Djokjakarta

Monday, 21 September 2015

Jejak Pertempuran di Maguwo ( Operatie Kraai )


Ini adalah gerbang utama / Jalur Utama (saat itu) Pangkalan Udara Maguwo ke arah jalan raya dan jalur ini disinyalir yang di gunakan oleh tentara belanda keluar masuk pangkalan udara dan menyerbu kota Yogyakarta pada tanggal 19 December 1948 (Operatie Kraai). Di ujung jalan tersebut berdiri tugu monumen bakti prajurit untuk mengenang prajurit TNI AU yg gugur mempertahankan PU Maguwo dari serangan Belanda tgl 19 Desember 1948 (agresi militer Belanda II).

Thursday, 10 September 2015

Beberapa Fakta Unik di Balik Kegarangan Pasukan KNIL

Fakta unik ini berdasarkan studi Capt. R.P. Suyono terhadap berbagai literatur Belanda yang dtuangkannya dalam buku Peperangan Kerajaan di Nusantara (penelusuran kepustakaan sejarah), terbitan Grasindo tahun 2003. 

1. Seragam KNIL
Sejak dibentuk pada tahun 1830, seragam KNIL selalu mengalami pergantian. Pada tahun 1894 seragam KNIL  dinamakan syako dengan topi helm dari gabus. Topi gabus tersebut baru diganti pada tahun 1910 dengan bahan yang terbuat dari bambu. Pada tahun 1915 KNIL mendapat seragam baru yang tebal dan susah dicuci sehingga akhirnya diganti dengan bahan linen dengan celana yang lebih tipis. Pada tahun 1936 seragam KNIL adalah kain hijau yang dinamakan tenunan Garut.
Fakta lain adalah ketika berada di tangsi, hanya perwira dengan pangkat minimal Sersan --rata-rata orang Eropa-- yang boleh mengganti baju dengan pakaian biasa sedangkan para prajurit pribumi dilarang mengganti baju sehingga selalu memakai seragam. Entah berapa banyak seragam yang dimiliki oleh para prajurit pribumi ini, jika cuma satu berarti tidak pernah digantinya.

2. Kehidupan di Tangsi
Tangsi merupakan tempat tinggal para prajurit KNIL, entah yang masih bujangan maupun yang sudah menikah. Tangsi biasanya dibangun di tengah kota, mungkin untuk mempermudah akses. Prajurit yang masih bujangan tidur di barak yang tempat tidurnya berjejer sedangkan yang sudah menikah baraknya disekat dengan ukuran 3x4 meter. Ruangan ini hanya cukup untuk satu tempat tidur saja, oleh karena itu anak-anaknya ditempatkan di bawah kolong tempat tidur sehingga muncul istilah anak kolong bagi anak-anak polisi atau tentara.

3. Dardanel
Dardanel merupakan sebutan bagi seorang prajurit pribumi yang harus menjaga keselamatan seorang perwira Belanda yang menjadi atasannya. Ternyata perwira Belanda cukup pengecut karena harus dilindungi oleh seorang prajurit pribumi. Mungkin hal ini juga didasarkan pada pertimbangan bahwa pasukan akan kocar kacir jika kehilangan komandannya. Doktrin yang ditanamkan pada seorang dardanel adalah sungguh memalukan atau nista jika seorang dardanel selamat sedangkan perwira yang dilindunginya meninggal. Dengan kata lain dardanel tersebut harus rela mengorbankan nyawanya bagi perwira yang dilindunginya.

4. Kebiasaan Prajurit Jawa
Selain tidak memakai sepatu hingga tahun 1905 dan tergabung dalam kompi yang bertugas untuk menenangkan dan menetralisir situasi pasca peretempuran, prajurit Jawa juga memiliki keunikan dari kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan. Kebiasaan tersebut adalah sangat bergantungnya prajurit Jawa pada bakul kamu. Mungkin jamu mengembalikan stamina mereka setelah bertempur. Pada beberapa foto yang dihadirkan oleh Suyono terlihat prajurit Jawa sedang beristirat sambil menikmati Jamu yang dibuat oleh seorang mbok jamu.
Demikian beberapa fakta unik di balik kegarangan pasukan KNIL yang terkenal kejam selama menumpas perjuangan rakyat di berbagai daerah. Kemiskinan dan tidak adanya wawasan tentang kebangsaan pada saat itu membuat mereka menerima pekerjaan sebagai prajurit KNIL meski mengalami berbagai kesulitan.

Saturday, 20 June 2015

Pertempuran Inggris dan Keraton Yogyakarta Tahun 1812

         Sengitnya pertempuran antara Kerajaan Inggris dan Kasultanan Yogyakarta pada Jumat-Sabtu, 19 dan 20 Juni 1812, dicatat oleh seorang serdadu Inggris, Kapten William Thorn. Dia menulis perjalanan penaklukan Inggris ke Jawa dalam Memoir of The Conquest of Java yang terbit pada 1815 di London. Kelak orang Jawa menjuluki pertempuran ini dengan “Geger Spehi”—Perang Spoy.

         Thorn melukiskan keadaan pertahanan Keraton Yogyakarta. “Kraton atau kediaman Sultan Mataram,” demikian tulisnya, “dikelilingi oleh parit basah nan lebar dengan jembatan jungkit; dinding benteng yang tebal dan kokoh dengan bastion [pojok benteng yang menjorok] dan diperkuat dengan seratus meriam.”

         Dalam pertempuran dua hari itu Inggris berkekuatan sekitar 1.000 serdadu berseragam merah, yang terdiri atas serdadu asal sepoy India dan serdadu Eropa. Jumlah itu masih ditambah 500 prajurit Legiun Pangeran Prangwedono asal Mangkunagaran, Surakarta. Sementara, menurut Thorn, terdapat sekitar 17.000 prajurit Keraton yang bersiaga di dalam baluwarti (tembok keraton).

         Tembak-menembak antara Benteng Vredeburg—sebagai kubu pertahanan Inggris—dan Keraton sebenarnya sudah dimulai sejak 18 Juni sore. Menurut Thorn, benteng ini, “hanya sedikit meninggalkan bubuk mesiu dari pabrik mesiu lawas tinggalan Belanda, sangat buruk,” ungkapnya, “sehingga tembakan kami ibarat hanya menghibur musuh.”
plengkung,keraton yogyakarta,benteng,tembok,baluwartiPara perempuan dengan barang dagangan mereka di sepanjang jalan menuju pintu gerbang Keraton Yogyakarta, Plengkung Nirbaya. Pintu ini terletak di tembok baluwarti sisi selatan. Foto sekitar 1900-1920, tampaknya masih ada parit saat itu(Tropenmuseum/Wikimedia Commons) 
         Sejatinya, Inggris masih menanti pasukan Letnan Kolonel Alexander MacLeod yang tengah berangkat dari Salatiga menuju Yogyakarta. Pasukan susulan itu baru tiba pada esoknya, dan langsung menggempur Keraton.

         Pertahanan Sultan yang paling kuat dengan meriam-meriam bermulut ganda berada di kawasan Alun-alun utara. Namun, tampaknya Inggris tidak menempatkan kawasan ini sebagai serangan utama, melainkan serangan pengecoh.

        Serangan utama Inggris tertuju pada sisi timur baluwarti—kini sepanjang Jalan Brigjen Katamso. Gempuran tersebut dilakukan oleh Kolonel James Watson yang membawahi Resimen Infanteri ke-14, Buckinghamshires. Mereka mendekati bastion timur laut dengan dilindung penembak-penembak Inggris.

         Bastion timur laut tempat gudang mesiu prajurit Sultan berhasil diledakkan oleh serdadu sepoy di bawah komando Watson. Tampaknya ledakan penyimpanan bubuk mesiu itu sangat dahsyat. Setelah ledakan, pertahanan baluwarti mulai mengendur sehingga mereka berhasil menurunkan jembatan jungkit di gerbang utama Kadipaten.
Mungkin akibat ledakan itulah bastion timur laut itu rusak berat dan hingga hari ini pertahanan baluwarti hanya menyisakan tiga bastion—warga menjulukinya dengan Pojok Beteng Wetan, Pojok Beteng Kulon, dan Pojok Beteng Lor.

         Plengkung Tarunasura/Pancasura, kini lebih dikenal dengan Wijilan, sebagai gerbang utama Kadipaten diserang oleh pasukan Letnan Kolonel Alexander MacLeod. Gerbang masih dijaga pertahanan kuat laskar Sultan. Para serdadu sepoy India itu merayapi dinding baluwarti dengan cara saling memanjat pundak temannya hingga mencapai celah baluwarti. Akhirnya, artileri tempur Inggris berhasil meledakkan gerbang itu.
prajurit,keraton yogyakartaSebuah kesatuaan prajurit pengawal Sultan Hamengkubuwana pada sekitar 1920-an, sekitar seratus tahun lebih setelah leluhur mereka bertempur dengan serdadu Inggris (Tropenmuseum/Wikimedia Commons)

         “Musuh menyapu tembok baluwarti dengan tembakan senapan dari bastion tenggara,” catat Thorn. Namun, “akhirnya [bastion itu] takluk diujung bayonet.” Kemudian, setelah beberapa pertempuran di sisi selatan baluwarti, serdadu Inggris berhasil membuka gerbang selatan, Plengkung Nirbaya.

         Berikutnya, serdadu sepoy dan Inggris berhasil membobol pintu gerbang barat, Plengkung Jagabaya. Pertahanan baluwarti terakhir yang mampu dipertahankan laskar Sultan adalah bastion barat laut, kemudian mereka menyelamatkan diri ke sebuah masjid di luar baluwarti, demikian papar Thorn. Tampaknya yang dimaksud Thorn adalah Masjid Besar Kauman.

         Mengapa pertahanan keraton lemah? Peter Brian Ramsay Carey, seorang Professor Emeritus dari Trinity College, Inggris, memaparkan suasana dari dalam baluwarti lewat salah satu sumber Jawa tentang pertempuran tersebut.

         Menurutnya, sumber Babad Bedhah ing Ngayogyakarta telah mengungkapkan rendahnya daya juang para pembela keraton. Babad jatuhnya Yogyakarta itu ditulis dalam buku harian Pangeran Panular, seorang putera Sultan yang turut bertempur pada Juni 1812.
yogyakarta,benteng,keraton yogyakarta,pojok betengSebuah pedati melintasi bastion dalam perbentengan Keraton Yogyakarta sekitar awal abad ke-20. Dari empat kubu bastion, atau warga menyebutnya "pojok beteng", kini hanya tersisa tiga kubu. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons)

         “Banyak di antara pangeran yang mestinya memberi teladan di medan tempur dengan memimpin perlawanan, hanya mencawat ekor dalam perlindungan pintu-pintu gerbang atau berpura-pura sakit,” demikian tulis Carey. Dia menulis berdasarkan pemerian babad tersebut  dalam bukunya, Kuasa Ramalan yang terbit pada 2011.

         Bahkan, sebagian dari mereka mencari selamat dengan cara keluar keraton menuju desa-desa di pinggiran dan makam Imogiri, demikian suasana yang dikisahkan dalam babad tersebut menurut Carey.

         Babad tersebut, ungkap Carey, juga mengisahkan kerisauan hati Sultan Hamengkubuwana II, atau yang dikenal sebagai Sultan Sepuh. Para laskar perempuan yang mengawal Sultan pun turut berdzikir dan berdoa.

         Perang ini diakhiri dengan menyerahnya Sultan Sepuh dan dimulainya penjarahan besar-besaran atas harta, pusaka, dan pustaka Keraton Yogyakarta. Awal Juli 1812, Sultan dibuang ke Pulau Penang.

         Dalam pertempuran dua hari itu, dari seribu serdadu Inggris, sekitar seratus orang tewas. Sedangkan di pihak Sultan “tidak dapat dihitung secara tepat,” ungkap Thorn. “Namun pastinya sangat besar jika kita melihat mereka yang terbunuh dan terluka di sepanjang baluwarti dan bastion. Jumlah tewas yang luar biasa di setiap gerbang, tertutama di kawasan tengah.”      

         “Nama Djoejocarta [Yogyakarta] akan selalu mengingatkan kisah kegagahan  serdadu Inggris,” demikian tulis Thorn, “penyerangan dan penaklukan sebuah pertahanan benteng yang kuat di bawah kecamuk perang.”
         Invasi Inggris ke Jawa 1811 merupakan ekspedisi laut terbesar dalam sejarah, setidaknya hingga jelang Perang Dunia Kedua. Di bawah Letnan Jenderal Sir Samuel Auchmuty, hampir 12.000 serdadu yang berlayar dalam 100 kapal melintasi Samudra Hindia dan mendarat di Cilincing. Atas titah Lord Minto, mereka berupaya merebut kekuasaan Prancis di Jawa.
Demikianlah, kesaksian serdadu Inggris dan prajurit Jawa tentang pertempuran yang mengantarkan Tanah Jawa ke tatanan kolonial.

Sumber :  http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/11/kecamuk-pertempuran-inggris-dan-keraton-yogyakarta-1812

Saturday, 6 June 2015

Pabrik Rokok Cerutu Negresco


          Pada tahun 1870, pengusaha asing mulai datang di Hindia Belanda untuk mendirikan pabrik cerutu. Negresco didirikan pada tahun 1918 oleh Mignot & De Block Cigar Company, yang berkantor pusat di Eindhoven, Belanda. Negresco awalnya dimaksudkan untuk menyediakan cerutu untuk tentara Belanda dan pejabat tinggi di Yogyakarta setelah kurangnya cerutu karena Perang Dunia I. Tapi kemudian, perusahaan melihat bahwa orang-orang Jawa yang juga tertarik untuk merokok, sehingga mereka memutuskan untuk menjual cerutu sekitar Hindia Belanda juga.
            Bisnis berjalan dengan baik sehingga pada tahun 1930, pabrik telah mencapai lebih dari 1000 pekerja. Kepentingan di balik pendirian pabrik ini di Yogyakarta yang beragam. Ada, tentu saja, kepentingan ekonomi sebagai Mignot & De Block berusaha untuk mengurangi biaya produksi mereka dengan menggunakan tenaga kerja murah dan Jawa datang dekat dengan sumber bahan mereka. Namun, ada untuk kepentingan agama juga.
Pada saat Perang Dunia II dan Jepang menginjakkan kaki di Jawa pada tahun 1942, mengusir Belanda, dan menduduki pulau. Mereka mengambil kendali dari segala sesuatu, termasuk Negresco yang namanya mereka berubah kemudian menjadi Jawa Tobacco Kojo. Jepang disita mesin dari pabrik Tembakau Inggris-Amerika di Cirebon dan membawa mereka ke Yogyakarta untuk membuat rokok cahaya. Meskipun demikian, kontrol ini berlangsung seperti selama pendudukan itu sendiri, yang berakhir setelah tiga tahun setengah.
           Ketika Perang Dunia II berakhir pada tahun 1945, di pihak yang kalah, Jepang harus melarikan diri. Indonesia langsung menyatakan kemerdekaan dan pabrik cerutu diambil oleh Sultan Hamengku Buwono IX dari Yogyakarta dan sultan memberi nama pabrik itu dengan nama pabrik 'Taru Martani', yang berarti 'daun yang memberikan kehidupan. "


Sumber : http://latitudes.nu/taru-martani-a-story-of-cigars-and-indonesia/

Friday, 5 June 2015

Sejarah Paspampres


        Pasukan Pengamanan Presiden (PASPAMPRES) hadir hampir bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, sebagaimana hal yang sama terjadi dengan kelahiran TNI dan Polri. Ketika kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, para pemuda pejuang tergerak untuk mengambil peranan mengamankan Presiden. Para pemuda tersebut terdiri dari kesatuan Tokomu Kosaku Tai, yang berperan sebagai pengawal pribadi, dan para pemuda mantan anggota kesatuan Peta (Pembela Tanah Air) berperan sebagai pengawal Istana.
     Situasi keamanan pada awal kemerdekaan Republik Indonesia sangat memprihatinkan. Di beberapa daerah terjadi pertempuran sebagai respon atas keinginan penjajah Belanda, yang disokong oleh bantuan tentara sekutu, untuk menduduki kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia . Situasi semakin berbahaya ketika keselamatan Presiden mulai terancam dengan didudukinya Jakarta oleh Belanda pada tanggal 3 Januari 1946. Mengingat kekuatan bersenjata Belanda yang semakin besar dan terpusat di Jakarta, serta pertimbangan intelijen RI saat itu yang memerkirakan adanya keinginan Belanda untuk menyandera Presiden RI dan Wakil Presiden RI, maka Mr Pringgodigdo selaku Sekertaris Negara mengeluarkan perintah untuk melaksanakan operasi penyelamatan pimpinan nasional. Operasi ini kemudian dikenal dengan istilah “Hijrah ke Yogyakarta”. Pada pelaksanaan penyelamatan ini telah ditampilkan kerjasama unsur – unsur pengamanan Presiden RI yang terdiri dari beberapa kelompok pejuang. Mulai dari   kelompok yang menyiapkan Kereta Api Luar Biasa (KLB), pengamankan rute Jakarta – Yogyakarta, hingga penyelenggaraan pengamanan di titk keberangkatan yang terletak di belakang kediaman Presiden Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur no 56, Jakarta.
          Secara rahasia KLB ini diberangkatkan pada tanggal 3 Januari 1946 sore hari menjelang senja. Keesokan harinya tanggal 4 Januari 1946, KLB tiba di Yogyakarta. Setibanya di Yogyakarta Presiden RI menetap di bekas rumah Gubernur Belanda di Jalan Malioboro (depan benteng Vredenburg). Sedangkan Wakil Presiden RI bertempat tinggal di Jalan Reksobayan no. 4 Yogyakarta. Dalam pelaksanaan operasi penyelamatan saat itu, telah terjadi kerja sama antara kelompok pengamanan yang terdiri dari unsur TNI dan Polri. Untuk mengenang keberhasilan menyelamatkan Presiden Republik Indonesia yang baru pertama kalinya dilaksanakan tersebut, maka tanggal 3 Januari 1946 dipilih sebagai Hari Bhakti Paspampres.

Sumber :  http://paspampres.mil.id/id/sejarah-paspampres/awal-kelahiran-paspampres

Sunday, 17 May 2015

Atitoen Wirjosoemarto Staf Putri Tentara Pelajar








Penugasan Pertama

Tahun lalu, ketika saya menerima tugas pertama setelah mengikuti latihan dasar kemiliteran di Militer Akademi Kotabaru bersama beberapa teman asrama dan sekolah (SGP) Jalan Jati Yogyakarta, saya dan mbak Kushartini dikirim ke Mojoagung Mojokerto Jawa Timur untuk mengirim sejumlah bahan makanan kering (dendeng) dan obat-obatan bersama sepasukan anggota Ikatan Pelajar Indonesia bagian Pertahanan yang dipimpin oleh Purbatin. Kami berangkat menggunakan kereta api pagi yang menarik dua gerbong. Sampai di Solo, perjalanan aman. Menjelang masuk hutan jati Mantingan, Purbatin memerintahkan masinis menghentikan kereta dan ia turun bersama empat anggota pasukan untuk memeriksa keadaan. Menurut cerita yang mereka dengar, tiga kawasan hutan yaitu Mantingan, Saradan dan Caruban dikuasi oleh gerombolan perampok kejam. Sekitar satu jam kemudian, kereta itu berjalan. Hal yang sama terjadi di kawasan hutan Saradan dan Caruban. Menjelang maghrib, kereta memasuki stasiun madiun dan berhenti sekitar dua jam untuk menaik-turunkan barang dan menambah air. Kesempatan ini kami gunakan untuk membersihkan badan dan menghilangkan penat.
Perjalanan ke stasiun Mojokerto dilanjutkan. Sepanjang perjalanan, saya dan mbak Kushatini sesekali memejamkan mata. Sementara itu, beberapa anggota pasukan nampak asyik membicarakan cerita pertempuran di sekitar Surabaya yang menelan korban ratusan pejuang. Yang terkena luka tembak, pecahan mortir atau tertusuk bayonet sebagian dirawat di Rumah Sakit Darurat PMI yang menjadi tujuan utama perjalanan kami dari Markas Pusat Pelajar di Jalan Tugu Kulon 70 Yogyakarta. Menurut keterangan yang kami terima sebelum berangkat, tempat perawatan korban pertempuran Surabaya ada di lingkungan SGB Katholik (bruderan).
Kami sampai di stasiun Mojokerto dini hari, Di sana telah menunggu beberapa anggota TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar, nama pasukan Ikatan Pelajar Indonesia Bagian Pertahanan di Jawa Timur). Kami dan barang bawaan segera dinaikkan ke atas dua truk militer tanpa upacara khusus. Mas Isman, begitu Purbatin memanggil nama komandan pasukan TRIP yang menyambut kedatangan kami di stasiun memberi aba-aba agar truk segera dijalankan. Di tengah pekatnya malam itu, saya tak dapat melihat keadaan di luar. Sekitar sejam perjalanan, kami telah memasuki kompleks rumah sakit. Saya dan mbak Kushartini ditempatkan di ruang depan bersama beberapa orang perawat. Sedangkan Purbatin dan pasukannya ditempatkan di asrama yang cukup jauh dari bangsal perawatan.
Setelah mandi dan menyantap makanan yang telah disiapkan oleh kepala perawat, kami beristirahat di kamar. Saya tak mampu memejamkan mata karena di ruang sebelah suara-suara erang kesakitan tak pernah berhenti. Hari pertama kami dibebaskan dari semua tugas merawat korban di bangsal perawatan.  Mbak Kushartini tidur dan mulai terdengar suara dengkurnya. Perjalanan yang sangat melelahkan selama hampir sehari semalam. Saya baru dapat tidur di siang hari sampai sore.
Melihat keadaan korban pertempuran 10 November 1945, hati ini seperti tertusuk benda sangat tajam. Kekejaman penjajahan dan peperangan terlihat sangat jelas, tak membedakan siapapun mereka. Ada yang remuk kaki dan beragam luka tembak. Penugasan seminggu di rumah sakit darurat PMI sangat berkesan, tapi tak menyurutkan niat kami untuk berbakti kepada Ibu Pertiwi. Sebuah harga yang sangat mahal, tak sebanding dengan apapun.


Penugasan Kedua

Hari terakhir ujian kenaikan kelas II baru saja usai, saya ingin bergegas ke kamar asrama yang letaknya bersebelahan dengan ruang kelas. Belum sempat melangkah jauh, seseorang memanggil nama saya. Segera saja saya melangkah,  menuju arah sumber suara. Ternyata yang memanggil adalah Kepala Sekolah yaitu Ibu R.A. Oemijatie (baca Umiyati),  adik kandung dr. Sutomo, salah satu pendiri Budi Utomo. Beliau berperawakan kecil, tapi lincah dan tegas. Hampir semua siswi SGP tahu tentang kemampuan beliau dalam menjiwai masing-masing pribadi.
Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk, saya segera mendekat. Ibu Umiyati tampak memegang sepucuk surat.  Beliau lalu membuka pembicaraan.
“ Atiatoen … ini ada surat untukmu dari Markas Pusat. Buka dan bacakan untuk Ibu “, kemudian beliau menyerahkan surat itu kepada saya. Tentu sebuah surat tugas, saya menduga-duga isinya. Surat itu dibuka dengan pisau perlahan-lahan, kuatir sobek. Pendek saja isinya. Yaitu perintah untuk segera menyelenggarkan dapur umum dan tugas kepalang-merahan di Gereja Kristen Jawa Jalan Stasiun (sekarang Jl. Pemuda) Kebumen untuk Front Barat.  Yang menandatangani mbak Sri Daruni, Kepala Staf Putri Markas Pusat Pelajar Yogyakarta.
Dari stasiun tugu, kereta api yang sebagian besar penumpangnya adalah para pelajar mulai bergerak perlahan. Di gerbong itu ada beberapa teman satu sekolah yang berasal dari Wates dan Purworejo. Di salah satu bangku tak jauh dari tempat duduk saya, terlihat sosok kecil yang tak asing dan selalu menjadi teman perjalanan yang menyenangkan. Bagyo, nama ini kelak menjadi pelawak terkenal di jamannya. Siswa SGL (Sekolah Guru Laki-laki) ini suaranya lantang dengan dialek khas Banyumasan. Sayang sekali, kereta yang membawa rombongan kami hanya sampai di Stasiun Kutoarjo. Perjalanan ke Kebumen saya lanjutkan dengan berjalan kaki dan naik delman karena tak ada moda angkutan lain.
Kepada ayah, saya menanyakan keberadaan dua kakak kandung. Mas Achmad Dimjatie saat itu telah berpangkat Letnan TRI dan mas Affandi yang sering keluar masuk markas Tentara Pelajar Kebumen di Kauman (sekarang jadi gedung SMP Muhammadiyah I Kebumen) bersama Agustinus, putra pendeta Gereja Kristen di dekat stasiun. Kebetulan, sewaktu ibu kandung berjualan beras di pasar, Bapak Pendeta Reksodihardjo adalah seorang pelanggan setia. Jadi, hubungan kami telah berlangsung sejak lama dari masa kanak-kanak. Setelah ibu meninggal tahun 1939, yang menyambung tali silaturahmi adalah mas Pandi (Affandi).
” Pak… selama masa libur ini saya ditugaskan di markas darurat yang ada di rumah dinas pendeta, bapaknya Agustinus’, kata saya sambil menyodorkan surat tugas yang rencananya besok hari akan saya serahkan kepada kepala markas atau wakilnya.
” Sama siapa kamu di sana Toen ?”, tanya ayah.
” Teman-teman SGP dari Kebumen.. termasuk dik Wasil (Umi Wasilah) dan dik Cini (Rasini)”, jawab saya menyebut nama dua orang yang telah dikenal ayah.
” Di lumbung ada beberapa ikat padi yang bisa ditumbuk. Yang lain,  kamu cari sendiri. Ayah sementara waktu akan mengungsi di rumah ibu tiri. Ini ada sedikit uang yang bisa kamu pakai untuk membeli garam dan bumbu buat keperluan asrama teman-temanmu di gereja sana”, ayah menyodorkan sejumlah uang yang nilainya cukup banyak.
Surat tugas diterima mas Tjiptardjo, wakil kepala markas. Mas Moedojo sedang ke Purworejo malakukan kordinasi dengan kepala markas TP di sana, mas Pratik (Imam Pratignyo). Dari penjelasan mas Tjip, saya mendapatkan informasi bahwa Markas Pusat Pelajar di Tugu Kulon tengah menyiapkan sebagian besar anggota pasukan yang akan dikirim ke front Barat di sepanjang garis demarkasi yang berbatasan dengan Kali Kemit. Ada yang dikirim melalui markas Karanganyar sebagai pusat komando terdepan. Tapi ada juga yang langsung menuju Puring dan Kuwarasan yang diperkirakan akan menjadi ajang pertempuran besar antara pasukan Republik Indonesia dan tentara pendudukan Belanda serta sekutunya. Markas darurat ini berfungsi sebagai pusat kendali operasi langsung di bawah komando Markas Pusat Pelajar. Karena itu disediakan asrama untuk menampung sementara waktu pasukan yang akan diterjunkan ke titik-titik pertahanan pasukan Republik Indonesia, Mungkin hanya untuk satu dua hari, tapi jumlah mereka ratusan atau ribuan.
Penjelasan singkat wakil kepala markas memberi gambaran yang cukup dalam menyelenggarakan menu bagi para pelajar pejuang kemerdekaan ini. Baik yang disajikan selama mereka menginap maupun sebagai bekal dalam bentuk nasi bungkus (noek). Uang yang saya terima dari mas Tjip diperkirakan tak cukup untuk membeli bahan-bahan makanan meski telah ditambah dengan pemberian ayah. Sebagai penanggung-jawab, saya meminta bantuan pak Pendeta Rekso agar menyiapkan penanak nasi dan pencari kayu bakar. Beliau menunjuk mbak Fatonah yang tinggal di belakang gereja sebagai penanak nasi. Sementara itu, nama si pencari kayu dan keperluan dapur lain tak ingat lagi. Ia seorang lelaki asal Desa Legok di sebelah Barat sungai Luk Ulo.
Di antar teman-teman yang bertugas di asrama, mbak Umiyatun adalah yang tertua. Dia adik kandung mas Martono, komandan Batalyon 300 dan wakil kepala Markas Pusat. Selama bertugas sekitar tiga minggu, mbak Umiyatun sempat dua kali pulang ke rumahnya di Desa Meles, Karanganyar. Dik Cini yang sekampung, tak pernah menengok rumahnya yang ada di desa itu juga. Kedua teman ini masih berkerabat cukup dekat. Saya, dik Wasil dan mbak Hartati yang tinggal tak jauh dari asrama dan markas, sesekali menengok rumah masing-masing. Bahkan, rumah mbak Hartati hanya berjarak kurang dari seratus meter. Karena yang mendapat latihan dasar militer dan kepalangmerahan hanya saya, ketrampilan yang saya peroleh kemudian saya tularkan di sela-sela waktu istirahat. Saya tak pernah memakai atribut lengan (ban) PMI. Yang selalu memakai yaitu Rasini, Umi Wasilah dan Umiyatun. Ketiganya sering bercengkerama dengan anggota pasukan yang memang usianya sebaya.
Saya lebih suka membantu Yu Fathonah di dapur atau mencari bahan sayur dan lauk untuk sediaan hari berikutnya. Pada saat menyiapkan masakan (sayur)  untuk makan malam, kami kehabisan kelapa. Saya minta anggota pasukan yang tengah duduk di teras asrama untuk memetik dari pohon yang ada di kebun belakang rumah kami di Pasarpari.
” Siapa yang bisa memetik kelapa, ikut saya !”, Atiatoen setengah berteriak.
Seorang pemuda berperawakan tinggi mendekat dan menyatakan kesediaannya. Ternyata dia adalah Linus Djentamat dari Kalimantan. Sepanjang jalan, saya dan Hartati tak banyak bicara. Begitu juga dengan Linus. Sesampai di kebun belakang rumah, Linus langsung memanjat pohon kelapa yang tidak terlalu tinggi, sekitar 6 atau 7 meter dengan cekatan.
” Berapa butir yang tua dan muda mbak?”, teriak Linus di atas.
” Yang tua satu tandan… yang masih muda terserah …”, jawab Atiatoen lantang.
Setelah semua kelapa dikumpulkan, beberapa anggota pasukan yang menyusul ikut rombongan kami ada yang langsung menancapkan linggis dan mengupas kulit kelapa dengan cekatan. Seorang lainnya memanjat pohon nangka yang juga ada di kebun belakang rumah kami. Kelapa dan nangka dibawa dengan pikulan dan kami   bergegas kembali ke gereja (asrama). Tak pernah menyangka, peristiwa ini adalah jumpa pertama dan terakhir dengan Linus Djentamat yang pendiam.
Seperti kebanyakan remaja menjelang usia dewasa, anggota pasukan Tentara Pelajar yang dikirim ke Front Barat bersikap wajar. Sesekali mengeluarkan ucapan kotor dan suka menggoda kami baik ketika di dalam, apalagi di luar dapur. Di satu siang yang terik dan panas, seseorang yang dipanggil dengan sebutan Lowo masuk ke dalam dapur dan membuat onar dengan mengambil ubi rebus yang baru saja diturunkan dari tungku. Masih sangat panas. Tanpa pamit dia mengambil beberapa dan menaruhnya di atas daun pisang yang selalu kami siapkan untuk bungkus menu harian.Sambil tertawa terbahak-bahak dia berkata:
” Terima kasih buat singkong rebusnya ya…. Mbak !”, dia berlalu dan menari kecil di depan teman-teman perempuan yang tengah menyobek lembaran daun pisang untuk pembungkus nasi.
” Dasar kampret …tukang copet !”, Rasini menghardik Lowo dengan nada keras.
Bukan malu atau marah, Lowo justru bertambah keras tertawanya. Dan terus menggoda.
Minggu terakhir Agustus 1947 semakin banyak anggota pasukan yang dikirim dari Markas Pusat Yogyakarta maupun sejumlah daerah yang dikerahkan dari markas Purworejo. Dari penuturan mas Tjiptardjo diperoleh kabar bahwa pasukan terakhir akan diberangkatkan dari stasiun Tugu pada tanggal 29 Agustus. Mereka kebanyakan dari Perpis (Pelajar Sulawesi) dan Pelajar Kalimantan. Sedangkan dari Purworejo akan datang pasukan SA/CSA dan TGP. TRIP Jawa Timur dan TP Solo  mengirim sejumlah kecil pasukannya. Boleh disebut bahwa Front Barat adalah satu dari beberapa lokasi pengerahan pasukan pelajar pejuang kemerdekaan ini terbesar di tahun 1947.
Kalau tak salah ingat, malam 30 Agustus adalah malam terakhir asrama markas darurat menjadi tempat menginap sementara pasukan Tentara Pelajar. Malam yang cukup dingin untuk ukuran awal musim penghujan. Tidak seperti biasanya, dapur umum menyediakan makan malam dan nasi 50 bungkus tapi dengan porsi sama dengan hari-hari sebelumnya yang disiapkan 100 nasi bungkus (noek). Rombongan terakhir adalah pasukan yang dikirim Yogya dan Purworejo. Tingkah laku mereka seolah ingin melepas semua ”beban”. Ada yang berteriak seperti kesurupan dan beragam tingkah “aneh” lainnya.
Kepada Umiyatun dan Rasini, Atiatoen sempat menyatakan gundahnya.
”Nganeh-anehi (sangat aneh) tingkah mereka ya mbak..?”, yang dijawab singkat oleh keduanya. ” He eh… ”.
” Jangan-jangan………… ini sebuah pertanda  buruk.. ”, kata Atiatoen dengan nada lebih pelan.
” Itulah…dik Toen. Saya juga kuatir ..”, sela Umiyatun.
Entah sebuah kebetulan atau keberuntungan, beberapa warga masyarakat yang sudah tahu bahwa aula GKJ jadi asrama markas mas TP (sebutan mereka kepada anggota pasukan pelajar pejuang kemerdekaan) mengirim dalam jumlah banyak bahan makanan (singkong dan ketela pohon/ubi jalar), pisang kapok dan raja uter yang enak disantap hangat dengan cara dikukus. Peristiwa serupa berulang pada malam 31.
Selama tiga hari (1 – 3 September 1947) markas dan asrama libur. Dari utusan mas Dimjatie, saya mendapat kabar buruk. Firasat kami ternyata benar. Banyak teman kami gugur di medan laga, Front Barat. Tepatnya di Desa Sidobunder, Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen. Satu korban atas nama Suryoharyono yang akrab dipanggil Hary di semayamkan di teras aula asrama sebelum dibawa ke Yogya bersama jenasah lainnya. Bapak Pendeta Reksodihardjo yang menyiapkan peti jenasahnya.
Sebagaimana ditulis mas Djokowoerjo Sastradipradja yang ditugasi menemukan(kembali), mendata dan membawa korban Palagan Sidobunder ke markas Karanganyar, ada 24 anggota pasukan Tentara Pelajar yang gugur. Hanya 20 orang yang diakui dan dicatat dalam buku sejarah terbitan Pusat Sejarah dan Tradisi TNI yang berjudul “ Peran Tentara Pelajar dalam Perang Kemerdekaan dan Pembangunan, tahun 1995. Sisanya yang 4 orang, karena dianggap kurir atau alasan lain, tidak termasuk dalam daftar.

***
 Penghargaan TP Imam Pratignyo buat Ibu

Semboyan :

1.    ” Kesetiaan kami kepada bangsa dan Negara dari buaian sampai ke liang lahat”.
2.    ”Kami tak akan kembali ke bangku sekolah sebelum penjajah enyah dari bumi pertiwi”.

Kata Mutiara :

1.    Pelan tapi pasti. Bukan yang banyak itu baik, tapi yang baik pastilah yang banyak (alm. Ibu R.A. Oemijatie, Kepala SGP Yogyakarta dalam buku harian Atiatoen).
2.    Memang baik jadi orang penting, tapi jauh lebih penting adalah menjadi orang baik (alm. Bang Imad, Dr. Imadudin – Dosen ITB)

Wednesday, 22 April 2015

Dari Sersan KNIL Menjadi Shodanco PETA




Pada suatu hari seorang pengantar surat menyerahkan sepucuk surat resmi yang isinya singkat sekali yaitu pemuda Soeharto harus segera melapor untuk Dinas Militer dan pada tanggal 1 Juni 1940 pemuda Soeharto diterima masuk Sekolah Militer di Gombong Jawa Tengah. Dorongan lain yang menggugah Soeharto masuk KNIL adalah keinginan yang besar untuk menyaksikan bagian lain dari tanah airnya, seperti pemuda-pemuda lain, dia senang mengembara dan mengharapkan dengan memasuki dinas tentara akan dapat memberikan kepadanya kehidupan yang lebih baikbila dibandingkan dengan kehidupannya yang penuh kekurangan dimasa kecilnya.
Selama enam bulan dididik sebagai seorang calon prajurit KNIL mereka berlatih siang dan malam, sangat berbeda dengan apa yang dialaminya sewaktu di sekolah, menjadi pembantu kyai maupun saat menjadi pembantu klerk bank. Setelah menyelesaikan pendidikan tersebut prajurit Soeharto ditempatkan di batalion XIII di Rampal dekat malang,Jawa Timur dengan pangkat kopral. Selama berdinas pangkat teringgi yang dia sandang di KNIL adalah sersan. Pada saat Jepang menyerang Indonesia dan pemerintah hindia belanda menyerah pada tanggal 8 Maret 1942, sersan Soeharto beserta teman-temannya dari KNIL dapat menyelamatkan diri saat jepang menyerang daerahnya. Karena tidak sanggup mempertahankan diri dari serangan pasukan jepang , dalam keadaan terpencar akhirnya Soeharto memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya dan tinggal selama beberapa bulan di rumah keluarga Prawiroharjo yang merupakan ayah angkatnya di wonogiri, suatu daerah dekat solo.
Pada tanggal 3 Oktober 1943 Jepang membentuk pasukan sukarela PETA oleh Letnan Jenderal Kumakici Harada panglima tentara XVI Jepang di Indonesia. Pembentukan PETA ini berdasarkan Osama Seirei ( pengumuman pemerintah militer Jepang ) No.44 dimana organisasi semi militer ini dimaksudkan untuk mendidik para pemuda pribumi dalam bidang kemiliteran untuk membantu Jepang untuk mempertahankan wilayah Indonesia dari serangan sekutu. Berita ini tersebar sampai pelosok daerah. Soeharto dengan beberapa temannya pada awalnya mendaftarkan diri sebagai sukarelawan pasukan polisi Jepang , Keibuho. Dia dikirim ke Yogyakarta untuk dididik menjadi polisi pembantu Jepang selama empat bulan. Saat menjadi pembantu Kepala Kepolisian di daerah Yogyakarta atas nasehat dari atasannya Soeharto disarankan untuk pindah ke PETA dan menjalani pendidikan di Sekolah Militer Jepang Jawa Bo-Ei Gyugun Kanbu Rensitai tempat pendidikan para perwira PETA di Bogor. Setelah lulus dan diangkat menjadi Shodanco ( komandan Peleton ) dikirim ke kompi PETA yang berada di wates. Setelah sempat di tarik kembali ke Jakarta Soehato kembali di tugaskan di wates dan ditempatkan di pos pertahanan di wilayah pantai glahgah dan ditempat ini mereka di wajibkan membangun jinshi ( lubang-lubang pertahanan ). Tidak lama bertugas di glagah Soehato dipindah ke Solo. Karena kebutuhan organisasi Soeharto kembali di pindahkan ke Madiun untuk menduduki jabatan sebagai Perwira Staf di Markas PETA. Pada saat Jepang menyerah kepada sekutu dan sesuai dengan perintah Markas Besar Bala Tentara Jepang yaitu perintah untuk membubarkan semua organisasi bersenjata Indonesia, maka pekerjaan atau jabatan Soeharto di PETA pun berakhir.  Pada tanggal 22 Agustus 1945 pemerintah RI membentuk BKR . Soeharto beserta rekan-rekan seperjuangannya di PETA menggabungkan diri menjadi anggota BKR. Soeharto bersama teman-temannya membentuk satu kesatuan BKR di daerah Sentul (sekarang jalan kusuma negara,  yogyakarta ) dan terpilih menjadi wakil komandan , sedangkan komandannya adalah Omar Slamet seniornya semasa di PETA. ( Sumber : Buku Soeharto , Jenderal Besar dari Kemusuk. Disjarahad, 2010. hal 35-59 ).

Monday, 30 March 2015

Sejarah Pasukan Hantu Maut Indonesia Pada Agresi Militer di Yogyakarta

Pasukan Hantu Maut bukanlah makhluk halus dari alam lain yang membuat bulu kuduk merinding. Pasukan Hantu Maut adalah pasukan gerilyawan Republik Indonesia yang berasal dari pemuda kampung Pujokusuman, Brontokusuman, Prawirotaman dan Karang Kajen Yogyakarta. Pasukan ini ditugaskan untuk melawan pasukan NICA Belanda di Yogyakarta pada waktu Clash II (Agresi Militer Belanda kedua).


Mungkin tidak banyak orang tahu Ndalem Pujokusuman adalah bekas markas perang. Kebanyakan orang hanya tahu bahwa Ndalem Pujokusaman adalah tempat berlatih tari.

Berawal dari semangat juang 30 orang pemuda Pujokusuman yang bersepakat dan berikrar, jika sampai Belanda masuk dan menduduki kota Yogyakarta mereka bersama-sama akan keluar kampung Pujokusuman untuk membentuk pasukan guna melawan dan mangusir penjajah Belanda. GBPH Poedjokoesoemo yang merupakan putra Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, akhirnya membentuk Pasukan Hantu Maut.


Pasukan Hantu Maut ini dibentuk setelah Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengadakan serangan ke kota Yogyakarta yang kedua pada tanggal 9 Januari 1949. Hantu Maut sendiri berarti pasukan perlawanan sebagai hantu yang akan memberi dan menyebarkan maut bagi tentara pendudukan Belanda.

Pasukan Hantu Maut ini awalnya bernamakan pasukan gerilya Samber Gelap dengan modal tujuh pucuk senjata yang merupakan hasil rampasan ketika rakyat Yogyakarta melucuti senjata pasukan Jepang pada tanggal 7 Oktober 1948 di Kota Baru. Sebagian pemuda dari kampung Keparakan Lor dan Keparakan Kidul turut bergabung ke dalam pasukan Samber Gelap. Anggota pasukan Samber Gelap kemudian disebar masuk ke kota untuk mengambil dan mencari senjata-senjata yang masih tertinggal di kota dan berhasil mendapatkan 11 pucuk senjata.


Akhirnya pemuda-pemuda dari kampung Brontokusuman, Prawirotaman, dan Karang Kajen mulai menggabungkan diri pada pasukan Samber Gelap. Dengan bergabungnya pemuda-pemuda tersebut, maka dibuatlah kesepakatan untuk mengganti nama pasukan yang berseragam kaos oblong hijau dan celana putih itu menjadi Pasukan Hantu Maut.

Pada tanggal 29 Juni 1949, Pasukan Hantu Maut mendapat tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban di sebelah utara rel kereta api (stasiun Tugu) samapai batas kota sebelah utara. Setelah pemerintahan kembali pada pemerintahan sipil, maka pasukan Hantu Maut yang dulunya yang telah dimiliterisasi diberi kesempatan untuk kembali ke instansi, sekolah atau bagi yang meneruskan ke pendidikan militer dan sudah lulus tes maka akan ditempatkan di Batalion yang sudah ditentukan dan bagi yang tidak lolos tes akan dikembalikan kepada masyarakat dengan surat penghargaan.


Perang sudah berakhir. Indonesia sudah mulai membangun dirinya lagi. Kini, para mantan anggota pasukan Hantu Maut bersama pejuang-pejuang lainnya mendirikan organisasi dengan nama Kerukunan Keluarga Pejuang Eks SWK 101 WK III Yogyakarta. Organisasi ini bertujuan untuk mempererat persaudaraan dan kekeluargaan untuk gotong royong, memikirkan para anggotanya yang masih memerlukan bantuan.

Sumber:http://www.kaskus.co.id/thread/51a5fc5c1bcb17a970000007/sejarah-pasukan-hantu-maut-indonesia-pada-agresi-militer-di-yogyakarta/

Sunday, 29 March 2015

Banjarasri Markas Republik


Pejuang di Kulonprogo berusaha keras menghalangi masuknya tentara Belanda. Jembatan jembatan banyak dijebol. Termasuk jembatan Kali Papah yang berada di sekitar Kantor Pegadaian Sentolo yang menuju Kaliagung saat ini. Pepohonan ditebang untuk diletakkan di tengah jalan. Setidaknya tentara musuh akan sangat kesulitan melewati rintangan rintangan ini. Memperlambat laju pergerakan mereka.
Sementara itu pertempuran yang terus berlangsung menyebabkan semakin banyak dibutuhkan peralatan perang. Di Banjarasri terdapat tempat pembuatan peralatan perang TNI, seperti peluru, detonator, granat, pistol dan senjata lainnya. Termasuk hasil rampasan dari tentara musuh.
Proses perbaikan dan pembuatan senjata dilakukan di rumah rumah penduduk secara terpencar, antara lain rumah milik Panjangrejo, Manguntukimin, Secopawiro, Kromowijoyo, Kromoinangun, Joyopawiro dan Joyoukoro.
Strategisnya letak desa Banjarasri memungkinkan para pejuang melakukan pertahanan, mengatur strategi politik dan militer dengan cukup aman. Belanda kesulitan menemukan lokasi ini mengingat kontur tanah yang menanjak dan hutan Kalibawang dan Samigaluh saat itu masih sangat lebat.
Posisi Banjarasri yang strategis secara geografis juga ditunjang keadaan desa yang tertata rapi stuktur administratifnya. Adanya Missionaris Katolik yang datang ke wilayah Kalibawang sejak awal abad ke – 20 menjadi salah satu faktor Banjarasri menjadi markas yang ideal. Tidak heran apabila wilayah ini menjadi pusat konsentrasi pengungsi dari kota.
Struktur pejabat desa yang tersusun rapi memungkinkan mereka mengurusi pengungsi, pertahanan sipil, perbekalan dan penerangan dengan baik. Apalagi ditambah keberadaan Rumah Sakit Santo Yusuf. Adanya rumah sakit sangat membantu pejuang dan warga yang saat itu didera sakit penyakit dan luka akibat peperangan.
Hal ini tentu menjadi modal penting bagi Desa Banjarasri untuk mendukung pergerakan mempertahankan kemerdekaan. Sejarah mencatat bahwa Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia berhutang budi pada desa kecil di utara Kulonprogo ini. Saat Agresi Militer Belanda II pecah, Jaksa Agung Tirtowinoto dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Besar Polisi Sosrodanukusumo mengungsi bersama rakyat ke desa Banjarasri.
Di Banjarasri mereka mendirikan Pos Kejaksaan Agung dan Pos Kepolisian guna melanjutkan mekanisme pemerintahan negara meskipun dalam pengungsian. Adapun rumah yang digunakan adalah rumah milik Pawirosuwarno. Kedua pejabat ini bersikap layaknya rakyat biasa. Tidak ada yang berbeda antara mereka dengan rakyat sekitar. Hanya saja militer benar benar memastikan keamanan keduanya.
Siapa tidak kenal Nama besar Abdul Haris Nasution atau lebih familiar dengan nama Jenderal Besar A. H. Nasution lalu Tahi Bonar Simatupang atau lebih dikenal dengan nama Jenderal T. B. Simatupang dan Alex Evert Kawilarang atau banyak dipanggil Kolonel A. E. Kawilarang yang kelak mendirikan cikal bakal Koppasus? Mereka adalah sebagian petinggi TNI yang ternyata pernah bermukim di Kalibawang dan Samigaluh untuk menyusun strategi perang.
Pada Februari 1948, A. H. Nasution menjadi Wakil Panglima Besar TNI atau orang kedua setelah Jendral Soedirman. Sebulan kemudian jabatan Wakil Panglima Besar dihapus dan ia ditunjuk menjadi Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Pada tahun 1948 ini A. H. Nasution mendirikan MBKD (Markas Besar Komando Jawa) di Perbukitan Borogunung, masih di Desa Banjarasri, Kalibawang, menyusul dikuasainya Yogyakarta oleh Belanda.
Pertimbangannya adalah perbukitan Borogunung memudahkan tentara memantau pergerakan musuh yang mungkin saja akan menyusup. Rumah seorang warga bernama Nitirejo dipergunakan menjadi markas, sedangkan lokasi kesekretariatan MBKD menumpang di rumah Suparja di dusun Padoan, Banjarharjo. Di penghujung tahun 1949, A. H. Nasution diangkat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
Sedikit ke selatan Kalibawang, sekitar 20 Desember 1948 pagi hari T. B. Simatupang mengungsi ke arah Kulonprogo menggunakan rakit menyeberangi Sungai Progo. Setelah itu tibalah ia di Dekso sebelum akhirnya menuju Desa Banaran, Banjarsari, Samigaluh.
Saat itu T. B. Simatupang menjabat wakil II Kepala Staff Angkatan Perang. Kepala Angkatan Perang kala itu dijabat Jenderal Soedirman, ia merangkap menjadi Panglima Besar Angkatan Perang. Sementara itu, perlu dicatat bahwa sebelum menuju Banjarasri, Kalibawang, A. H. Nasution juga singgah di Dekso setelah perjalanan dari Jawa Timur menggunakan kereta api dan turun sebelum kereta memasuki Kota Yogyakarta.
Di Banjarasri, A. H. Nasution yang dikenal sebagai ahli perang gerilya, meneruskan kegiatan Pos MBKD, dikenal dengan nama Pos X-2. Dari sini A. H. Nasution mengirimkan informasi dan perintah kepada Pos MBKD dan pejuang di tempat lain. Berita tersebut dikirim menggunakan radiogram yang dioperasikan menggunakan tenaga baterai yang dibuat sendiri. Untuk keperluan ini setiap pukul 15.00 sampai 17.00 bergantian dua orang penduduk Borogunung memutar pedal baterai untuk menyalakan pesawat radio. Pengiriman berita kepada Pos MBKD di tempat lain menjadikan Presiden Soekarno dan Moh. Hatta yang diasingkan ke Bangka dapat mendengar update terkini mengenai keadaan negara.
Mengingat keberadaan A. H. Nasution dan Pos MBKD sangat dirahasiakan, hubungan beliau dengan rakyat menjadi sangat terbatas. Orang orang yang hendak menemui beliau harus melalui seleksi ketat dan berbelit, bahkan berita yang akan masuk ke markas disampaikan dengan cara beranting dari bawah menuju ke atas. Surat surat penting dari MBKD Borogunung disampaikan kepada kurir untuk dibawa ke alamat tujuan dengan pengawalan seorang tentara. Cerita unik dari perjalanan A. H. Nasution ketika memasuki Banjarasri adalah pengakuannya kepada warga bahwa ia hanya seorang guru dari Sumatra bernama Abdul Haris yang tidak bisa pulang karena tersesat.
Setelah 3,5 bulan berlalu akhirnya A. H. Nasution bersama para staffnya meninggalkan Dusun Borogunung, Desa Banjarasri. Tepat 7 Juli 1949 ia melanjutkan perjalanan perjuangannya melawan Belanda dengan tantangan yang mungkin lebih berat.
Bangsa Indonesia akhirnya menikmati kemerdakaan. Tahun ini, Agustus 2014 merupakan peringatan 69 tahun bangsa Indonesia di alam kemerdekaan. Jauh sebelum itu, pejuang kemerdekaan mengorbankan segala kepentingan untuk bangsa dan negara. Jauh di pelosok pelosok negeri, termasuk di Desa Banjarasri, perjuangan gigih dilakukan.
Kini di desa Banjarasri tepat  berdiri sebuah monumen. Di depan sebuah rumah milik warga. Monumen MBKD Pos X-2 1948-1949 terpancang dengan gagah. Diresmikan 29 Juni 1982 atas prakarsa mantan Presiden Soeharto. Sri Sultan Hamengkubuwono IX mendapat kehormatan untuk meresmikan monumen penuh kenangan. Monumen berbentuk tugu batu yang didirikan untuk mengenang jerih payah warga dan pejuang kemerdekaan dalam memperjuangkan hak bangsa ini, hak untuk merdeka dan menentukan nasibnya sendiri.
Akhirnya disadari bahwa peran rakyat sangat penting. Mulai dari menjaga keamanan dan kerahasiaan, menyediakan tempat tinggal dan logistik. Bukti bahwa bersatunya rakyat dan tentara dipadu dengan semangat juang tinggi pasti memunculkan kekuatan yang luar biasa.
Dari sebuah desa kecil yang kini hidup tenang, damai dan bersahaja. Desa yang menjadi saksi sejarah pergolakan militer dan politik demi tegaknya ibu pertiwi. Desa yang menjaga kestabilan negara ketika republik baru saja diproklamirkan. Desa Banjarasri masih sangat asri, seperti tidak pernah terjadi apa apa di masa lalu.
Sumber : http://watespahpoh.net/2014/banjarasri-markas-republik.html