Monday, 21 September 2015
Jejak Pertempuran di Maguwo ( Operatie Kraai )
Labels:
7th Tank Squadron,
B-Divisie,
Djokjakarta 1945,
Indonesia,
KL,
KNIL,
Militer Akademi,
Nederland Indie,
Reenactment History,
Reenactor Indonesia,
sejarah,
Serangan Umum 1 Maret,
Stoottroepen,
T-Brigade
Thursday, 10 September 2015
Beberapa Fakta Unik di Balik Kegarangan Pasukan KNIL
Fakta unik ini berdasarkan studi Capt. R.P. Suyono terhadap berbagai literatur Belanda yang dtuangkannya dalam buku Peperangan Kerajaan di Nusantara (penelusuran kepustakaan sejarah), terbitan Grasindo tahun 2003.
1. Seragam KNIL
Sejak dibentuk pada tahun 1830, seragam KNIL selalu mengalami pergantian. Pada tahun 1894 seragam KNIL dinamakan syako dengan topi helm dari gabus. Topi gabus tersebut baru diganti pada tahun 1910 dengan bahan yang terbuat dari bambu. Pada tahun 1915 KNIL mendapat seragam baru yang tebal dan susah dicuci sehingga akhirnya diganti dengan bahan linen dengan celana yang lebih tipis. Pada tahun 1936 seragam KNIL adalah kain hijau yang dinamakan tenunan Garut.
Fakta lain adalah ketika berada di tangsi, hanya perwira dengan pangkat minimal Sersan --rata-rata orang Eropa-- yang boleh mengganti baju dengan pakaian biasa sedangkan para prajurit pribumi dilarang mengganti baju sehingga selalu memakai seragam. Entah berapa banyak seragam yang dimiliki oleh para prajurit pribumi ini, jika cuma satu berarti tidak pernah digantinya.
2. Kehidupan di Tangsi
Tangsi merupakan tempat tinggal para prajurit KNIL, entah yang masih bujangan maupun yang sudah menikah. Tangsi biasanya dibangun di tengah kota, mungkin untuk mempermudah akses. Prajurit yang masih bujangan tidur di barak yang tempat tidurnya berjejer sedangkan yang sudah menikah baraknya disekat dengan ukuran 3x4 meter. Ruangan ini hanya cukup untuk satu tempat tidur saja, oleh karena itu anak-anaknya ditempatkan di bawah kolong tempat tidur sehingga muncul istilah anak kolong bagi anak-anak polisi atau tentara.
3. Dardanel
Dardanel merupakan sebutan bagi seorang prajurit pribumi yang harus menjaga keselamatan seorang perwira Belanda yang menjadi atasannya. Ternyata perwira Belanda cukup pengecut karena harus dilindungi oleh seorang prajurit pribumi. Mungkin hal ini juga didasarkan pada pertimbangan bahwa pasukan akan kocar kacir jika kehilangan komandannya. Doktrin yang ditanamkan pada seorang dardanel adalah sungguh memalukan atau nista jika seorang dardanel selamat sedangkan perwira yang dilindunginya meninggal. Dengan kata lain dardanel tersebut harus rela mengorbankan nyawanya bagi perwira yang dilindunginya.
4. Kebiasaan Prajurit Jawa
Selain tidak memakai sepatu hingga tahun 1905 dan tergabung dalam kompi yang bertugas untuk menenangkan dan menetralisir situasi pasca peretempuran, prajurit Jawa juga memiliki keunikan dari kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan. Kebiasaan tersebut adalah sangat bergantungnya prajurit Jawa pada bakul kamu. Mungkin jamu mengembalikan stamina mereka setelah bertempur. Pada beberapa foto yang dihadirkan oleh Suyono terlihat prajurit Jawa sedang beristirat sambil menikmati Jamu yang dibuat oleh seorang mbok jamu.
Demikian beberapa fakta unik di balik kegarangan pasukan KNIL yang terkenal kejam selama menumpas perjuangan rakyat di berbagai daerah. Kemiskinan dan tidak adanya wawasan tentang kebangsaan pada saat itu membuat mereka menerima pekerjaan sebagai prajurit KNIL meski mengalami berbagai kesulitan.
1. Seragam KNIL
Sejak dibentuk pada tahun 1830, seragam KNIL selalu mengalami pergantian. Pada tahun 1894 seragam KNIL dinamakan syako dengan topi helm dari gabus. Topi gabus tersebut baru diganti pada tahun 1910 dengan bahan yang terbuat dari bambu. Pada tahun 1915 KNIL mendapat seragam baru yang tebal dan susah dicuci sehingga akhirnya diganti dengan bahan linen dengan celana yang lebih tipis. Pada tahun 1936 seragam KNIL adalah kain hijau yang dinamakan tenunan Garut.
Fakta lain adalah ketika berada di tangsi, hanya perwira dengan pangkat minimal Sersan --rata-rata orang Eropa-- yang boleh mengganti baju dengan pakaian biasa sedangkan para prajurit pribumi dilarang mengganti baju sehingga selalu memakai seragam. Entah berapa banyak seragam yang dimiliki oleh para prajurit pribumi ini, jika cuma satu berarti tidak pernah digantinya.
2. Kehidupan di Tangsi
Tangsi merupakan tempat tinggal para prajurit KNIL, entah yang masih bujangan maupun yang sudah menikah. Tangsi biasanya dibangun di tengah kota, mungkin untuk mempermudah akses. Prajurit yang masih bujangan tidur di barak yang tempat tidurnya berjejer sedangkan yang sudah menikah baraknya disekat dengan ukuran 3x4 meter. Ruangan ini hanya cukup untuk satu tempat tidur saja, oleh karena itu anak-anaknya ditempatkan di bawah kolong tempat tidur sehingga muncul istilah anak kolong bagi anak-anak polisi atau tentara.
3. Dardanel
Dardanel merupakan sebutan bagi seorang prajurit pribumi yang harus menjaga keselamatan seorang perwira Belanda yang menjadi atasannya. Ternyata perwira Belanda cukup pengecut karena harus dilindungi oleh seorang prajurit pribumi. Mungkin hal ini juga didasarkan pada pertimbangan bahwa pasukan akan kocar kacir jika kehilangan komandannya. Doktrin yang ditanamkan pada seorang dardanel adalah sungguh memalukan atau nista jika seorang dardanel selamat sedangkan perwira yang dilindunginya meninggal. Dengan kata lain dardanel tersebut harus rela mengorbankan nyawanya bagi perwira yang dilindunginya.
4. Kebiasaan Prajurit Jawa
Selain tidak memakai sepatu hingga tahun 1905 dan tergabung dalam kompi yang bertugas untuk menenangkan dan menetralisir situasi pasca peretempuran, prajurit Jawa juga memiliki keunikan dari kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan. Kebiasaan tersebut adalah sangat bergantungnya prajurit Jawa pada bakul kamu. Mungkin jamu mengembalikan stamina mereka setelah bertempur. Pada beberapa foto yang dihadirkan oleh Suyono terlihat prajurit Jawa sedang beristirat sambil menikmati Jamu yang dibuat oleh seorang mbok jamu.
Demikian beberapa fakta unik di balik kegarangan pasukan KNIL yang terkenal kejam selama menumpas perjuangan rakyat di berbagai daerah. Kemiskinan dan tidak adanya wawasan tentang kebangsaan pada saat itu membuat mereka menerima pekerjaan sebagai prajurit KNIL meski mengalami berbagai kesulitan.
Saturday, 20 June 2015
Pertempuran Inggris dan Keraton Yogyakarta Tahun 1812
Sengitnya pertempuran antara Kerajaan Inggris dan Kasultanan
Yogyakarta pada Jumat-Sabtu, 19 dan 20 Juni 1812, dicatat oleh seorang
serdadu Inggris, Kapten William Thorn. Dia menulis perjalanan penaklukan
Inggris ke Jawa dalam Memoir of The Conquest of Java yang terbit pada 1815 di London. Kelak orang Jawa menjuluki pertempuran ini dengan “Geger Spehi”—Perang Spoy.
Thorn melukiskan keadaan pertahanan Keraton Yogyakarta. “Kraton atau kediaman Sultan Mataram,” demikian tulisnya, “dikelilingi oleh parit basah nan lebar dengan jembatan jungkit; dinding benteng yang tebal dan kokoh dengan bastion [pojok benteng yang menjorok] dan diperkuat dengan seratus meriam.”
Dalam pertempuran dua hari itu Inggris berkekuatan sekitar 1.000 serdadu berseragam merah, yang terdiri atas serdadu asal sepoy India dan serdadu Eropa. Jumlah itu masih ditambah 500 prajurit Legiun Pangeran Prangwedono asal Mangkunagaran, Surakarta. Sementara, menurut Thorn, terdapat sekitar 17.000 prajurit Keraton yang bersiaga di dalam baluwarti (tembok keraton).
Tembak-menembak antara Benteng Vredeburg—sebagai kubu pertahanan Inggris—dan Keraton sebenarnya sudah dimulai sejak 18 Juni sore. Menurut Thorn, benteng ini, “hanya sedikit meninggalkan bubuk mesiu dari pabrik mesiu lawas tinggalan Belanda, sangat buruk,” ungkapnya, “sehingga tembakan kami ibarat hanya menghibur musuh.”
Thorn melukiskan keadaan pertahanan Keraton Yogyakarta. “Kraton atau kediaman Sultan Mataram,” demikian tulisnya, “dikelilingi oleh parit basah nan lebar dengan jembatan jungkit; dinding benteng yang tebal dan kokoh dengan bastion [pojok benteng yang menjorok] dan diperkuat dengan seratus meriam.”
Dalam pertempuran dua hari itu Inggris berkekuatan sekitar 1.000 serdadu berseragam merah, yang terdiri atas serdadu asal sepoy India dan serdadu Eropa. Jumlah itu masih ditambah 500 prajurit Legiun Pangeran Prangwedono asal Mangkunagaran, Surakarta. Sementara, menurut Thorn, terdapat sekitar 17.000 prajurit Keraton yang bersiaga di dalam baluwarti (tembok keraton).
Tembak-menembak antara Benteng Vredeburg—sebagai kubu pertahanan Inggris—dan Keraton sebenarnya sudah dimulai sejak 18 Juni sore. Menurut Thorn, benteng ini, “hanya sedikit meninggalkan bubuk mesiu dari pabrik mesiu lawas tinggalan Belanda, sangat buruk,” ungkapnya, “sehingga tembakan kami ibarat hanya menghibur musuh.”
Sejatinya,
Inggris masih menanti pasukan Letnan Kolonel Alexander MacLeod yang
tengah berangkat dari Salatiga menuju Yogyakarta. Pasukan susulan itu
baru tiba pada esoknya, dan langsung menggempur Keraton.
Pertahanan Sultan yang paling kuat dengan meriam-meriam bermulut ganda berada di kawasan Alun-alun utara. Namun, tampaknya Inggris tidak menempatkan kawasan ini sebagai serangan utama, melainkan serangan pengecoh.
Serangan utama Inggris tertuju pada sisi timur baluwarti—kini sepanjang Jalan Brigjen Katamso. Gempuran tersebut dilakukan oleh Kolonel James Watson yang membawahi Resimen Infanteri ke-14, Buckinghamshires. Mereka mendekati bastion timur laut dengan dilindung penembak-penembak Inggris.
Bastion timur laut tempat gudang mesiu prajurit Sultan berhasil diledakkan oleh serdadu sepoy di bawah komando Watson. Tampaknya ledakan penyimpanan bubuk mesiu itu sangat dahsyat. Setelah ledakan, pertahanan baluwarti mulai mengendur sehingga mereka berhasil menurunkan jembatan jungkit di gerbang utama Kadipaten.
Pertahanan Sultan yang paling kuat dengan meriam-meriam bermulut ganda berada di kawasan Alun-alun utara. Namun, tampaknya Inggris tidak menempatkan kawasan ini sebagai serangan utama, melainkan serangan pengecoh.
Serangan utama Inggris tertuju pada sisi timur baluwarti—kini sepanjang Jalan Brigjen Katamso. Gempuran tersebut dilakukan oleh Kolonel James Watson yang membawahi Resimen Infanteri ke-14, Buckinghamshires. Mereka mendekati bastion timur laut dengan dilindung penembak-penembak Inggris.
Bastion timur laut tempat gudang mesiu prajurit Sultan berhasil diledakkan oleh serdadu sepoy di bawah komando Watson. Tampaknya ledakan penyimpanan bubuk mesiu itu sangat dahsyat. Setelah ledakan, pertahanan baluwarti mulai mengendur sehingga mereka berhasil menurunkan jembatan jungkit di gerbang utama Kadipaten.
Mungkin akibat ledakan itulah bastion
timur laut itu rusak berat dan hingga hari ini pertahanan baluwarti
hanya menyisakan tiga bastion—warga menjulukinya dengan Pojok Beteng Wetan, Pojok Beteng Kulon, dan Pojok Beteng Lor.
Plengkung Tarunasura/Pancasura, kini lebih dikenal dengan Wijilan, sebagai gerbang utama Kadipaten diserang oleh pasukan Letnan Kolonel Alexander MacLeod. Gerbang masih dijaga pertahanan kuat laskar Sultan. Para serdadu sepoy India itu merayapi dinding baluwarti dengan cara saling memanjat pundak temannya hingga mencapai celah baluwarti. Akhirnya, artileri tempur Inggris berhasil meledakkan gerbang itu.
Plengkung Tarunasura/Pancasura, kini lebih dikenal dengan Wijilan, sebagai gerbang utama Kadipaten diserang oleh pasukan Letnan Kolonel Alexander MacLeod. Gerbang masih dijaga pertahanan kuat laskar Sultan. Para serdadu sepoy India itu merayapi dinding baluwarti dengan cara saling memanjat pundak temannya hingga mencapai celah baluwarti. Akhirnya, artileri tempur Inggris berhasil meledakkan gerbang itu.
“Musuh menyapu tembok baluwarti dengan tembakan senapan dari bastion tenggara,” catat Thorn. Namun, “akhirnya [bastion itu] takluk diujung bayonet.” Kemudian, setelah beberapa pertempuran di sisi selatan baluwarti, serdadu Inggris berhasil membuka gerbang selatan, Plengkung Nirbaya.
Berikutnya, serdadu sepoy dan Inggris berhasil membobol pintu gerbang barat, Plengkung Jagabaya. Pertahanan baluwarti terakhir yang mampu dipertahankan laskar Sultan adalah bastion barat laut, kemudian mereka menyelamatkan diri ke sebuah masjid di luar baluwarti, demikian papar Thorn. Tampaknya yang dimaksud Thorn adalah Masjid Besar Kauman.
Mengapa pertahanan keraton lemah? Peter Brian Ramsay Carey, seorang Professor Emeritus dari Trinity College, Inggris, memaparkan suasana dari dalam baluwarti lewat salah satu sumber Jawa tentang pertempuran tersebut.
Menurutnya, sumber Babad Bedhah ing Ngayogyakarta telah mengungkapkan rendahnya daya juang para pembela keraton. Babad jatuhnya Yogyakarta itu ditulis dalam buku harian Pangeran Panular, seorang putera Sultan yang turut bertempur pada Juni 1812.
“Banyak di antara pangeran yang mestinya memberi teladan di medan tempur dengan memimpin perlawanan, hanya mencawat ekor dalam perlindungan pintu-pintu gerbang atau berpura-pura sakit,” demikian tulis Carey. Dia menulis berdasarkan pemerian babad tersebut dalam bukunya, Kuasa Ramalan yang terbit pada 2011.
Bahkan, sebagian dari mereka mencari selamat dengan cara keluar keraton menuju desa-desa di pinggiran dan makam Imogiri, demikian suasana yang dikisahkan dalam babad tersebut menurut Carey.
Babad tersebut, ungkap Carey, juga mengisahkan kerisauan hati Sultan Hamengkubuwana II, atau yang dikenal sebagai Sultan Sepuh. Para laskar perempuan yang mengawal Sultan pun turut berdzikir dan berdoa.
Perang ini diakhiri dengan menyerahnya Sultan Sepuh dan dimulainya penjarahan besar-besaran atas harta, pusaka, dan pustaka Keraton Yogyakarta. Awal Juli 1812, Sultan dibuang ke Pulau Penang.
Dalam pertempuran dua hari itu, dari seribu serdadu Inggris, sekitar seratus orang tewas. Sedangkan di pihak Sultan “tidak dapat dihitung secara tepat,” ungkap Thorn. “Namun pastinya sangat besar jika kita melihat mereka yang terbunuh dan terluka di sepanjang baluwarti dan bastion. Jumlah tewas yang luar biasa di setiap gerbang, tertutama di kawasan tengah.”
“Nama Djoejocarta [Yogyakarta] akan selalu mengingatkan kisah kegagahan serdadu Inggris,” demikian tulis Thorn, “penyerangan dan penaklukan sebuah pertahanan benteng yang kuat di bawah kecamuk perang.”
Invasi Inggris ke Jawa 1811 merupakan ekspedisi laut terbesar dalam sejarah, setidaknya hingga jelang Perang Dunia Kedua. Di bawah Letnan Jenderal Sir Samuel Auchmuty, hampir 12.000 serdadu yang berlayar dalam 100 kapal melintasi Samudra Hindia dan mendarat di Cilincing. Atas titah Lord Minto, mereka berupaya merebut kekuasaan Prancis di Jawa.
Demikianlah, kesaksian serdadu Inggris dan prajurit Jawa tentang pertempuran yang mengantarkan Tanah Jawa ke tatanan kolonial.
Sumber : http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/11/kecamuk-pertempuran-inggris-dan-keraton-yogyakarta-1812
Saturday, 6 June 2015
Pabrik Rokok Cerutu Negresco
Pada tahun 1870, pengusaha asing mulai datang di Hindia Belanda untuk mendirikan pabrik cerutu. Negresco didirikan pada tahun 1918 oleh Mignot & De Block Cigar Company, yang berkantor pusat di Eindhoven, Belanda. Negresco awalnya dimaksudkan untuk menyediakan cerutu untuk tentara Belanda dan pejabat tinggi di Yogyakarta setelah kurangnya cerutu karena Perang Dunia I. Tapi kemudian, perusahaan melihat bahwa orang-orang Jawa yang juga tertarik untuk merokok, sehingga mereka memutuskan untuk menjual cerutu sekitar Hindia Belanda juga.
Bisnis berjalan dengan baik sehingga pada tahun 1930, pabrik telah mencapai lebih dari 1000 pekerja. Kepentingan di balik pendirian pabrik ini di Yogyakarta yang beragam. Ada, tentu saja, kepentingan ekonomi sebagai Mignot & De Block berusaha untuk mengurangi biaya produksi mereka dengan menggunakan tenaga kerja murah dan Jawa datang dekat dengan sumber bahan mereka. Namun, ada untuk kepentingan agama juga.
Pada saat Perang Dunia II dan Jepang menginjakkan kaki di Jawa pada tahun 1942, mengusir Belanda, dan menduduki pulau. Mereka mengambil kendali dari segala sesuatu, termasuk Negresco yang namanya mereka berubah kemudian menjadi Jawa Tobacco Kojo. Jepang disita mesin dari pabrik Tembakau Inggris-Amerika di Cirebon dan membawa mereka ke Yogyakarta untuk membuat rokok cahaya. Meskipun demikian, kontrol ini berlangsung seperti selama pendudukan itu sendiri, yang berakhir setelah tiga tahun setengah.
Ketika Perang Dunia II berakhir pada tahun 1945, di pihak yang kalah, Jepang harus melarikan diri. Indonesia langsung menyatakan kemerdekaan dan pabrik cerutu diambil oleh Sultan Hamengku Buwono IX dari Yogyakarta dan sultan memberi nama pabrik itu dengan nama pabrik 'Taru Martani', yang berarti 'daun yang memberikan kehidupan. "
Bisnis berjalan dengan baik sehingga pada tahun 1930, pabrik telah mencapai lebih dari 1000 pekerja. Kepentingan di balik pendirian pabrik ini di Yogyakarta yang beragam. Ada, tentu saja, kepentingan ekonomi sebagai Mignot & De Block berusaha untuk mengurangi biaya produksi mereka dengan menggunakan tenaga kerja murah dan Jawa datang dekat dengan sumber bahan mereka. Namun, ada untuk kepentingan agama juga.
Pada saat Perang Dunia II dan Jepang menginjakkan kaki di Jawa pada tahun 1942, mengusir Belanda, dan menduduki pulau. Mereka mengambil kendali dari segala sesuatu, termasuk Negresco yang namanya mereka berubah kemudian menjadi Jawa Tobacco Kojo. Jepang disita mesin dari pabrik Tembakau Inggris-Amerika di Cirebon dan membawa mereka ke Yogyakarta untuk membuat rokok cahaya. Meskipun demikian, kontrol ini berlangsung seperti selama pendudukan itu sendiri, yang berakhir setelah tiga tahun setengah.
Ketika Perang Dunia II berakhir pada tahun 1945, di pihak yang kalah, Jepang harus melarikan diri. Indonesia langsung menyatakan kemerdekaan dan pabrik cerutu diambil oleh Sultan Hamengku Buwono IX dari Yogyakarta dan sultan memberi nama pabrik itu dengan nama pabrik 'Taru Martani', yang berarti 'daun yang memberikan kehidupan. "
Sumber : http://latitudes.nu/taru-martani-a-story-of-cigars-and-indonesia/
Friday, 5 June 2015
Sejarah Paspampres
Pasukan
Pengamanan Presiden (PASPAMPRES) hadir hampir bersamaan dengan
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, sebagaimana hal yang sama
terjadi dengan kelahiran TNI dan Polri. Ketika kemerdekaan Republik
Indonesia diproklamirkan, para pemuda pejuang tergerak untuk mengambil
peranan mengamankan Presiden. Para pemuda tersebut terdiri dari kesatuan
Tokomu Kosaku Tai, yang berperan sebagai pengawal pribadi, dan para
pemuda mantan anggota kesatuan Peta (Pembela Tanah Air) berperan sebagai
pengawal Istana.
Situasi keamanan pada awal kemerdekaan Republik
Indonesia sangat memprihatinkan. Di beberapa daerah terjadi pertempuran
sebagai respon atas keinginan penjajah Belanda, yang disokong oleh
bantuan tentara sekutu, untuk menduduki kembali Negara Kesatuan Republik
Indonesia . Situasi semakin berbahaya ketika keselamatan Presiden mulai
terancam dengan didudukinya Jakarta oleh Belanda pada tanggal 3 Januari
1946. Mengingat kekuatan bersenjata Belanda yang semakin besar dan
terpusat di Jakarta, serta pertimbangan intelijen RI saat itu yang
memerkirakan adanya keinginan Belanda untuk menyandera Presiden RI dan
Wakil Presiden RI, maka Mr Pringgodigdo selaku Sekertaris Negara
mengeluarkan perintah untuk melaksanakan operasi penyelamatan pimpinan
nasional. Operasi ini kemudian dikenal dengan istilah “Hijrah ke
Yogyakarta”. Pada pelaksanaan penyelamatan ini telah ditampilkan
kerjasama unsur – unsur pengamanan Presiden RI yang terdiri dari
beberapa kelompok pejuang. Mulai dari kelompok yang menyiapkan Kereta
Api Luar Biasa (KLB), pengamankan rute Jakarta – Yogyakarta, hingga
penyelenggaraan pengamanan di titk keberangkatan yang terletak di
belakang kediaman Presiden Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur no 56,
Jakarta.
Secara rahasia KLB ini diberangkatkan pada tanggal 3
Januari 1946 sore hari menjelang senja. Keesokan harinya tanggal 4
Januari 1946, KLB tiba di Yogyakarta. Setibanya di Yogyakarta Presiden
RI menetap di bekas rumah Gubernur Belanda di Jalan Malioboro (depan
benteng Vredenburg). Sedangkan Wakil Presiden RI bertempat tinggal di
Jalan Reksobayan no. 4 Yogyakarta. Dalam pelaksanaan operasi
penyelamatan saat itu, telah terjadi kerja sama antara kelompok
pengamanan yang terdiri dari unsur TNI dan Polri. Untuk mengenang
keberhasilan menyelamatkan Presiden Republik Indonesia yang baru pertama
kalinya dilaksanakan tersebut, maka tanggal 3 Januari 1946 dipilih
sebagai Hari Bhakti Paspampres.
Sumber : http://paspampres.mil.id/id/sejarah-paspampres/awal-kelahiran-paspampres
Sunday, 17 May 2015
Atitoen Wirjosoemarto Staf Putri Tentara Pelajar
Penugasan Pertama
Tahun
lalu, ketika saya menerima tugas pertama setelah mengikuti latihan
dasar kemiliteran di Militer Akademi Kotabaru bersama beberapa teman
asrama dan sekolah (SGP) Jalan Jati Yogyakarta, saya dan mbak Kushartini
dikirim ke Mojoagung Mojokerto Jawa Timur untuk mengirim sejumlah bahan
makanan kering (dendeng) dan obat-obatan bersama sepasukan anggota
Ikatan Pelajar Indonesia bagian Pertahanan yang dipimpin oleh Purbatin.
Kami berangkat menggunakan kereta api pagi yang menarik dua gerbong.
Sampai di Solo, perjalanan aman. Menjelang masuk hutan jati Mantingan,
Purbatin memerintahkan masinis menghentikan kereta dan ia turun bersama
empat anggota pasukan untuk memeriksa keadaan. Menurut cerita yang
mereka dengar, tiga kawasan hutan yaitu Mantingan, Saradan dan Caruban
dikuasi oleh gerombolan perampok kejam. Sekitar satu jam kemudian,
kereta itu berjalan. Hal yang sama terjadi di kawasan hutan Saradan dan
Caruban. Menjelang maghrib, kereta memasuki stasiun madiun dan berhenti
sekitar dua jam untuk menaik-turunkan barang dan menambah air.
Kesempatan ini kami gunakan untuk membersihkan badan dan menghilangkan
penat.
Perjalanan
ke stasiun Mojokerto dilanjutkan. Sepanjang perjalanan, saya dan mbak
Kushatini sesekali memejamkan mata. Sementara itu, beberapa anggota
pasukan nampak asyik membicarakan cerita pertempuran di sekitar Surabaya
yang menelan korban ratusan pejuang. Yang terkena luka tembak, pecahan
mortir atau tertusuk bayonet sebagian dirawat di Rumah Sakit Darurat PMI
yang menjadi tujuan utama perjalanan kami dari Markas Pusat Pelajar di
Jalan Tugu Kulon 70 Yogyakarta. Menurut keterangan yang kami terima
sebelum berangkat, tempat perawatan korban pertempuran Surabaya ada di
lingkungan SGB Katholik (bruderan).
Kami
sampai di stasiun Mojokerto dini hari, Di sana telah menunggu beberapa
anggota TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar, nama pasukan Ikatan
Pelajar Indonesia Bagian Pertahanan di Jawa Timur). Kami dan barang
bawaan segera dinaikkan ke atas dua truk militer tanpa upacara khusus.
Mas Isman, begitu Purbatin memanggil nama komandan pasukan TRIP yang
menyambut kedatangan kami di stasiun memberi aba-aba agar truk segera
dijalankan. Di tengah pekatnya malam itu, saya tak dapat melihat keadaan
di luar. Sekitar sejam perjalanan, kami telah memasuki kompleks rumah
sakit. Saya dan mbak Kushartini ditempatkan di ruang depan bersama
beberapa orang perawat. Sedangkan Purbatin dan pasukannya ditempatkan di
asrama yang cukup jauh dari bangsal perawatan.
Setelah
mandi dan menyantap makanan yang telah disiapkan oleh kepala perawat,
kami beristirahat di kamar. Saya tak mampu memejamkan mata karena di
ruang sebelah suara-suara erang kesakitan tak pernah berhenti. Hari
pertama kami dibebaskan dari semua tugas merawat korban di bangsal
perawatan. Mbak Kushartini tidur dan mulai terdengar suara dengkurnya.
Perjalanan yang sangat melelahkan selama hampir sehari semalam. Saya
baru dapat tidur di siang hari sampai sore.
Melihat
keadaan korban pertempuran 10 November 1945, hati ini seperti tertusuk
benda sangat tajam. Kekejaman penjajahan dan peperangan terlihat sangat
jelas, tak membedakan siapapun mereka. Ada yang remuk kaki dan beragam
luka tembak. Penugasan seminggu di rumah sakit darurat PMI sangat
berkesan, tapi tak menyurutkan niat kami untuk berbakti kepada Ibu
Pertiwi. Sebuah harga yang sangat mahal, tak sebanding dengan apapun.
Penugasan Kedua
Hari
terakhir ujian kenaikan kelas II baru saja usai, saya ingin bergegas ke
kamar asrama yang letaknya bersebelahan dengan ruang kelas. Belum
sempat melangkah jauh, seseorang memanggil nama saya. Segera saja saya
melangkah, menuju arah sumber suara. Ternyata yang memanggil adalah
Kepala Sekolah yaitu Ibu R.A. Oemijatie (baca Umiyati), adik kandung
dr. Sutomo, salah satu pendiri Budi Utomo. Beliau berperawakan kecil,
tapi lincah dan tegas. Hampir semua siswi SGP tahu tentang kemampuan
beliau dalam menjiwai masing-masing pribadi.
Setelah
mengetuk pintu dan dipersilakan masuk, saya segera mendekat. Ibu
Umiyati tampak memegang sepucuk surat. Beliau lalu membuka pembicaraan.
“
Atiatoen … ini ada surat untukmu dari Markas Pusat. Buka dan bacakan
untuk Ibu “, kemudian beliau menyerahkan surat itu kepada saya. Tentu
sebuah surat tugas, saya menduga-duga isinya. Surat itu dibuka dengan
pisau perlahan-lahan, kuatir sobek. Pendek saja isinya. Yaitu perintah
untuk segera menyelenggarkan dapur umum dan tugas kepalang-merahan di
Gereja Kristen Jawa Jalan Stasiun (sekarang Jl. Pemuda) Kebumen untuk
Front Barat. Yang menandatangani mbak Sri Daruni, Kepala Staf Putri
Markas Pusat Pelajar Yogyakarta.
Dari
stasiun tugu, kereta api yang sebagian besar penumpangnya adalah para
pelajar mulai bergerak perlahan. Di gerbong itu ada beberapa teman satu
sekolah yang berasal dari Wates dan Purworejo. Di salah satu bangku tak
jauh dari tempat duduk saya, terlihat sosok kecil yang tak asing dan
selalu menjadi teman perjalanan yang menyenangkan. Bagyo, nama ini kelak
menjadi pelawak terkenal di jamannya. Siswa SGL (Sekolah Guru
Laki-laki) ini suaranya lantang dengan dialek khas Banyumasan. Sayang
sekali, kereta yang membawa rombongan kami hanya sampai di Stasiun
Kutoarjo. Perjalanan ke Kebumen saya lanjutkan dengan berjalan kaki dan
naik delman karena tak ada moda angkutan lain.
Kepada
ayah, saya menanyakan keberadaan dua kakak kandung. Mas Achmad Dimjatie
saat itu telah berpangkat Letnan TRI dan mas Affandi yang sering keluar
masuk markas Tentara Pelajar Kebumen di Kauman (sekarang jadi gedung
SMP Muhammadiyah I Kebumen) bersama Agustinus, putra pendeta Gereja
Kristen di dekat stasiun. Kebetulan, sewaktu ibu kandung berjualan beras
di pasar, Bapak Pendeta Reksodihardjo adalah seorang pelanggan setia.
Jadi, hubungan kami telah berlangsung sejak lama dari masa kanak-kanak.
Setelah ibu meninggal tahun 1939, yang menyambung tali silaturahmi
adalah mas Pandi (Affandi).
”
Pak… selama masa libur ini saya ditugaskan di markas darurat yang ada
di rumah dinas pendeta, bapaknya Agustinus’, kata saya sambil
menyodorkan surat tugas yang rencananya besok hari akan saya serahkan
kepada kepala markas atau wakilnya.
” Sama siapa kamu di sana Toen ?”, tanya ayah.
”
Teman-teman SGP dari Kebumen.. termasuk dik Wasil (Umi Wasilah) dan dik
Cini (Rasini)”, jawab saya menyebut nama dua orang yang telah dikenal
ayah.
”
Di lumbung ada beberapa ikat padi yang bisa ditumbuk. Yang lain, kamu
cari sendiri. Ayah sementara waktu akan mengungsi di rumah ibu tiri. Ini
ada sedikit uang yang bisa kamu pakai untuk membeli garam dan bumbu
buat keperluan asrama teman-temanmu di gereja sana”, ayah menyodorkan
sejumlah uang yang nilainya cukup banyak.
Surat
tugas diterima mas Tjiptardjo, wakil kepala markas. Mas Moedojo sedang
ke Purworejo malakukan kordinasi dengan kepala markas TP di sana, mas
Pratik (Imam Pratignyo). Dari penjelasan mas Tjip, saya mendapatkan
informasi bahwa Markas Pusat Pelajar di Tugu Kulon tengah menyiapkan
sebagian besar anggota pasukan yang akan dikirim ke front Barat di
sepanjang garis demarkasi yang berbatasan dengan Kali Kemit. Ada yang
dikirim melalui markas Karanganyar sebagai pusat komando terdepan. Tapi
ada juga yang langsung menuju Puring dan Kuwarasan yang diperkirakan
akan menjadi ajang pertempuran besar antara pasukan Republik Indonesia
dan tentara pendudukan Belanda serta sekutunya. Markas darurat ini
berfungsi sebagai pusat kendali operasi langsung di bawah komando Markas
Pusat Pelajar. Karena itu disediakan asrama untuk menampung sementara
waktu pasukan yang akan diterjunkan ke titik-titik pertahanan pasukan
Republik Indonesia, Mungkin hanya untuk satu dua hari, tapi jumlah
mereka ratusan atau ribuan.
Penjelasan
singkat wakil kepala markas memberi gambaran yang cukup dalam
menyelenggarakan menu bagi para pelajar pejuang kemerdekaan ini. Baik
yang disajikan selama mereka menginap maupun sebagai bekal dalam bentuk
nasi bungkus (noek). Uang yang saya terima dari mas Tjip
diperkirakan tak cukup untuk membeli bahan-bahan makanan meski telah
ditambah dengan pemberian ayah. Sebagai penanggung-jawab, saya meminta
bantuan pak Pendeta Rekso agar menyiapkan penanak nasi dan pencari kayu
bakar. Beliau menunjuk mbak Fatonah yang tinggal di belakang gereja
sebagai penanak nasi. Sementara itu, nama si pencari kayu dan keperluan
dapur lain tak ingat lagi. Ia seorang lelaki asal Desa Legok di sebelah
Barat sungai Luk Ulo.
Di
antar teman-teman yang bertugas di asrama, mbak Umiyatun adalah yang
tertua. Dia adik kandung mas Martono, komandan Batalyon 300 dan wakil
kepala Markas Pusat. Selama bertugas sekitar tiga minggu, mbak Umiyatun
sempat dua kali pulang ke rumahnya di Desa Meles, Karanganyar. Dik Cini
yang sekampung, tak pernah menengok rumahnya yang ada di desa itu juga.
Kedua teman ini masih berkerabat cukup dekat. Saya, dik Wasil dan mbak
Hartati yang tinggal tak jauh dari asrama dan markas, sesekali menengok
rumah masing-masing. Bahkan, rumah mbak Hartati hanya berjarak kurang
dari seratus meter. Karena yang mendapat latihan dasar militer dan
kepalangmerahan hanya saya, ketrampilan yang saya peroleh kemudian saya
tularkan di sela-sela waktu istirahat. Saya tak pernah memakai atribut
lengan (ban) PMI. Yang selalu memakai yaitu Rasini, Umi Wasilah
dan Umiyatun. Ketiganya sering bercengkerama dengan anggota pasukan yang
memang usianya sebaya.
Saya
lebih suka membantu Yu Fathonah di dapur atau mencari bahan sayur dan
lauk untuk sediaan hari berikutnya. Pada saat menyiapkan masakan
(sayur) untuk makan malam, kami kehabisan kelapa. Saya minta anggota
pasukan yang tengah duduk di teras asrama untuk memetik dari pohon yang
ada di kebun belakang rumah kami di Pasarpari.
” Siapa yang bisa memetik kelapa, ikut saya !”, Atiatoen setengah berteriak.
Seorang
pemuda berperawakan tinggi mendekat dan menyatakan kesediaannya.
Ternyata dia adalah Linus Djentamat dari Kalimantan. Sepanjang jalan,
saya dan Hartati tak banyak bicara. Begitu juga dengan Linus. Sesampai
di kebun belakang rumah, Linus langsung memanjat pohon kelapa yang tidak
terlalu tinggi, sekitar 6 atau 7 meter dengan cekatan.
” Berapa butir yang tua dan muda mbak?”, teriak Linus di atas.
” Yang tua satu tandan… yang masih muda terserah …”, jawab Atiatoen lantang.
Setelah
semua kelapa dikumpulkan, beberapa anggota pasukan yang menyusul ikut
rombongan kami ada yang langsung menancapkan linggis dan mengupas kulit
kelapa dengan cekatan. Seorang lainnya memanjat pohon nangka yang juga
ada di kebun belakang rumah kami. Kelapa dan nangka dibawa dengan
pikulan dan kami bergegas kembali ke gereja (asrama). Tak pernah
menyangka, peristiwa ini adalah jumpa pertama dan terakhir dengan Linus
Djentamat yang pendiam.
Seperti
kebanyakan remaja menjelang usia dewasa, anggota pasukan Tentara
Pelajar yang dikirim ke Front Barat bersikap wajar. Sesekali
mengeluarkan ucapan kotor dan suka menggoda kami baik ketika di dalam,
apalagi di luar dapur. Di satu siang yang terik dan panas, seseorang
yang dipanggil dengan sebutan Lowo masuk ke dalam dapur dan membuat onar
dengan mengambil ubi rebus yang baru saja diturunkan dari tungku. Masih
sangat panas. Tanpa pamit dia mengambil beberapa dan menaruhnya di atas
daun pisang yang selalu kami siapkan untuk bungkus menu harian.Sambil
tertawa terbahak-bahak dia berkata:
”
Terima kasih buat singkong rebusnya ya…. Mbak !”, dia berlalu dan
menari kecil di depan teman-teman perempuan yang tengah menyobek
lembaran daun pisang untuk pembungkus nasi.
” Dasar kampret …tukang copet !”, Rasini menghardik Lowo dengan nada keras.
Bukan malu atau marah, Lowo justru bertambah keras tertawanya. Dan terus menggoda.
Minggu
terakhir Agustus 1947 semakin banyak anggota pasukan yang dikirim dari
Markas Pusat Yogyakarta maupun sejumlah daerah yang dikerahkan dari
markas Purworejo. Dari penuturan mas Tjiptardjo diperoleh kabar bahwa
pasukan terakhir akan diberangkatkan dari stasiun Tugu pada tanggal 29
Agustus. Mereka kebanyakan dari Perpis (Pelajar Sulawesi) dan Pelajar
Kalimantan. Sedangkan dari Purworejo akan datang pasukan SA/CSA dan TGP.
TRIP Jawa Timur dan TP Solo mengirim sejumlah kecil pasukannya. Boleh
disebut bahwa Front Barat adalah satu dari beberapa lokasi pengerahan
pasukan pelajar pejuang kemerdekaan ini terbesar di tahun 1947.
Kalau
tak salah ingat, malam 30 Agustus adalah malam terakhir asrama markas
darurat menjadi tempat menginap sementara pasukan Tentara Pelajar. Malam
yang cukup dingin untuk ukuran awal musim penghujan. Tidak seperti
biasanya, dapur umum menyediakan makan malam dan nasi 50 bungkus tapi
dengan porsi sama dengan hari-hari sebelumnya yang disiapkan 100 nasi
bungkus (noek). Rombongan terakhir adalah pasukan yang dikirim
Yogya dan Purworejo. Tingkah laku mereka seolah ingin melepas semua
”beban”. Ada yang berteriak seperti kesurupan dan beragam tingkah “aneh”
lainnya.
Kepada Umiyatun dan Rasini, Atiatoen sempat menyatakan gundahnya.
”Nganeh-anehi (sangat aneh) tingkah mereka ya mbak..?”, yang dijawab singkat oleh keduanya. ” He eh… ”.
” Jangan-jangan………… ini sebuah pertanda buruk.. ”, kata Atiatoen dengan nada lebih pelan.
” Itulah…dik Toen. Saya juga kuatir ..”, sela Umiyatun.
Entah
sebuah kebetulan atau keberuntungan, beberapa warga masyarakat yang
sudah tahu bahwa aula GKJ jadi asrama markas mas TP (sebutan mereka
kepada anggota pasukan pelajar pejuang kemerdekaan) mengirim dalam
jumlah banyak bahan makanan (singkong dan ketela pohon/ubi jalar),
pisang kapok dan raja uter yang enak disantap hangat dengan cara
dikukus. Peristiwa serupa berulang pada malam 31.
Selama
tiga hari (1 – 3 September 1947) markas dan asrama libur. Dari utusan
mas Dimjatie, saya mendapat kabar buruk. Firasat kami ternyata benar.
Banyak teman kami gugur di medan laga, Front Barat. Tepatnya di Desa
Sidobunder, Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen. Satu korban atas nama
Suryoharyono yang akrab dipanggil Hary di semayamkan di teras aula
asrama sebelum dibawa ke Yogya bersama jenasah lainnya. Bapak Pendeta
Reksodihardjo yang menyiapkan peti jenasahnya.
Sebagaimana
ditulis mas Djokowoerjo Sastradipradja yang ditugasi
menemukan(kembali), mendata dan membawa korban Palagan Sidobunder ke
markas Karanganyar, ada 24 anggota pasukan Tentara Pelajar yang gugur.
Hanya 20 orang yang diakui dan dicatat dalam buku sejarah terbitan Pusat
Sejarah dan Tradisi TNI yang berjudul “ Peran Tentara Pelajar dalam
Perang Kemerdekaan dan Pembangunan, tahun 1995. Sisanya yang 4 orang,
karena dianggap kurir atau alasan lain, tidak termasuk dalam daftar.
***
Semboyan :
1. ” Kesetiaan kami kepada bangsa dan Negara dari buaian sampai ke liang lahat”.
2. ”Kami tak akan kembali ke bangku sekolah sebelum penjajah enyah dari bumi pertiwi”.
Kata Mutiara :
1. Pelan tapi pasti. Bukan yang banyak itu baik, tapi yang baik pastilah yang banyak (alm. Ibu R.A. Oemijatie, Kepala SGP Yogyakarta dalam buku harian Atiatoen).
2. Memang baik jadi orang penting, tapi jauh lebih penting adalah menjadi orang baik (alm. Bang Imad, Dr. Imadudin – Dosen ITB)
Wednesday, 22 April 2015
Dari Sersan KNIL Menjadi Shodanco PETA
Pada suatu
hari seorang pengantar surat menyerahkan sepucuk surat resmi yang isinya
singkat sekali yaitu pemuda Soeharto harus segera melapor untuk Dinas Militer
dan pada tanggal 1 Juni 1940 pemuda Soeharto diterima masuk Sekolah Militer di
Gombong Jawa Tengah. Dorongan lain yang menggugah Soeharto masuk KNIL adalah
keinginan yang besar untuk menyaksikan bagian lain dari tanah airnya, seperti
pemuda-pemuda lain, dia senang mengembara dan mengharapkan dengan memasuki dinas
tentara akan dapat memberikan kepadanya kehidupan yang lebih baikbila
dibandingkan dengan kehidupannya yang penuh kekurangan dimasa kecilnya.
Selama enam
bulan dididik sebagai seorang calon prajurit KNIL mereka berlatih siang dan
malam, sangat berbeda dengan apa yang dialaminya sewaktu di sekolah, menjadi
pembantu kyai maupun saat menjadi pembantu klerk bank. Setelah menyelesaikan
pendidikan tersebut prajurit Soeharto ditempatkan di batalion XIII di Rampal
dekat malang,Jawa Timur dengan pangkat kopral. Selama berdinas pangkat teringgi
yang dia sandang di KNIL adalah sersan. Pada saat Jepang menyerang Indonesia dan
pemerintah hindia belanda menyerah pada tanggal 8 Maret 1942, sersan Soeharto
beserta teman-temannya dari KNIL dapat menyelamatkan diri saat jepang menyerang
daerahnya. Karena tidak sanggup mempertahankan diri dari serangan pasukan
jepang , dalam keadaan terpencar akhirnya Soeharto memutuskan untuk kembali ke
kampung halamannya dan tinggal selama beberapa bulan di rumah keluarga
Prawiroharjo yang merupakan ayah angkatnya di wonogiri, suatu daerah dekat
solo.
Pada tanggal 3
Oktober 1943 Jepang membentuk pasukan sukarela PETA oleh Letnan Jenderal
Kumakici Harada panglima tentara XVI Jepang di Indonesia. Pembentukan PETA ini
berdasarkan Osama Seirei ( pengumuman pemerintah militer Jepang ) No.44 dimana
organisasi semi militer ini dimaksudkan untuk mendidik para pemuda pribumi
dalam bidang kemiliteran untuk membantu Jepang untuk mempertahankan wilayah
Indonesia dari serangan sekutu. Berita ini tersebar sampai pelosok daerah. Soeharto
dengan beberapa temannya pada awalnya mendaftarkan diri sebagai sukarelawan pasukan
polisi Jepang , Keibuho. Dia dikirim ke Yogyakarta untuk dididik menjadi polisi
pembantu Jepang selama empat bulan. Saat menjadi pembantu Kepala Kepolisian di
daerah Yogyakarta atas nasehat dari atasannya Soeharto disarankan untuk pindah
ke PETA dan menjalani pendidikan di Sekolah Militer Jepang Jawa Bo-Ei Gyugun
Kanbu Rensitai tempat pendidikan para perwira PETA di Bogor. Setelah lulus dan
diangkat menjadi Shodanco ( komandan Peleton ) dikirim ke kompi PETA yang
berada di wates. Setelah sempat di tarik kembali ke Jakarta Soehato kembali di
tugaskan di wates dan ditempatkan di pos pertahanan di wilayah pantai glahgah
dan ditempat ini mereka di wajibkan membangun jinshi ( lubang-lubang pertahanan
). Tidak lama bertugas di glagah Soehato dipindah ke Solo. Karena kebutuhan
organisasi Soeharto kembali di pindahkan ke Madiun untuk menduduki jabatan
sebagai Perwira Staf di Markas PETA. Pada saat Jepang menyerah kepada sekutu
dan sesuai dengan perintah Markas Besar Bala Tentara Jepang yaitu perintah
untuk membubarkan semua organisasi bersenjata Indonesia, maka pekerjaan atau
jabatan Soeharto di PETA pun berakhir. Pada tanggal 22 Agustus 1945 pemerintah RI
membentuk BKR . Soeharto beserta rekan-rekan seperjuangannya di PETA
menggabungkan diri menjadi anggota BKR. Soeharto bersama teman-temannya
membentuk satu kesatuan BKR di daerah Sentul (sekarang jalan kusuma negara, yogyakarta ) dan terpilih menjadi wakil
komandan , sedangkan komandannya adalah Omar Slamet seniornya semasa di PETA. (
Sumber : Buku Soeharto , Jenderal Besar dari Kemusuk. Disjarahad, 2010. hal 35-59
).
Monday, 30 March 2015
Sejarah Pasukan Hantu Maut Indonesia Pada Agresi Militer di Yogyakarta
Pasukan Hantu Maut bukanlah
makhluk halus dari alam lain yang membuat bulu kuduk merinding. Pasukan
Hantu Maut adalah pasukan gerilyawan Republik Indonesia yang berasal
dari pemuda kampung Pujokusuman, Brontokusuman, Prawirotaman dan Karang
Kajen Yogyakarta. Pasukan ini ditugaskan untuk melawan pasukan NICA
Belanda di Yogyakarta pada waktu Clash II (Agresi Militer Belanda
kedua).
Mungkin tidak banyak orang tahu Ndalem Pujokusuman adalah bekas markas perang. Kebanyakan orang hanya tahu bahwa Ndalem Pujokusaman adalah tempat berlatih tari.
Berawal dari semangat juang 30 orang pemuda Pujokusuman yang bersepakat dan berikrar, jika sampai Belanda masuk dan menduduki kota Yogyakarta mereka bersama-sama akan keluar kampung Pujokusuman untuk membentuk pasukan guna melawan dan mangusir penjajah Belanda. GBPH Poedjokoesoemo yang merupakan putra Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, akhirnya membentuk Pasukan Hantu Maut.
Pasukan Hantu Maut ini dibentuk setelah Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengadakan serangan ke kota Yogyakarta yang kedua pada tanggal 9 Januari 1949. Hantu Maut sendiri berarti pasukan perlawanan sebagai hantu yang akan memberi dan menyebarkan maut bagi tentara pendudukan Belanda.
Pasukan Hantu Maut ini awalnya bernamakan pasukan gerilya Samber Gelap dengan modal tujuh pucuk senjata yang merupakan hasil rampasan ketika rakyat Yogyakarta melucuti senjata pasukan Jepang pada tanggal 7 Oktober 1948 di Kota Baru. Sebagian pemuda dari kampung Keparakan Lor dan Keparakan Kidul turut bergabung ke dalam pasukan Samber Gelap. Anggota pasukan Samber Gelap kemudian disebar masuk ke kota untuk mengambil dan mencari senjata-senjata yang masih tertinggal di kota dan berhasil mendapatkan 11 pucuk senjata.
Akhirnya pemuda-pemuda dari kampung Brontokusuman, Prawirotaman, dan Karang Kajen mulai menggabungkan diri pada pasukan Samber Gelap. Dengan bergabungnya pemuda-pemuda tersebut, maka dibuatlah kesepakatan untuk mengganti nama pasukan yang berseragam kaos oblong hijau dan celana putih itu menjadi Pasukan Hantu Maut.
Pada tanggal 29 Juni 1949, Pasukan Hantu Maut mendapat tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban di sebelah utara rel kereta api (stasiun Tugu) samapai batas kota sebelah utara. Setelah pemerintahan kembali pada pemerintahan sipil, maka pasukan Hantu Maut yang dulunya yang telah dimiliterisasi diberi kesempatan untuk kembali ke instansi, sekolah atau bagi yang meneruskan ke pendidikan militer dan sudah lulus tes maka akan ditempatkan di Batalion yang sudah ditentukan dan bagi yang tidak lolos tes akan dikembalikan kepada masyarakat dengan surat penghargaan.
Perang sudah berakhir. Indonesia sudah mulai membangun dirinya lagi. Kini, para mantan anggota pasukan Hantu Maut bersama pejuang-pejuang lainnya mendirikan organisasi dengan nama Kerukunan Keluarga Pejuang Eks SWK 101 WK III Yogyakarta. Organisasi ini bertujuan untuk mempererat persaudaraan dan kekeluargaan untuk gotong royong, memikirkan para anggotanya yang masih memerlukan bantuan.
Mungkin tidak banyak orang tahu Ndalem Pujokusuman adalah bekas markas perang. Kebanyakan orang hanya tahu bahwa Ndalem Pujokusaman adalah tempat berlatih tari.
Berawal dari semangat juang 30 orang pemuda Pujokusuman yang bersepakat dan berikrar, jika sampai Belanda masuk dan menduduki kota Yogyakarta mereka bersama-sama akan keluar kampung Pujokusuman untuk membentuk pasukan guna melawan dan mangusir penjajah Belanda. GBPH Poedjokoesoemo yang merupakan putra Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, akhirnya membentuk Pasukan Hantu Maut.
Pasukan Hantu Maut ini dibentuk setelah Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengadakan serangan ke kota Yogyakarta yang kedua pada tanggal 9 Januari 1949. Hantu Maut sendiri berarti pasukan perlawanan sebagai hantu yang akan memberi dan menyebarkan maut bagi tentara pendudukan Belanda.
Pasukan Hantu Maut ini awalnya bernamakan pasukan gerilya Samber Gelap dengan modal tujuh pucuk senjata yang merupakan hasil rampasan ketika rakyat Yogyakarta melucuti senjata pasukan Jepang pada tanggal 7 Oktober 1948 di Kota Baru. Sebagian pemuda dari kampung Keparakan Lor dan Keparakan Kidul turut bergabung ke dalam pasukan Samber Gelap. Anggota pasukan Samber Gelap kemudian disebar masuk ke kota untuk mengambil dan mencari senjata-senjata yang masih tertinggal di kota dan berhasil mendapatkan 11 pucuk senjata.
Akhirnya pemuda-pemuda dari kampung Brontokusuman, Prawirotaman, dan Karang Kajen mulai menggabungkan diri pada pasukan Samber Gelap. Dengan bergabungnya pemuda-pemuda tersebut, maka dibuatlah kesepakatan untuk mengganti nama pasukan yang berseragam kaos oblong hijau dan celana putih itu menjadi Pasukan Hantu Maut.
Pada tanggal 29 Juni 1949, Pasukan Hantu Maut mendapat tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban di sebelah utara rel kereta api (stasiun Tugu) samapai batas kota sebelah utara. Setelah pemerintahan kembali pada pemerintahan sipil, maka pasukan Hantu Maut yang dulunya yang telah dimiliterisasi diberi kesempatan untuk kembali ke instansi, sekolah atau bagi yang meneruskan ke pendidikan militer dan sudah lulus tes maka akan ditempatkan di Batalion yang sudah ditentukan dan bagi yang tidak lolos tes akan dikembalikan kepada masyarakat dengan surat penghargaan.
Perang sudah berakhir. Indonesia sudah mulai membangun dirinya lagi. Kini, para mantan anggota pasukan Hantu Maut bersama pejuang-pejuang lainnya mendirikan organisasi dengan nama Kerukunan Keluarga Pejuang Eks SWK 101 WK III Yogyakarta. Organisasi ini bertujuan untuk mempererat persaudaraan dan kekeluargaan untuk gotong royong, memikirkan para anggotanya yang masih memerlukan bantuan.
Sumber:http://www.kaskus.co.id/thread/51a5fc5c1bcb17a970000007/sejarah-pasukan-hantu-maut-indonesia-pada-agresi-militer-di-yogyakarta/
Labels:
Djokjakarta 1945,
Indonesia,
KL,
KNIL,
militer,
Militer Akademi,
Nederland Indie,
Reenactment History,
Reenactor Indonesia,
sejarah,
Serangan Umum 1 Maret,
Stoottroepen,
T-Brigade,
Yogyakarta
Sunday, 29 March 2015
Banjarasri Markas Republik
Pejuang
di Kulonprogo berusaha keras menghalangi masuknya tentara Belanda.
Jembatan jembatan banyak dijebol. Termasuk jembatan Kali Papah yang
berada di sekitar Kantor Pegadaian Sentolo yang menuju Kaliagung saat
ini. Pepohonan ditebang untuk diletakkan di tengah jalan. Setidaknya
tentara musuh akan sangat kesulitan melewati rintangan rintangan ini.
Memperlambat laju pergerakan mereka.
Sementara
itu pertempuran yang terus berlangsung menyebabkan semakin banyak
dibutuhkan peralatan perang. Di Banjarasri terdapat tempat pembuatan
peralatan perang TNI, seperti peluru, detonator, granat, pistol dan
senjata lainnya. Termasuk hasil rampasan dari tentara musuh.
Proses
perbaikan dan pembuatan senjata dilakukan di rumah rumah penduduk
secara terpencar, antara lain rumah milik Panjangrejo, Manguntukimin,
Secopawiro, Kromowijoyo, Kromoinangun, Joyopawiro dan Joyoukoro.
Strategisnya
letak desa Banjarasri memungkinkan para pejuang melakukan pertahanan,
mengatur strategi politik dan militer dengan cukup aman. Belanda
kesulitan menemukan lokasi ini mengingat kontur tanah yang menanjak dan
hutan Kalibawang dan Samigaluh saat itu masih sangat lebat.
Posisi
Banjarasri yang strategis secara geografis juga ditunjang keadaan desa
yang tertata rapi stuktur administratifnya. Adanya Missionaris Katolik
yang datang ke wilayah Kalibawang sejak awal abad ke – 20 menjadi salah
satu faktor Banjarasri menjadi markas yang ideal. Tidak heran apabila
wilayah ini menjadi pusat konsentrasi pengungsi dari kota.
Struktur
pejabat desa yang tersusun rapi memungkinkan mereka mengurusi
pengungsi, pertahanan sipil, perbekalan dan penerangan dengan baik.
Apalagi ditambah keberadaan Rumah Sakit Santo Yusuf. Adanya rumah sakit
sangat membantu pejuang dan warga yang saat itu didera sakit penyakit
dan luka akibat peperangan.
Hal
ini tentu menjadi modal penting bagi Desa Banjarasri untuk mendukung
pergerakan mempertahankan kemerdekaan. Sejarah mencatat bahwa Kepolisian
Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia berhutang
budi pada desa kecil di utara Kulonprogo ini. Saat Agresi Militer
Belanda II pecah, Jaksa Agung Tirtowinoto dan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia Komisaris Besar Polisi Sosrodanukusumo mengungsi bersama
rakyat ke desa Banjarasri.
Di
Banjarasri mereka mendirikan Pos Kejaksaan Agung dan Pos Kepolisian
guna melanjutkan mekanisme pemerintahan negara meskipun dalam
pengungsian. Adapun rumah yang digunakan adalah rumah milik
Pawirosuwarno. Kedua pejabat ini bersikap layaknya rakyat biasa. Tidak
ada yang berbeda antara mereka dengan rakyat sekitar. Hanya saja militer
benar benar memastikan keamanan keduanya.
Siapa
tidak kenal Nama besar Abdul Haris Nasution atau lebih familiar dengan
nama Jenderal Besar A. H. Nasution lalu Tahi Bonar Simatupang atau lebih
dikenal dengan nama Jenderal T. B. Simatupang dan Alex Evert Kawilarang
atau banyak dipanggil Kolonel A. E. Kawilarang yang kelak mendirikan
cikal bakal Koppasus? Mereka adalah sebagian petinggi TNI yang ternyata
pernah bermukim di Kalibawang dan Samigaluh untuk menyusun strategi
perang.
Pada
Februari 1948, A. H. Nasution menjadi Wakil Panglima Besar TNI atau
orang kedua setelah Jendral Soedirman. Sebulan kemudian jabatan Wakil
Panglima Besar dihapus dan ia ditunjuk menjadi Kepala Staf Operasi
Markas Besar Angkatan Perang RI. Pada tahun 1948 ini A. H. Nasution
mendirikan MBKD (Markas Besar Komando Jawa) di Perbukitan Borogunung,
masih di Desa Banjarasri, Kalibawang, menyusul dikuasainya Yogyakarta
oleh Belanda.
Pertimbangannya
adalah perbukitan Borogunung memudahkan tentara memantau pergerakan
musuh yang mungkin saja akan menyusup. Rumah seorang warga bernama
Nitirejo dipergunakan menjadi markas, sedangkan lokasi kesekretariatan
MBKD menumpang di rumah Suparja di dusun Padoan, Banjarharjo. Di
penghujung tahun 1949, A. H. Nasution diangkat menjadi Kepala Staf TNI
Angkatan Darat.
Sedikit
ke selatan Kalibawang, sekitar 20 Desember 1948 pagi hari T. B.
Simatupang mengungsi ke arah Kulonprogo menggunakan rakit menyeberangi
Sungai Progo. Setelah itu tibalah ia di Dekso sebelum akhirnya menuju
Desa Banaran, Banjarsari, Samigaluh.
Saat
itu T. B. Simatupang menjabat wakil II Kepala Staff Angkatan Perang.
Kepala Angkatan Perang kala itu dijabat Jenderal Soedirman, ia merangkap
menjadi Panglima Besar Angkatan Perang. Sementara itu, perlu dicatat
bahwa sebelum menuju Banjarasri, Kalibawang, A. H. Nasution juga singgah
di Dekso setelah perjalanan dari Jawa Timur menggunakan kereta api dan
turun sebelum kereta memasuki Kota Yogyakarta.
Di
Banjarasri, A. H. Nasution yang dikenal sebagai ahli perang gerilya,
meneruskan kegiatan Pos MBKD, dikenal dengan nama Pos X-2. Dari sini A.
H. Nasution mengirimkan informasi dan perintah kepada Pos MBKD dan
pejuang di tempat lain. Berita tersebut dikirim menggunakan radiogram
yang dioperasikan menggunakan tenaga baterai yang dibuat sendiri. Untuk
keperluan ini setiap pukul 15.00 sampai 17.00 bergantian dua orang
penduduk Borogunung memutar pedal baterai untuk menyalakan pesawat
radio. Pengiriman berita kepada Pos MBKD di tempat lain menjadikan
Presiden Soekarno dan Moh. Hatta yang diasingkan ke Bangka dapat
mendengar update terkini mengenai keadaan negara.
Mengingat
keberadaan A. H. Nasution dan Pos MBKD sangat dirahasiakan, hubungan
beliau dengan rakyat menjadi sangat terbatas. Orang orang yang hendak
menemui beliau harus melalui seleksi ketat dan berbelit, bahkan berita
yang akan masuk ke markas disampaikan dengan cara beranting dari bawah
menuju ke atas. Surat surat penting dari MBKD Borogunung disampaikan
kepada kurir untuk dibawa ke alamat tujuan dengan pengawalan seorang
tentara. Cerita unik dari perjalanan A. H. Nasution ketika memasuki
Banjarasri adalah pengakuannya kepada warga bahwa ia hanya seorang guru
dari Sumatra bernama Abdul Haris yang tidak bisa pulang karena tersesat.
Setelah
3,5 bulan berlalu akhirnya A. H. Nasution bersama para staffnya
meninggalkan Dusun Borogunung, Desa Banjarasri. Tepat 7 Juli 1949 ia
melanjutkan perjalanan perjuangannya melawan Belanda dengan tantangan
yang mungkin lebih berat.
Bangsa
Indonesia akhirnya menikmati kemerdakaan. Tahun ini, Agustus 2014
merupakan peringatan 69 tahun bangsa Indonesia di alam kemerdekaan. Jauh
sebelum itu, pejuang kemerdekaan mengorbankan segala kepentingan untuk
bangsa dan negara. Jauh di pelosok pelosok negeri, termasuk di Desa
Banjarasri, perjuangan gigih dilakukan.
Kini
di desa Banjarasri tepat berdiri sebuah monumen. Di depan sebuah rumah
milik warga. Monumen MBKD Pos X-2 1948-1949 terpancang dengan gagah.
Diresmikan 29 Juni 1982 atas prakarsa mantan Presiden Soeharto. Sri
Sultan Hamengkubuwono IX mendapat kehormatan untuk meresmikan monumen
penuh kenangan. Monumen berbentuk tugu batu yang didirikan untuk
mengenang jerih payah warga dan pejuang kemerdekaan dalam memperjuangkan
hak bangsa ini, hak untuk merdeka dan menentukan nasibnya sendiri.
Akhirnya
disadari bahwa peran rakyat sangat penting. Mulai dari menjaga keamanan
dan kerahasiaan, menyediakan tempat tinggal dan logistik. Bukti bahwa
bersatunya rakyat dan tentara dipadu dengan semangat juang tinggi pasti
memunculkan kekuatan yang luar biasa.
Dari
sebuah desa kecil yang kini hidup tenang, damai dan bersahaja. Desa
yang menjadi saksi sejarah pergolakan militer dan politik demi tegaknya
ibu pertiwi. Desa yang menjaga kestabilan negara ketika republik baru
saja diproklamirkan. Desa Banjarasri masih sangat asri, seperti tidak
pernah terjadi apa apa di masa lalu.
Sumber : http://watespahpoh.net/2014/banjarasri-markas-republik.html
Subscribe to:
Posts (Atom)