Djokjakarta

Tuesday 6 May 2014

Orang Bantul di Masa Revolusi ( Bapak Prawirodihardjo )

Pada 2003, saya sempat melakukan “penyisiran” kesaksian orang-orang di pelosok Bantul mengenai masa revolusi [1945-1949]. Seingat saya, setidaknya ada 5 orang yang berhasil saya kumpulkan kesaksiannya. Rata-rata mereka sudah sangat sepuh, yang termuda kalau saya tidak salah berusia 75 tahun.
Beruntung saya masih bisa menemukan transkrip wawancara dengan salah satu dari mereka yaitu Bapak Prawirodihardjo, warga dari Dusun Kirobayan, Tirtasari, Kec. Kretek, Bantul. Saya merasa beruntung karena dari 5 orang yang saya wawancarai, justru Bapak Prawirodihardjo ini yang pernah mencecap pengalaman menjadi anggota tentara Republik Indonesia.
Saya sebenarnya menyusun sebuah makalah berdasarkan 5 wawancara itu. Sayang sekali saya tak mampu menemukan makalah itu kembali. Hanya transkrip wawancara dengan Bapak Prawirodihardjo ini yang masih bisa saya dapatkan.
Transkrip di sini bukan dalam bentuk verbatim, melainkan sudah saya olah kembali sehingga tampil dalam bentuk narasi yang lebih rapi dan tidak loncat-loncat selayaknya sebuah percakapan. Saya tayangkan di sini siapa tahu berguna dan saya kira ini lebih baik ketimbang mengendap di salah satu folder untuk kemudian bisa saja “moksa” begitu saja.
===================================
Saya bergabung dengan laskar rakyat dari tahun 1947 sampai 1948. Saya pertama kali ditempatkan di Bogor selama dua bulan. Setelah beristirahat beberapa hari kemudian dipindahkan ke Semarang (Mranggen). Setelah itu saya dipindahkan ke Magelang selama satu bulan.
Saya tergabung dalam Laskar Umbaran dan dimasukkan dalam kesatuan Leo yang dipimpin oleh Pak Tono dan Pak Ali dari Yogya. Nama pasukan Leo itu dibuat oleh anggotanya sendiri dan kebetulan disetujui oleh atasan kami. Daerah operasinya itu pertama kali di daerah Pingit. Saya tinggal dan ditempatkan di asrama di daerah Pingit selama empat bulan. Senjata biasanya hanya disuplai oleh kesatuan itu sendiri. Itu pun tidak lengkap. Tetapi kalau granat relatif banyak. Setelah itu saya dikirim ke Bogor tadi.
Ketika itu usia saya sekitar 30 tahun. Dari kampung ini juga banyak yang masuk ke kesatuan Leo, di antaranya Pringgon, Jamingin, Panut, dll. Kami ikut laskar ketika ada pengumuman tentang siapa yang ingin ikut laskar tentara. Yang berminat langsung mendatangi asrama di Pingit. Sebelum dikirim ke Bogor kami dilatih tentang strategi dan teknik berperang oleh Pak Ali yang ketika itu berpangkat kapten, Pak Tono dan Bagyo.
Selama bergabung dalam kesatuan, saya sering terlibat kontak dengan pasukan Belanda. Tapi jarang terjadi perang betulan karena peluru biasanya ditembak ke atas. Hal itu terjadi karena pasukan Belanda ternyata banyak diisi oleh tentara dari Jawa. Kecuali ketika terjadi patroli pasukan Belanda. Biasanya terjadi pertempuran betulan. Ada seorang teman saya yang mati tertembak. Dia hanya dikuburkan asal saja. Seperti anjing kalau dikuburkan. Akibatnya kakinya pun masih kelihatan. Saya dan teman-teman baru mengambil jenazahnya kembali selang tiga hari kemudian.
Saya pernah terlibat pertempuran di daerah Semarang. Selain itu juga pernah di daerah Yogyakarta, itu pun senjata tidak boleh ditembakkan hanya untuk berjaga-jaga saja. Pada serangan besar-besaran (Agresi Militer I) itu senjata tidak ditembakkan ke depan tapi hanya ditembakkan ke atas. Hal itu dilakukan karena pasukan Belanda itu terdiri dari orang-orang Jawa semua. Pengalaman itu terjadi di Mranggen, Semarang.
Di sana juga ada kode-kode tertentu. Jika pada jatah ransum terdapat secuil daging sapi, itu berarti harus segera bersiaga dan menyiapkan senjata dan mortir karena akan ada pertempuran.
Pada Agresi Militer II saya sudah tidak di kesatuan Leo lagi, dan saya sudah di kampung ini. Ketika akhirnya saya kembali ke Yogya lagi, ternyata Belanda telah sampai di daerah Maguwo (pada Agresi Militer II) dan langsung ada yang menyerang Bantul. Akibatnya saya tidak berani ke daerah utara (Yogyakarta) karena dihalangi pasukan Belanda.
Di antara Agresi Militer I dan II, yang paling terasa pengaruhnya hingga ke kampung ini adalah Agresi Militer II pada akhir 1948 dan terakhir pada 1949. Ketika pasukan Belanda datang ke Kretek di akhir tahun 1948 (Desember), saya diberi tahu oleh seorang tentara asal Karawang yang melewati rumah. Saya lantas diajak ke Timur (ke Kretek) untuk menghadang tentara Belanda di sekitar kali Opak dan Winongo. Di sana tidak terjadi pertempuran. Tentara hanya bersiap-siap untuk menjaga kemungkinan jika Belanda mengobrak-abrik daerah Kretek maka akan terjadi geger (pertempuran).
Ketika itu, sekitar pukul lima sore saya sudah ada di sekitar tanggul (jembatan) Kretek. Belanda sendiri lewat sekitar jam 21-22.00 dari Bantul. Orang Belanda yang ada di pasukan itu hanya terdiri dari empat orang, sisanya yang banyak adalah orang-orang Jawa sendiri. Tentara Indonesia awalnya hanya sedikit hanya sekitar 10 orang saja dan tidak mengambil tentara dari kesatuan lain. Tentara Indonesia itu tadinya hanya berniat bersitirahat sampai kemudian ternyata datang pasukan Belanda. Ketika Belanda lewat didiamkan saja.
Jam 8 malam sudah ramai di Kecamatan Kretek yang lama. Ada yang menyembelih ayam untuk lauk makanan tentara Belanda. Jam 1 malam saya disuruh masuk ke kecamatan Kretek yang lama dan ternyata pasukan Belanda sudah tidak ada karena pada pukul 00.15 malam mereka sudah pergi ke utara (Yogya).
Dalam perjalannya ke utara, Belanda membawa Pak Dukuh Kradenan (utara pasar Turi) hingga ke Bantul. Sampai Bantul dia ditinggal pulang. Dia ditangkap karena dianggap berbahaya. Pada masa itu, orang-orang yang dianggap berbahaya pasti ditangkap.
Pasukan Belanda itu berani dan terang-terangan kalau sedang lewat. Mereka berani melewati jalan-jalan besar. Sedangkan tentara Indonesia kalau ke utara (Yogya) hanya berani lewat jalan-jalan kecil atau menyelusup saja. Penduduk sendiri tidak berani yang pergi ke arah Yogya. Hanya sedikit yang berani karena memang sangat berbahaya. Di mana-mana ada pos penjagaan dan pemeriksaan dari tentara Belanda. Pos pemeriksaan itu terletak di daerah jalan-jalan besar. Tiap pemeriksaan ditanya asalnya, lantas siapa lurahnya dan Ki Jagabayanya.
Ketika terjadi patroli atau peperangan, pasar-pasar yang menyediakan kebutuhan-kebutuhan rakyat aman-aman saja. Pasukan Belanda jarang meminta makanan dari penduduk setempat. Mereka bilang saru kalau harus minta pada penduduk pribumi.
Di sini pula ada markas pasukan Siliwangi yang sedang hijrah. Mereka membangun markas di daerah Mburuan selama kurang lebih 7 bulan lamanya. Pasukan Siliwangi yang ada di sini terdiri dari satu seksi yang berjumlah sekitar 60 orang.
Dapur umum yang ada saat itu bersifat sukarela. Biasanya digilir antar rumah. Ada yang memasak nasi dan yang rumah lain memasak yang lain pula. Biasanya pak Dukuh yang menggilir dan mengoordinasi. Tak ada kiriman dari pemerintah karena kondisi memang sedang kritis.
Pada masa itu banyak berkeliaran mata-mata. Mata-mata itu bersikap mencla-mencle. Kadang berpihak Belanda kadang memberi informasi pada pihak kita. Mata-mata itu rata-rata berusia 15 tahun. Mereka punya kode khusus untuk memberi tahu musuh yaitu dengan menggunakan kaca yang memantulkan sinar ke atas. Suatu kali ada mata-mata yang ketahuan memberi kode itu. Lantas dipukuli beramai-ramai. Dipukuli pakai popor senjata tapi mata-mata itu tidak apa-apa.
Di Semarang, mata-mata itu biasa disebut Tentara Rantai Emas. Rantai Emas ini adalah sebutan untuk mata-mata Belanda yang biasanya adalah perempuan dengan paras yang cantik. Mereka sengaja dicari untuk direkrut menjadi bagian dari tentara Belanda. Tugas mereka adalah menggoda dan merayu tentara Indonesia. Tentara Rantai Emas itu ciri-cirinya tidak terlihat, tetapi baru terlihat kalau tertangkap dan digeledah. Ternyata di antara lengan dan sekitar ketiak mereka ada kain berwarna merah putih biru (bendera Belanda). 

Sumber : http://kurangpiknik.tumblr.com/post/56315934482/orang-bantul-di-masa-revolusi

No comments:

Post a Comment