Djokjakarta

Thursday, 26 February 2015

Kronologi Serangan Umum 1 Maret 1949

Berhasilnya tentara Belanda menduduki tempat-tempat penting di kota Yogyakarta dalam waktu relatif singkat, menimbulkan kesan yang dalam pada masyarakat dan dunia interanasional seakan pemerintahan RI bukanlah pemerintah layaknya, dan TNI itu tidak kuat. Para pemimpin kita pada waktu itu khwatir hal ini bisa menjadi alasan de facto pemerintahan RI itu tidak memiliki legitimasi yang kuat pada rakyat Indonesia.

Hal ini membuat Panglima Besar Jenderal Sudirman berpikir bagaimana caranya propaganda Belanda di dunia internasional dapat dipatahkan dan TNi dapat membuktikan masih eksis sebagai garda terdepan dalam menjaga tanah air tercinta ini.

Dari sini disusunlah berbagai rencana aksi Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara terkoordinasi yang direncanaan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III -dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat- berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI -berarti juga Republik Indonesia- masih ada dan cukup kuat. Rencana ini pun mendapat dukungan dari Sri Sultan Hamangkoeboeono.

Untuk membangun jaringan TNI maka di tugaskan Letkol. dr. Wiliater Hutagalung pada awal Februari 1948 yang kemudian sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III. Pada pertemuannya dengan Panglima Besar (Pangsar) Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna mengcounter propaganda Belanda.

Inti gagasannya yang dikemukakan sebagai grand design adalah:
1. Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I, II dan III,
2. Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,
3. Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
4. Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
5. Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari:

Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat. Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan. Dalam serangan ini siaran radio ini berhasil mengudarakan keberhasilan serangan 1 Maret 1949 ke Yogyakarta yang banyak diterima oleh pemirsa di luar negari, sehingga memberikan simpati para pejuangan TNI.
Tujuan utamanya adalah Bagaimana menunjukkan eksistensi TNI dan dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional. Untuk menunjukkan eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat perwira-perwira yang berseragam TNI.

Sebelum serangan 1 Maret yang sesungguhnya maka TNi yang tersebar dalam berbagai wilayah di Yogyarakat dan sekitarnya melakukan aksi yang bertujuan menjatuhkan moral musuh dan agar mereka tidak dapat istirahat dengan dengan. Sejak agresi militer Belanda II, tentara Belanda di tempatkan pada banyak pos-pos yang terpencar-pencar. Sabotase-sabotase TNI yang memutuskan saluran telepon, merusak jaringan rel kereta api yang sering digunakan untuk mengangkut perbekalan pasukan Belanda cukup efektif membuat banyak posisi-posisi mereka goyah. Kekuatan persenjataan yang canggih seakan tidak berarti manakala penyerangan TNI dan berbagai barisan rakyat dan lascar dilakukan secara mendadak di malam-malam hari. Setelah melakukan beberapa tembakan dengan presesi tinggi pada penjaga, sehingga menimbulkan korban dipihak Belanda, pasukan TNI cepat berbalik ke hutan-hutan dan kampong-kampung sekitar Yogyakarta.

Berbagai aksi dan sabotase pada fasilitas-fasilitas vital Belanda ini dilakukan sebagai awalan dan pemanasan bagi seluruh anggota TNI dan barisan rakyat Secara umum ini terus menerus dengan area yang menyebar sebagai awalan serangan sesungguhnya pada 1 maret 1949. Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki, tetapi usaha ini menjadi sia-sia manakala setelah perbakan instalasi komunikasi yang digunakan Belanda dengan mudah diputus lagi oleh para Pemuda baik TNI maupun masyarakat Yogyakarta yang mendukung perjuangan TNI.

Perang gerilya yang dilakukan SWK-SWK dari Wehrkreise III hamper tidak berhenti. Berbagai penghadangan dan sergapan terhadap pos maupun konvoi Belanda hamper tiap hari terjadi. Pada tanggal 21 Januari 1949, gerilya WK III dalampenghadangan patrol Belanda antara Yogyakarta – Bantul berhasil menghancurkan 2 truk Belanda, dan tanggal 10 Februari 1959 terjadi penghadangan yang serupa.

Selain itu satuan TNI juga melancarkan serangan atas kedudukan Belanda di bantul yang membawa korban cukup besar bagi Belanda; beberapa orang anggota tentara Belanda tewas. Kecuali oleh satuan TNI di daerah selatan SWK 102. Penghadangan dan serangan terhadap kedudukan Belanda juga dilakukan oleh anggota kepolisian khususnya dari satuan Brigade Mobil pimpinan IP II, J. Soeparno di daerah Bantul Timur. Gerakan dari satuan ini pun menimbulkan kerugian dan kesulitan bagi pihak Belanda.

Demikian juga dengan Taruna Militer Akademi (MA) Yogya di bawah Komanda Gubernur MA Sendiri, Kolonel Djatikoesumo yang memimpin 1 kompi minus, yang terdiri dari 3 pleton, satu pleton di antaranya merupakan pleton gabungan yang terdiri dari Taruna MA, Tentara Pelajar, dan Tentara Genie Pelajar. Kompi MA tergabung dalam SWK 104 di bawah pimpinan Mayor Kasno, yang juga instruktur MA.
Kegiatan yang dilakukan oleh Kompi MA selama perlawanan gerilya antara lain penghadangan terhadap Belanda, serta penyerangan terhadap pos Belanda sepanjang jalur jalan Yogya – Solo dan Yogya – Kaliurang. Selain itu, Kompi MA juga breperang dalam serangan umum keua tanggal 9 Januari 1949. Dalam serangan umum tersebut

Kegiatan yang dilakukan oleh KOmpi MA selama perlawanan gerilya, antara lain penghadangan terhadap Belanda dan penghadangan dan penyerangan di jalur jalan Yogyakarta – Solo, Yogyakarta – Kaliurang. Selain itu Kompi MA juga berperan dalam serangan umum kedua tanggal 9 Januari 1949. Dalam serangan umum tersebut seorang taruna yang berpangkat Vandrig Kadet Lily Rochly gugur sewaktu menyerang Markas Militer Belanda di Gondokusuman (Sekarang Musium TNI-AD).

Kegiatan para anggota gerilya SWK-SWK dari Wehrkreise III hamper tidak berhenti sebelum penyerangan umum 1 Maret 1549. Berbagai serangan di lancarkan di objek-objek vital dan pos-pos Belanda yang terutama sepanjang Yogya – Solo. Di daerah sekitar Kalasan Prambanan antara lain seranagn terhadap Bogem, Pasukan Taruna dibantu oleh Ki Raharjo dari SWK 105 dengan mengerahkan 2 seksi senapan mesin berat dan 1 seksi senapan. Serangan ini menyebabkan tentara Belanda melancarkan pembalasan terhadap satuan MA.

Serangan tentara Belanda terhadap satuan MA, dilancarkan di sekitar daerah Kringinan – Plataran, wilayah Cangkringan – Kalasan. Pada kegiatan pembersihan yang dilakukan oleh Satuan Pelopor (Baret Hijau/Merah) Belanda di darah yang dipergunakan sebagai basis gerilya MA, maka di desa Pelataran pada tanggal 14 Februari 1949, terjadi pertempuran yang sengit antara Belanda dengan para taruna yang sedang beristirahat, setelah selesai menyerang pos Belanda di Bogem.

Serangan yang dilakukan oleh satuan Belanda secara mendadak tersebut mendapat perlawanan yang gigih dari para kadet MA, sehingga mengakibatkan gugurnya 2 perwira remaja lulusan MA, 5 orang taruna, dan seorang anggota Tentara Pelajar serta 2 taruna luka-luka.

Serangan terhadap kedudukan tentara Belanda di darah Yogyakarta, selain direncanakan terlebih dahulu dan dilakukan secara mendadak, kadang-kadang pula dilakukan di luar perencanaan, atau secara tiba-tiba. Kegiatan serangan semacam ini banyak terjadi di dalam Kota Yogyakarta. Terutama yang dilakukan oleh anggota TP yang membuat kantong-kantong gerilya didalam kota.

Pada sekitar bulan Januari 1949 pasukan TP berhasil menculik Kapten Belanda di jalan Lempuyung, juga meledakkan tank Belanda di daerah Ngasem dan Mangkubumen. Selain itu aksi TP juga menyerang pos Belanda di desa Besi dan Kledokan sebelah selatan Pakem, serta serangan-serangan pendadakan lainya di dalam kota.

Bulan Januari 1949 Belanda telah melakukan serangan berulang-ulang ke Yogyakarta Barat, tetapi serangan Belanda ini tidak berarti dan tidak menimbulkan korban di pihak kita, tetapi sayangnya Belanda melakukan pembakaran perkampungan rakyat.

Pada Februari 1949 pasukan Belanda bertemu dengan pasukan Yon 151 Brigade 10 yang atas perintah Dan Wehrkreise III, mulai 1 Februari 1949 dipindahkan dari sector Yogya Utara ke Sektor Yogya Barat di Gedean yan glebih rawan serangan Belanda. Pertempuran ini mengakibatkan beberapa korban. Pada serangan Belanda di daerah SWK 103 A pada bulan Februari 1949 di desa Pare gugur inspektur Polisi Toet Harsono dan Lettu Bos Kandou, Staf Operasi dari SWK 103 A.

Pada tanggal 28 Februari terjadi insiden karena kesalahan tanggal oleh pleton Komaroedin bergerak ke utara, menyusup dan menyerbu pos pertahanan Belanda di sekitar Kantor Pos Besar di sebelah utara Alun-Alun Yogya, kemudian bertahan di sekolah Kaputran. Serangan pendadakan yang dilakukan Komaroudin sangat mengejutkan dan berhasil mendesak pasukan Belanda yang kemudian bertahan di pos sambil mengirim berita untuk meminta bantuan. Tidak lama kemudian dating satuan tank yang melakukan penembakan membabi buta. Tembakan salvo pasukan Komaroudin memaksa satuan Belanda mundur sejenak. Kemudian dating lagi satuan panser lain yang memperkuat barisan Belanda. Barisan kendaraan berlapis baja ini menembaki sekolah Kaputran, tempat gerilyawan melancarkan serangan.

Terpaksa pasukan Komaroudin menyebar , berlindung dan bertahan. Letnan Soegijono yang berkedudukan dekat dengan Letnan Komaroudin. Letnan Gedeon dan Sersan Soejoed berhasil menghubungi Letnan Komaroudin dan menjelaskan kesalahan tanggal penyerangan ini. Dijelaskan bawah hari ini baru tanggal 28 Februari 1949, sedangakn serangan umum akan dilakukan esok pada tanggal 1 Maret. Akhirnya Letnan Komaroudin langsung menarik pasukannya ke luar kota sebelum Belanda bertindak lebih jauh yang bisa mengacaukan rencana besar penyerangan 1 Maret 1949. Letnan Komaroudin kembali menempatkan pasukannya ke posisi awal .

Hari itu juga Belanda langsung menyisir daerah tempat berlarinya pasukan Letnan Koumaroudin di perkampungan sekitar Alun-Alun Selatan dan daerah Tamansari. Seorang gerilyawan berhasil menembakkan senjatanya di posisi terembunyi dan langsung menghajar dada perwira yang memimpin penyisiran tersebut. Akhirnya Belanda menghentikan penggeledahan rumah penduduk dan pasukannya mengurusi mayat perwira tersebut dan kembali ke markasnya.

Insiden dengan pasukan Komaroudin ini Belanda mengalami kerugian tewasnya seorang perwira dan hancurnya 3 buah kendaraan lapis baja dari salvo pasukan Komaroudin., sedangkan pasukan Komaroudin kehilangan Sersan Mayor Moehamad, Sersan Soebani dan Prajurit Moenit yang gugur saat berlindung di alun-alun utara karena tidak sempat mengundurkan diri.

Pada tanggal 28 Februari ini selain insiden Komaroudin terjadi juga insiden di Giwangan, yaitu saat sore jam 18.00 salah satu satuan yang bertugas di Giwangan melakukan sabotase yang seharusnya dilakukan pada jam 04.00 pagi tanggal 1 Maret. Satuan ini memutuskan jaringan telepon yang menghubungi Yogya dan Kotagede, tetapi sayangnya aksi mereka ini diketahui oleh Belanda yang langsung mengerahkan brencarier. Kontak senjata terjadi yang mengakibatkan satuan ini kacau balau. Tembakan gencar SMB 12,7 Belanda membuat pasukan ini terpaksa mundur. Dalam insiden ini seorang perwira Belanda mati, 2 orang TNI kita gugur yaitu Prajurit Soekro dan Soedarsono.

Pada tanggal 1 Maret 1949 pukul 06.00 bersamaan dengan bunyi sirene tanda jam malam berakhir, satuan gerilya serentak ke luar dari kedudukannya. Dengan tekad yang mantap dan semangat tinggi masing-masing satuan gerilya di bawah kendala komandanya, bergerak menyerbu sasaran yang telah ditetapkan.

Kota Yogyakarta pertama kalinya di serbu pasukan gerilyawan secara besar-besaran dan serentak pada banyak posisi yang terpencar. Secara umum terbagi 4 area serangan yaitu dari arah selatan oleh pasukan SWK 102 di pimpin oleh Mayor Sarjono, dari arah Barat oleh pasukan SWK 103 A di pimpin Mayor H.N. Soemoeal, dari arah utara pasukan SWK 104 di pimpin oleh Mayor Soekasno, dan dadri arah timur yang dilakukan oleh Pasukan SWK 105 yang dipimpin oleh Mayor Soedjono.

Singkat cerita (cerita serangan ini cukup panjang, mungkin akan dijelaskan dalam artikel sejarah secara tersendiri) serangan ini berhasil mengusir Belanda keluar dari Yogjakarta dan TNI sempat menguasai Yogyakarta selama lebih dari 6 jam, tetapi yang penting dari serangan ini masyarakat internasional tahu bahwa perjuangan TNI adalah perjuangan rakyat yang didukung penuh. Hal ini juga menunjukkan bahwa Pemerintah RI masih ada dan juga berdaulat. Secara diplomasi Indonesia banyak mengambil manfaat dari serangan 1 Maret 1949 ini.

Referensi : 1. Seskoad, Serangan Umum 1 Maret 1949 Latar belakang dan Pengaruhnya.

2. DR. A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Diplomasi atau Bertempur.

3. Sumber-sumber lainnya.

Sunday, 8 February 2015

DJATUHNJA LAPANGAN TERBANG MAGUWO

Tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda dengan mendadak menjerbu ibukota RI Jogjakarta. Delegasi Belanda telah meninggalkan tempat perundingan di Kaliurang jang dapat dikatakan belum selesai. Komisi Tiga Negara, begitupun delegasi Indonesia masih di Kaloiurang. Pemerintah RI hari 18 Desember 1948 masih menerima kabar, bahwa Konsul Djendral Inggris tgl 19 Desember pagi akan datang di Jogja untuk mentjari djalan keluar dan mengatasi ketegangan jang timbul dalam perundingan di Kaliurang waktu itu.
Beberapa hari sebelumnja ada diumumkan dengan resmi akan adanja latihan perang. Bahkan Presiden Sukarno menurut rentjana hari itu pula akan bertolak ke India.
Mengingat faktor2 ini, maka bukan tidak mustahil kalau banjak orang sekali2 tidak menduga2 akan adanja penjerbuan itu.
Apa jang terdjadi, banjak orang sudah mendjadi kenang-kenangan jang kabur, bagi orang-orang lain masih tertjatat dengan tadjam dalam ingatan. Banjak airmata dan darah mengalir, tapi sang tempo jang maha-murah telah berhasil melunakkan kepedihan2 dari masa jang silam ini.
Ada menarik djuga kenjataan bahwa tjatatan orang-orang jang berada dikota Jogja waktu itu, banjak jg sudah terlupa, sebaliknja sering hal2 jang ketjil diingatkannja. Djuga karena orang2 itu menjaksikannja dari tempat2 jang berlainan atau hanja karena mendengarnja dari berbagai2 fihak, maka sering tjerita2nja berlainan.
Tjatatan kisah2 ini adalah dokumen pribadi jang dihimpun pada tahun 1955, alias 7 tahun setelah peristiwa Jogja diserbu tentara Belanda pada tanggal 19 Desember 1948.
*
Pak Sastrosuwito, seorang kepala dukuh dalam desa Maguwohardjo, tidak djauh dari lapang terbang Maguwo menjaksikan dari dekat pagi2 serangan pesawat2 Belanda, jg bukan sadja ditujukan pada lapangterbang, djuga desa2 disekitarnja.
Ia menuturkan kesan2nja sbb:
“Kl. djam 5.30 kapal terbang tampak terbang berkeliling, semakin lama semakin lebar lingkarannja. Semua tidak saja duga sama sekali bahwa itu adalah pesawat2 terbang Belanda. Maklum masih agak remang2. Dan lagi pula, hari itu katanja akan ada latihan perang. Pula Bung Karno kabarnja akan berangkat ke India.
Pesawat2 terbang jang mula2 muntjul ialah pemburu2, tjotjor merah. Tidak antara lama berkeliling2 itu, sekonjong mereka menembak2, menghambur2-kan pelurunja. Seketika saja tahu, itu pesawat musuh. Pesawat terbang jang saja saksikan datangnja dalam 3 gelombang. Pertama2 pemburu, kemudian pembom, dan jang mendjatuhkan pajung2 udara.
Peluru dan bom djatuh dan meledak berserakan. Rakjat waktu itu sebagian ada jang segera masuk lobang perlindungan, jang memang telah lama tersedia. Djuga tidak sedikit jang segera mengungsi.
Saja tidak tahu lagi apa jang terdjadi sesudah djam 08.30. Karena pada waktu itu saja segera keluar desa menudju utara. Ini terdorong oleh gelagat2 jang tidak enak, terutama ketika saja melihat pesawat2 itu tidak hanja memuntahkan peluru, tapi djuga mendjatuhkan parasut2, jang ternjata bukan hanja membawa barang, tapi djuga pasukan2.
*
George Mc. Turnan Kahin dalam bukunja “Nationalism and Revolution ing Indonesia” (terbitan Cornell University Press) menulis:
“Kabar pertama tentang pelanggaran Persetudjuan Renville jang dilakukan oleh Belanda, diterima di Jogjakarta pada djam setengah enam pagi, dengan adanja penjerangan2 atas lapangan terbang Maguwo. Kapal2 terbang pembom Mitchell menghantjurkan seluruh pasukan jang sedang bertugas dilapangan terbang Maguwo, dalam satu djam. Kemudian k.l. 900 parasutyis Belanda turun kebawah dan menguasai lapangan terbang ini. Sesudah itu mengalirlah pasukan2 Belanda dengan perbekalannja, dari pangkalan udara Belanda dekat Semarang k.l. 80 mil dari Jogjakarta….”
*
Sugiono dalam buku “Kissah djatuhnja ibu kota Republik Indonesia: Jogjakarta” (penerbitan “Nusantara” Jogjakarta) menulis:
“Lapangan terbang Maguwo sedjak pagi itu telah dikepung oleh pembom2 Belanda jg kemudian menghantjurkan bangunan2 jang berada disekitar lapangan tersebut, antara lain gedung2 asrama keluarga anggota2 Angkatan Udara.
Banjak pula diantara mereka jang mendjadi korban keganasan pembom2 Belanda ini, baik jang mati maupun jang menderita luka2.
Seorang ibu terpaksa melahirkan anak ditengah2 djalan, meskipun belum waktunja lahir, disebabkan oleh karena terkedjut dan terpaksa harus lari dalam djarak djauh.
Banjak pula diantara pradjurit2 pengawal lapangan terbang tersebut gugur akibat serangan2 jang dahsjat dari pembom2 Belanda. Mereka mempertahankan Maguwo hingga peluru jang penghabisan dan achirnja hingga gugur sebagai pahlawan bangsa”.
*
“Buku peringtatan “Sewindu AURI” jang dikeluarkan oleh MB Auri dalam tahun 1954 menulis tentang peristiwa ini sbb:
“Dengan setjara mendadak pada tgl. 19 Desember dilakukan serangan udara terhadap lapangan terbang Maguwo dan kemudian menduduki ibu-kota Jogja.
Pangkalan Maguwo dipertahankan oleh Kadet Udara Kasmiran dengan djumlah anggauta jang lebih ketjil daripada musuh jang diturunkan dari udara, setelah mereka melakukan penembakan dan pemboman.
Namun meskipun begitu ia tetap bertahan dan gugur sebagai kusuma bangsa bersama dengan praktis semua anggauta2 bawahannja, baik militer maupun sipil.
Sebuah pesawat terbang lalu-lintas “De Havilland” 86 jang baru dibeli oleh Republik dan jang masih berada di Maguwo dibawa oleh Belanda ke Andir.
Selain dari itu pada tgl. 19 Desember djatuh djuga ketangan musuh sebuah Catalina kepunjaan James Felming dengan nomor pendaftaran Republik RI-006. Ia mendarat dengan tidak setahu tentang adanja peristiwa penjerangan dan pendudukan Maguwo oleh Belanda”.
*
PRESIDEN R.I. DITANGKAP
Bekas pelajan Istana:
Sdr2 Gendon, Giman dan Kabul adalah bekas pelajan Istana negara jang kini masih bekerdja di Gedung Negara, bekas istana tsb. Mereka termasuk diantara 5 orang pelajan jang ikut tertawan pada saat itu. Mereka menuturkan apa jang mereka saksikan pada saat2 genting itu sbb:
“Sekalipun kapal2 terbang Belanda meraung2 dan menjemburkan peluru mautnja, keadaan di Istana dapat dikatakan tenang. Tiap pelajan melakukan kewadjiban masing2 seperti hari2 biasa, dengan diselang-seling masuk lobang perlindungan. Banjak pembesar2 waktu itu berkumpul, bersidang diruang belakang.
Dari seluruh bangunan kompleks Istana hanja satu bagian sadja rusak genting2nja, karena kedjatuhan mortir. Untung tidak ada korban djatuh.
Tembak menembak seru siang hari terdjadi didepan Istana, sampai dikibarkan bendera putih tanda menjerah. Itu waktu kl. pukul 15.00. Tentara Belanda mulai memasuki Istana. Ada sementara pelajan jang dapat meloloskan diri.
Saja waktu itu sebetulnja sudah berhasil keluar Istana, demikian sdr. Giman. Tapi serenta mendengar perintah berkumpul bagi pasukan2 pengawal, saja ikut kembali masuk. Saja tidak tahu bahwa sudah menjerah, dan dengan begitu saja ikut tertawan, bersama dgn 4 orang pelajan lainnja, ialah Gendon, Kabul, Martosuhardjo dan Gondopawiro, jang tidak sempat lagi meloloskan diri.
Mereka menjaksikan pula Presiden dan Wakil Presiden diangkut dengan jeep oleh Belanda keluar dari Istana hari Senen paginja. Sementara itu mereka saksikan pula pembesar2 pemerintahan lainnja diangkut dan dikumpulkan mendjadi satu di Istana Negara sbg tawanan, dan setjara berangsur2 pula diangkut keluar Istana ketempat pembuangan.
Bekas Intendans Istana:
Pak Ngatidjo, seorang pegawai Sek. Musik di Jogja, djuga memiliki pengalaman2 pada saat penjerangan tentara Belanda itu. Waktu itu ia masih mendjabat anggota Staf Rumah Tangga Istana Negara, sebagai Intendans. Dituturkan pengalaman dan kesan2nja pada saat2 genting itu sbb:
“Presiden pada saat penjerangan itu pagi2 sudah bangun, tapi masih dalam pijama. Saja waktu itu sedang sibuk2nja mengurusi anak2 anggota CPM jang semalam2an baru sadja mengadakan razzia.
Kalau tidak salah, orang jang pertama2 datang di Istana ialah Komodor Surjadarma, kl. djam 06.30. Bung Sjahrir waktu itu menginap di Istana, belum lama datang dari Djakarta.
Antara lain jang dapat saja saksikan waktu itu ialah perundingan2 jang dilakukan diruang belakang. Tapi apa jang dirundingkan saja tidak tahu. Kesibukan2 memang tampak waktu itu. Tapi semuanja berdjalan dengan tenang.
Benteng Vredenburg dimuka Istana dibom. Bu Fatmawati dengan semua wanita dan anak2 dikumpulkan dalam sebuah kamar diruang paviljun disebelah utara.
Pendek kata sampai sekian lama dalam Istana semuanja tenang. Tapi ini berobah dengan segera ketika dikibarkan bendera putih. Waktu itu saja melihat gelagat2 jang tidak enak. Begitupun saja rasa anggota2 pengawal jang sampai waktu itu tetap mengadakan perlawanan seru.
*
Suasana panik…..
Suasana panik timbul. Apa jg terdjadi kemudian saja tidak tahu. Melihat gelagat jg tidak enak itu, saja segera melontjat melalui tembok belakang, keluar — dan dgn setjara kebetulan bertemu dengan Letkol Latief, jang segera mengadjak saja keluar kota, Bantul, untuk membikin verslag tentang apa jang saja ketahui tentang keadaan Istana waktu itu”.
Demikian Pak Ngatidjo, jang pernah mendjabat Intendans Istana Negara di Jogja.
*
George MC.Turnan Kahin menulis:
“Kira2 tengah hari, setelah kota Jogja dikepung, Brigade Marine Belanda, ditambah dengan pasukan2 Ambon dari KNIL telah berhasil menjusup kedalam pusat kota, ketempat Istana Presiden.
Para pengawal Istana mempertahankan diri, tetapi kemudian diperintahkan oleh Sukarno untuk menjerah, karena penjerang2 terlalu banjak…..”
*
Dan beginilah tjeriteranja wartawan Antara Sugiono dalam bukunja:
“Kira2 pada djam 16.00 pasukan pelopor Belanda telah mengepung Istana Presiden. Perlawanan dari pasukan pengawal Istana berdjalan dengan seru, sehingga menjebabkan banjak korban dari pihak Belanda. Pasukan pengawal Istana itu walaupun telah diperintahkan oleh pihak atasan untuk tidak mengadakan perlawanan, namun sekali itu mereka “tidak mau taat” kepada perintah tersebut. Mereka tidak ingin Istana dan Presidennja dihina oleh orang lain.
Pasukan2 pelopor Belanda membalas perlawanan pengawal2 Istana itu dengan tembakan sendjata berat. Ketika mengetahui bahwa pengawal tidak mau menjerah begitu sadja, maka pihak tentara Belanda mengantjam hendak menghantjur-leburkan Istana serta seisinja apabila pihak Istana tidak menghentikan perlawanannja.
Dengan pertimbangn2 jang mungkin memakai perasaan seisi Istana dan pengawal2 maka terpaksalah perlawanan dihentikan, meskipun dengan hati parah.
Kemudian kain putih dikembangkan orang didepan Istana tanda tiada perlawanan lagi. Dengan dilambai2kannja kain putih oleh seorang pegawai Istana tersebut, mengertilah Belanda bahwa seisi Istana telah menghentikan perlawanannja. Antjaman2 jang berupa tembakan granat dan tembakan2 lainnja oleh Belanda segera dihentikan”.
*
Nasibnja 3 maklumat pemerintah jg terachir
Sebelum Belanda berhasil menduduki seluruh kota Jogjakarta, dan menangkap presiden Sukarno beserta lainnja, pemerintah R.I. dalam sebuah sidang kabinet jang kilat telah membikin 3 maklumat Pengumuman pemerintah RI, amanat pres. dan wk.pres. jg a.l. mengandjurkan kepada rakjat untuk meneruskan perdjuangan melawan Belanda, dan bahwa Pemerintah tetap melakukan kewadjibannja apapun.
Maklumat wk. Presidenlah, jang djuga merangkap menteri Pertahanan a.l. telah merupakan suatu order Harian, dan memberi kuasa kepada Angkatan Perang dan semua instansi Negara untuk berdjuang terus.
Soalnja sekarang ialah apakah ke-3 maklumat ini dapat tertangkap oleh orang banjak atau tidak, dan apa sebab2nja.
Menarik djuga laporan masing2 orang mengenai hal ini:
Sugiono menulis dalam bukunja:
“Kantor berita “Antara” jang sedjak pagi itu telah siap dengan pemantjarnja, segera dapat menjiarkan berita2 keseluruh dunia. Djuga amanat Presiden dan wkl presiden jg ditudjukan kepada seluruh rakjat Indonesia sebagian besar masih dapat disiarkan oleh KB tersebut sampai pada saat2 keadaan tidak memungkinkan lagi bagi marconist untuk mendjalankan kewadjibannja.
Djuga RRI masih sempat pula menjiarkan pengumuman pemerintah dan amanat Presiden dan Wk. presiden. Radio2 umum dan radio2 jang ada didalam rumah, segera dikerumuni oleh orang guna mendengarkan siaran2 jang sangat penting itu, jang diachiri dengan amanat Presiden dan Wk.Presiden jang sangat mengharukan bagi seluruh rakjat jang mendengarnja”.
*
Sebaliknja George Kahin menulis:
“Jang sangat penting buat orang2 Belanda ialah kenjataan bahwa mereka berhasil membungkemkan stasion RRI Jogja, sebelum Sukarno, Hatta dan Natsir berhasil mengutjapkan pidato2nja berisi andjuran2 dan petundjuk2 kepada rakjat. Pidato2 ini disiapkan tidak lama setelah sidang kabinet di Istana Presiden djam 10 pagi.
Isi daripada pidato ini tidak diketahui oleh orang2 Indonesia diluar Jogjakarta, dan djuga tidak diketahui oleh Komisi Djasa2 Baik dari PBB. Mereka baru memperolehnja pada pertengahan bulan Djanuari 1949, setelah seorang Amerika memperolehnja dari Gerakan Bawah Tanah di Jogja, dengan bantuan dua wanita Indonesia jang berani, nona2 Jo Abdurachman dan Jo Kurianingrat”.
*
Dan menurut buku “Sedjarah Radio di Indonesia” (terbitan RRI 1953), duduk perkaranja adalah sebagai berikut:
“Siaran2 berdjalan terus. Sebab pemantjar2 masih diudara. Tidak lama kemudian ada bunji tilpon mendering dari Kaliurang, mendering terus, segera diterima. Kawan2 Seksi Dalam Negeri, maupun Luar Negeri berkumpul mendengarkan pengumuman Pemerintah jang didiktekan dari Kaliurang. Ini segera disiarkan, disiarkan dengan segenap pemantjar.
Dalam pada itu pengeboman dengan bomber penjelundup berdjalan terus. Sasarannja benteng, jang terletak didepan studio RRI. Sekali bom djatuh. Kawan2 masih bertahan, sambil menjiapkan apa2 jang perlu.
Bom kedua didekat benteng. Pegawai2 Radio melontjat dari tembok belakang, lewat alun2 mentjari tempat. Tidak antara lama djuga pemantjar2 lenjap dari udara…..”
*
Duduk perkara jang sebenarnja menurut laporan Sumarmadi, tadinja kepala studio Jogja, jang sekarang bekerdja sebagai kepala bagian siaran di Djakarta ialah sbb: “Selagi orang2 distudio menjiarkan maklumat2 tadi, sebetulnja pemantjar2 jang letaknja lebih dekat Maguwo sudah diduduki Belanda terlebih dahulu dan dibungkemkan sehingga apa jang diutjapkan didalam studio, toh tidak terdengar orang”.
Dan maklumat2 perintah ini kemudian disebar2kan didalam kota setjara “dibawah tanah”, hal mana djuga ditulis oleh George Kahin, dan oleh pelapor kita jang lain Pak Besut sbb:
“Selama 1 bulan saja “bergerilja” dalam kota dengan menjebarkan surat2 selebaran amanat Bung Hatta sebelum ditangkap, dll, disamping mentjari penghidupan dengan sdr2 Harjoto, Suirjodipuro dari RRI siaran luar negeri, dll. Pada tg. 15 Djanuari 1949 ketika sedang berunding dengan kawan2 redaksi “Nasional” di Bedji, maka datang Letnan Bakker dari IVG atas petundjuk seorang mata2 bangsa Indonesia mentjari seorang jg bernama “Pisut”.
Dari petundjuk mata2 jang berada didjalan raja, maka diketahui saja adalah Pak Besut dan dengan antjaman stengun harus berdiri didekat tembok muka kantor. Bersama2 dengan sdr Mashud Hardjokusumo dan sdr. S.Bromartojo (sekarang anggota konsulat RI di Bangkok) saja dibawa kekantor IVG.
Dengan surat Mgr.Sugijopranoto S,J., Apostolis Vicaris di Semarang jang waktu itu berada di Jogja, maka isteri saja berhasil menemukan saja di IVG setelah berdebat dengan komandan IVG Major Vosveld. Mungkin oleh karena itu, maka selama di IVG saja terhindar dari pukulan2 dan penganiajaan lain2, lebih2 hilang tak tertentu kuburnja seperti kepala PTT Suharto jang ditangkap oleh Belanda sore hari sesudah penangkapan saja.
Beberapa djam sebelum ditangkap, saja masih bertemu dengan sdr.Suharto didjembatan Kewek, tempat ditembaknja sdr.Ruslan Abdulgani sebulan jl. Dan dalam pertemuan itu sdr.Suharto mengutjapkan “andum slamet” kepada saja, ternjata utjapan itu sebagai kata terachir.
Dari dokumen pribadi/SIASAT 1955.

Sumber : Supartobrata

Kronologi Persiapan Serangan Umum 1 Maret ( latar belakang dan Pengaruhnya )


Mengapa Yogyakarta begitu mudah direbut Belanda ?

Agresi militer II Belanda tanggal 19 Desember 1948 merebut Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia kala itu. Kurang dari 12 jam, pasukan Belanda berhasil menguasai Kota Yogya, menangkap Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan pejabat lain. Komandan Brigade X Wehrkreise III Overste Soeharto gagal mempertahankan Yogyakarta.

Overste Soeharto gagal pertahankan Yogya dari Belanda
Kegagalan ini diakui Soeharto sendiri. Saat itu memang banyak tentara di Yogya, tetapi sesuai konsep perang gerilya, masing-masing satuan sudah memiliki tugas sendiri-sendiri. Pasukan dari Divisi Siliwangi misalnya, harus kembali ke Jawa Barat begitu Belanda melanggar perjanjian dan menyerang Yogya. Mereka harus kembali ke daerah asalnya untuk mengobarkan perang gerilya di sana.

Selain itu TNI telah menggeser pasukan untuk latihan perang di luar kota Yogyakarta. Ditambah lagi fokus TNI lebih menjaga sebagian garis demarkasi, daerah Republik Indonesia yang berbatasan dengan kekuasaan Belanda. Sesuai perjanjian Renville, kekuasaan Republik Indonesia hanya Yogyakarta, Jawa Tengah dan Sumatera.

Maka ketika Belanda menyerang lewat udara, dengan menerjunkan pasukan payung, TNI kaget. Mereka sama sekali tidak siap mengadakan perlawanan.

Dalam buku Doorstot Naar Djokja yang ditulis Julius Pour dan diterbitkan Kompas, Soeharto mengaku hanya mempunyai kekuatan 100 orang atau satu kompi untuk mempertahankan Yogya. Sisa pasukannya berada di Purworedjo dan Gombong.

Satu kompi pasukan TNI ( 100 personel ) ini tentu bukan tandingan 200 personel pasukan para komando baret merah Korps SpecialeTroepen (KST), ditambah 2.600 pasukan baret hijau Belanda serta pasukan pendukung lain yang dilengkapi dengan panser dan bantuan serangan udara.

Maka Overste Soeharto hanya berusaha menahan laju pasukan musuh agar pemerintah RI bisamembumi hanguskan Yogyakarta dan memusnahkan dokumen penting. Dia sadar satu kompi pasukan tak akan bisa lama menahan pasukan komando Belanda yang terlatih dan bersenjata lengkap.

"Pada saat saya melakukan penghambatan, hati saya sangat prihatin, karena seolah-olah Ibu Kota Perjuangan bisa direbut tentara Belanda begitu saja. Tetapi, apa boleh buat? Oleh karena saya tidak punya pasukan. Dengan demikian saya bisa ikut merasakan betapa kecewanya rakyat Djokjakarta waktu itu terhadap Brigade X, Brigade yang saya pimpin," aku Soeharto.

Sejarawan Petrik Matanasi juga mengaku heran mengapa Yogyakarta bisa dengan mudah direbut Belanda.Tapi memang saat itu kekuatan sangat tidak berimbang. Selain itu faktor serangan dadakan Operatie Kraai juga menjadi salah satu kunci sukses.

"Tapi jika disatukan pun seluruh kekuatan TNI yang ada tak akan mampu menghadapi gempuran dari tiga jurusan, utara, barat dan timur. Serangan ini tak diduga oleh Republik yang percaya dengan perjanjian Renville. Ini yang membuat republik seolah kurang waspada," kata Petrik.

Soedirman dalam keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden. Soedirman didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira TNI lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang diambil adalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. Menteri Laoh mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota.

Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.

Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.

Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan.
Pengasingan Pemimpin Republik Indonesia
Pada pukul 07.00 WIB tanggal 22 Desember 1948 Kolonel D.R.A. van Langen memerintahkan para pemimpin republik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogyakarta untuk diterbangkan tanpa tujuan yang jelas. Selama di perjalanan dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda, tidak satupun yang tahu arah tujuan pesawat, pilot mengetahui arah setelah membuka surat perintah di dalam pesawat, akan tetapi tidak disampaikan kepada para pemimpin republik. Setelah mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkalpinang (sekarang Bandara Depati Amir) para pemimpin republik baru mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau Bangka, akan tetapi rombongan Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan lagi menuju Medan, Sumatera Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi dan Parapat, sementara Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua KNIP) dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal truk bermuatan tentara Belanda dan berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.

Setelah itu Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak jarang Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.

Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.

Salah satu pasukan yang harus melakukan wingate adalah pasukan Siliwangi. Pada tanggal 19 Desember 1948 bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong yang telah ditetapkan di Jawa Barat. Perjalanan ini dikenal dengan nama Long March Siliwangi. Perjalanan yang jauh, menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa lapar dan letih dibayangi bahaya serangan musuh. Sesampainya di Jawa Barat mereka bergabung dengan DI/TII karena NII telah memproklamirkan kemerdekaannya pada wilayah-wilayah yang diduduki Belanda saat itu, dan pada akhirnya sejarah mencatat dengan ketidakjelasan mengenai hal ini.
Perebutan Ibukota Negara Yogyakarta.
Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda yang dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase lainnya.

Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.

Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung - yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III - bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna meng-counter propaganda Belanda.

Hutagalung yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman, dan menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada kesempatan, ia juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yang saat itu menderita penyakit paru-paru. Setelah turun gunung, pada bulan September dan Oktober 1949, Hutagalung dan keluarga tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar Sudirman di (dahulu) Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta.

Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, ada pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia – PDRI), ada organisasi TNI dan ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis. Panglima Besar Sudirman menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II dan III.

Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar Sudirman, sebelum kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, dalam rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, dan Letkol Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking dan Bupati Sangidi.
Letkol Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh Panglima Besar Sudirman, dan kemudian dibahas bersama-sama yaitu:
  1. Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I, II dan III,
  2. Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,
  3. Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
  4. Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
  5. Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari:
  • Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat,
  • Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.
Tujuan utama dari ini rencana adalah bagaimana menunjukkan eksistensi TNI dan dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional. Untuk menunjukkan eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat perwira-perwira yang berseragam TNI.

Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, grand design yang diajukan oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta.

Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah:
  1. Yogyakarta adalah Ibukota RI, sehingga bila dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda.
  2. Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota delegasi UNCI (KTN) serta pengamat militer dari PBB.
  3. Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah operasi.
Selain itu sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah terlatih dalam menyerang pertahanan tentara Belanda.

Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan dalam rapat dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat.

Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk skenario seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, yang lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris.

Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik. Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. T.B. Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.

Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat seperti Magelang, Semarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya sekitar 3 - 4 jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7 jam. Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak dapat diperlambat.

Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer setempat.
 
Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total - sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1 - yang dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter dan rumah obat mesti menjadi perhatian.

Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.
Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah, perintah yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreise I di bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreise III/Brigade 10, Letkol. Suharto, untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan. Diputuskan untuk segera berangkat sore itu juga guna menyampaikan grand design kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang Sugeng), seorang mantri kesehatan, seorang sopir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung) dan beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal.

Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang kemudian menjadi ipar Simatupang.

Simatupang pada saat itu dimohonkan untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio AURI di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat.Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreise I Kolonel Bachrun, yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini.

Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui pegunungan Menoreh untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm. Bambang Sugeng, yang kini tinggal di Temanggung). Pertemuan dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.

Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00 pagi. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait. Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
 
Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibukota Republik, Yogyakarta, serta koar-besaran oleh pasukan Brigade X yang diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur [[Magelta-kota di sekitar Yogyakarta, terutama Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yang bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah kota Solo, guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.
 
Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan semula,seluruh pasukkan TNI mundur. Serangan terhadap kota Solo yang juga dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di Solo sehingga tidak dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yang sedang diserang secara besar-besaran – Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, dan sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11.00.
 
Dari pihak Belanda, tercatat 6 orang tewas, dan diantaranya adalah 3 orang anggota polisi; selain itu 14 orang mendapat luka-luka. Segera setelah pasukan Belanda melumpuhkan serangan terebut, keadaan di dalam kota menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas dan pasar kembali seperti biasa, malam harinya dan hari-hari berikutnya keadaan tetap tenteram.

Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal Meier (Komandan teritorial merangkap komandan pasukan di Jawa Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal Bestuurs-Adviseur), Kolonel van Langen (komandan pasukan di Yogya) dan Residen Stock (Bestuurs-Adviseur untuk Yogya) telah mengunjungi kraton guna membicarakan keadaan dengan Sri Sultan.

Dalam serangan terhadap Yogya, pihak Indonesia mencatat korban sebagai berikut: 300 prajurit tewas, 53 anggota polisi tewas, rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti. Menurut majalah Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di pihak Belanda selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.

Serangan Umum 1 Maret mampu menguatkan posisi tawar dari Republik Indonesia, mempermalukan Belanda yang telah mengklaim bahwa RI sudah lemah. Tak lama setelah Serangan Umum 1 Maret terjadi Serangan Umum Surakarta yang menjadi salah satu keberhasilan pejuang RI yang paling gemilang karena membuktikan kepada Belanda, bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan penyergapan atau sabotase, tetapi juga mampu melakukan serangan secara frontal ke tengah kota Solo yang dipertahankan dengan pasukan kavelerie, persenjataan berat - artileri, pasukan infantri dan komando yang tangguh. Serangan umum Solo inilah yang menyegel nasib Hindia Belanda untuk selamanya.


Sumber :
  1. http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_II, 16 November 2012 18.26 UTC.
  2. http://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_Umum_1_Maret_1949, 21 Oktober 2012 12.11 UTC.
  3. http://www.merdeka.com/peristiwa/overste-soeharto-gagal-pertahankan-yogya-dari-belanda.html, Ramadhian Fadillah, Rabu, 19 Desember 2012 07:40 WIB. (Up date 19 Desember 2012 23:15 WIB) 
  4. http://pustakadigitalindonesia.blogspot.com/2012/12/agresi-militer-belanda-ii-19-desember.html