awal memang berulang kali menyarankan pada mereka agar tak boleh sembarangan menempuh cara-cara militer terhadap kami pemberontak.
Bert adalah teman saya sejak di Sekolah Pelayaran di Makassar lagi. Waktu saya ke Jawa, dia kembali ke Minahasa dan aktif dalam pergerakan politik bawah tanah pro-republik. Pada masa awal perang kemerdekaan, Bert menjadi ajudan Dr. Sam Ratulangi. Bert kemudiannya kuliah di Akademi Hukum Militer di Jakarta, bersama Empie Kanter dan Sudharmono, dan seterusnya berkarir di TNI.
Ketika meletus PRRI, ia berusaha minta dikirim ke Sulawesi. Tak mudah, karena umumnya mereka di Pusat sudah curiga kalau perwira asal Minahasa mau ke Sulawesi Utara. Tapi Bert Supit punya jalur yang cukup berpengaruh, antara lain Sudharmono (Pensiun Letjen TNI, pernah menjabat Wapres RI). Bert berusaha keras ke Sulawesi Utara tak lain karena dia mau berjuang untuk mencegah kehancuran yang lebih besar atas masyarakat daerahnya akibat serbuan tentara Pusat. Kepada teman-temannya di Pusat pun Bert berjuang agar dapat dicegah pengiriman pasukan dari daerah-daerah tertentu yang kemungkinan akan menimbulkan unsur balas dendam. Ya, balas dendam terhadap orang Minahasa, sebab pasukan-pasukan dan orang-orang Minahasa selalu dipakai oleh Pemerintah Pusat untuk menumpas pemberontakan-pemberontakan yang pernah terjadi di daerah-daerah lain.
Karena tekad Bert Supit yang demikian, maka tidak heran lah ia sering bentrok dengan perwira-perwira Pusat lainnya, misalnya dengan Panglima Roekminto. Ia bahkan pernah langsung mencopot tanda pangkatnya di depan Roekminto, menyodorkan pistolnya sendiri agar Panglima membunuhnya lebih dulu sebelum melaksanakan suatu operasi yang dinilai Bert sangat berbahaya bagi masyarakat umum.
Usul Mayor Goenarso pasti diterima oleh Kodam. Sebab Goenarso dinilai sudah berjasa besar bagi operasi membereskan pemberontakan PRRI di Sulawesi Utara. Operasi yang sangat mengandalkan kerja-kerja intelijen. Mereka pun lantas gencar mencari hubungan saya. Tapi saya menjawab : Saya hanya mau berhubungan dengan Bert Supit.
Karena bert Supit maupun Goenarso rupanya cukup tahu watak saya, bahwa saya akan konsisten dan konsekuen untuk tetap dalam garis perjuangan PRRI, mereka lantas mencari surat-surat dari Presiden RPI/PM PRRI Mr. Sjarifuddin Prawiranegara yang ditujukan ke saya. Ternyata ada surat-surat untuk saya, dan disabot oleh intelijen tentara Pusat sehingga jatuh ketangan mereka dan tidak pernah sampai ke saya. Bukan saja dari Pak Sjaf, tapi ada juga surat dari Ahmad Huseein, Simbolon dan Zulkifli Lubis. Isinya semua sama, meminta saya untuk mengakhiri perlawanan dan "kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi".
Saya heran kenapa surat-surat tersebut ditahan, padahal surat-surat itu berisi intruksi dan himbauan, walau kata-kata didalamnya lebih tepat dibilang' permintaan' - agar saya mengakhiri perlawanan. Jadi saya tidak tahu, apakah surat-surat tersebut disembunyikan oleh pihak lawan, agar saya tidak turun gunung sampai batas waktu sehingga saya akan dihabisi, ataukan memang sudah menjadi kebiasaan pihak lawan untuk menyabot semua hubungan kami dengan pimpinan PRRI di Sumatera.
Membaca surat Pak Sjaf, juga surat teman-teman yang lain hati saya tersentuh, sangat terharu. Ia mengingatkan bahwa prinsipnya perjuangan kami tak akan pernah bisa dipadamkan. Kebenaran akan diperjuangkan sampai kapanpun dan apapun resikonya. Tapi Pak Sjaf juga mengingatkan sejumlah faktor yang melogiskan langkah perdamaian dengan Pusat.
Saya segera memutuskan untuk mematuhi "permintaan" Presiden RPI/WPM PRRI itu.
Menyerah Tanpa Syarat Segala!
Kepada Bert Supit, Goenarso, maupun perwira-perwira lain yang kemudian diutus oleh Kodam Merdeka saya nyatakan : menyerah. Menyerah tanpa syarat! Padahal mereka sudah menyiapkan tim juru runding. Saya bilang, apa lagi yang mau dirundingkan?
" Kami sudah kalah, harus tahu diri. Mau ajukan syarat-syarat apalagi?! Tak logis bicara syarat-syarat segala! " kata saya kepada Bert Supit. Saya menyerah dan terserah mau diapakan, Saya siap dihukum mati. Acara penyerahan bersama pasukan yang masih tetap setia dengan saya segera dipersiapkan oleh Kodam. Upacara nya berlangsung di Tompaso.
Di Liandok, saya lantas membuat pertemuan untuk yang terakhir kalinya dengan pasukan-pasukan yang amsih setia dan ada disekitar saya. Umunya dari Yon Goan Sangkaeng dan Yon Linsangan. Namun Otje lInsangan sendiri tidak hadir, hanya anak buahnya. Baru kemudian saya tahu, Otje Linsangan menolak menyerahkan diri, dia memang sudah bersumpah tidak akan menyerah selagi hayatnya masih dikandung badan. Linsangan hidup berpindah-pindah bersembunyi, dan kemudian menetap di suatu daerah di dalam kota Manado yang kemudian dikenal dengan nama Bumi Beringin.
Hari Sabtu 21 Oktober pagi, Kapten CPM Sukotjo datang menjemput saya di Liandok. Kami turun ke Tompasu Baru menuju lapangan dimana acara sudah disiapkan. Dari pihak “sebelah” diwakili oleh Letkol Batubara. Setelah upacara militer dilapangan, kami pindah ke acara jamuan makan yang didahului dengan ibadah. Tapi saat sedang menuju ke tempat itu, saya baru sadar kalau pasukan kami yang sedang berlalu lalang menikmati pertemuan dengan sanak saudara mereka yang datang menjemput, masih dengan senjatanya masing-masing, dan disandang. Kepada Letkol Batubara saya bertanya heran. Soalnya saya sendiri tadi sudah langsung menyerahkan sepucuk laras panjang dan pistol milik saya.
“Kenapa tidak ada perlucutan senjata…..?”
“ Nanti saja Pak Ventje di asrama. Nda enak didepan banyak orang” jawabnya.
Memang dari awalnya, waktu Sikotjo dating menjemput saya, sepanjang perjalanan kami dari Liandok, begitu juga dengan Batubara disini, semuanya terasa berusaha bersikap sangat baik pada saya. Batubara pun menambahkan, buat mungkin berusaha mencegah ada perasaan “kalah” dalam diri saya,
“Keadaan ini kan sama-sama tidak kita kehendaki….Benar kan Pak Ventje?” Ia pun bicara macam-macam, semua dengan nada seperti itu, dengan tujuan yang sama. Saya jadinya tidak banyak bicara.
Begitu terus, sampai dalam acara makan pun begitu. Mereka sudah atur semuanya. Piring-piring disajikan sekaligus oleh dua orang gadis dengan gerakan yang bersamaan, sudah dilatih, kearah saya dan Batubara. Mereka selalu berusaha agar tak ada yang terkesan lebih tinggi dari yang lain.
Selesai acara langsung kami semua dibawa ke Manado. Tiba di Manado pukul 3 dinihari, semua anggota pasukan langsung dimasukkan ke asrama. Saya dibawa ke rumah kediaman G-1 Kodam XIII/Merdeka, Mayor Goenarso. Dua hari saya dirumahnya, sebelum dibawa ke Jakarta. Selama di Manado, pertama-tama saya dipertemukan dengan Panglima Kodam XIII/Merdeka, Kolonel Inf. Sunandar Prijosudarmo Ketika bertemu, Panglima langsung menyalami saya dengan erat, kemudian bertanya sebagaimana lazimnya tatakrama,
“Bagaimana, Pak Ventje, baik-baik…?”
“Tentu saja tidak baik. Masa keadaan begini baik?” jawab saya.
Saya memang sering lupa kalau orang sedang berbasa basi untuk sopan santun, sedang saya mengartikan kata-katanya secara yang sebenarnya, dan juga menjawab dengan jujur apa adanya. Ini jelas kurang baik bagi saya pribadi. Tapi untunglah banyak kenalan dan teman-teman lama saya sudah biasa dan maklum dengan “kekurangan” saya itu.
Saya kemudian bertemu dengan Kepala Staf Kodam XIII/Merdeka, Letkol Inf. Herman Hari Rustaman. Kami mengobrol cukup lama. Selama percakapan kami, berkali-kali ia menyatakan pendapatnya bahwa kalau dia yang menjadi pengambil keputusan di Pusat, maka pasti saya akan dibebaskan olehnya pada hari ini juga.
Kapten Bert Supit mengundang saya ke rumahnya. Saya datang ke rumahnya, tentu saja dengan penjagaan ketat tentara. Ternyata hari itu Bert sudah "menawan" Jus Somba dirumahnya. Disuruh masuk dalam kamar. Begitu saya tiba disana, saya diajak masuk ke kamar itu. Bert langsung meninggalkan saya berduaan dengan Jus Somba. Bert Supi berharap saya bisa "menyelesaikan masalah" dengan Jus. Tapi saya pikir tak ada masalah lagi, saya harus bicara apa lagi?
Saya diam saja menatapnya yang selalu tertunduk, tidak berani mendongakan kepala. Tanpa sepatah kata, saya kemudian keluar. Tak sedikitpun saya rasa merasa perlu untuk menyalahkannya.
Beberapa hari dirumah Goenarso, saya lalu dibawa ke Jakarta. Waktu akan meninggalkan rumahnya, saya menyerahkan sepucuk pistol mini yang sebelumnya saya simpan rapat-rapat. Saya memang tidak menyerahkan semua senjata saya waktu di Tompaso Baru. Saya ndak mau dihabisi lawan saat perjalanan. Kalau harus mati, janganlah mati konyol.
Waktu itu, tidak sedikiti orang-orang PRRI yang meski sudah menyerahkan diri tetap dihabisi dengan berbagai muslihat. Mereka seperti Tun Kopojos, Jost Searang, Drs. Vicky Tanos, Danny Lumi. Di Sumatera ada Kolonel Dahlan Djambek. Semua mereka dihabisi setelah menyerahkan diri, atau sengaja dijebak untuk dihabisi.
Saat saya menyerahkan pistol mini saya tersebut kepadanya, Goenarso tersenyum. Bekas anak buah/ajudan saya ini rupanya memang sudah hafal watak saya.
( Dikemudian hari, Goenarso bisa mencapai jabatan perwira tinggi dengan pangkat Mayor Jenderal TNI. )
Pasukan-Pasukan yang Mau Terus Berjuang
Panglima Sunandar yang langsung mengantarkan saya ke Jakarta. Sebelumnya ia meminta saya untuk menyurati pasukan-pasukan Permesta yang masih bertahan di hutan-hutan, yang belum turun gunung. Yaitu Koresmil 3 pimpinan Peta Kamagie di Lowata. Bersama Kamagie ada Eddy Rembet juga dan pasukannya. Juga ada Hein Kalangi dari Brigade Manguni. Sebelumnya, Kalangi sudah turun gunung bersama Laurens Searang, tetapi kemudian ia masuk hutan lagi bersama pasukannya. Ada juga pasukan-pasukan dari Bert Sumilat, Rudy Sumual, dan lain-lain.
Saya menulis surat kepada dua pimpinan pasukan itu. Mereka pun patuh. Panglima Sunandar sangat senang, ia menyampaikan terima kasihnya kepada saya.
Sebelumnya masih ada lagi pasukan-pasukan dalam kelompok-kelompok kecil yang tersebar dimana-mana. Ada yang bertahan sampai tahun 1964-1965. Mereka kembali ke masyarakat secara diam-diam, secara individual. Terlebih lagi setelah kekuasaan PKI runtuh. Jadi mereka tidak pernah menyerah. Pasukan lain dengan jumplah yang cukup besar hingga ribuan personel dibawah pimpinan Wim Dompas. Mereka memang salah satu andalan dari pasukan WK-III pimpinan Tengas. Sudah turun bersama Tengas dan Somba di bulan April 1961, Dompas kemudian memisahkan diri bersama-sama pasukannya meneruskan perlawanan. Di Sumatera juga banyak yang seperti itu, baru turun gunung setelah pemerintahan Orde Lama runtuh.
Pihak Pusat maupun pimpinan TNI mendapatkan "manfaat praktis" dari eksitensi RPI, yaitu mempercepat turun gunung nya kelompok-kelompok pemberontak selain PRRI/Permesta. Seperti Darul Islam Daud Beureueh di Aceh, pasukan Kartosuwiryo di Jawa Barat, pasukan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, kelompok Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, dan RMS di Maluku. Dengan begitu, maka penyelesaian dengan PRRI serta pucuk pimpinan RPI pada pertengahan 1961 itu segera mendorong Pusat untuk menyelesaikan lebih cepat semua pergolakan di berbagai daerah tersebut.
Yang tersisa segera diselesaikan dengan pemberian amnesti dan abolisi, yang dinyatakan berlaku sejak 17 Agustus 1961. Batas waktunya adalah 5 Oktober 1961, sedangkan saya baru turun tanggal 20 Oktober, sudah lewat deadline.
Walau sudah deadline, tapi Panglima Sunandar "menolong" saya. Langkah seperti yang dilakukan oleh Panglima Kodam XIII/Merdeka itu tidak mau dilakukan oleh Panglima Kodam Hasanuddin, Kolonel M. Jusuf, sehingga Kahar Muzakkar harus mengalami nasib yang tragis. Padahal Kahar merupakan pembina Jusuf sejak awal karier tentara Jusuf. Juga bahkan sampai beberapa kali, saban Jusuf sudah "tercecer" dari struktur organisasi resmi TNI, karena kesalahannya sendiri, ia dapat masuk lagi justru dengan menggunakan jalur dan pertolongan daripada Kahar.
Sampai awal tahun 1950-an, jalur dan akses Kahar memang "kuat", yaitu langsung menggunakan posisi dan pengaruh Zulkifli Lubis di Markas Besar APRIS. Ndak tahu apa yang ada di dalam pikiran Jusuf sehingga tega tidak menolong Kahar setelah ia berkuasa pada tahun 1961 itu. Kahar pun menjadi korban. Seorang pejuang kemerdekaan yang telah berjuang semenjak awal-awal revolusi, seorang yang sangat pemberani yang saya kenal, menjadi tumbal, begitu juga Dee Gerungan, turut menjadi tumbal.
Setelah saya dibawa ke Jakarta, MBAD meminta saya untuk menyurati pasukan Jangky Kumontoy di Halmahera, dan surat dikirim pada Januari 1962. Pasukan Kumontoy adalah bagian dari pasukan yang dulu saya pimpin langsung untuk menguasai titik-titik strategis di kepulauan Halmahera tahun 1958. Pasukan Kumontoy bertugas merebut lapangan terbang Merotai. Setelah wilayah-wilayah tersebut direbut kembali oleh tentara Pusat, Jongky Kumontoy dan pasukannya bergerilya di hutan-hutan sekitar Halmahera. Setelah Kumontoy turun gunung, mereka langsung direhabilitasi menjadi TNI untuk diterjunkan dalam Operasi Trikora.
Berbeda dengan ex-pemimpin pasukan PRRI/Permesta lainnya yang minta untuk berkarir terus di TNI, seperti Jus Somba yang diturunkan pangkatnya, Jongky Kumontoy sebaliknya. Ia sebelumnya yang Letnan PRRI masuk TNI langsung menyandang pangkat Kapten. Ia bersama pasukannya dinamakan PG-500 dan dinilai memperoleh keberhasilan yang paling gemilang dalam operasi awal Pembebasan Irian Barat.
Mereka berangkat dari Pulau Gebe, sebelah timur Halmahera dengan sejumlah perahu. Sampai di Pulau Waigeo pertengahan JUli 1962 dan bergabung dengan pasukan-pasukan yang sudah mendarat dulu. Kemudian turut bergabung di dalam pasukan Kumontoy setelah satu operasi terjun Linud seorang srikandi bernama Herlina (yang kelak jadi sangat terkenal dan diberi Lencana Pending Emas oleh Presiden Soekarno). Herlina dan pasukannya salah mendarat ditengah-tengah barak Marinir/KL Belanda, teman-temannya cerai berai. Banyak yang gugur dan tertawan, kemudian bergabung dengan pasukan kUmontoy. Kemudian pasukan ini menyusup melalui Teluk Arugu, sampai ke dalam Monokwari. Begitu hebatnya pasukan Kumontoy, sehingga ketika semua Pasukan Gerilya (PG) yang berinfiltrasi ke Irian - dari PG 100 sampai PG-600 - digabung menjadi satu detasemen, maka kesatuan ini biasa disebut Detasemen Kumontoy. Kendati PG-PG lain diluar PG-500 itu berasal dari pasukan elit TNI lainnya.
Semua Ini Saya yang Bertanggungjawab!
Saya dibawa ke Jakarta, diantar oleh Panglima Sunandar. Kami naik pesawat Dakota AURI, singgah di Balikpapan, kemudian pindah pesawat ke Surabaya. Waktu di Balikpapan, Pangdam Mulawarman, Brigjen TNI Hario Kechik dating menemui saya. Kami dulu sama-sama di Kompas B. Hario cerita tentang bantuan-bantuan yang ia berikan bagi perjuangan kami PRRI. Saya amat terharu, soalnya saya sudah dengar-dengar bahwa Hario sekarang adalah seorang perwira tinggi yang bersemangat dalam mendukung politik Bung Karno yang semakin ke kiri. Jadi saya terharu, persahabatan kami ternyata melebihi batas-batas politik dan ideologi, Sehingga Hario tanpa takut menyatakan bahwa ia membantu kami. Padahal waktu ini, sebagaimana lazimnya dalam alam politik diktator, fitnah dan sikap menjilat merajalela. Hario tidak takut kariernya terancam.
Di Jakarta saya diproses verbal oleh petugas MBAD. Saya sebetulnya mau protes setiap kali mereka menyebut, atau membaca dokumen untuk saya, kata-kata “kembali ke pangkuan ibu pertiwi”. Saya pikir kami tidak pernah meninggalkan ibu pertiwi, kami tidak pernah menghianati bangsa dan Negara. Kami hanya memberontak terhadap rezim penguasa pemerintahan yang “sakit”. Lagi pula, kalau “kembali” dan “pernah meninggalkan” itu berkenan dengan jalan kami yang tersesat, mengenai konsep atau garis perjuangan yang salah, itu berarti kami ini terlalu bodoh sehingga sampai lebih tiga tahun bertarung nyawa untuk kebodohan. Saya yakin kami tidak keterlaluan seperti itu. Tapi sudahlah. Saya diam saja mengenai istilah-istilah yang mereka pakai itu.
Oditur Militer pun sudah menyiapkan pemeriksaan atas diri saya. Mereka sudah menyiapkan sedert pertanyaan untuk dakwaan. Tapi mereka kemudiannya kaget, semua yang sudah mereka siapkan tidak diperlukan lagi. Saya langsung tegaskan :
“Semua ini saya yang bertanggungjawab…kedalam maupun keluar negeri!”
Langsung selesai. Beres. Tak perlu lagi mereka mengerahkan interogasi, tak perlu lagi menghadirkan sederet saksi-saksi yang sudah mereka siapkan. Menurut saya sederhana saja. Bahwa saya sudah menyerah. Titik! Menyerah berarti saya yang masuk dalam sistem penilaian dari pihak yang sebelumnya lawan saya. Jadi, terserah mereka mau tuduh kesalahan saya, terserah mau hukum mati saya.
Saya siap dihukum mati sekalipun. Ya, saya memang harus melihat kemungkinan itu sebagai hal yang real, karena setiap hari saya menyaksikan bagaimana merajalelanya kekuasaan musuh kami. Bahkan Jenderal Yani dan Nasution sekarang sering jadi sasaran mereka. Segala surat amnesti dan abolisi bukan tidak mungkin dimentahkan. Bahkan banyak politisi yang sama sekali tidak bersalah sekalipun, hanya dituduh atas dasar fitnah, ternyata dipenjarakan dengan kejam.
Gatot Subroto : " Ventje itu yang benar!"
Waktu saya belum menyerah, masih dihutan, rombongan Somba cs. yang sudah "kembali" sejak April 1961 disambut dimana-mana. Tentu saja, mereka dianggap sebagai orang-orang yang berjasa bagi "perdamaian dan ketenteraman masyarakat", "mengakhiri penderitaan rakyat". Di Jakarta, mereka juga disambut oleh banyak kalangan dengan sikap begitu. Beberapa keluarga Kawanua di Jakarta buat resepsi, jamuan makan, khusus buat menyambut mereka.
Tapi, bukan main kaget dan bingung mereka saat mengadakan kunjungan resmi ke Kantor Wakil KSAD, Mayjen TNI Gatot Subroto. Pak Gatot bukannya memuji mereka, malah menyalahkan. Sambil Pak Gatot mengatakan,
"Ventje itu yang benar! Ia konsisten pada perjuangan yang memang benar!"
Apa yang mereka alami di kantor WKSAD itu kemudian hari diceritakan Willy Korompis pada saya. Waktu saya sudah ditahan di Rutan Puncak, Willy datang membezuk. Willy ikut dalam rombongan yang silaturahmi ke WKSAD itu. Willy cerita bagaimana hancurnya hati teman-teman sata mendengar kata-kata Pak Gatot itu. Menurut Willy, wajah Lendy Tumbelaka sampai pucat. Sebelumnya dimana-mana mereka sudah terbiasa hanya mendengar pujian dan kata-kata yang serba baik mengenai langkah mereka berdamai dengan Pusat. Mereka datang ke WKSAD hari itupun, kata Willy, dengan harapan Pemerintah segera akan memberi mereka fasilitas itu ini buat mereka, sebagai imbalan jasa baik mereka.
Mendengar cerita Willy Korompis itu saya menjadi sedih, bukannya senang. Saya segera memikirkan nasib ribuan anggota pasukan yang ikut turun gunung bersama mereka berdasar kesepakatan di Malenos. Kalau dengan para perwira seperti Jus Somba, Lendy Tumbelaka saja yang notabenenya adalah orang TNI saja Pusat sudah bersikap begitu, bagaimana dengan masa depan pemuda-pemuda yang bukan berasal dari TNI? Bagaimana masa depan ribuan anak-anak muda itu?! Itu yang saya bahas dengan Willy Korompis.
Mengenai penilaian positif Pak Gatot itu pada saya, jelas membuat saya sangat terharu. Bukan main tulus dan jujurnya dia, sehinga tak memperhitungkan hancurnya karier diri sendiri. Soalnya, dimasa ini, masa sangat berkuasanya pro-PKI, menyatakan secara terbuka sikap positif terhadap gembong pemberontak seperti saya, itu bisa menjadi sangat fatal baginya.
Pak Gatot memang sejak dulu baik kepada saya. Ia sangat mengerti saya. Bahkan bila posisi formal kami saling bertentangan, selalu ada upaya khusus dari Pak Gatot, maupun mencari jalan penyelesaian yang terbaik. Tidak pernah kami bersinggungan. Ada kisah kecil yang agak lucu mengenai saya dan Pak Gatot. Peristiwa "aneh", serba kebetulan. Kisah itupun baru kemudian hari saya dengar. Yang menceritakan kepada saya adalah Kolonel Soemantri. Ia Asisten WKSAD. Kisahnya, waktu WKSAD Gatot Subroto sedang melakukan kunjungan kerja ke Ambon, buat merintis persiapan serangan balik Pusat terhadap kami PRRI yang sudah menguasai Indonesia Timur.
Kunjungan rombongan WKSAD itu sudah diatur demikian tersamar, mereka tidak naik pesawat tempur AURI. Ketika WKSAD sedang memimpin rapat di dalam pesawat di landasan, sekonyong-konyong tiba serangan udara beberapa buah AUREV dari B-29 yang salah satunya dipiloti oleh Allen Pope. Armada udara PRRI itu membombardir landasan dan pesawat, menghujaninya dengan bom-bom dan tembakan gencar. Pasukan yang dipangkalan membalasnya dengan tembakan gencar meriam-meriam ARSU. Tembakan gencar dimana-mana, sebelum posisi-posisi ARSU Tentara Pusat disapu bersih oleh bombardir B-29 Armada Udara AUREV.
Dalam suasana serba putus asa, tidak berdaya, tinggal menunggu jatuhnya bom-bom dari B-29, Pak Gatot seperti biasanya masih bercanda kepada para pengawal dan anak buahnya,
"Nda usah khawatir kalian, Ventje tahu saya ada di dalam sini......"
Soemantri bercerita, semua anggota rombongan merasa aneh, apalagi kemudiannya ternyata mereka itu salah satu dari sangat sedikit yang luput dari kehancuran. Mendengar cerita Soemantri tersebut, saya justru merasa lebih aneh lagi. Karena "kebetulan" pada waktu kejadian itu, sebelum Armada Udara AUREV mulai mengebom, mereka melaporkan kepada saya titik-titik sasaran yang akan dihancurkan. Dan saya melarang menggempur beberapa obyek tertentu, salah satunya ialah pesawat yang bukan pesawat tempur. Jadi, titik dimana WKSAD dan rombongannya berada itu adalah justru salah satu yang saya larang untuk di bom. Saya ingat persis, pilot-pilot dari AS itu sampai menggerutu dan ngomel-ngomel,
"Perang macam apa ini?! Musuh masih disayang-sayang, dipilih-pilih, jadi menghambat kelancaran operasi.......!"
Omelan mereka itu bukan langsung kepada saya. Saya dengan kemudiannya dari petugas telekomunikasi radio kami di Pangkalan Udara Mapangat.
Kepada Kolonel Soemantri saya langsung bilang,
" Tolong sampaikan salam hormat saya kepada Pak Gatot."
Tapi untuk saat ini, saat sedang ganas-ganasnya merajalela politik kiri yang sangat memusuhi kami, saya tak sedikitpun menyatakan ingin bertemu atau mengharapkan bantuan WKSAD. Saya kasihan kalau sampai karier Pak Gatot sampai terganggu.
Saya kemudian memang tidak pernah lagi bertemu dengan beliau. Sayang sekali, itu ternyata sudah untuk selamanya. Pak Gatot meninggal dunia hanya selang beberapa bulan kemudian. Padahal ketika itu ia sudah pasti akan naik menjadi KSAD, mengantikan Nasution.
Pak Gatot meninggal tepat pada hari ulang tahun saya, 11 Juni 1962. Ia dimakamkan di Ambarawa. Dalam tahanan, saya sedih mendengar berita duka itu, saya sering mengenang perjumpaan-perjumpaan kami.
KARANTINA POLITIK
TAHANAN POLITIK DAN MILITER
Di Jakarta, saya dimasukkan ke Rumah Tahanan di cipayung Jawa Barat. Disini sudah ada Zulkifli Lubis, Nun Pantouw, dan kemudian mereka yang menyerah di luar negeri seperti Tan Goan Po, Ir. Herling Laoh. Kemudian dibawa kesini juga Akhmad Hussein, Sahala Hutabarat, dan teman-teman PRRI lainnya dari Sumatera. Ynag dari luar negeri ada pula Willy Pesik, Daan Mogot, Boy Junus, Anwar Muin, dan lain-lain. Yang dari Sulawesi Utara selain saya adalah Wim Manoppo, Kepala Daerah Bolaang Mangondow Henny Manoppo, Drs. Muhammad Baga dari Gorontalo, George Montoalu, De' Warouw dan beberapa ex- Permesta lainnya. Kemudian juda tiba Goan Sangkaeng, Peta Kamagie, Agus Tuwaidan dan Hein Kalangi. Sedangkan Moh. Natsir, M. Simbolon, Dy\uski Samad, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Mr. Assat Prof. Lan Inkiriwang di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Mereka sempat dikumpulkan bersama-sama kami, lantas kemudianya disebar keberbagai tahanan militer di Jawa.
Mengenai penahanan ini, umumnya mereka merasa tertipu. Sudah menuruti panggilan Pemerintah Pusat untuk berdamai, sudah ada jaminan amnesti dan abolisi, tapi ternyata ditahan juga. Tak urung Jenderal Ahmad Yani dan jajarannya sempat menyampaikan protes keras kepada Kabinet tentang nasib kami, namun tidak digubris.
Bagi saya sendiri tidak mempermasalahkan masalah itu. Sudah saya gariskan sikap dari dulu, saya sudah menyerah tanpa syarat, jadi terserah mau diapakan, dihukum amti sekalipun. Rezim yang bobrok, pelanggar konstitusi, jangan diharapkan penegakan hukum dan keadilan.
Harapan Untuk Tetap Hidup
Sejak bulan-bulan sebelum menyerahkan diri saya masih tetap terus berjuang, bayangan tentang datangnya kematian bagi saya bukanlah hal yang luar biasa. Ketika operasi perburuan terhadap kami semakin gencar, apalagi karena banyak mantan pasukan PRRI/Permesta yang diikutkan turut memburu kami, pun saya merasa tidak gentar. Sebagai pribadi yang cukup lama berada dalam situasi pertempuran, besar dari bau mesiu dan dentuman senjata serta meriam, sudah sering saya menyaksikan teman-teman seperjuangan yang tewas, gugur tertembak, jadi selalu muncul persepsi tentang amat mudahnya kematian itu, apalgi mati tertembak. Begitu juga waktu saya memutuskan untuk menyerah tanpa syarat. Saya sudah siap menanggung semua akibatnya. Siap dihukum mati dan mati.
Tetapi kemudian dari hari kehari di Jakarta dalam tahanan, lantas dipindahkan ke Megamendung, kemudian Cipayung, kehidupan tersu berjalan dan memberi saya perasaan hidup. Proses ini, pada waktu itu, berlangsung sangat biasa, tanpa disadari. Mayjen TNI Ahmad Yani bercerita kepada saya tentang upayanya mebela kami. Sejak usul pemberian amnesti dan abolisi. Dna sikapnya yang sekarang sangat bersahabat kepada kami, semua kenyataan ini berperan menumbuhkan pandangan yang baru bagi saya. Tidak semua yang berkuasa sekarang ini menghendaki kematian kami. Bahkan ada seorang Jenderal yang sedang dijajaran puncak kepemimpinan militer negara ini secara pribadi berpihak kepada kami.
Dalam keadaan seperti sekarang ini, kembali saya terkenagkan Pak Gatot. Dia memang pribadi yang luar biasa. Dibalik perilakunya sehari-hari yang terkesan seenaknya terpancar integritas yang sungguh-sungguh. Dibalik sepak terjangnya yang spontan, tak jarang melanggar disiplin, konsistensinya selalu terjaga. Dibalik pembawaannya yang terlihat kasar, suara bariton yang khas, selalu terpancar kebaikan dan ketulusan hatinya.
dr. Nos Engelen waktu datang menemui saya dalam karantina tahanan di Cipayung, bercerita tentang pertemuannya dengan Pak Gatot. Kata Pak Gatot, waktu kami sudah mulai dengan PRRI, Soeharto sampai tanya kepada Pak Gatot mau bikin apa pasukan-pasukannya di Jawa. Soeharto sudah menunggu kontak dari kami.
"Tak ada koordinasi operasi. Jadi dia (Soeharto) ndak tau mau bikin apa...!" kata Nos Engelen menirukan ucapan Pak Gatot
Soharto! Teman seperjuangan sejak saya masih di Jogja. Sekutu saya di masa-masa awal pergolakan PRRI. Sekarang dia sudah berpangkat Brigjen selaku Panglima Mandala, dan sangat diandalkan oleh negara. Kenyataannya inipun menjadi salah satu faktor yang secara langsung dan tidak langsung membesarkan hati saya, membuat saya memandang bahwa hari esok pasti akan lebih baik.
Letkol dr. Nos Engelen di tahan di RTM Madiun, tapi tahun 1962 sudah dibebaskan. Dia ditangkap pada 1958 di Makassar bersama-sama dengan Letkol Bing Latumahina, Letkol M. Saleh Lahade, Mayor Mochtar Lintang, Kapten Naziruddin Rachmat, Kapten Anwar Bey, Kapten Kaligis dan lain-lain.
Kisah Orang-Orang Tahanan
Selama dalam tahanan, banyak sekali kisah suka duka diantara kami, termasuk kisah-kisah lama yang baru diungkap oleh sesama tahanan. Juga, tentu saja sangat banyak joke nya, walau hari-hari awal kami berada dalam tahanan biasanya yang dibicarakan yang serba serius. Yang diguraukan macam-macam. Misalnya waktu Sjarifuddin Prawiranegara tampak sedang ngobrol berdua dengan Dr. Soumokil, Nun Pantouw langsung bilang ke kami sesama tahanan yang sedang duduk-duduk ditempat terpisah,
"Lihat...! Dua Presiden sedang berunding. Presiden RPI dan Presiden RMS!" Semua langsung terbahak bahak. Apalagi ketika melihat gaya dua teman yang ditunjuk Nun itu betul-betul persis orang yang sedang merundingkan masalah gawat.
Begitu juga waktu Sutan Sjahrir terkena stroke. Saya yang pertama kali melihat dia jatuih terduduk dalam kamar mandi. Kmai langsung angkat, teman-teman melakukan apa saja untuk menolongnya. Ada juga yang melapor ke petugas tahanan untung diangkut ke Rumah Sakit. Sedang Natsir dan Burhanuddin Harahap sibuk mengurut-ngurut tangan Sjahrir, kami semua berkerumun disekitarnya. Suasana tegang. Perasaan was-was. Tiba-tiba ada yang nyelutuk, "Lihat..! Masyumi sudah berkoalisi dengan PSI!"
Saya lupa siapa yang berkomentar, tapi yang jelas gurauan itu terasa amat lucu. Namun tak semua joke berunsur politik. Banyak juga yang ringan-ringan, mirip gurauan anak-anak. Misalnya waktu Mochtar Lubis bercanda tentang nama panggilan masing-masing kami, dia bilang yang paling jelek adalah Pak Burhanuddin Harahap, karena panggilannya memang BH.
"Ganti saja" kata Lubis.
"BH kan kutang..perabotan wanita..."
Mendengar itu, Natsir langsung menambahkan, " Sama dengan Nun Pantouw, sudah punya istri dan anak..tapi masih saja dipanggil Nun, Biarawati..!"
Simbolon pun langsung menyahut, " Sama dengan Boyke Naiggolan, selamanya tetap anak kecil, boy.....!" disambut gelak ketawa kami semua.
Bagi orang-orang tahanan, banyak soal-soal yang sepele bisa menjadi serius. Tak kecuali urusan makan. Pernah sampai ada "gerakan politik" mogok makan. Cuma gara-gara pengaturan makan yang berbeda keinginan dengan petugas Rutan. Ada kisah tentang kompor buatan Simbolon. Lantaran jatah makanan kami sering dinilai tidak enak - terlalu sering ikan dan sayur tidak gurih, maka banyak yang menyesalkan sisa makanan yang dibawa keluarga/pembezuk menjadi basi dan terbuang percuma. Makanan dari mereka seringnya enak-enak, karena dibeli di restoran. Maka dipikirkanlah cara bagaimana agar makanan bisa tahan lama dan tetap enak dimakan. Yang bisa, karena murah adalah kompor. Tapi ada aturan tahanan tidak boleh mempunyai kompor sendiri. Sempat ribut lagi dengan petugas karena mereke tidak mengijinkan adanya kompor. Tapi Simbolon panjang akalnya. Ia meminta para pembezuk/keluarga-keluarga jika datang membawa lilin setiap kali. Lilin-lilin tersebut dilelehkan dalam wadah, dutaruh beberapa sumbu, jadilah kompor. Suatu hari ketahuan petugas dan dirampas!. Tapi Simbolon buat lagi yang baru.
Rencana Melarikan Diri, Meleteus G30S
Saya Bilang : Pihak Kita Yang Menang
Sepanjang tahun-tahun 1964 - 1965, merajalelanya kekuasaan PKI yang terus bereskalasi. Kekuasaan mereka semakin luas, dari Pemerintahan Pusat hingga ke daerah-daerah. Setidaknya mereka yang diarahkan, dan pihak manapun sangat jarang yang berani secara terbuka untuk bertentangan dengan PKI. TNI yang semula dikira sebagai kekuatan yang mampu menghantamnya, dalam kenyataannya sekarang malah dipecah belah. Semakin banyak kelompok-kelompok dalam tubuh TNI yang pro-PKI.
Adapun kami, sebagai pihak yang memang secara terang-terangan dan seutuhnya bertentangan dengan PKI, tentu saja semakin menjadi sasaran tembak. Kemenangan demi kemenangan PKI atas TNI dalam hal status kami sebagai eks-pemberontak dimulai dengan dimentahkannya keputusan Presiden sendiri mengenai amnesti dan abolisi yang kendati sudah diberikan kepada kami. Kami tetap berada dalam tahanan, yang disebut "karantina politik", tanpa kejelasan sampai kapan. Sudah begitu, terus menerus kami disikat oleh media massa pro-kiri. Mereka menghantam pihak-puhak di jajaran pimpinan Angkatan Darat yang dianggap membela kami. Mereka terus menyindir-nyindir,
"Mengapa para pemberontak itu hidup seperti tuan-tuan besar di bungalow di Puncak?!"
Letjen TNI Ahmad Yani dan jajarannya akhirnya tak mampu membendung fitnah dan hantaman dari mereka itu. Apalagi ketika BPI menyebar fitnah bahwa mereka telah menyadap pembicaraan rahasia antara dinas Intelijen Inggris dengan beberapa bekas pemberontak yang berada dalam tahanan. Agustus 1963, kami dipindahkan ke umah Tahanan Militer di jalan Budi Utomo, Jakarta. Langsung dibawah Kejaksaan Agung yang pula sudah dalam cengkeraman kelompok pro-PKI. Penjagaan terhadap kami oleh tentara jadi sangat ketat. Zulkifli Lubis bahkan sudah tidak lagi bersama kami. Ia dimasukka dalam sel isolasi bawah tanah di Kejaksaan.
Beberapa orang pimpinan Angkatan Darat yang tetap teguh membela kami, seperti Ahmad Yani, S.Parman dari para staff inti di SUAD, juga beberapa panglima Kodam di wilayah-wilayah, hanya bisa menyabar-nyabarkan kami. Dan tetap mengirim bantuan kebutuhan kepada kami, walau secara sembunyi-sembunyi. Adapun Staff Inti SUAD menjelang meletusnya G30S adalah seperti berikut :
- Menteri Panglima Angkatan Darat : Letjen TNI Ahmad Yani ( Merangkap Kepala Staf KOTI )
- Asisten I/Menpangad : Mayjen TNI S. Parman
- Asisten II/Menpangad : Mayjen TNI Moersjid
- Asisten III/Menpangad : Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro
- Asisten IV/Menpangad : Brigjen TNI DI. Panjaitan
- Asisten V/Menpangad : Brigjen TNI Rukman
- Deputy I/Menpangad : Mayjen TNI Soeharto ( Merangkap Pangkostrad / Wakil Panglima Dwikora )
- Deputy II/Menpangad : Mayjen TNI R. Suprapto
- Deputy III/Menpangad : Mayjen TNI M.T. Haryono
- Deputy IV/Menpangad : Mayjen TNI Sukendro
- Oditur Jenderal : Brigjen TNI Sutojo Siswomihardjo ( Merangkap Inspektur Kehakiman )
Sedangkan beberapa Kodam yang sudah dijabat oleh Perwira Tinggi TNI seperti :
- Pangdam Diponegoro : Brigjen TNI Surjosumpeno
- Pangdam Jaya : Mayjen TNI Umar Wirahadikusumah
- Pangdam Siliwangi ; Mayjen TNI Ibrahim Adjie
- Pangdam Brawijaya : Mayjen TNI Basuki Rachmat
- Pangdam Mulawarman : Brigjen TNI Hario Kechik
PKI maupun militer pro-kiri semakin merajalela. Mobilisasi massa sesuai politik konfrontasi ganyang Malaysia yang dicanangkan Bung Karno tahun 1963 mereka tunggangi untuk sekaligus menghantam kami. Teman-teman para tahanan, sebagai politisi kawakan, dan terlebih kami yang militer, secara naluriah segera menyimpulkan bahwa nyawa kami sudah dalam ancaman. Apalagi ketika terdengar berita di sana-sini PKI sudah mulai melancarkan aksi-aksi kekerasan secara sepihak. Hampir setiap hari ada demonstrasi massa. Sering sekali demonstrasi di adakan di Lapangan Banteng, yang notabene berdekatan dengan RTM tempat kami ditahan.
Maka teman-teman dalam tahanan, kalau ndak salah ingat Pak Sjaf yang mulai usul, segera berunding untuk melarikan diri. Strategi pun disusun sampai mendetail. Beberapa nama dari Sersan-Sersan CPM yang biasa memimpin regu jaga di RTM sudah di inventarisir. Pelarian akan dibagi dalam 3 kelompok yang dipercayakan kepada saya, Ahmad Hussein, dan Simbolon.
"Saya dengan Panglima! Saya dikelompoknya Panglima..!" kata Pak Natsir dan Mochtar Lubis. Begitu juga beberapa tahanan lainnya. Maksud mereka, mereka memilih sendiri akan masuk dikelompok yang mana, dan mereka berebutan masuk ke kelompok yang saya pimpin. Diantara para tahanan, saya memang di apnggi "Panglima". Meski disini mantan petinggi militer ada beberapa orang, seperti Ahmad Hussein, Simbolon, Nawawi, dan sebelumnya ada juga Zulkifli Lubis.
Pada hari-hari menunggu saat yang tepat untuk melarikan diri itulah terjadi peristiwa G30S. Tanggal 1 Oktober 1965 pagi, beberapa teman mendengar berita radio RRI Pusat tentang kudeta berdarah. Sejumlah Jenderal diculik. Suasana jadi simpang siur, dan sangat jelas menjadi mencekam bagi kami. Kalau jenderal-jenderal yang begitu berkuasa dan punya pasukan saja bisa mengalami nasib seperti itu, apalagi kami yang tak berdaya dalam tahanan...
Pikiran jadi simpang siur. Semua bertanya-tanya apa sesungguhnya yang terjadi? Dan bagaimana selanjutnya?! Sebagai pemimpin-pemimpin pemberontak, dan terlebih beberapa teman yang negarawan, kami semua berfikir bahwa untuk mengerti apa yang terjadi, dengar saja pihak mana yang tampil di radio dan apa isi pidatonya. Namun, tetap tidaklah semudah itu. Datang berita-berita yang saling bertentangan.
Jam demi jam berlalu melewati siang hari Jumat 1 Oktober itu. Berdasar berita-berita yang ada, kami sudah menyimpulkan bahwa ada gerakan militer dari kelompok yang dikendalikan PKI dan mereka berhadapan dengan kelompok tertentu dari pimpinan Angkatan Darat. Begitu.
Lepas siang, sekitar pukul 15.00, saya minta tolong ke Sersan penjaga RTM, namanya Muthalib, untuk pergi mengintai situasi di Jln. Merdeka Utara, karena disana ada Istana Negara dan MBAD. Pusat kekuasaan. Kira-kira 2 jam kemudian, Sersan Muthalib kembali. Dia bilang terlihat di Lapangan Monas banyak pasukan hilir mudik dan dalam posisi siaga, diantaranya baret merah. RPKAD! Sedang hilir mudik, tapi jalannya melenggang biasa, tidak terlihat tegang. Saya langsung menyimpulkan : "Pihak kita sudah menang!"
Saya bilang ke semua teman-teman di dalam RTM, kita tidak perlu lari, rencana melarikan diri batal!.
Zaman Berganti, Yang Dulu Penguasa Berbalik Jadi Tahanan.
Menyusul gagalnya G30S/PKI untuk meraih kekuasaan mutlak - digagalkan oleh Soeharto, Sarwo Edhie, dan kawan-kawan - para pelaku peristiwa berdarah itu di tangkap-tangkapi. Langusng dibawa masuk ke RTM tempat kami. Sejumlah perwira militer pro-PKI, para gembong PKI, menteri-menteri, semua dikerangkeng! Mereka yang tadinya sangat berkuasa berbalik menjadi tahanan.
Kata- kata Achmad Yani kini terbukti menjadi kenyataan. Waktu itu Yani, karena adanya abolisi - ternyata tak seratus persen berhasil lantaran disabot oelh perwira-perwira pro-PKI, sehingga kami tetap harus ditahan - maka ia sering menghibur kami. Saat kami mulai di karantina di Cipayung, Yani bilang ke saya, "Inikan cuma soal politik Pak Ventje. Hari ini tidak punya harga tapi besok siapa tahu harganya naik 3 kali lipat." Begitu juga waktu kami harus dimasukkan dalam tahanan militer, Agustus 1963, Yani kembali menyampaikan kata-kata senada itu. "Tunggu saja waktunya Pak Ventje. Kita lihat!" kata Yani.
Saya jadi teringat kata-kata Kapten CPM Ariefin, Wakil Komandan di RTM Jln. Budi Utomo ini, ketika kami baru masuk kesini. Dia bilang, "Bapak-bapak tenang saja. Disini biasanya nasib orang bisa terbalik. Ynag tadinya berkuasa, jadi tahanan. Begitu juga sebaliknya. Lihat saja Pak Chairul Salleh, Waperdam III yang hebat itu. Dulu juga sempat disini....". Saya ndak pernah dengar apa yang dialami oleh Chairul Saleh dulu itu. Apa benar pernah ditahan disini ataukah hanya sempat diperiksa disini, saya ndak tahu masalah apa. Mungkin terjadi waktu saya masih di hutan, dimasa PRRI. Tapi, kalau betul itu pernah terjadi, menyedihkan. Karena kemudian, menyusul peristiwa G30S, Chairul juga dijebloskan disini. Walau ia bukan PKI. Begitulah politik. Siapa yang dihukum dan siapa yang menghukum sering kali hanya ditentukan oleh kekuasaan politik.
Para perwira yang dituduh terlibat G30S, yang di bawa ke RTM ini, selain Letkol Untung, antaranya ada Kolonel Haryono, Kolonel Laut R. Sunardi, Kolonel Jusuf, Brigjen Pol. Sugeng Sutarto, dan Letkol Bambang. Dan terus bertambah. Letkol Untung - Komandan Gerakan 30 September, ditahan di dalam blok isolasi. Ada yang bilang tangan dan kakinya di rantai.
Banyak yang tidak begitu jelas pada kami. Karena mereka dibawa pada tengah-tengah malam, kami sudah tidur, dan dimaukkan dalam "blok kapal selam" pula. Sering kami baru tahu nama mereka dari koran yang kami baca kemudian, atau daripada wartawan yang selalu datang memperdalam informasi. Ada juga yang besoknya dibawa ketempat lain lagi. Adapula yang membingungkan, karena mirip-mirip. Yaitu Nyoto, salah seorang tokoh utama PKI. Kendati ia dibawa kesini masih pukul 8 malam, kami semua belum tidur. Begitu diturunkan dari mobil langsung buru-buru digiring ke sel tertutup. Kami tanya, siapa dia? Petugas yang membawanya menjawab Nyoto. Tapi besok paginya penjaga RTM bilang Nyono. Sampai sekarang saya ndak pernah tahu persis apakah Nyoto atau Nyono yang dibawa malam itu.
Semua memang jadi terjungkir balik. Mareka yang tadinya sangat berkuasa, merajalela, dengan mudahnya menfitnah untuk menjebloskan orang lain dalam penjara, sekarang dikejar-kejar, ditangkap, bahkan beberapa telah tewas ditembak dalam operasi penangkapan.
Ada yang dramatis. Yaitu dialami oleh Simbolon. Pagi-pagi di RTM, Pak Simbolon sedang berjalan menghampiri kami, tiba-tiba ada orang yang datang mendekatinya dan langsung berlutut memeluk kaki Pak Sim. Orang itu menangis, memohon ampun. Ternyata dia Ulung Sitepu, Gubernur Sumatera Utara. Baru tadi malam di masuk. Dia memang perwira simpatisan PKI. Dialah yang memimpin pasukan yang hendak menangkap dan menghabisi Pak Sim, Panglimanya sendiri, saat Pak Sim sedang merayakan Natal, Desember 1956. Ketika itu, Simbolon harus buru-buru tengah malam menyingkir, menyelamatkan diri dari kota Medan. Panglima TT-I Kolonel Maludin Simbolon mengumukan Dewan Gadjah akhir 1956 - menyusul Dewan Banteng, mendahului Dewan Permesta. Sekarang terbalik, akhir 1965, Ulung Sitepu ditangkap.
Makin hari, semakin banyak tahanan G30S/PKI yang dijebloskan di RTM Budi Utomo, bersama kami. Jadi makin sempit. Akhirnya kami, para tahanan non G30S/PKI, bahkan sangat anti-PKI, dipindahkan. Januari 1966, kami dipindahkan ke Jln. Keagungan No..62. Sederet rumah yang banyak kamar dibikin menjadi RTM.
Ketika kami dipindahkan, kami dengar Dr. Subandrio, orang nomor dua paling berkuasa di negara ini - Waperdam I merangkap Menteri Luar Negeri, merangkap Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) - segera akan ditahan di RTM Budi Utomo. Ternyata betul. Ia dimasukkan di bekas tempat Nun Pantouw. Suatu kebetulan historis, Subandrio adalah raja intel rezim pro-komunis, sedang Nun Pantouw, komandan intelijen kami PRRI yang sebaliknya anti-komunis
BEBAS DARI TAHANAN REZIM ORDE LAMA
Hari-hari setelah terjadinya kudeta gagal Gerakan 30 September itu, kami semua tahanan politik di RTM mulai diliputi perasaan suka. Tidak saja karena kebanyakan diantara kami langsung berfikir tentang datangnya saat kebebasan, lepas dari tahanan ini, tapi terutama karena pihak-pihak yang memusuhi kami, yang memenjarakan kami, merekalah sekarang yang terbukti melakukan kesalahan besar. Mengkhianati bangsa, dan mereka sedang dihantam oleh kawan-kawan kami.
G30S/PKI Membantai Yani dkk. Ucapan Saleh Lahade Menjadi Kenyataan
Semua yang selalu ulang-ulang saya katakan, bahwa tujuan PKI selalu pasti akhirnya akan mengambil alih kekuasaan negara dengan segala cara. Dalam penjara dulu, saya sempat membuat tulisan/jurnal tentang ini dan metode serta cara-cara mereka mengambil alih kekuasaan, sudah saya kirimkan ke MBAD, diteliti oleh staf di SUAD, tapi ndak ada tindak lanjutnya, dan sekarang terbukti. Korban sudah berjatuhan, yaitu pucuk pimpinan TNI-AD sendiri.
Saya jadi teringat ketika Achmad Yani dan Nasution menyalahkan saya dan Letkol M. Saleh Lahade karena memproklamasikan Permesta 1957. Mereka merasa benar, dan merasa menang atas kami. Sampai-sampai Saleh Lahade hanya bisa berkata, "Terserah saja...kalau bapak-bapak mau digantung oleh PKI...lihat saja nanti!"
Dan itulah pula yang sayang sekali, harus terbukti. Jenderal Yani dibantai, Nasution dapat meloloskan diri, tapi putri kesayangan dan ajudannya menjadi tumbal.
Pucuk pimpinan dari kalangan tentara yang sejak awal sudah tegas mengarahkan laras senjatanya terhadap PKI dan kekuasaan yang melindungi PKI, pun adalah teman yang sehaluan dengan kami. Mayjen TNI Soeharto, Panglima Kostrad, dia bersama saya saat merancang pembenahan dalam kepemimpinan TNI-AD yang waktu itu dipegang oleh Nasution bergandengan dengan penguasa pro-PKI.
Aktivis PRRI Mempelopori Kesatuan Aksi-Gestapu
Waktu nama Soeharto pelan-pelan muncul ke permukaan sejak hari-hari pertama kudeta gagal Gestapu, banyak orang yang tidak tahu tentang dia. Juga umumnya teman-teman dalam tahanan di RTM. Soeharto memang tidak seperti nama-nama jenderal lainnya yang biasa tampil dalam koran-koran dan juga dunia politik. Saya pun langsung cerita k teman-teman tentang Soeharto ini. Saya yakinkan tentang kemampuan Soeharto. Kemampuan dan ketenangannya yang secara cepat dan tepat mengkonsolidasi garis komando ditengah-tengah suasana galau, sebagaimana saat Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948, begitu juga lah yang ia kerjakan hanya dalam beberapa jam tanggal 1 Oktober 1965 itu. Saya cerita bagaimana kami dulu di Jogja melakukan serangan-serangan umum yang berpuncak pada SU 1 Maret 1949. Teman-teman di RTM sekarang jadi menaruh harap pada kepemimpinan serta keberhasilan Soeharto.
Pada jam-jam yang paling menetukan di hari Jumat 1 Oktober 1965 itu, oeharto dengan cepat telah mampu mengambil kendali atas tentara di ibukota. Ia mengandalkan pasukan Kostrad dan RPKAD di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Pangdam Jaya, Mayjen Umar Wirahadikusumah pun tidak sempat ditarik oleh pihak lawan karena ketika Presiden Soekarno memangilnya ke Pangkalan Halim Perdanakusumah, Soeharto mencegahnya, dan Soeharto maupun Umar menyangka bahwa Soekarno disana sedang disandera sehingga pergi ke Halim berarti amsuk jebakan. Sekarang Letjen Soeharto sudah menjabat Menteri/ Panglima Angkatan Darat, sehingga semakin mantap langkah-langkah konsolidasinya maupun operasi menghantam musuh. Sedangkan Umar diangkat menjadi Panglima Kostrad.
Pemimpin militer lain yang aktif bersama Soeharto adalah Brigjen Kemal Idris dan Kolonel Sarwo Edhie. Mereka pun saya anggap "bukan orang lain". Kemal yang menjabat Pnglima Komando Tempur 1 Kostrad dibawah Soeharto, ia juga ikut dulu dalam gerakan Zulkifli Lubis menentang Nasution tahun 1956, gerakan yang makin meruncing sejak Alex Kawilarang menangkap Menteri Ruslan Abdulgani atas tuduhan korupsi. Kemal sobat Kawilarang sejak lama. Kekuatan kelompok Soeharto pun semakin bertambah sejak mereka dapat mengusahakan pengangkatan Brigjen HR. Dharsono menjadi Pangdam Siliwangi pada awal April 1966. Dari dulu Siliwangi memang umumnya dipihak kami, mereka sangat anti-PKI.
Dalam kacamata analisis saya, langsung terbaca bahwa peran intelijen sangat besar mengarahkan langkah-langkah politik dan operasi Soeharto dkk. Saya kenal betul Soeharto. Meski ia seorang strateg, penuh inisiaif, dan selalu bertindak cepat, patuh hirarki, namun selalu harus konstitusional. Sementara yang saya amati, langkah-langkah politik dan strategi mereka selalu mendahului dan rapi. Saat memikirkan cara-cara kerja mereka, nama Ali Moertopo langsung masuk dalam pemikiran saya. Ia rupanya orang kepercayaan Soeharto sejak lama, sejak Soeharto masih Pangdam Dipenegoro lagi, jadi saya pikir ya "orang kita " juga.
Secara formal Ali Moertopo bukanlah orang teratas di jajaran intelijen Kostrad, tapi ada tugas khusus yang dilimpahkan oleh Soeharto selama ini. Ali bertanggungjawab langsung pada Soeharto, dan sukses. Sehingga tugas-tugas itu - tugas intelijen yang berkaitan dengan urusan politik - terlembaga terus. Itulah Operasi Khusus atau Opsus.
Kelak setelah saya aktif bekerjasama dengan Ali Moertopo, menjadi jelaslah apa yang saya analisa tentang luar biasanya kerja intelijen mereka diawal penumbangan rezim Orde Lama. Misalnya, ketika mereka mengatur siasat yang dimulai dengan mengerahkan pasukan tanpa lencana mengepung Istana Presiden. Ali yang rancang. Itu adalah pasukan RPKAD, tapi dibawah kendali Kemal Idris langsung dari Kostrad. Surat Perintah 11 Maret menjadi klimaks dari operasi-operasi intelijen mereka. Sungguh-sungguh strategi intelijen yang sangat ampuh dan rapi, tetap konstitusional.
Tanggal 26 Juli, sehari setelah Presedium Kabinet dipegang oleh Soeharto, pagi-pagi sudah datang surat pembebasan kami. Jaksa Adnan Buyung Nasution yang membawanya, dibagikan kepada kami satu persatu.
"Bapak-bapak sekarang bebas ya...Pulang! Sudah bebas. Bebas! "kata Jaksa Buyung dengan bersemangat. Ternyata Buyung juga memang sudah mulai bergiat dalam penumbangan rezim anti-demokrasi. Ia eksponen Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia.
TURUT BERPERAN DALAM AWAL KEBANGKITAN ORDE BARU
Masih dalam tahanan saya sudah dihubungi oleh utusan Ali Moertopo. Saya diminta untuk membantu dia dan Pak Harto. Banyak anak-anak muda aktivis eks-PRRI/PERMESTA dipakai oleh Ali Moertopo sekarang. Setelah bebas, saya kemudian dipertemukan dengan Ali. Ia langsung meminta saya untuk aktif membantu. Mengulangi pesannya yang sudah ia sampaikan lewat perantara, katanya Pak Harto yang minta.
"Ini sama dengan yang Pak Ventje perjuangkan.." kata Ali meyakinkan saya, "Untuk mempercepat pembangunan ekonomi, dan yang jelas anti-PKI..gimana Pak Ventje?" sambunya lagi bertanya.
"Of course...pasti saya bantu. Sejauh itu tidak bertentangan dengan hati nurani saya sendiri"
Mendorong Dharsono Agar Mantap Tumbangkan Orde Lama
Suatu hari Ali Moertopo mengajak saya ke Bandung, ketika itu saya masih tinggal di perumahan IPB Bogor. Ali bermaksud hendak mempengaruhi HR.Dharsono, Panglima Siliangi yang menggantikan Ibrahim Adjie, agar sudah harus tegas mengarahkan tekanan kepada kubu Soekarno. Sebagaimana diketahui, pada waktu itu kekuatan Orde Lama masih terlalu besar. Pendukung fanatik Soekarno mulai unjuk gigi dan merapatkan barisannya. Negara diambang perang saudara yang dahsyat. Malah, hari-hari yang selalu genting sejak Oktober 1965 sampai setahun berikutnya, Soeharto lah yang justru berkali-kali terancam hendak dipecat. Selalu santer nama-nama jenderal yang dibilang akan menggantikannya. Ada nama Mayjen Suharyo, Mayjen Suadi, dan lain-lain. Disamping juga nama Mayjen Pranoto tentunya.
Dari 3 Divisi terbesar di Jawa, Kodam Brawijaya di Jawa Timur dan Kodam Diponegoro di Jawa Tengah sejak awal membela mati-matian Soekarno. Hanya Kodam Jaya dengan Pangdamnya Mayjen Amir Machmud sudah dibawah kendali Soeharto. Tapi Kodam Siliwangi di Jawa Barat, meski selaras dengan aspirasi masyarakat Sunda yang anti-PKI, tetapi Panglima sebelumnya Mayjen Ibrahim Adjie adalah pembela setia Soekarno. Pukulan balik skenarion intelijen dari Ali Moertopo kemudian bisa "mengkandangkan" Ibrahim Adjie. Dia dia mendapat perintah "tugas belajar" di Seskoad di Bandung. HR. Dharsono yang sebelumnya menjadi wakilnya kemudian naik menggantikannya.
Saya dan Letkol Ali Moertopo tiba di Bandung senja hari. Kami langsung ke rumah dinas Pangdam Mayjen H.R. Dharsono yang sudah pun menunggu kami, sebab Ali sudah mengabarkan sebelumnya. Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Bandung Ali terus menerus membisikkan kepada saya apa saya yang harus saya dan dia bikin saat ketemu Dharsono. Kami bicara bisik-bisik, agar tak didengar orang. Ia takut misinya tak mencapai hasil yang ditargetkan. Dalam grand scenario nya, Panglima Siliwangi ini adalah faktor yang sangat besar dan strategis untuk menghadapi kekuatan Orde Lama. Ali minta saya nanti mengatakan ini itu, semuanya sudah ia rancang dengan teliti.
Tapi semuanya langsung berubah saat ketemu Dharsono. Begitu melihat saya yang mendampingi Ali, ia langsung tersenyum lebar. Sambil menjabat erat tangan saya, Dharsono langsung berkata dengan suara keras, "Jadi kita akan memulai lagi penumbangan sang juara yang tidak terkalahkan? Bukan begitu Pak Ventje?". Jadi tak perlu basa basi dan pendekatan lagi. Bahkan tak perlu bisik-bisik lagi. Semua yang dirancang teliti oleh Ali dalam perjalanan tadi jadi tidak perlu. Yang dimaksud dengan undefeated champion oleh Dharsono adalah Soekarno. Kenapa dia mengtaakan itu kepada saya, maksudnya dia tahu saya sudah pernah memimpin pemberontakan terhadap Soekarno, jadi kali ini adalah pengulangan. Dan sejak dulu Bung Karno selalu menang. Sekarang kita memulainya kembali.
Dalam perbicaraan kami selanjutnya, Dharsono hanya selalu bicara ke saya. Seolah-oleh Ali Moertopo tidak perlu. Tapi ketika saya litik Ali, ia terlihat senyum-senyum saja. Senang sekali dia. Karena misinya gol sepenuhnya. Bahkan lebih, setidaknya lebih mudah selesai.
Dharsono bicara sangat bersemangat. Nadanya terkesan mau memberi jaminan bahwa dia bisa kami andalkan untuk misi ini. Kami ngobrol akrab sampai tengah malam. Sesudah pamit, di jalan, Ali langsung komentar dengan senangnya, "Wah..ternyata gampang sekali ya Pak Ventje."
25 Januari 1966, Pangdam Siliwangi, Mayjen TNI HR. Dharsono mengundang Pangkostrad Mayjen TNI Kemal Idris dan Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie ke Cipayung Jawa Barat. 2 hari 2 malam mereka terlibat rapat. Setelahnya, Dharsono sebagai Pangdam Siliwangi, dengan pasukan yang besar di sekepungan ibukota, mengumumkan, "Persetujuan antara Siliwangi, Kostrad, dan RPKAD ini diharapkan akan mempercepat hancurnya Orde Lama!". Pangkostrad Kemal Idris pun mengumumkan bahwa pasukannya, seluruh slogarde Kostrad siap tempur.
Mei 1967, Sidang Istimewa MPRS di Senayan. Agendanya yang terpenting : Mencabut kekuasaan Presiden Soekarno. Tapi kekuatan pendukung Bung Karno ternyata sudah merencanakan agenda lain. Pasukan Brigade Mobile Kepolisian RI, yang memang sesuai protokoler sebagai aparat kepolisian berada di Ring-1 gedung sidang, sudah diperintahkan untuk menangkap anggota-anggota MPRS, dan selanjutnya dibawa ke Tanjung Priok, dimana telah menunggu sebuah kapal perang untuk kemudiannya diangkut ke Surabaya.
Dikemudian hari, Brigjen Pol. Arie Sahelangi bercerita tentang perintah yang diberikan pada polisi untk menangkap "anggota-anggota MPRS yang tidak loyak kepada Bung Karno" itu. Katanya, "Bagaimana mungkin?!.. Ring-1 memang kami Brimob yang kuasai, tapi Ring-2, 3 dan seterusnya saya lihat Pasukan Siliwangi sampai berlapis lapis mengelilingi kami..Justru kami yang terkepung!". Dikepung dengan kekuatan yang begitu besar, Brimob urung menjalankan perintahnya. Rupanya Pangdam Siliwangi, Mayjen TNI Dharsono mengerahkan segenap kekuatan Siliwangi untuk mengepung anggota Brimob dan Istana, sehingga menggagalkan rencana pendukung-pendukung pro-Orde Lama.
Jadi "Diplomat Keliling" untuk Konsolidasi Pemerintahan Orde Baru
Saya bersama beberapa teman eks-Aktivis PRRI/Permesta lalu menjalankan misi ke luar negeri. Misi kami adalah :
1) Menjelaskan kepada para pemimpin-pemimpin negara-negara sahabat tentang era baru Indonesia, haluan politik baru, yang tidak lagi dikuasai oleh pemerintahan pro-Komunis.
2) Menjelaskan tentang Soeharto, yang sekarang tampil berperan penting, karena kebanyakan dikalangan luar negeri belum kenal nama Jenderal Soeharto, mereka bahkan lebih mengenal Jenderal AH. Nasution.
3) Mengumumkan tentang kepemimpinan Soeharto, bahwa kami memang membutuhkan dia, dan sejak Sidang MPRS Maret 1967, Soeharto sebagai Pejabat Presiden RI.
4) Menjelaskan, bahwa sekarang Indonesia mau mendahulukan pembangunan ekonomi, dan karenanya butuh bantuan dari negara-negara sahabat.
5) Mengajak negara-negara di Asia Tenggara dan Timur untuk bersatu mencegah menjalarnya domino kamu Komunis.
Perjalanan keluar negeri kami pertamanya sangat panjang. Sekaligus ke Singapura, Thailand, Hongkong, Taiwan, Filipina, dan Jepang. Ada juga tim-tim lain yang ke Malaysia, Korea Selatan, AS, Inggris, dan Belanda. Sesudah perjalanan pertama yang panjang, saya masih sering lagi berangkat dengan team kecil yang lain. Bolak-balik, untuk tugas-tugas khusus. Urusan-urusan seperti di Filipina, Taiwan, Hongkong, Singapura, dan Jepang berjalan sangat lancar. Karena saya menggunakan hubungan dengan teman dan kenalan semasa PRRI. Sekarang mereka sudah Jenderal, pegang posisi-posisi kunci di negaranya masing-masing.
Tapi, sempat ada masalah kecil. Berhubungan dengan pihak-pihak dijajaran goverment negara asing, bagaimanapun adalah hubungan diplomatik. Penuh tatakrama. Sedangkan saya orang yang tidak biasa berbasa basi. Saya bahkan punya "kebiasaan buruk", yaitu sering tak menjawab pertanyaan orang yang hanya berupa formalitas sopan santun. Kalaupun saya jawab, ya sejujurnya, apa adanya. Misalnya kalau ditanya, "Apa kabar? Baik?", saya jawab "Tidak baik" kalau keadaannya memang tidak baik. Akibatnya, orang bisa jadi salah tingkah, dan pihak saya sendiripun tentu bukan tak mengalami akibatnya.
Kalau saya pulang kerumah dan menceritakan pengalaman-pengalaman seperti itu, istri saya Hetty hanya ketawa. Tapi, karena ia punya wawasan yang luas, ia tahu ini bukan masalah yang kecil. Ia lanta serius mendorong saya buat "mengatasi" masalah saya tersebut. Ia mengajarkan ini itu. Bahkan pernah Hetty menuliskan dikertas untuk saya hafal kalimat-kalimat percakapan tata krama.
Saat menghangatnya sengketa masalah wilayah antara Filipina dan Malaysia - sehubungan dengan klaim wilayah Sabah, Indonesia mengambil prakarsa buat menyelesaikannya. Karena Indonesia berkepentingan untuk stabilitas kawasan ini. Pak Harto mengiri surat ke Presiden Marcos, diantar oleh Ali Moertopo, saya menemaninya.
Tapi, sampai waktu yang telah ditetapkan untuk kami berangkat, soal protokoler untuk kami nanti di Manila belum beres. Ada beberapa yang menghambat, termasuk jadwal Presiden Filipina yang sedang padat sekali dan banyak perubahan mendadak. Atase Pertahanan RI di Manila pun mengalami hambatan untuk menggunakan jalur Angkatan Bersenjata Filipina. Begitu juga Duber RI di Manila, Letjen TNI Moersjid sudah berupaya, tapi tetap buntu. Selama perjalanan, Ali Moertopo diliputi rasa khawatir mengenai misi yang diembannya kali ini.
Nmaun. sesampai di Filipina, semuanya langsung berubah. Diam-diam saya mengontak Jenderal Lapusz. Dulu dia atase militer Filipina untuk RI, seorang perwira intel, ketika itu masih berpangkat Kolonel. Jadi alangkah kagetnya Ali ketika kami ternyata sudah dijemput langsung ditangga pesawat oleh Jenderal Lapusz. Kami langsung dipertemukan dengan Kepala Staf AB Filipina. Padahal, Atase Pertahanan RI di Filipina belum bisa menyiapkan apa-apa, kendati dia berada di Filipina.
Atase Pertahanan RI untuk Filipina, Brigjen TNI Sjarif Thajeb sampai geleng-geleng kepala, heran. Mantan Rektor Universitas Indonesia dan Menteri Perguruan Tinggi & Ilmu Pengetahuan yang sudah lebih full sebagai politisi inipun diperintah langsung untuk penyelesaian masalah Sabah. Saya sudah kenal lama dengan Sjarif. Ia Doketer tentara. Thaun 1950, sata saya menjadi Komandan Pasukan Sulawesi Utara & Maluku Utara, ia datang bersama Kemal Idris. Mereka ikut mengurus Yon 3 Mei yang sesuai dengan intruksi Panglima Kawilarang, dikerahkan untuk penumpasan RMS.
Duber RI untuk Filipina, Letjen TNI Moersjid sampai berkali-kali bilang terima kasih kepada saya. Katanya saya sudah menolong konduite nya sebagai Dubes. Ia bahkan dilain waktu bilang "maaf", maksudnya mengenai peran dia sebagai salah satu pemimpin pasukan yang dikirim ke Sulawesi untuk menumpas kami PRRI. Moersjid bahkan cerita, tiap kali ada perintah dari Panglima Roekminto, Moersjid yang waktu itu Komandan Operasi Merdeka dengan pangkat Letkol sengaja tidak mau menjalankan perintah Panglimanya., atau ia berkonsultasi dulu ke Pangdam Brawijaya Kolonel Surrachman. Maksunya mungkin ia mau bilang ke saya, bahwa secara pribadi ia tidak sungguh-sungguh memusuhi kami dalam perang saudara itu. Saya bilang, "Ah, itukan memang tugas dan tanggungjawab you...Pak Moersjid sudah menjalankan tugas dengan baik".
Sikap Moersjid yang "berlebihan" pada saya itu kemudian terjadi lagi. Pada saat memperingati Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober yang sudah ditetapkan, pada upacara yang diselenggarakan di KBRI Manila, tali bendera merah putih tiba-tiba putus ketika sedang dikerek ke atas. Moersjid yang bertindak sebagai inspektur upacara langsung meminta maaf ke saya. Solah-olah bagi Moersjid, pejabar RI yang lebih tinggi dari dia disini adalah saya. Padahal saya bukan siapa-siapa. Hanya "pembantu khusus" dalam Opsus nya Ali Moertopo.
Keberhasilan misi-misi Internasional Indonesia di awal Orde Baru ini banyak tertolong oleh faktor hubungan kami, para eks-PRRI/Permesta dengan sejumlah tokoh-tokoh kunci di negara masing-masing. Banyak dari mereka yang dulunya perwira menengah intelijen, pelaksanan lapangan yng banyak berhubungan dengan kami di PRRI, sekarang sudah menjadi jenderal-jenderal yang berkuasa di negaranya masing-masing. Misalnya, di Taiwan ada Letjen Hwang. Ia dulunya sering mondar mandir masuk wilayah Indonesia, memberi bantuan kepada kami. Bahasa Indonesia, bahkan bahasa Jawanya sangat fasih. Tidak mengherankan, Jend. Hwang memang kelahiran Cilacap - Jawa Tengah.
Deklarasi Berdirinya ASEAN Nyaris Batal!
Latar belakang historis yang sedemikian rupa dari Orde Baru, telah menjadikan pemerintahan pimpinan Soeharto ini sebagai yang paling mementingkan kerjasama internasional dan persatuan regional. Bukan saja karena koreksi terhadap rezim Orde Lama - yang berkonfrontasi dengan negara tetangga, keluar dari PBB, menerapkan politik berdikari yang ekstrim dalam ekonomi - melainkan karena sungguh-sungguh menyadari mutlaknya perdamaian, keamanan dan persatuan regional untuk bisa membangun negara secara optimal.
Setelah ditempuh berbagai upaya dan persiapan, pendekatan disegala pihak yang terkait, sejumlah forum kajian, dan berbagai perundingan, akhirnya awal Agustus 1967, perutusan lima negara : Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Singapura berkumpul di sebuah kota kecil rekreasi di Thailand. Hanya tinggal kesepakatan akhir, mencetuskan deklarasi berdirinya ASEAN.
Delegasi Indonesi dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Adam Malik, yang sekaligus menjabat sebgaia Presedium Kabinet untuk Urusan Politik. Malaysia dipimpin oleh Wakil Perdana Menterinya Tun Abdul Razak, yang juga menjabat Menteri Pertahanan. Thailand dipimpin oleh Menteri Luar Negeri nya Thanat Khoman. Filipina dipimpin oleh Deputi Menteri luar Negeri Narciso Ramos. mewakili Menlu Filipina yang berhalangan karena sakit. Sedangkan delegasi Singapira dipimpin oleh Menteri Luar Negeri nya S. Rajaratnam. Mereka melaksanakan rapat-rapat marathon selama 4 hari di Bangsaen, sekitar 100 km tenggara Bangkok. Sengaja dipilih tempat yang agak terpencil, agar dapat lebih berkonsentrasi. Sudah dijadwalkan, ASEAN akan di deklarasikan pada tanggal 8 Agustus 1967.
Saya tidak termasuk dalam delegasi resmi Indonesia. Bahkan tidak direncanakan dari awal untuk ke Bangkok, tapi kemudian saya diminta untuk berangkat juga. Juga sudah diatur bahwa saya akan ketemu dengan Yoga Soegama di Singapura, kemudian sama-sma berangkat ke Thailand. Dalam perjalanan ke Bangkok baru kemudian jelas mengapa saya diminta untk untuk turut datang. Kata Yoga, perundingan pembentukan ASEAN yang sudh berjalan selama beberapa hari di Bang Saen mengalami hambatan serius dan deadlock. Untuk itu, ia yang sedang berada di Eropah , langsung dipanggil pulang untuk langsung ke Bangkok. Katanya lagi, Pak Harto sampai pesan kepadanya via telepon : "Jangan pulang ke Jakarta kalau tak selesai!". Tiba di Bangkok, kami langsng masuk hotel. Tidak ke Bang Saen.
Senin tanggal 7, hampir tengah malam, ketika saya sudah setengah pulas, tiba-tiba pintu diketuk dengan keras dari luar. Tidak menggunakan bell. Segera terkesan ada yang gawat. Pintu saya buka, ternyata Benny Moerdani. Ia baa kabar buruk dari Bang Saen. Pertemuan lima negara menjadi deadlock. Filipina menolak untuk tandatangan deklarasi besok. Padahal waktu sudah sedemikian mepetnya, inipun sudah tengah malam. ASEAN terancam batal di deklarsikan besok. Apalagi menurut Benny waktu tinggal 30 menit! Maksudnya, ia menghitung jam akan berakhirnya jadwal rapat hari ini di Bang Saen, sedang besoknya tinggal upacara atau sebaliknya, penegasan batal.
Sayapun langsung putar otak, pertama saya pikir bahwa persoalan ini sebetulnya hanya mengenai soal kompetensi. Bagi Narciso Marcos, pemimpin delegasi Filipina, persoalan ini terlalu besar untuk ia putuskan sendiri. Apalgi ia hanya Wakil Menlu, menggantikan Menlunya yang sakit. Sikapnya itu dapat dimaklumi. Karena, bahkan bagi paham ketatanegaraan tertentu, soal seperti ini hanya berwenang diputuskan oleh orang yang setingkat kepala pemerintahan negara, atau oleh kongres. Ini soal kompetensi, tapi sebenarnya, lebih tepat lagi, soal pandangan mengenai kompetensi atau wewenang. Bukan soal subtansial, walau itu yang mungkin terlanjur sudah berkembnag dalam diskusi yang memanas. Jadi, saya pikir, untuk mengatasi persoalan ini, harus mengontak key person di pemerintahan Manila.
"Ok," kata saya. "Telepon Jenderal Vargas!". Mata Benny langsung berkilat. Harapannya timbul. Dengan cepat ia menemukan nomor telepon rumah Letjen Jesus Vargas, Sekjen SEATO yang asal Filipina itu. Dia putarkan nomor teleponnya, tapi langsung diserahkan kesaya untuk bicara.
Kepada Vargas saya jelaskan point-point nya. Lengkap dengan semua reasoning dari draft itu. Ia langsung terima.
"You must do something my friend," saya bilang dengan nada mendesak.
"Ok. Nanti saya atur. Harap dimaklumi, begitulah birokrat," kata Vargas sambil tertawa mengomntari sikap delegasi Filipina itu.
"Beres. Nanti saya yang atur ke Presiden Marcos." sambunya lagi.
"Terima kasih banyak.!" Saya sungguh berterima kasih kepadanya.
Letjen Jesus Vargas adalah kawan saya sejak ia masih berpangkat Kolonel. Sekarang ia yang memimpin SEATO yang bermarkas besar di Bangkok. Dri dulu Vargas memang selalu memenuhi permintaan saya. Ia baik sekali kepada saya. kenangan saya kembali kemasa dulu, tahun 1958, saat bersama Nun Pantouw kami menginap beberapa hari dirumahnya di Manila.
Benny Moerdani menjabat erat tangan saya, berterima kasih sekalian pamit. Ia harus buru-buru menyampaikan kabar gembira ini ke Ali dan Yoga untuk kemudian disampaikan kepada Adam Malik. Ali Moertopo kemudian menghubungi saya. Dengan gembira ia sampaikan terima kasihnya, berulang-ulang. Rupanya Benny menceritakan ke Ali tentang proses penyelesaian yang begitu cepat. Selasa, 8 Agustus 1967, Deklarasi ASEAN, yang juga dikelan dengan nama Deklarasi Bangkok, ditandatangani.
Beberapa tahun kemudian, di Jakarta, dalam suatu acara summit negara-negara ASEAN - yang sudah bertambah negaranya, bukan lagi lima - saya hadir. Ali Moertopo mempertemukan saya dengan Tun Abdul Razak dan mengatakan, "Ini Pak Sumual yang dulu atur di Bangkok sehingga Deklarasi ASEAN bisa berhasil. Dia yang menyelamatkan." Tun Abdul Razak menjabat erat-erat tangan saya.
Ali Moertopo : Saya Heran..Kok Kalian Bisa Kalah?"
Selama menjalankan tugas-tugas bersama saya, Ali Moertopo amat sering mengungkapkan rasa kagumnya pada cara-cara kerja saya dan teman-teman. Apakah hanya sekadar puji-puji supaya saya tetap mebantu pekerjaannya, itu soal lain, tai kenyatannya jenderal-jenderal lainnya pun memang sering mengatakan hal yang sama. Ali menyaksikan sendiri bagaiman kami dengan lancarnya menyelesaikan masalah-masalah yang mereka angap sulit. Baik untuk langkah-langkah politil dalam negeri, maupun luar negeri. Sehingga pada suatu hari, waktu sedang berdua dikamar hotel di Manila, sambil ia seperti biasanya tanpa merasa perlu malu belajar bahasa Inggris di depan saya, ia berkata, "Saya heran...kok kalian dulu bisa kalah?" Yang dimaksud "kalian" adalah kami PRRI. Setelah ia mengenal kami, melihat cara-cara kerja kami, termasuk jaringan-jaringan kami di dalam maupun diluar negeri. Apalagi dia mungkin membayangkan betapa dalam gerakan yang dimotori oleh saya itu, ada nama-nama militer sekaliber Ahmad Hussein, Simbolon, Kawilarang, Joop Warouw, Zulkifli Lubis, Dee Gerungan, Sukanda Bratamanggala, Saleh Lahade, Boyke Nainggolan, Nawawi, Dahlan Djambek, dan banyak lagi. Ada pula tokoh-tokoh politik sekaliber Sjarifuddin Prawiranegara, Sutan Sjahrir, Muhammad Natsir, Burhanudin Harahap, Mr. Assaat, dan lain-lain.
Suatu hari, Presiden Soeharto sedang mengobrol santai dengan Ali Moertopo. Tiba-tiba Ali berkata dengan nada serius, tapi buat bercandaan,
"Saya sekarang bisa mengkudeta Presiden RI!"
"Gimana bisa..?" tanya Pak Harto.
"Kan dengan saya sekarang ada Ventje Sumual..!"
"Eitt..! Nda bisa!" Pak Harto langsung memotong.
"Saya lebih dulu dekat sama Ventje..dari dulu. Kamu baru!"
Artikel ini aslinya dikutip dari Buku Memoar Ventje H.N. Sumual. Suntingan Sdr. Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE Matindas. - Terbitan Bina Insani Jakarta 2009, kemudian saya sendiri turut menambahkan hasil kutipan daripada berbagai sumber dan pelaku sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan kredibilitasnya.
sumber copy paste :
http://ceritadamai.blogspot.com/
http://www.kaskus.co.id/post/50e7fb332775b4294c000003#post50e7fb332775b4294c000003
No comments:
Post a Comment