Agresi militer II Belanda tanggal 19 Desember 1948 merebut Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia kala itu. Kurang dari 12 jam, pasukan Belanda berhasil menguasai Kota Yogya, menangkap Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan pejabat lain. Komandan Brigade X Wehrkreise III Overste Soeharto gagal mempertahankan Yogyakarta.
Selain itu TNI telah menggeser pasukan untuk latihan perang di luar kota Yogyakarta. Ditambah lagi fokus TNI lebih menjaga sebagian garis demarkasi, daerah Republik Indonesia yang berbatasan dengan kekuasaan Belanda. Sesuai perjanjian Renville, kekuasaan Republik Indonesia hanya Yogyakarta, Jawa Tengah dan Sumatera.
Maka ketika Belanda menyerang lewat udara, dengan menerjunkan pasukan payung, TNI kaget. Mereka sama sekali tidak siap mengadakan perlawanan.
Dalam buku Doorstot Naar Djokja yang ditulis Julius Pour dan diterbitkan Kompas, Soeharto mengaku hanya mempunyai kekuatan 100 orang atau satu kompi untuk mempertahankan Yogya. Sisa pasukannya berada di Purworedjo dan Gombong.
Satu kompi pasukan TNI ( 100 personel ) ini tentu bukan tandingan 200 personel pasukan para komando baret merah Korps SpecialeTroepen (KST), ditambah 2.600 pasukan baret hijau Belanda serta pasukan pendukung lain yang dilengkapi dengan panser dan bantuan serangan udara.
Maka Overste Soeharto hanya berusaha menahan laju pasukan musuh agar pemerintah RI bisamembumi hanguskan Yogyakarta dan memusnahkan dokumen penting. Dia sadar satu kompi pasukan tak akan bisa lama menahan pasukan komando Belanda yang terlatih dan bersenjata lengkap.
"Pada saat saya melakukan penghambatan, hati saya sangat prihatin, karena seolah-olah Ibu Kota Perjuangan bisa direbut tentara Belanda begitu saja. Tetapi, apa boleh buat? Oleh karena saya tidak punya pasukan. Dengan demikian saya bisa ikut merasakan betapa kecewanya rakyat Djokjakarta waktu itu terhadap Brigade X, Brigade yang saya pimpin," aku Soeharto.
Sejarawan Petrik Matanasi juga mengaku heran mengapa Yogyakarta bisa dengan mudah direbut Belanda.Tapi memang saat itu kekuatan sangat tidak berimbang. Selain itu faktor serangan dadakan Operatie Kraai juga menjadi salah satu kunci sukses.
"Tapi jika disatukan pun seluruh kekuatan TNI yang ada tak akan mampu menghadapi gempuran dari tiga jurusan, utara, barat dan timur. Serangan ini tak diduga oleh Republik yang percaya dengan perjanjian Renville. Ini yang membuat republik seolah kurang waspada," kata Petrik.
Soedirman dalam keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden. Soedirman
didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr.
Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai
siang hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Soedirman dan para
perwira TNI lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah
mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya
Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota.
Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang diambil adalam sidang
kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung Soedirman masih sakit,
Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman
menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden
ikut bergerilya. Menteri Laoh mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan
yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil Presiden terpaksa
tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai
wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir
mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota.
Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.
Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.
Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan.
Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.
Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.
Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan.
Pengasingan Pemimpin Republik Indonesia
Pada pukul 07.00 WIB tanggal 22 Desember 1948 Kolonel D.R.A. van Langen
memerintahkan para pemimpin republik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara
Yogyakarta untuk diterbangkan tanpa tujuan yang jelas. Selama di
perjalanan dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara
Belanda, tidak satupun yang tahu arah tujuan pesawat, pilot mengetahui
arah setelah membuka surat perintah di dalam pesawat, akan tetapi tidak
disampaikan kepada para pemimpin republik. Setelah mendarat di Pelabuhan
Udara Kampung Dul Pangkalpinang (sekarang Bandara Depati Amir) para
pemimpin republik baru mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau
Bangka, akan tetapi rombongan Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan
Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan lagi menuju
Medan, Sumatera Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi dan
Parapat, sementara Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma
(Kepala Staf Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua KNIP) dan MR. AG.
Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diturunkan di pelabuhan udara Kampung
Dul Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan
dikawal truk bermuatan tentara Belanda dan berada dalam pengawalan
pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.
Setelah itu Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya
dari luar kota. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan ditempuh
kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak jarang
Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras.
Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali
ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.
Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.
Salah satu pasukan yang harus melakukan wingate adalah pasukan Siliwangi. Pada tanggal 19 Desember 1948 bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong yang telah ditetapkan di Jawa Barat. Perjalanan ini dikenal dengan nama Long March Siliwangi. Perjalanan yang jauh, menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa lapar dan letih dibayangi bahaya serangan musuh. Sesampainya di Jawa Barat mereka bergabung dengan DI/TII karena NII telah memproklamirkan kemerdekaannya pada wilayah-wilayah yang diduduki Belanda saat itu, dan pada akhirnya sejarah mencatat dengan ketidakjelasan mengenai hal ini.
Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.
Salah satu pasukan yang harus melakukan wingate adalah pasukan Siliwangi. Pada tanggal 19 Desember 1948 bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong yang telah ditetapkan di Jawa Barat. Perjalanan ini dikenal dengan nama Long March Siliwangi. Perjalanan yang jauh, menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa lapar dan letih dibayangi bahaya serangan musuh. Sesampainya di Jawa Barat mereka bergabung dengan DI/TII karena NII telah memproklamirkan kemerdekaannya pada wilayah-wilayah yang diduduki Belanda saat itu, dan pada akhirnya sejarah mencatat dengan ketidakjelasan mengenai hal ini.
Perebutan Ibukota Negara Yogyakarta.
Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang
dilancarkan pada bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna
melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda yang dimulai dengan
memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda,
serta tindakan sabotase lainnya.
Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.
Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung - yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III - bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna meng-counter propaganda Belanda.
Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.
Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung - yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III - bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna meng-counter propaganda Belanda.
Hutagalung yang membentuk jaringan di
wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima
Besar Sudirman, dan menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman
dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi
III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru,
setiap ada kesempatan, ia juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yang
saat itu menderita penyakit paru-paru. Setelah turun gunung, pada bulan
September dan Oktober 1949, Hutagalung dan keluarga tinggal di Paviliun
rumah Panglima Besar Sudirman di (dahulu) Jl. Widoro No. 10,
Yogyakarta.
Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, ada pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia – PDRI), ada organisasi TNI dan ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis. Panglima Besar Sudirman menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II dan III.
Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar Sudirman, sebelum kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, dalam rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, dan Letkol Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking dan Bupati Sangidi.
Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk skenario seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, yang lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris.
Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik. Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. T.B. Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.
Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat seperti Magelang, Semarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya sekitar 3 - 4 jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7 jam. Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak dapat diperlambat.
Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer setempat.
Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, ada pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia – PDRI), ada organisasi TNI dan ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis. Panglima Besar Sudirman menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II dan III.
Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar Sudirman, sebelum kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, dalam rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, dan Letkol Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking dan Bupati Sangidi.
Letkol Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga sebagai penasihat
Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh
Panglima Besar Sudirman, dan kemudian dibahas bersama-sama yaitu:
- Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I, II dan III,
- Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,
- Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
- Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
- Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari:
- Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat,
- Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.
Tujuan utama dari ini rencana adalah bagaimana menunjukkan eksistensi
TNI dan dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia
kepada dunia internasional. Untuk menunjukkan eksistensi TNI, maka
anggota UNCI, wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus
melihat perwira-perwira yang berseragam TNI.
Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, grand design yang diajukan oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta.
Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah:
Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, grand design yang diajukan oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta.
Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah:
- Yogyakarta adalah Ibukota RI, sehingga bila dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda.
- Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota delegasi UNCI (KTN) serta pengamat militer dari PBB.
- Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah operasi.
Selain itu sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949
dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, untuk selalu mengadakan
serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa serangan
umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan
telah terlatih dalam menyerang pertahanan tentara Belanda.
Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil
dari mulai Gubernur Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati, selalu
diikutsertakan dalam rapat dan pengambilan keputusan yang penting dan
kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan
dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat.
Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk skenario seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, yang lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris.
Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik. Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. T.B. Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.
Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat seperti Magelang, Semarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya sekitar 3 - 4 jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7 jam. Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak dapat diperlambat.
Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer setempat.
Untuk pertolongan dan perawatan medis,
diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak
menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan
Rakyat Total - sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1 - yang
dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8
menyebutkan: Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan
P.M.I. karena itu evakuasi para dokter dan rumah obat mesti menjadi
perhatian.
Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.
Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00 pagi. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait. Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.
Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan
pemberian perintah, perintah yang sangat penting dan rahasia, harus
disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan pasukan yang
bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di
wilayah Wehrkreise I di bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan disampaikan
langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera
dikirim kepada Komandan Wehrkreise III/Brigade 10, Letkol. Suharto,
untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan
pertemuan. Diputuskan untuk segera berangkat sore itu juga guna
menyampaikan grand design kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam
rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain
juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik
Bambang Sugeng), seorang mantri kesehatan, seorang sopir dari dr. Kusen,
Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung) dan beberapa anggota
staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal.
Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang kemudian menjadi ipar Simatupang.
Simatupang pada saat itu dimohonkan untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio AURI di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat.Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreise I Kolonel Bachrun, yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini.
Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui pegunungan Menoreh untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm. Bambang Sugeng, yang kini tinggal di Temanggung). Pertemuan dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.
Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang kemudian menjadi ipar Simatupang.
Simatupang pada saat itu dimohonkan untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio AURI di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat.Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreise I Kolonel Bachrun, yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini.
Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui pegunungan Menoreh untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm. Bambang Sugeng, yang kini tinggal di Temanggung). Pertemuan dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.
Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00 pagi. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait. Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yang
serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan
fokus serangan adalah Ibukota Republik, Yogyakarta, serta koar-besaran
oleh pasukan Brigade X yang diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade
IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang dan
penghadangan di jalur [[Magelta-kota di sekitar Yogyakarta, terutama
Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi
III/GM III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol
Bahrun dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yang
bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan
fokus penyerangan adalah kota Solo, guna mengikat tentara Belanda dalam
pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.
Pos komando ditempatkan di desa Muto.
Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap
mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota.
Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera
dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol
Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas
Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur
dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk
sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki
sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam.
Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan
semula,seluruh pasukkan TNI mundur. Serangan terhadap kota Solo yang juga dilakukan secara besar-besaran,
dapat menahan Belanda di Solo sehingga tidak dapat mengirim bantuan dari
Solo ke Yogyakarta, yang sedang diserang secara besar-besaran –
Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat
gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara
Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, dan
sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11.00.
Dari pihak Belanda, tercatat 6 orang tewas, dan diantaranya adalah 3
orang anggota polisi; selain itu 14 orang mendapat luka-luka. Segera
setelah pasukan Belanda melumpuhkan serangan terebut, keadaan di dalam
kota menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas dan pasar kembali
seperti biasa, malam harinya dan hari-hari berikutnya keadaan tetap
tenteram.
Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal Meier (Komandan teritorial merangkap komandan pasukan di Jawa Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal Bestuurs-Adviseur), Kolonel van Langen (komandan pasukan di Yogya) dan Residen Stock (Bestuurs-Adviseur untuk Yogya) telah mengunjungi kraton guna membicarakan keadaan dengan Sri Sultan.
Dalam serangan terhadap Yogya, pihak Indonesia mencatat korban sebagai berikut: 300 prajurit tewas, 53 anggota polisi tewas, rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti. Menurut majalah Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di pihak Belanda selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.
Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal Meier (Komandan teritorial merangkap komandan pasukan di Jawa Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal Bestuurs-Adviseur), Kolonel van Langen (komandan pasukan di Yogya) dan Residen Stock (Bestuurs-Adviseur untuk Yogya) telah mengunjungi kraton guna membicarakan keadaan dengan Sri Sultan.
Dalam serangan terhadap Yogya, pihak Indonesia mencatat korban sebagai berikut: 300 prajurit tewas, 53 anggota polisi tewas, rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti. Menurut majalah Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di pihak Belanda selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.
Serangan Umum 1 Maret mampu menguatkan
posisi tawar dari Republik Indonesia, mempermalukan Belanda yang telah
mengklaim bahwa RI sudah lemah. Tak lama setelah Serangan Umum 1 Maret
terjadi Serangan Umum Surakarta yang menjadi salah satu keberhasilan
pejuang RI yang paling gemilang karena membuktikan kepada Belanda, bahwa
gerilya bukan saja mampu melakukan penyergapan atau sabotase, tetapi
juga mampu melakukan serangan secara frontal ke tengah kota Solo yang
dipertahankan dengan pasukan kavelerie, persenjataan berat - artileri,
pasukan infantri dan komando yang tangguh. Serangan umum Solo inilah
yang menyegel nasib Hindia Belanda untuk selamanya.
Sumber :
Sumber :
- http://id.wikipedia.org/wiki/Agresi_Militer_Belanda_II, 16 November 2012 18.26 UTC.
- http://id.wikipedia.org/wiki/Serangan_Umum_1_Maret_1949, 21 Oktober 2012 12.11 UTC.
- http://www.merdeka.com/peristiwa/overste-soeharto-gagal-pertahankan-yogya-dari-belanda.html, Ramadhian Fadillah, Rabu, 19 Desember 2012 07:40 WIB. (Up date 19 Desember 2012 23:15 WIB)
- http://pustakadigitalindonesia.blogspot.com/2012/12/agresi-militer-belanda-ii-19-desember.html
No comments:
Post a Comment