Berhasilnya tentara Belanda menduduki tempat-tempat penting di kota
Yogyakarta dalam waktu relatif singkat, menimbulkan kesan yang dalam
pada masyarakat dan dunia interanasional seakan pemerintahan RI bukanlah
pemerintah layaknya, dan TNI itu tidak kuat. Para pemimpin kita pada
waktu itu khwatir hal ini bisa menjadi alasan de facto pemerintahan RI
itu tidak memiliki legitimasi yang kuat pada rakyat Indonesia.
Hal
ini membuat Panglima Besar Jenderal Sudirman berpikir bagaimana caranya
propaganda Belanda di dunia internasional dapat dipatahkan dan TNi
dapat membuktikan masih eksis sebagai garda terdepan dalam menjaga tanah
air tercinta ini.
Dari sini disusunlah berbagai rencana aksi
Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara terkoordinasi
yang direncanaan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di
wilayah Divisi III/GM III -dengan mengikutsertakan beberapa pucuk
pimpinan pemerintah sipil setempat- berdasarkan instruksi dari Panglima
Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI
-berarti juga Republik Indonesia- masih ada dan cukup kuat. Rencana ini
pun mendapat dukungan dari Sri Sultan Hamangkoeboeono.
Untuk
membangun jaringan TNI maka di tugaskan Letkol. dr. Wiliater Hutagalung
pada awal Februari 1948 yang kemudian sejak September 1948 diangkat
menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan
pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III. Pada pertemuannya dengan
Panglima Besar (Pangsar) Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi
Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan
melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah
tidak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar juga telah
mendengar berita tersebut. Panglima Besar menginstruksikan untuk
memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna mengcounter
propaganda Belanda.
Inti gagasannya yang dikemukakan sebagai grand design adalah:
1. Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I, II dan III,
2. Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,
3. Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
4. Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
5. Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari:
Wakil
Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang
dimiliki oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat. Unit PEPOLIT
(Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan. Dalam serangan ini
siaran radio ini berhasil mengudarakan keberhasilan serangan 1 Maret
1949 ke Yogyakarta yang banyak diterima oleh pemirsa di luar negari,
sehingga memberikan simpati para pejuangan TNI.
Tujuan utamanya
adalah Bagaimana menunjukkan eksistensi TNI dan dengan demikian juga
menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional.
Untuk menunjukkan eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan
asing serta para pengamat militer harus melihat perwira-perwira yang
berseragam TNI.
Sebelum serangan 1 Maret yang sesungguhnya maka
TNi yang tersebar dalam berbagai wilayah di Yogyarakat dan sekitarnya
melakukan aksi yang bertujuan menjatuhkan moral musuh dan agar mereka
tidak dapat istirahat dengan dengan. Sejak agresi militer Belanda II,
tentara Belanda di tempatkan pada banyak pos-pos yang terpencar-pencar.
Sabotase-sabotase TNI yang memutuskan saluran telepon, merusak jaringan
rel kereta api yang sering digunakan untuk mengangkut perbekalan pasukan
Belanda cukup efektif membuat banyak posisi-posisi mereka goyah.
Kekuatan persenjataan yang canggih seakan tidak berarti manakala
penyerangan TNI dan berbagai barisan rakyat dan lascar dilakukan secara
mendadak di malam-malam hari. Setelah melakukan beberapa tembakan dengan
presesi tinggi pada penjaga, sehingga menimbulkan korban dipihak
Belanda, pasukan TNI cepat berbalik ke hutan-hutan dan kampong-kampung
sekitar Yogyakarta.
Berbagai aksi dan sabotase pada
fasilitas-fasilitas vital Belanda ini dilakukan sebagai awalan dan
pemanasan bagi seluruh anggota TNI dan barisan rakyat Secara umum ini
terus menerus dengan area yang menyebar sebagai awalan serangan
sesungguhnya pada 1 maret 1949. Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos
disepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah
diduduki, tetapi usaha ini menjadi sia-sia manakala setelah perbakan
instalasi komunikasi yang digunakan Belanda dengan mudah diputus lagi
oleh para Pemuda baik TNI maupun masyarakat Yogyakarta yang mendukung
perjuangan TNI.
Perang gerilya yang dilakukan SWK-SWK dari
Wehrkreise III hamper tidak berhenti. Berbagai penghadangan dan sergapan
terhadap pos maupun konvoi Belanda hamper tiap hari terjadi. Pada
tanggal 21 Januari 1949, gerilya WK III dalampenghadangan patrol Belanda
antara Yogyakarta – Bantul berhasil menghancurkan 2 truk Belanda, dan
tanggal 10 Februari 1959 terjadi penghadangan yang serupa.
Selain
itu satuan TNI juga melancarkan serangan atas kedudukan Belanda di
bantul yang membawa korban cukup besar bagi Belanda; beberapa orang
anggota tentara Belanda tewas. Kecuali oleh satuan TNI di daerah selatan
SWK 102. Penghadangan dan serangan terhadap kedudukan Belanda juga
dilakukan oleh anggota kepolisian khususnya dari satuan Brigade Mobil
pimpinan IP II, J. Soeparno di daerah Bantul Timur. Gerakan dari satuan
ini pun menimbulkan kerugian dan kesulitan bagi pihak Belanda.
Demikian
juga dengan Taruna Militer Akademi (MA) Yogya di bawah Komanda Gubernur
MA Sendiri, Kolonel Djatikoesumo yang memimpin 1 kompi minus, yang
terdiri dari 3 pleton, satu pleton di antaranya merupakan pleton
gabungan yang terdiri dari Taruna MA, Tentara Pelajar, dan Tentara Genie
Pelajar. Kompi MA tergabung dalam SWK 104 di bawah pimpinan Mayor
Kasno, yang juga instruktur MA.
Kegiatan yang dilakukan oleh Kompi MA
selama perlawanan gerilya antara lain penghadangan terhadap Belanda,
serta penyerangan terhadap pos Belanda sepanjang jalur jalan Yogya –
Solo dan Yogya – Kaliurang. Selain itu, Kompi MA juga breperang dalam
serangan umum keua tanggal 9 Januari 1949. Dalam serangan umum tersebut
Kegiatan
yang dilakukan oleh KOmpi MA selama perlawanan gerilya, antara lain
penghadangan terhadap Belanda dan penghadangan dan penyerangan di jalur
jalan Yogyakarta – Solo, Yogyakarta – Kaliurang. Selain itu Kompi MA
juga berperan dalam serangan umum kedua tanggal 9 Januari 1949. Dalam
serangan umum tersebut seorang taruna yang berpangkat Vandrig Kadet Lily
Rochly gugur sewaktu menyerang Markas Militer Belanda di Gondokusuman
(Sekarang Musium TNI-AD).
Kegiatan para anggota gerilya SWK-SWK
dari Wehrkreise III hamper tidak berhenti sebelum penyerangan umum 1
Maret 1549. Berbagai serangan di lancarkan di objek-objek vital dan
pos-pos Belanda yang terutama sepanjang Yogya – Solo. Di daerah sekitar
Kalasan Prambanan antara lain seranagn terhadap Bogem, Pasukan Taruna
dibantu oleh Ki Raharjo dari SWK 105 dengan mengerahkan 2 seksi senapan
mesin berat dan 1 seksi senapan. Serangan ini menyebabkan tentara
Belanda melancarkan pembalasan terhadap satuan MA.
Serangan
tentara Belanda terhadap satuan MA, dilancarkan di sekitar daerah
Kringinan – Plataran, wilayah Cangkringan – Kalasan. Pada kegiatan
pembersihan yang dilakukan oleh Satuan Pelopor (Baret Hijau/Merah)
Belanda di darah yang dipergunakan sebagai basis gerilya MA, maka di
desa Pelataran pada tanggal 14 Februari 1949, terjadi pertempuran yang
sengit antara Belanda dengan para taruna yang sedang beristirahat,
setelah selesai menyerang pos Belanda di Bogem.
Serangan yang
dilakukan oleh satuan Belanda secara mendadak tersebut mendapat
perlawanan yang gigih dari para kadet MA, sehingga mengakibatkan
gugurnya 2 perwira remaja lulusan MA, 5 orang taruna, dan seorang
anggota Tentara Pelajar serta 2 taruna luka-luka.
Serangan
terhadap kedudukan tentara Belanda di darah Yogyakarta, selain
direncanakan terlebih dahulu dan dilakukan secara mendadak,
kadang-kadang pula dilakukan di luar perencanaan, atau secara tiba-tiba.
Kegiatan serangan semacam ini banyak terjadi di dalam Kota Yogyakarta.
Terutama yang dilakukan oleh anggota TP yang membuat kantong-kantong
gerilya didalam kota.
Pada sekitar bulan Januari 1949 pasukan TP
berhasil menculik Kapten Belanda di jalan Lempuyung, juga meledakkan
tank Belanda di daerah Ngasem dan Mangkubumen. Selain itu aksi TP juga
menyerang pos Belanda di desa Besi dan Kledokan sebelah selatan Pakem,
serta serangan-serangan pendadakan lainya di dalam kota.
Bulan
Januari 1949 Belanda telah melakukan serangan berulang-ulang ke
Yogyakarta Barat, tetapi serangan Belanda ini tidak berarti dan tidak
menimbulkan korban di pihak kita, tetapi sayangnya Belanda melakukan
pembakaran perkampungan rakyat.
Pada Februari 1949 pasukan
Belanda bertemu dengan pasukan Yon 151 Brigade 10 yang atas perintah Dan
Wehrkreise III, mulai 1 Februari 1949 dipindahkan dari sector Yogya
Utara ke Sektor Yogya Barat di Gedean yan glebih rawan serangan Belanda.
Pertempuran ini mengakibatkan beberapa korban. Pada serangan Belanda di
daerah SWK 103 A pada bulan Februari 1949 di desa Pare gugur inspektur
Polisi Toet Harsono dan Lettu Bos Kandou, Staf Operasi dari SWK 103 A.
Pada
tanggal 28 Februari terjadi insiden karena kesalahan tanggal oleh
pleton Komaroedin bergerak ke utara, menyusup dan menyerbu pos
pertahanan Belanda di sekitar Kantor Pos Besar di sebelah utara
Alun-Alun Yogya, kemudian bertahan di sekolah Kaputran. Serangan
pendadakan yang dilakukan Komaroudin sangat mengejutkan dan berhasil
mendesak pasukan Belanda yang kemudian bertahan di pos sambil mengirim
berita untuk meminta bantuan. Tidak lama kemudian dating satuan tank
yang melakukan penembakan membabi buta. Tembakan salvo pasukan
Komaroudin memaksa satuan Belanda mundur sejenak. Kemudian dating lagi
satuan panser lain yang memperkuat barisan Belanda. Barisan kendaraan
berlapis baja ini menembaki sekolah Kaputran, tempat gerilyawan
melancarkan serangan.
Terpaksa pasukan Komaroudin menyebar ,
berlindung dan bertahan. Letnan Soegijono yang berkedudukan dekat dengan
Letnan Komaroudin. Letnan Gedeon dan Sersan Soejoed berhasil
menghubungi Letnan Komaroudin dan menjelaskan kesalahan tanggal
penyerangan ini. Dijelaskan bawah hari ini baru tanggal 28 Februari
1949, sedangakn serangan umum akan dilakukan esok pada tanggal 1 Maret.
Akhirnya Letnan Komaroudin langsung menarik pasukannya ke luar kota
sebelum Belanda bertindak lebih jauh yang bisa mengacaukan rencana besar
penyerangan 1 Maret 1949. Letnan Komaroudin kembali menempatkan
pasukannya ke posisi awal .
Hari itu juga Belanda langsung
menyisir daerah tempat berlarinya pasukan Letnan Koumaroudin di
perkampungan sekitar Alun-Alun Selatan dan daerah Tamansari. Seorang
gerilyawan berhasil menembakkan senjatanya di posisi terembunyi dan
langsung menghajar dada perwira yang memimpin penyisiran tersebut.
Akhirnya Belanda menghentikan penggeledahan rumah penduduk dan
pasukannya mengurusi mayat perwira tersebut dan kembali ke markasnya.
Insiden
dengan pasukan Komaroudin ini Belanda mengalami kerugian tewasnya
seorang perwira dan hancurnya 3 buah kendaraan lapis baja dari salvo
pasukan Komaroudin., sedangkan pasukan Komaroudin kehilangan Sersan
Mayor Moehamad, Sersan Soebani dan Prajurit Moenit yang gugur saat
berlindung di alun-alun utara karena tidak sempat mengundurkan diri.
Pada
tanggal 28 Februari ini selain insiden Komaroudin terjadi juga insiden
di Giwangan, yaitu saat sore jam 18.00 salah satu satuan yang bertugas
di Giwangan melakukan sabotase yang seharusnya dilakukan pada jam 04.00
pagi tanggal 1 Maret. Satuan ini memutuskan jaringan telepon yang
menghubungi Yogya dan Kotagede, tetapi sayangnya aksi mereka ini
diketahui oleh Belanda yang langsung mengerahkan brencarier. Kontak
senjata terjadi yang mengakibatkan satuan ini kacau balau. Tembakan
gencar SMB 12,7 Belanda membuat pasukan ini terpaksa mundur. Dalam
insiden ini seorang perwira Belanda mati, 2 orang TNI kita gugur yaitu
Prajurit Soekro dan Soedarsono.
Pada tanggal 1 Maret 1949 pukul
06.00 bersamaan dengan bunyi sirene tanda jam malam berakhir, satuan
gerilya serentak ke luar dari kedudukannya. Dengan tekad yang mantap dan
semangat tinggi masing-masing satuan gerilya di bawah kendala
komandanya, bergerak menyerbu sasaran yang telah ditetapkan.
Kota
Yogyakarta pertama kalinya di serbu pasukan gerilyawan secara
besar-besaran dan serentak pada banyak posisi yang terpencar. Secara
umum terbagi 4 area serangan yaitu dari arah selatan oleh pasukan SWK
102 di pimpin oleh Mayor Sarjono, dari arah Barat oleh pasukan SWK 103 A
di pimpin Mayor H.N. Soemoeal, dari arah utara pasukan SWK 104 di
pimpin oleh Mayor Soekasno, dan dadri arah timur yang dilakukan oleh
Pasukan SWK 105 yang dipimpin oleh Mayor Soedjono.
Singkat
cerita (cerita serangan ini cukup panjang, mungkin akan dijelaskan dalam
artikel sejarah secara tersendiri) serangan ini berhasil mengusir
Belanda keluar dari Yogjakarta dan TNI sempat menguasai Yogyakarta
selama lebih dari 6 jam, tetapi yang penting dari serangan ini
masyarakat internasional tahu bahwa perjuangan TNI adalah perjuangan
rakyat yang didukung penuh. Hal ini juga menunjukkan bahwa Pemerintah RI
masih ada dan juga berdaulat. Secara diplomasi Indonesia banyak
mengambil manfaat dari serangan 1 Maret 1949 ini.
Referensi : 1. Seskoad, Serangan Umum 1 Maret 1949 Latar belakang dan Pengaruhnya.
2. DR. A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Diplomasi atau Bertempur.
3. Sumber-sumber lainnya.
No comments:
Post a Comment