Pada 2003, saya sempat melakukan “penyisiran”
kesaksian orang-orang di pelosok Bantul mengenai masa revolusi
[1945-1949]. Seingat saya, setidaknya ada 5 orang yang berhasil saya
kumpulkan kesaksiannya. Rata-rata mereka sudah sangat sepuh, yang
termuda kalau saya tidak salah berusia 75 tahun.
Beruntung saya masih bisa menemukan transkrip
wawancara dengan salah satu dari mereka yaitu Bapak Prawirodihardjo,
warga dari Dusun Kirobayan, Tirtasari, Kec. Kretek, Bantul. Saya merasa
beruntung karena dari 5 orang yang saya wawancarai, justru Bapak
Prawirodihardjo ini yang pernah mencecap pengalaman menjadi anggota
tentara Republik Indonesia.
Saya sebenarnya menyusun sebuah makalah
berdasarkan 5 wawancara itu. Sayang sekali saya tak mampu menemukan
makalah itu kembali. Hanya transkrip wawancara dengan Bapak Prawirodihardjo ini yang masih bisa saya dapatkan.
Transkrip di sini bukan dalam bentuk
verbatim, melainkan sudah saya olah kembali sehingga tampil dalam bentuk
narasi yang lebih rapi dan tidak loncat-loncat selayaknya sebuah
percakapan. Saya tayangkan di sini siapa tahu berguna dan saya kira ini
lebih baik ketimbang mengendap di salah satu folder untuk kemudian bisa
saja “moksa” begitu saja.
===================================
Saya bergabung dengan laskar rakyat dari
tahun 1947 sampai 1948. Saya pertama kali ditempatkan di Bogor selama
dua bulan. Setelah beristirahat beberapa hari kemudian dipindahkan ke
Semarang (Mranggen). Setelah itu saya dipindahkan ke Magelang selama
satu bulan.
Saya tergabung dalam Laskar Umbaran dan
dimasukkan dalam kesatuan Leo yang dipimpin oleh Pak Tono dan Pak Ali
dari Yogya. Nama pasukan Leo itu dibuat oleh anggotanya sendiri dan
kebetulan disetujui oleh atasan kami. Daerah operasinya itu pertama kali
di daerah Pingit. Saya tinggal dan ditempatkan di asrama di daerah
Pingit selama empat bulan. Senjata biasanya hanya disuplai oleh kesatuan
itu sendiri. Itu pun tidak lengkap. Tetapi kalau granat relatif banyak.
Setelah itu saya dikirim ke Bogor tadi.
Ketika itu usia saya sekitar 30 tahun. Dari
kampung ini juga banyak yang masuk ke kesatuan Leo, di antaranya
Pringgon, Jamingin, Panut, dll. Kami ikut laskar ketika ada pengumuman
tentang siapa yang ingin ikut laskar tentara. Yang berminat langsung
mendatangi asrama di Pingit. Sebelum dikirim ke Bogor kami dilatih
tentang strategi dan teknik berperang oleh Pak Ali yang ketika itu
berpangkat kapten, Pak Tono dan Bagyo.
Selama bergabung dalam kesatuan, saya sering
terlibat kontak dengan pasukan Belanda. Tapi jarang terjadi perang
betulan karena peluru biasanya ditembak ke atas. Hal itu terjadi karena
pasukan Belanda ternyata banyak diisi oleh tentara dari Jawa. Kecuali
ketika terjadi patroli pasukan Belanda. Biasanya terjadi pertempuran
betulan. Ada seorang teman saya yang mati tertembak. Dia hanya
dikuburkan asal saja. Seperti anjing kalau dikuburkan. Akibatnya kakinya
pun masih kelihatan. Saya dan teman-teman baru mengambil jenazahnya
kembali selang tiga hari kemudian.
Saya pernah terlibat pertempuran di daerah
Semarang. Selain itu juga pernah di daerah Yogyakarta, itu pun senjata
tidak boleh ditembakkan hanya untuk berjaga-jaga saja. Pada serangan
besar-besaran (Agresi Militer I) itu senjata tidak ditembakkan ke depan
tapi hanya ditembakkan ke atas. Hal itu dilakukan karena pasukan Belanda
itu terdiri dari orang-orang Jawa semua. Pengalaman itu terjadi di
Mranggen, Semarang.
Di sana juga ada kode-kode tertentu. Jika
pada jatah ransum terdapat secuil daging sapi, itu berarti harus segera
bersiaga dan menyiapkan senjata dan mortir karena akan ada pertempuran.
Pada Agresi Militer II saya sudah tidak di
kesatuan Leo lagi, dan saya sudah di kampung ini. Ketika akhirnya saya
kembali ke Yogya lagi, ternyata Belanda telah sampai di daerah Maguwo
(pada Agresi Militer II) dan langsung ada yang menyerang Bantul.
Akibatnya saya tidak berani ke daerah utara (Yogyakarta) karena
dihalangi pasukan Belanda.
Di antara Agresi Militer I dan II, yang
paling terasa pengaruhnya hingga ke kampung ini adalah Agresi Militer II
pada akhir 1948 dan terakhir pada 1949. Ketika pasukan Belanda datang
ke Kretek di akhir tahun 1948 (Desember), saya diberi tahu oleh seorang
tentara asal Karawang yang melewati rumah. Saya lantas diajak ke Timur
(ke Kretek) untuk menghadang tentara Belanda di sekitar kali Opak dan
Winongo. Di sana tidak terjadi pertempuran. Tentara hanya bersiap-siap
untuk menjaga kemungkinan jika Belanda mengobrak-abrik daerah Kretek
maka akan terjadi geger (pertempuran).
Ketika itu, sekitar pukul lima sore saya
sudah ada di sekitar tanggul (jembatan) Kretek. Belanda sendiri lewat
sekitar jam 21-22.00 dari Bantul. Orang Belanda yang ada di pasukan itu
hanya terdiri dari empat orang, sisanya yang banyak adalah orang-orang
Jawa sendiri. Tentara Indonesia awalnya hanya sedikit hanya sekitar 10
orang saja dan tidak mengambil tentara dari kesatuan lain. Tentara
Indonesia itu tadinya hanya berniat bersitirahat sampai kemudian
ternyata datang pasukan Belanda. Ketika Belanda lewat didiamkan saja.
Jam 8 malam sudah ramai di Kecamatan Kretek
yang lama. Ada yang menyembelih ayam untuk lauk makanan tentara Belanda.
Jam 1 malam saya disuruh masuk ke kecamatan Kretek yang lama dan
ternyata pasukan Belanda sudah tidak ada karena pada pukul 00.15 malam
mereka sudah pergi ke utara (Yogya).
Dalam perjalannya ke utara, Belanda membawa
Pak Dukuh Kradenan (utara pasar Turi) hingga ke Bantul. Sampai Bantul
dia ditinggal pulang. Dia ditangkap karena dianggap berbahaya. Pada masa
itu, orang-orang yang dianggap berbahaya pasti ditangkap.
Pasukan Belanda itu berani dan
terang-terangan kalau sedang lewat. Mereka berani melewati jalan-jalan
besar. Sedangkan tentara Indonesia kalau ke utara (Yogya) hanya berani
lewat jalan-jalan kecil atau menyelusup saja. Penduduk sendiri tidak
berani yang pergi ke arah Yogya. Hanya sedikit yang berani karena memang
sangat berbahaya. Di mana-mana ada pos penjagaan dan pemeriksaan dari
tentara Belanda. Pos pemeriksaan itu terletak di daerah jalan-jalan
besar. Tiap pemeriksaan ditanya asalnya, lantas siapa lurahnya dan Ki
Jagabayanya.
Ketika terjadi patroli atau peperangan,
pasar-pasar yang menyediakan kebutuhan-kebutuhan rakyat aman-aman saja.
Pasukan Belanda jarang meminta makanan dari penduduk setempat. Mereka
bilang saru kalau harus minta pada penduduk pribumi.
Di sini pula ada markas pasukan Siliwangi
yang sedang hijrah. Mereka membangun markas di daerah Mburuan selama
kurang lebih 7 bulan lamanya. Pasukan Siliwangi yang ada di sini terdiri
dari satu seksi yang berjumlah sekitar 60 orang.
Dapur umum yang ada saat itu bersifat
sukarela. Biasanya digilir antar rumah. Ada yang memasak nasi dan yang
rumah lain memasak yang lain pula. Biasanya pak Dukuh yang menggilir dan
mengoordinasi. Tak ada kiriman dari pemerintah karena kondisi memang
sedang kritis.
Pada masa itu banyak berkeliaran mata-mata.
Mata-mata itu bersikap mencla-mencle. Kadang berpihak Belanda kadang
memberi informasi pada pihak kita. Mata-mata itu rata-rata berusia 15
tahun. Mereka punya kode khusus untuk memberi tahu musuh yaitu dengan
menggunakan kaca yang memantulkan sinar ke atas. Suatu kali ada
mata-mata yang ketahuan memberi kode itu. Lantas dipukuli beramai-ramai.
Dipukuli pakai popor senjata tapi mata-mata itu tidak apa-apa.
Di Semarang, mata-mata itu biasa disebut
Tentara Rantai Emas. Rantai Emas ini adalah sebutan untuk mata-mata
Belanda yang biasanya adalah perempuan dengan paras yang cantik. Mereka
sengaja dicari untuk direkrut menjadi bagian dari tentara Belanda. Tugas
mereka adalah menggoda dan merayu tentara Indonesia. Tentara Rantai
Emas itu ciri-cirinya tidak terlihat, tetapi baru terlihat kalau
tertangkap dan digeledah. Ternyata di antara lengan dan sekitar ketiak
mereka ada kain berwarna merah putih biru (bendera Belanda).
Sumber : http://kurangpiknik.tumblr.com/post/56315934482/orang-bantul-di-masa-revolusi
No comments:
Post a Comment