Djokjakarta

Wednesday, 19 March 2014

BATTLE OF DJOKJA ( HISTORYCAL REENACTMENT ,2014 ) VIDEO LIVE

Mas Soeharto




Mas Soeharto dilahirkan pada tanggal 2 Maret 1901 di Pacitan, Pendidikan HIS di Kintelen dan MULO Yogjakarta.Tahun 1919 mulai bekerja di Kantor Pos Semarang. Dalam karirnya Mas Soeharto mengikuti beberapa kursus seperti Kontrolir bersama Dijar R, Hernowo, Soedibyo dan Roelan. Agar supaya bisa menjadi Ajun Inspektur tahun 1930 memasuki “Hoogere Rancurcus” di Bandung, Beliau satu-satunya dari kalangan Bangsa Indonesia.Lulus ditempatkan di Kantor Pusat PTT bagian Pos dan Telegrap dan selanjutnya menjadi Kepala Kantor Pos & Telegrap di Tegal tahun 1937.
Tahun 1938 dipindahkan ke Kantor Pusat PTT, ketika Pemerintah Hindia Belanda menyerah kalah kepada Jepang. Mas Soeharto menjadi Kepala “Bureau Matereel Beheer en Magazijndienst” (Biro Pengurusan Material dan Dinas Pergudangan).
Menjelang tahun 1938 Mas Soeharto di lingkungan Kantor Pusat PTT Bandung sudah ada prakarsa, pemikiran dan kegiatan rahasia yang bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan Kantor Pusat PTT. Gerakan ini dipelopori oleh seorang siswa Kursus “Bedrjfsambtenaar” bernama Soetoko. Meskipun Mas Soeharto memiliki kesadaran Nasional yang tinggi, beliau tidak sependapat dengan Soetoko mengenai saat pengambilalihan Kantor Pusat PTT yang bertepatan dengan jatuhnya Pemerintahan Hindia Belanda.Pengambilalihan tidak bisa terburu-buru, harus ada koordinasi dan pengendalian segenap kekuatan Nasional yang akan melakukan pendobrakan dan tindakan ini harus dilakukan serentak.
Melalui penjajahan Jepang yang memberi kesempatan untuk menyusun kekuatan sebagai konsekuensi Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 1945. Mas Soeharto dapat menyetujui dan merestui rencana Soetoko untuk merebut kembali Kantor Pusat Pos Telegrap dan Telepon (PTT) dari tangan Jepang. Walaupun Mas Soeharto pernah menerima “Bintang Gunzei Hoosisyoo Otsu Kozim Dai Ni Go” lambang kebaktian kepada pemerintah Bala Tentara Jepang, Mas Soeharto lebih setia kepada Bangsa Indonesia. Mas Soeharto sering berembuk dengan Sosrokartono yang ahli bahasa dan kebatinan yang banyak menarik pemerhatian. Bendera Merah Putih telah dikibarkan di rumah Sosrokartono jauh sebelum tanggal 17 Agustus 1945. Tanda itu memberi keyakinan kepada Mas Soeharto bahwa saatnya telah tiba untuk bertindak.Ketika itu Mas Soeharto menjabat sebagai Wakil Kepala Pusat PTT dan Dijar R sebagai Kepala Urusan Pos.
Setelah pendekatan dan perundingan baik-baik dengan pihak Jepang tidak berhasil, kemudian diulang sekali lagi tidak mengenai sasaran, maka Mas Soeharto memanggil Panglima AMPTT Soetoko bersama pasukannya untuk memaksa Jepang menyerahkan Kantor Pusat PTT. Akhirnya pada tanggal 27 September 1945 tengah hari, Pimpinan Jepang yang menguasai Kantor Pusat PTT tidak berdaya menghadapi serbuan laskar AMPTT yang mendadak. Pihak Jepang menyerah dan Kantor Pusat PTT dapat diambilalih tanpa pertumpahan darah.
Selanjutnya Mas Soeharto dan Dijar R diangkat menjadi Kepala Jawatan  PTT Republik Indonesia yang pertama dan Dijar R diangkat sebagai Wakilnya.Suasana kemerdekaan masih bergolak dan tidak menentu menuntut ketabahan dan pengorbanan dari para pemimpin bangsa Indonesia yang baru lahir.Kedudukan Mas Soeharto di sayap kanan Gedung Sate yang megah dan antik itu ternyata tidak aman.
Setelah tentara Sekutu yang membonceng tentara Inggeris datang kota Bandung semakin kalut. Jepang yang merasa tidak dapat memenuhi perintah Sekutu, berulang kali akan merebut kembali Kantor Pusat PTT dari tangan Indonesia.Begitu pula tentara Sekutu melakukan serangan yang ditujukan kepada Kantor Pusat PTT. Kantor Pusat PTT dihujani peluru, tekidanto, mortir dan meriam.
image
Korban mulai berjatuhan, situasi Bandung Utara semakin membahayakan keselamatan Jawatan PTT RI, sehingga Kepala Pusat PTT dan Panglima Laskar AMPTT tidak dapat bertahan terus di Gedung Kantor Pusat PTT. Mas Soeharto bersama stafnya pindah ke Kantor Pos dan Telegrap Besar Bandung.
Dari Kantor Pos dan Telegrap inilah Mas Soeharto menjalankan tugas dan terus mengadakan hubungan dengan Kantor PTT di Daerah khususnya Jakarta dan Yogjakarta. Tanggal 24 Maret 1946 Bandung menjadi lautan api
image
Kepala Kantor Pusat PTT  Mas Soeharto dan Wakilnya Dijar R, hijrah ke Yogjakarta tempat pusat Pemerintahan Republik Indonesia. Kantor  PTT Yogjakarta berkedudukan di Jl. Gemblakan no.47, disitu pula Mas Soeharto dan keluarganya tinggal. Jawatan PTT yang dihadapi Mas Soeharto di masa perjuangan sama sekali tidak mudah. Bagian-bagian yang ketika itu disebut Urusan, terpencar di beberapa tempat di Yogjakarta, sehingga mempunyai makna tersendiri yang sulit dihancurkan oleh pihak musuh.
Banyak pegawai PTT dan keluarganya yang menderita di tempat yang baru, mereka harus menyesuaikan diri dengan kenyataan yang mereka alami, sangat berat penderitaan pegwai PTT pada jaman itu.
Selama Kepemimpinan Mas Soeharto pada jaman perang Kemerdekaan Indonesia, PTT mempunyai peranan yang sangat vital bagi bangsa dan negara, disamping bekerja sebagai penghubung, juga menyatukan keluarga yang terpisah karena perang. PTT turut serta berperan pengiriman uang mata ORI (Oeang Republik Indonesia) yang menunjukan Kedaulatan RI. Dinas kurir PTT membawa uang ORI antara Yogjakarta ke daerah-daerah kantong Pertahanan Pejuang Republik Indonesia khususnya ke daerah Jawa Barat.
Meskipun banyak peralatan kerja maupun perangkat di Kantor Pusat PTT Bandung, para pegawai PTT bahu membahu membangun pemancar Radio di Yogja, Solo, Delanggu, dan Tawangmangu agar bisa berhubungan dengan pemancar PTT di Bukit Tinggi dan luar negeri. Sebagai cadangan untuk mengantisipasi serangan musuh dibangun pula stasiun radio di Sarangan, Magetan, Pacitan dan tempat strategis lainnya.
Dengan surat Keputusan Staf Gabungan Angkatan Perang tanggal 24agustus 1947, Mas Soeharto ditetapkan sebagai Penasehat Staf Gabungan Angkatan Perang RI, Bagian Perhubungan.  Rumah Kediaman Mas Soeharto menjadi tempat Markas Berita Nasional yang dibuka siang malam, ketika Presiden Soekarno memberi perintah penghentian tembak menembak sesudah agresi I Belanda.
Di kediamannya Mas Soeharto juga mendirikan Radio Broadcast untuk pngiriman berita morce melalui relay Tawangmangu ke New Delhi dan Sydney, tempat Republik Indonesia memiliki perwakilan, selain mengirim berita Republik Indonesia, mengirim pula hasil Komisi tiga Negara di Kaliurang sewaktu Perundingan Renville.
Dalam perundingan itu Kepala PTT RI mengirim nota yang memuat usulan tentang masalah mengenai perhubungan PTT antara lain diterangkan betapa pentingnya perhubungan kembali antara PTT daerah Republik Indonesia dengan PTT Belanda di Jawa dan Madura, serta antara Pulau Jawa dan Sumatera.
Selanjutnya nota itu juga memuat usul tentang  corridor mana yang perlu dibuka dan pebatasan lalu-lintas PTT RI. Belanda merasa lebih kuat dengan pendudukan seluas 80 % dari Indonesia, tidak mau menerima usul PTT RI, perundingan itu tidak membuahkan hasil. Selama perundingan Renville, PTT RI memberi pelayanan yang baik dalam penyelenggaraan hubungan antara Yogjakarta dengan kapal Renville melalui telegrap radio Stasiun Ngadinegaran, Gading Yogjakrata.
image
Untuk memantapkan hubungan itu, Kapten Kapal Renville memberi sumbangan Radio Pemancar Mobile kepada PTT RI dan ditempatkan di kediaman Mas Soeharto, sehingga ada hubungan langsung antara Pemancar Kapal Renville dengan Pemancar Mobile yang ada di kediaman  Mas Soeharto. Pemancar inilah yang kemudian menimbulkan musibah bagi keluarga Mas Soeharto, dituduh Belanda mempergunakan untuk kepentingan para Grilyawan Pejuang RI di luar Yogjakarta.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Ibu Kota RI Yogjakarta diserbu tentara Belanda.Jam 10.00 pagi Pemerintah menghendaki hubungan dengan Bukit Tinggi. Berita inilah yang terakhir dikirim oleh Pemancar di Gemblakan no. 47 setelah itu Mas Soeharto mengunci ruangan Pemancar. Mas Soeharto tetap berada di posnya, tidak mengunsi keluar kota, tetapi Mas Soeharto tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Beberapa hari kemudian, datang Kepala Kantor Pos dan Telegrap Klaten, RS Brontoatmodjo yang sudah membumi hanguskan kantornya, beliau bermaksud menyerahkan uang kas kantor, Namun Mas Soeharto berjiwa besar tidak mau menerima uang kas yang dimaksud dan menyarankan untuk digunakan dalam perjuangan di pedalaman melawan Belanda.
Tanggal 17 Januari 1949 tiba malamnya menjelang tanggal 18 Januari 1949 tempat kediaman Mas Soeharto di kepung tentara Belanda dari pasukan MID yang dipimpin Letnan Kremes. Mereka masuk kedalam rumah dan melakukan penggeledahan, ketika itu Mas Soeharto kesehatannya terganggu, sedang Ny Mas Soeharto sedang menyetrika pakaian, semua penghuni rumah menghadap tembok dan diperintahkan mengangkat tangan keatas mereka tidak boleh bergerak.
Mas Soeharto dibawa ke ruang pemancar dan disiksa dan Ny Mas Soeharto mendengar suara gledukbok tanda kekejaman Tentara Belanda. Mas Soeharto dituduh Belanda bahwa Ia menggunakan Pemancar pemberian Belanda untuk membantu Gerilyawan Pejuang RI sejak tanggal 19 Desember 1948.
image
 Terdorong oleh cinta kasihnya kepada Mas Soeharto, Ny Soeharto pergi ke penjara Wirogunan, dengan dalih hendak mengantar pakaian tetapi Ny Mas Soeharto tidak menemukan suaminya. Ny Mas Soeharto mendatangi Markas Belanda di Ngupasan dan tempat tinggal Komandan TIJGER BRIGADE Belanda untuk mendapatkan keberadaan Mas Soeharto suaminya, namun Komandan TIJGER BRIGADE Belanda, Mayor Vosveld yang terkenal buruk peringainya tidak berhasil ditemuinya.
Selang dua hari setelah penculikan Ny Mas Soeharto didatangi oleh Pasukan dari MID Belanda yang memberitahukan bahwa Mas Soeharto ketika diangkut malam itu meloncat dari mobil Jeep dan melarikan diri, sudah diusahakan mencarinya tetapi tidak berhasil.
Ny Mas Soeharto tidak percaya begitu saja keterangan pihak Belanda, sesuatu yang tidak masuk akal karena Mas Soeharto dalam kedaan sakit tidak mungkin bisa melarikan diri.Berita tentang penculikan dan hilangnya Mas Soeharto segera menyebar di Yogjakarta dan dan daeranh lainnya.Semua merasa prihatin terutama pegawai PTT dan para grilyawan Pejuang RI.
Mas Soeharto telah mengorbankan segala galanya. Manusia pada umumnya mendapat penghormatan terakhir di rumah dukanya, tetapi Mas Soeharto tidak lagi ditemukan jasadnya, namun Mas Soeharto merupakan Pahlawan PTT yang besar, yang diratapi seluruh anak buahnya termasuk Pejabat Instansi Pemerintah RI.
Untuk mengenang Direktur PTT Perjuangan, Mas Soeharto, bertepatan hari ulang tahun PTT ke X tanggal 27 September 1955 diterbitkan prangko seri Mas Soeharto yang terdiri dari pecahan 15, 35,50,75 sen.
Pada Tanggal 27 September 1962, hari ulang tahun PTT ke 17 diadakan upacara penyerahan Bintang Maha Putra Tingkat III kepada almarhum Mas Soeharto.
Sumber : Buku Tokoh-Tokoh Sejarah Perjuangan dan Pembangunan  POS & Telekomunikasi  di Indonesia 1985

Friday, 14 March 2014

CATATAN PELAKU SERANGAN UMUM 1 MARET 1949 SEKITAR WEHRKREISE III YOGYAKARTA DAN SERANGAN UMUM 1 MARET 1949 ATAS IBUKOTA R.I. DI YOGYAKARTA

1.    WEHRKREISE (DAERAH PERLAWANAN) III YOGYAKARTA
Istilah Wehrkreise ini pertama kali timbul di dalam Perintah Siasat No. 1/Stop/48 yang dikeluarkan oleh Panglima Besar Angkatan Perang RI Letnan Jenderal Soedirman pada tanggal 12 Juni 1948. Kemudian pada bulan Juli/Agustus diadakan rapat oleh Staf Angkatan Perang di Magelang untuk menjelaskan isi Perintah Siasat tersebut kepada para Panglima Divisi/Komandan Brigade/Resimen dan pimpinan setaraf.
Di dalam Perintah Siasat tersebut terdapat perkiraan tentang kemungkinan serangan Belanda, yang memperkirakan adanya dua poros menyerbu ibukota RI Yogyakarta. Satu poros datang dari arah Semarang ke Magelang dan terus ke Yogyakarta. Satu poros lagi dari Surabaya ke Madiun dan terus ke Yogya. Brigade X bertanggungjawab atas pertahanan Yogyakarta dibuat menghadap ke arah barat dan utara. Pasukan-pasukan didislokasi di perbatasan menghadapi garis status-quo di sekitar Purworejo dan Magelang.
Pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 Belanda menyerang dengan hari pertama mendaratkan pasukan payung di lapangan udara Maguwo (Lanud Adisucipto) dan terus menyerbu ke jantung kota Yogya. Karena tidak ada pasukan di dalam kota, serbuan Belanda berjalan lancar.
Pasukan-pasukan Divisi Siliwangi yang berdiam di Yogyakarta, segera bergerak ke arah Jawa Barat, sesuai dengan isi Perintah Siasat No. 1/Stop/48, yaitu melaksanakan gerakan Wingate kembali ke daerah asal, yang sebenarnya sudah dimulai sejak rapat Magelang bulan Juli/Agustus 1948. (Catatan: Gerakan Wingate adalah konsep menyusup ke belakang kedudukan musuh, diambil dari peristiwa di Burma (Myanmar) waktu Perang Dunia ke-2, pasukan-pasukan Inggris dipimpin oleh Jenderal Wingate menyusup di belakang pasukan-pasukan Jepang di utara Burma (Myanmar).
Dengan demikian pertahanan Yogyakarta dilakukan oleh Letkol Suharto, Komandan Brigade X dengan pasukan-pasukan seadanya dan didampingi Kapten Widodo, seorang komandan kompi yang sedang cuti di Yogyakarta dari Batalyon yang tugas di Purworejo.
Sore hari Belanda sudah sampai di batas kota sebelah barat dan sudah menawan Presiden Soekarno, Wakil Presiden/Perdana Menteri Moh. Hatta dan beberapa menteri kabinet.
Pada waktu rapat di Magelang, Staf Angkatan Perang sudah menjelaskan pokok inti Perintah Siasat yang berisi niat akan meneruskan perang perlawanan, walaupun Belanda diperkirakan menduduki kota-kota. Dan sudah dijelaskan sistem perlawanan yang disebut WEHRKREISE (WK) dan sistem penomoran WEHRKREISE kepada para Panglima Divisi dan komandan bawahannya.
Intisarinya ialah, semua rakyat dan Angkatan Perangnya akan melawan terus terhadap Belanda. Meskipun pimpinan negara tertawan, ibukota RI diduduki musuh, dan masih belum tahu bahwa Panglma Besar telah bergerak ke luar kota, dan pemerintah darurat telah dinyatakan ada di Sumatera Barat, pasukan-pasukan di Yogyakarta yang belum terima perintah apa-apa dari komandannya, sudah melakukan perlawanan.
Dalam satu dua hari, komandan Brigade X menghubungi pasukan-pasukan sekitar Yogyakarta dan memberi nomor SUB WEHRKREISE. Kemudian penomoran dan penugasan perlawanan ini dikukuhkan oleh Panglima Divisi III, Kolonel Bambang Sugeng, di dalam Perintah Siasat No. 4/S/Cop. 1 yang diterbitkan pada tanggal 1 Januari 1949. Pada waktu perintah ini diterbitkan, Brigade X sudah melakukan serangan-serangan ke pos-pos Belanda di kota Yogyakarta dan sekitarnya. Pada tanggal 30 Desember 1948 diadakan serangan yang terkoordinasi dan telah dinamakan serangan umum pertama. Hari itu pula dinyatakan kemudian hari jadi WEHRKREISE III Yogyakarta.
Sesudah terbit Perintah Siasat No. 4/S/Cop. 1, Komandan Brigade memberi penomoran baru bagi SUB WEHRKREISE (SWK), yaitu 101, 102, 103, 103A, 104, 105. Kemudian terjadi pergeseran pasukan yang menyebabkan perubahan penomoran lagi menjadi SWK 101, 102, 103, 103A, 104, 105, dan 106.
Karena dislokasi pasukan-pasukan Brigade X ada di Purworejo dan Kebumen, maka kedua daerah ini oleh Divisi disetujui masuk WEHRKREISE III, meskipun berada di luar Yogyakarta.
Kemudian dibentuk juga komando teritorial, yang konsepnya adalah membebaskan pasukan-pasukan tempur dari beban logistik. Komando Distrik Militer dan Komando Onder-distrik Militer menyediakan makan, penampungan dan perawatan untuk pasukan-pasukan tempur. Dengan demikian Brigade X telah terkonsolidasi dengan waktu relatif cepat, dan dapat melaksanakan operasi-operasi serangan balas, dengan cara patroli-patroli pertempuran, penghadangan konvoi, dan serangan-serangan serentak dan terkoordinasi yang dinamakan serangan-serangan umum.
  • Tanggal 30 Desember 1948 merupakan serangan umum pertama.
  • Tanggal 7 Januari 1949 diperintahkan serangan umum kedua, tapi baru terlaksana pada tanggal 9 Januari 1949.
  • Tanggal 16 Januari 1949 serangan umum ketiga yang diwarnai dengan serangan yang dilakukan masih terang matahari pada sore hari.
  • Sebelum serangan umum keempat Brigade X mengadakan pergeseran kedudukan pasukan, yaitu Batalyon 151 dipindahkan dari utara ke barat, masuk ke SUB WEHRKREISE 103A. Tanggal 4 Januari 1949 serangan umum keempat, yang diwarnai kecuali koordinasi antara sesama SWK, juga dengan pemerintah sipil yang dibawah pimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Dengan demikian Brigade X/WK III memenuhi tugas pokoknya yaitu melakukan perang perlawanan terhadap pasukan-pasukan Belanda. Pasukan-pasukan ini ternyata mendapat dukungan yang hebat dari rakyat Yogyakarta yang mendengarkan sabda Sultannya yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang menyatakan tekadnya tidak akan menyerah kepada musuh. Dari beberapa kejadian yang dilihat oleh para pelaku, ada di antaranya seorang lurah ditembak pasukan Belanda karena tidak mau tunduk pada perintahnya.
Rumah-rumah rakyat dibakar, panen padi dijarah oleh pasukan-pasukan Belanda, namun tidak membuat rakyat takluk kepada musuh. Kesan para pelaku sesudah selesai perang adalah, bagaimana mungkin kita melanjutkan perang jika tanpa dukungan rakyat yang demikian hebatnya. Salah satu pasukan pada tanggal 29 Juni 1949 sesudah gencatan senjata, mengadakan penghitungan amunisi, mendapat tiap pucuk senjata rata-rata tinggal 16 butir. Namun sebelum gencatan senjata, tidak pernah turun semangat tempurnya pasukan yang didampingi rakyat Yogyakarta yang demikian itu.
Pada tanggal 5 Januari 1949 Komandan Batalyon 151 (Batalyon yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar), Kapten Haryadi, gugur di daerah utara Yogyakarta. Komandan Brigade X mengangkat seorang Komandan kompi, Letnan I Haryasudirja, sebagai Pejabat Komandan Batalyon.
Selama periode pendudukan Belanda Presiden Soekarno menetapkan Sultan Hamengku Buwono IX berfungsi sebagai pemegang kekuasaan penuh pemerintah RI, kecuali juga kedudukannya sebagai Kepala Daerah Kesultanan Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwono IX juga menyandang pangkat tituler, Jenderal Mayor dalam TNI. Kedudukan-kedudukan inilah yang menentukan hubungan dengan pasukan-pasukan TNI, yang malahan dalam laporan-laporan pemerintah Belanda disebut kecurigaannya bahwa Sultan Hamengku Buwono IX selalu memimpin gerakan perlawanan terhadap Belanda dari singgasananya.
2.      SERANGAN UMUM 1 MARET 1949
Serangan Umum ke-5 dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949. Bunyi sirine kota Yogyakarta tanda habisnya jam malam dipergunakan oleh WEHRKREISE III sebagai tanda mulai serangan.
Penyerbuan dilakukan dari empat jurusan. Dari selatan oleh pasukan SWK 102 dipimpin oleh Mayor Sardjono. Dari arah barat oleh pasukan SWK 103A dipimpin oleh Mayor HNV Sumual. Dari arah utara pasukan SWK 104 dipimpin oleh Mayor Soekasno. Dari arah timur pasukan SWK 105 dipimpin oleh Mayor Soedjono. Komandan WEHRKREISE III Letkol Soeharto menempatkan pos komandonya di sektor barat. Pos komando bergerak meninggalkan Pathuk memasuki jalan Malioboro. Di sebelah timur Sungai Winongo di pinggir barat kota Yogyakarta komandan WEHRKREISE III bertemu dan memeriksa gerak maju pasukan-pasukan SWK 105 yang dipimpin Mayor Sumual. Di tempat tersebut ada juga Letnan Harjasudirdja dengan pasukannya.
Pukul 04.00 pasukan-pasukan ini telah menyeberangi sungai Winongo dan bergerak memasuki kota lewat Pathuk dan pada pukul 06.00 pagi berbarengan dengan bunyi sirine, dimulailah tembakan-tembakan dan serangan-serangan.
Letnan Harjadisudirdja sesudah pukul 12.00 bergerak meninggalkan kota dan bertemu komandan WEHRKREISE III di Wirobrajan, dekat pabrik Aniem (PLN-disel).
Demikian terjadi pertempuran yang kita namakan pendudukan enam jam di ibukota perjuangan RI Yogyakarta yang diduduki tentara Belanda.
Waktu yang pendek ini membuat gejolak di dalam politik di Dewan Keamanan PBB di New York. Boleh dikatakan secara langsung berpengaruh kepada keputusan-keputusan yang diambil oleh PBB mengenai penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda.
Salah pemicu pembicaraan tentang serangan atas Yogyakarta ini adalah sampainya berita tentang serangan itu yang disiarkan ke media dunia lewat AII India Radio New Delhi, kira-kira sekitar 5 Maret 1949.
Tentang sampainya berita ini di New Delhi, telah diketemukan kisahnya. Komandan WEHRKREISE III mengirim seorang perwira perhubungan Mayor Purhadi ke pos radio di Playen yang dioperasikan oleh seorang perwira Angkatan Udara, Kapten Udara Boediardjo (Marsekal Madya TNI, Menteri Penerangan dalam Kabinet pada tahun 1970-an). Kapten Boediardjo mengirim berita lewat morse dengan pemancarna di Playen, dengan menggunakan teks berita yang ia terima dari Pejabat kepala Staf Angkatan Perang RI, Kolonel TB Simatupang dari kedudukannya di Kulonprogo, barat Yogyakarta. Teks berita ini ada otentiknya yang disimpan oleh penerimanya di Sumatera Barat, waktu itu Sersan Mayor Udara Umar Said Noor (Kolonel Udara Purnawirawan). Penerima ini melaporkan penerimaan berita itu kepada Kapten Penerbang Dick Tamimi, dan bersama menghadap Pjs. Presiden Pemerintah Darurat RI, Syafruddin Prawiranegara. Oleh Pjs Presiden disuruh meneruskan ke pos pemancar di Takengon, Aceh dan dari Takengon ke pemancar radio di Burma (Myanmar), yang kemudian diterima oleh AII India Radio New Delhi, dan dijadikan siaran berita ke seluruh pendengar di dunia.
Berita ini oleh para pejuang diplomatik RI di Dewan Keamanan PBB di New York dipergunakan sebagai argumen dalam meja perundingan.
Di dalam Official Records Dewan Keamanan PBB, Fourth Year No. 19 tertanggal 10 Maret 1949 di halaman 28, dinyatakan oleh Ketua Delegasi RI, LN Palar: “… situasi militer cukup digambarkan oleh serangan pasukan-pasukan kita di Yogyakarta baru-baru ini, dan didudukinya kota Yogyakarta pada akhir Februari 1949 (catatan: di New York tanggal 28 Februari 1949 sama dengan 1 Maret 1949 di Yogyakarta).
Taktik gerilya kita tidak menduduki kota secara permanen, karena akan mengundang serangan panser lawan. Maka setelah tercapai tujuan dengan menyerang Yogyakarta, mereka menarik diri lagi. Tetapi kalau Belanda tetap mengadakan gerakan pembersihan dengan dibantu kapal perang dan bomber-bomber, saya dapat meramalkan bahwa kota-kota seperti Batavia dan Surabaya akan mendapat penetrasi gerilya. Ini adalah petunjuk-petunjuk dari kesiapan tempur pasukan-pasukan kita untuk menyelesaikan persoalan Belanda di medan perang….”.
LN Palar melanjutkan lagi tanggapan atas sikap Belanda yang mengulur-ulur waktu menyerahkan kedaulatan kepada RI, seperti telah diputuskan oleh resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949 No. S/1270 dan S/1270/Corr. 1, dengan pidatonya empat hari kemudian pada tanggal 14 Maret 1949, yang dimuat dalam Official Records, Fourth Year No. 21, halaman 10: “Tidak dapat disangsikan bahwa gerilya kita, dengan dibantu rakyat, mampu membuat lelah Belanda secara militer. Tetapi ini diperbuat dengan kehilangan jiwa dan harta yang besar, kehilangan-kehilangan yang kami pemimpin politik mencoba menghindarinya dengan membawa ke meja perundingan. Tetapi kami berjanji dengan peringatan tegas kepada Belanda, bahwa apabila mereka tetap dengan politiknya sekarang, secara politis dan militer, gerilya kita akan menyelesaikan persoalan ini.”
Dari kedua dokumen resmi PBB ini ternyata bahwa delegasi RI dengan tangkas menggunakan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta sebagai argumen/titik tekan yang penting dalam perundingan-perundingan di Dewan Keamanan.
Pada tanggal 23 Maret 1949 diterima resolusi Kanada di Dewan Keamanan PBB yang disebut “Pedoman Kanada” (Canadian Directive) dalam rangka membantu Belanda dan RI mencapai persetujuan dalam hal:
1.      Pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta.
2.      Penghentian gerakan militer Belanda dan perang gerilya RI.
3.      Waktu dan syarat mengadakan konferensi di Den Haag untuk merundingkan penyelesaian akhir masalah Indonesia-Belanda.
Demikianlah, kemudian Konferensi Meja Bundar terjadi di Den Haag, disusul dengan penyerahan kedaulatan atas Nederlands-Indie oleh Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) tanggal 27 Desember 1949, dan pada tanggal 17 Agustus 1950 RIS ditiadakan oleh Republik Indonesia.
3.      BEBERAPA CATATAN SEKITAR SERANGAN UMUM 1 MARET 1949
a.       Mengenai prakarsa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta telah ada uraian yang luas dan lingkup di dalam buku Bapak Jenderal AH Nasution jilid 2A dari “Memenuhi Panggilan Tugas” hal. 245 s/d 247 yang tidak mempersoalkan prakarsa, tetapi yang menyimpulkan bahwa “inisiatif operasional” untuk melakukan serangan adalah wajar di tangan komandan WEHRKREISE
b.      Peranan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang perlu diperingati adalah sikap beliau menghadapi Belanda.
Di dalam laporan Jenderal Spoor, Panglima Belanda, disebutkan tentang pertemuan Jenderal Meyer, Panglima Belanda untuk Jawa Tengah yang disertai Kolonel van Langen, Komandan Brigade T, Dr. Angenent dan Resident Stok dengan Sultan Hamengku Buwono IX di Keraton Yogyakarta pada tanggal 2 Maret 1949, di mana Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan akan turun tahta, karena merasa terhina oleh Belanda tidak percaya pernyataannya bahwa tidak memberi suaka kepada gerilyawan, dan menyatakan bila Keraton di geledah, hanya dapat dilakukan lewat mayatnya.
Ucapan ini meyakinkan Belanda akan tekad Sultan Hamengku Buwono IX untuk setia kepada RI dan memberikan semangat yang besar kepada perlawanan Yogyakarta terhadap Belanda.
c.       Buku-buku “Aksi Polisionil” karangan Pierre Heyboer, yang terbit pada tahun 1979 di hal 152 dengan judul paragraf: Serangan Yogya oleh TNI, dikisahkan mengenai peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Heyboer menyebutkan secara “keliru” serangan pertama yang diundur tanggal 28 Februari 1949 terjadi karena kekeliruan tahun kabisat 1949 berarti ada tanggal 29 Februari 1949. Ini tidak benar, tahun 1949 adalah bukan tahun kabisat. Tetapi memang serangan 28 Februari 1949 diundur menjadi tanggal 1 Maret 1949.
Pada kesimpulan paragraf ini Heyboer mengatakan bahwa serangan dan pendudukan yang pendek itu, yaitu 6 jam, 0dan dengan korban gugur 3000 orang di pihak RI, membuat kesalahan yang besar buat Belanda di mata dunia.
d.      Karena kegusarannya, tentara Belanda mengadakan operasi-operasi pembalasan atas serangan 1 Maret 1949 ke tempat-tempat yang mereka perkirakan vital.
Wonosari mereka serang pada tanggal 10 Maret 1949 dengan 22 pesawat terbang dan 2 batalyon pasukan. Hasilnya nihil, karena yang mereka perkirakan Panglima Besar Soedirman berada di situ, ternyata tidak ada.
Juga mereka tidak berhasil meniadakan pemancar radio kita.
Godean, juga diserang dengan panser dan pasukan kaki pada tanggal 18 Maret 1949. Korban rakyat banyak, yang kemudian oleh pasukan-pasukan kita dikuburkan.
Satu rumah yang ditempati seorang komandan kompi Batalyon 151 Letnan Satu Soebono Mantovani, oleh Belanda dibakar habis.
Ada seorang bapak penduduk Godean yang merangkul dua anaknya sembunyi di bawah jerami, mati terbakar ketiga-tiganya, waktu jerami itu dibakar oleh tentara Belanda.
e.       Bulan Mei 1949 pasukan-pasukan sudah mulai diperintahkan menghentikan permusuhan dengan Belanda. Di dalam buku laporan belanda terdapat bahwa sampai bulan Juni 1949 pasukan Belanda masih melakukan operasi-operasi militer di daerah yang diduduki sebelum dan sesudah 19 Desember 1948. Batalyon 151 bergerak dari Yogya barat ke Yogya timur, menyusur kota Yogyakarta. Atas permintaan rakyat di Yogya timur mereka menyerang pos Belanda di desa Serut dengan berhasil menghancurkan beberapa panser dan truk tentara kolonial. Atas laporan kemudian ternyata bahwa Belanda menderita kerugian di Serut itu yang terbesar dalam satu pertempuran, sepanjang konflik Indonesia-Belanda.
f.        Catatan Tambahan Aksi-aksi TNI CS di luar Yogyakarta
Belanda melepaskan Indonesia pada Desember 1949 dengan beberapa faktor yang mendorong Belanda mengambil keputusan tersebut.
Faktor-faktor tersebut kami gali dari pencatatan Belanda yang termuat dalam bukunya, yang ditulis oleh Dr. PMH Groen yang berjudul “Marsroutes en Dwaalsporen” – Strategi Militer Belanda di Indonesia 1945-1950.
Faktor-faktor tersebut adalah:
1.      Kekeliruan militer Belanda yang memberi prioritas kemenangan militer atas TNI dan kurang memperhatikan dalam mengambil hati rakyat dalam melaksananakan perang.
Rakyat ternyata membantu TNI dengan sistem teritorial yang diadakan TNI untuk mendapatkan bantuan dan kerja sama rakyat dalam berperang melawan tentara Belanda yang lebih superior dalam persenjataan, teknik perang dan organisasi militer.
Bantuan rakyat itu terbaca dalam halaman 249, yang memuat tabel jumlah kepala desa dan pegawai Pangreh Praja yang diculik dan dibunuh oleh TNI. Di Jawa Tengah tercatat 124 kepala desa dan 15 pegawai Pangreh Praja. Dari angka ini tidak ada satupun yang terdapat di Yogyakarta. Karena memang di Yogyakarta Belanda tidak berhasil mengangkat seorangpun kepala desa dan pegawai Pangreh Praja. Hal ini berkat pengaruh dan ketaatan rakyat kepada Sultan Hamengku Buwono IX, yang dengan sikapnya yang tegar menentang kerja sama dengan Belanda dan setia kepada Republik Indonesia.
2.      Beban moril dan materiil Belanda selama konflik dengan Indonesia.
Tidak dapat diperoleh angka-angka pengeluaran uang Belanda untuk mempertahankan kondisi perang dengan Indonesia. Tetapi dana yang keluar adalah tidak kecil, memindahkan pasukan beberapa divisi dari negeri Belanda ke Indonesia, membentuk kembali tentara KNIL, memperlengkapinya, melatihnya, memelihara infrastruktur pemerintah penjajahan, jelas menelan biaya yang tidak kecil selama empat setengah tahun. Faktor biaya ini menimbulkan kecurigaan pada pensuplai dana dalam rangka MARSHALL PLAN, yang mendukung Belanda selesai Perang Dunia II. Ada tekanan-tekanan  dari AS untuk menghentikan pengeluaran dan yang besar ini, guna mempertahankan koloni Hindia Belanda.
Secara moril terjadi tekanan-tekanan pada pemuda-pemuda tentara Belanda yang direkrut oleh KL (Tentara Kerajaan) dan dikirm ke Indonesia.
Laporan tentang desersi tidak diperoleh. Laporan “sakit” pada tanggal 2 Januari 1949 di Jawa terdapat 4,3%, Sumatera 3,4%, ini naik pada 27 Februari 1949 menjadi 5,68% dan 4,11%.
Penolakan perintah dinas terdapat di Jawa Tengah, menurut Pengadilan Militer di lapangan sejak Maret 1949 sampai Agustus 1949 terdapat 20 kasus, terutama terdapat pada prajurit-prajurit remaja.
Sikap dan tindakan kontra teror oleh tentara Belanda terjadi di beberapa tempat oleh beberapa kesatuan. Hal ini makin menimbulkan antipati rakyat. Jenderal Spoor, Panglima Tentara Belanda memandang perlu untuk mengurangi aksi-aksi ini dengan teguran kepada pasukan-pasukannya yang antara lain menyebutkan “agar tindakan tegas, adil dan tidak menjauhi tindakan keras bila diharuskan oleh kebutuhan taktis atau keamanan, tetapi tidak boleh melupakan bersikap sebagai prajurit yang berwibawa, terkendali dan berperikemanusiaan”.
Kalau bagi TNI di dalam perang tersedia “tenaga pengganti” yang besar jumlahnya, tidak demikian dengan tentara Belanda. Kerugian-kerugian yang mereka derita sukar mendapat ganti tenaga baru.
Di halaman 259 dimuat daftar kerugian KL/KNIL selama dan sesudah aksi militer ke-2, antara 19 Desember 1948 sampai 10 Agustus 1949.
Gugur         : Di Jawa 1005, Sumatera 184, total 1189.
                    Khusus di Jawa Tengah 504.
Luka-luka   : Di Jawa 2052, Sumatera 487, total 2539.
                    Khusus di Jawa Tengah 1330.
Hilang         : Di Jawa 106, Sumatera 17, total 123.
                    Khusus di Jawa tengah 71.
Halaman 254 lampiran 9
Serangan TNI pada kota-kota yang diduduki Belanda sesudah Aksi Militer ke-2. Tabel terlampir di halaman 14.
3.      Dukungan internasional kepada Indonesia.
Sejak proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 negara-negara Australia dan Mesir segera mengakui RI.
Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB menyebut delegasi dari Indonesia sudah dengan sebutan delegasi Republik Indonesia.
Aksi Militer Belanda ke-1, tanggal 21 Juli 1947, membuat hujan protes dan kecaman-kecaman dari banyak negara kepada Belanda.
Aksi Militer Belanda ke-2, 19 Desember 1948, membuat negara-negara yang bersahabat marah dan muncul resolusi-resolusi Dewan Keamanan bertubi-tubi, sampai tanggal 29 Januari 1949 menelorkan resolusi yang mengharuskan Belanda menyerahkan kedaulatan atas Hindia Belanda kepada Republik Indonesia.
Dewan Keamanan sendiri memungkinkan RI melakukan perundingan secara sejajar dengan Belanda, sampai dalam satu rapat, ketua delegasi RI LN Palar mengeluarkan gebrakan-gebrakan dengan menggunakan aksi-aksi militer TNI di Indonesia sebagai dasar perundingan, sehingga pada tanggal 23 Maret 1949 muncul “CANADIAN DIRECTIVE” yang disusul dengan keputusan mengadakan konferensi meja bundar RI-Belanda di Den Haag. Dan sejarah telah mencatat penyerahan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 dan tanggal 17 Agustus 1950 RIS kembali menjadi RI.
Demikianlah rangkuman singkat sebagian peristiwa-peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.
Nilai dan Makna Semangat Serangan Umum 1 Maret 1949
Satu Maret 1949 adalah salah satu rangkaian harihari bersejarah bagi perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan negara Republik Indonesia yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945,  menghadapi serangan tentara kolinial asing yang hendak mengembalikan penjajahan di bumi pertiwi kita.
Pada tanggal 1 Maret 1949 telah dilancarkan serangan umum bersenjata serentak oleh Tnetara Nasional Indonesia bersama satuan pemuda dan rakyat terhadap tentara kolonial, yang menduduki ibukota perjuangan Republik Indonesia Yogyakarta pada waktu itu.
Prolog persitiwa heroik ini terjadi 63 tahun yang lalu, setelah melalui meja perundingan, aksi-akasi polisionil serta pembentukan negara-negara boneka oleh pemerintah kolonial tidak berhasil meniadakan Republik Indonesia, maka kemudian disusul tindakan-tindakan ingkar janji (persetujuan Renville – Linggarjati), dengan serbuan udara pasukan para tentara Belanda di lapangan terbang Maguwo (Lanud Adisucipto) pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948, pada waktu suasana kehidupan ibukota Yogyakarta, yang berusia tiga tahun merdeka, baru saja tenang, setelah beberapa minggu menyelesaikan tugas menumpas peristiwa pemberontakan PKI di daerah Madiun, 18 September 1948.
Satuan-satuan Tentara Nasional Indonesia masih terpencar di daerah-daerah perbatasan garis demarkasi pendudukan Belanda, untuk menghadapi kemungkinan serbuan tentara kolonial melalui darat dari arah utara dan barat. Meskipun jumlah dan kekuatan satuan tentara kita di sekitar lapangan terbang Maguwo tidak seimbang menghadapi serbuan tentara kolonial, namun dengan semangat patriotik “cinta bangsa dan tanah air”, satuan tentara kita beserta rakyat tetap bertahan dan terus mengadakan perlawanan.
Akhirnya, dengan melewati korban pahlawan-pahlawan kita, tentara kolonial kemudian dapat memasuki kota Yogyakarta dari arah timur (Maguwo) serta menawan beberapa pimpinan Pemerintahan Tertinggi RI. Oleh karenanya dibentuklah pemerintah darurat RI yang berkedudukan di Sumatera Barat, namun pasukan serta TNI langsung bergerak keluar kota Yogyakarta dan memasuki daerah kantong-kantong perlawanan masing-masing sesuai Perintah Siasat No. 1/Stop/48 dari Panglima Besar Soedirman dan beserta rakyat tetap bertekad untuk meneruskan perlawanan rakyat semesta (gerilya).

KISAH PERTEMPURAN DI DUSUN SERUT

ditulis oleh: Mayjen TNI (Purn) Sukotjo Tjokroatmodjo
KETUA UMUM BADAN PENGURUS PUSAT PAGUYUBAN WEHRKREIS (DAERAH PERLAWANAN) III YOGYAKARTA


Berdasarkan perintah komandan Brigade X/Wehrkreis (Daerah Perlawanan) III Yogyakarta, pasukan Batalyon 151 Brigade X, Divisi III Diponegoro pada tanggal 11 Mei 1949 pindah dari SWK (Sub Wehrkreis) 103 A Yogya Barat ke SWK 105 Yogya Timur. Pemindahan ini dilakukan sebagai langkah antisipasi kemungkinan ditariknya mundur tentara Belanda dari seluruh Indonesia yang dalam kenyataan nantinya dari Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1949 (peristiwa Yogya Kembali). Kedatangan pasukan Batalyon 151 di daerah segitiga Prambanan, Piyungan dan Berbah disambut dengan gembira oleh rakyat penduduk desa Madurejo dan sekitarnya, karena selama ini tentara Belanda di daerah antara Prambanan dan Piyungan belum pernah diserang oleh pihak Indonesia. Dengan kehadiran Batalyon 151 di daerah tersebut rakyat sangat mengharapkan pasukan Batalyon 151 melakukan serangan terhadap tentara Belanda di daerah itu. Oleh sebab itu perlawanan bulan Juni 1949 Dua kompi pasukan Batalyon 151, satu regu Tentara Genie Pelajar (TGP) dan dibantu oleh rakyat setempat melakukan serangan terhadap konvoi tentara Belanda di jalan raya Prambanan, Piyungan, Wonosari sebelah dusun Serut. Dalam persiapannya pasukan kita telah dapat memperoleh dua bom lengkap dengan detonator listrik masing-masing seberat 250 kg, dari gudang senjata peninggalan Belanda tahun 1942. Gudang senjata ini adalah sebuah gua yang berlokasi di bukit Pengklik, Berbah. Bom-bom tersebut oleh para pejuang bersama rakyat diangkut dan ditanam di jalan raya tersebut di atas. Pasukan pejuang diberangkatkan dari dusun Berbah setelah matahari terbenam dan sampai di lokasi sekitar pukul 8 pagi. Setiba di tempat pasukan langsung mengadakan persiapan berupa penanaman bom-bom (ditanam dengan jarak ± 50 m dari jalan raya dan menentukan tempat-tempat pertahanan (steling). Dengan dilengkapi dua bom tersebut di atas dengan detonator listrik memungkinkan komandan pasukan memilih/menentukan waktu yang tepat untuk meledakkan bom. Menjelang pukul 08.00 pagi terdengar gemuruhnya suara konvoi yang datang dari arah Prambanan menuju ke selatan arah Piyungan – Wonosari. Konvoi dibiarkan mendekat dan pada saat sebagian besar kendaraan konvoi yang terdiri dari kendaraan lapis baja, brencarrier, truk dan jeep berada di antara atau dekat dua bom tersebut maka kedua bom diledakkan secara simultan. Sangat beruntung bagi pasukan dan rakyat Indonesia waktu itu, bahwa tentara Belanda tidak menaruh curiga atas adanya bom-bom tersebut. Oleh sebab itu, tentara Belanda pada serangan Serut ini menderita kerugian yang sangat besar, baik kerugian jiwa maupun kerugian material. Sebagai akibat dari ledakan-ledakan bom terlihat banyak anggota badan dan tengkorak tentara Belanda berserakan di sawah dan ladang sekitar kejadian, demikian juga potongan-potongan/kepingan-kepingan kendaraan lapis baja, truk dan jeep. Tentara Belanda yang selamat langsung mengkonsolidasi diri dan terjadi tembak-menembak antara kedua pihak. Selama berlangsungnya tembak-menembak sebagian tentara Belanda tampak mengupayakan penyelamatan jenazah-jenazah dan yang luka-luka dari pihak mereka. Setelah itu sisa-sisa konvoi tentara Belanda berbalik arah dan kembali ke pangkalannya di pabrik gula Tanjung Tirto dan lapangan terbang Maguwo (sekarang Bandar Udara Internasional Adisucipto). Pada peristiwa itu dari pihak rakyat Serut, Regu TGP maupun Batalyon 151 tidak ada korban apapun. Demikian salah satu kisah yang membuktikan persatuan dan kemanunggalan rakyat, pemerintah daerah serta pasukan TNI dalam perjuangannya tanpa pamrih menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia. Akhirnya setelah tentara Belanda mundur dari pangkalan udara Maguwo pada tanggal 28 Juni 1949, Batalyon 151 ditugaskan untuk menduduki komplek pabrik gula Tanjung Tirto serta prasarana penghubungan udara Maguwo, yang sampai penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, merupakan satu-satunya koridor udara penghubungan Internasional Pemerintah Pusat Republik Indonesia Serikat. Para pelaku serangan Serut dewasa ini banyak yang sudah dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu untuk mereka beserta keluarga dan keturunannya kita panjatkan do’a kepada Tuhan Yang Maha Esa, memohon agar kepada mereka dilimpahkan rahmat-Nya sebanyak-banyaknya. Monumen hidup yang berbentuk balai desa dan ruang-ruang pelatihan ini dipersembahkan oleh Paguyuban Wehrkreis (daerah Perlawanan) III Yogyakarta kepada rakyat desa Madurejo dan sekitarnya dengan harapan bahwa kemudahan ini dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat setempat dalam meningkatkan potensi sumber daya manusia, terutama generasi penerusnya. Monumen Pertempuran Serut diresmikan oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 2 Oktober 2004.


Jakarta, 9 Mei 2012
Sumber :  http://pwk3yogyakarta.blogspot.com/2012/06/kisah-pertempuran-di-dusun-serutditulis.html

Sunday, 9 March 2014

Sejarah Akademi Militer

Sejarah Akademi Militer (Akmil) bermula dari didirikannya Militaire Academie (MA) Yogyakarta pada tanggal 31 Oktober 1945, atas perintah Kepala Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat, Letnan Jenderal TNI Oerip Soemohardjo. Pimpinan Akmil Yogyakarta pertama telah ditetapkan oleh Letjen Oerip Sumohardjo dengan mengangkat Jenderal Mayor Soewardi sebagai Direktur Akmil Yogyakarta. Pada tahun 1950, MA Yogyakarta setelah meluluskan dua angkatan, karena alasan tehnis, ditutup untuk sementara dan taruna angkatan ketiga menyelesaikan pendidikannya di KMA Breda, Nederland. Pada kurun waktu yang sama diberbagai tempat lain (Malang, Mojoangung, Salatiga, Tangerang, Palembang, Bukit Tinggi, Brastagi, Prapat) didirikan Sekolah Perwira Darurat untuk memenuhi kebutuhan TNI AD / ABRI pada waktu itu.
        Pimpinan Markas Besar Tentara telah membuka Akademi Militer dengan kesadaran bahwa perlawanan terhadap Belanda yang terus mengadakan usaha menjajah kembali Indonesia akan berlangsung lama. Oleh karena itu diperlukan tenaga pimpinan yang bisa melanjutkan perjuangan melawan penjajah untuk jangka waktu lama. Maka karena itu sifat Akmil Yogyakarta tertuju untuk mempersiapkan tenaga pimpinan itu untuk menghadapi penjajah Belanda pada tahun 1945. Makanya tujuan Akmil Yogyakarta dan setiap Akademi Militer adalah membentuk Perwira-Perwira yang menjalankan Kepemimpinan Angkatan Perang dinegaranya. Oleh karena itu pembentukan Keperwiraan hakikatnya adalah pembentukan Kepemimpinan.
Sebagai akibat dari surat tersebut, maka diadakan pengumuman kepada para Pemuda terutama di lingkungan Yogyakarta. Oleh karena pada saat itu sedang ada Kongres Pemuda Indonesia maka di Yogyakarta berkumpul pemuda dari seluruh Indonesia. Dengan demikian ada kesempatan bagi pemuda-pemuda dari Republik Indonesia yang luas menjadi Taruna Akademi Militer.
      Pada akhir November 1945, diadakan tes ujian masuk yaitu tes jasmani dan wawancara yang menentukan siapa yang diterima di Akmil Yogyakarta. Pada akhir November 1945 pendidikan militer Akmil Yogyakarta dimulai. Inilah Angkatan Pertama Akmil Yogyakarta.Pada waktu itu motif para pemuda masuk Akmil Yogyakarta adalah untuk siap bertempur dan mampu menjalankan berbagai tugas yang bersangkutan dengan itu. Guru-guru dan instruktur-instruktur yang ada di Akademi Militer Yogyakarta pada waktu itu terdiri dari dua macam Perwira, yaitu Perwira dari Tentara Pembela Tanah Air (PETA) jaman Jepang dan Perwira dari Tentara Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) Hindia Belanda.
      Keputusan Pimpinan Akmil Yogyakarta Jenderal Mayor Soewardi untuk menggunakan Perwira sesuai dengan kemampuannya adalah amat bijaksana. Oleh karena yang ditetapkan menjadi Komandan Kompi Taruna, Komandan Seksi Taruna (dahulu nama peleton adalah Seksi) adalah mantan Perwira PETA dan Komandan Regu Taruna adalah mantan Bintara PETA. Hal tersebut merupakan pilihan tepat karena sebagai PETA mereka telah mendapat pendidikan dari tentara Jepang yang memiliki banyak pengalamanan perang dan pertempuran dibandingkan Tentara Hindia Belanda. Para Perwira PETA dapat meneruskan kecakapan dan kemampuannya menghadapi tugas-tugas sebagai Perwira pasukan yang siap bertempur kepada Taruna. Akan tetapi kami sebagai calon Perwira juga membutuhkan pengetahuan teori, seperti ilmu taktik umum, sejarah militer, ilmu bumi militer dan lain-lain. Untuk itu mantan Perwira KNIL yang menjadi guru para taruna Akmil Yogyakarta.
      Pendidikan sebagai Angkatan Pertama Akmil Yogyakarta merupakan harmonisasi dari pendidikan militer Jepang dan Hindia Belanda. Hal tersebut sangat bermanfaat. Pimpinan Akmil Yogyakarta berpendapat bahwa Keperwiraan membutuhkan pendidikan oleh raga yang baik, mendalam dan intensif. Untuk itu Akmil Yogyakarta membuka bagian dengan nama Sekolah Olah Raga (SORA) yang ditempatkan di Sarangan di kaki Gunung Lawu. Di Sarangan terdapat komunitas Jerman yang sejak pendudukan Jepang ada di tempat itu (pada Perang Dunia II Jepang dan Jerman merupakan sekutu). SORA dipimpin oleh Mayor Dr. Singgih dengan guru-guru dan instruktur-instruktur bangsa Indonesia dan Jerman. Di samping pendidikan olah raga, SORA dimanfaatkan juga untuk mendidik para Taruna dalam bahasa asing, khususnya bahasa Jerman dan bahasa Inggris.
      Pendidikan olah raga meliputi pendidikan atletik, permainan dan senam. Pada awalnya kami tidak dapat melakukan salto, tetapi setelah mendapatkan pendidikan senam, kebanyakan dari kami dapat melakukan salto sebagai hal yang normal. Hal tersebut berkat pendidikan guru-guru dan pendidikan jasmani yang bermutu, diantaranya bernama Herr Hupfer yang pada tahun 1936 menjadi pelatih Tim Senam Jepang untuk menghadapi Olimpiade. Guru bahasa Inggris dan Jerman juga cukup kompeten. Pendidikan di Yogyakarata yang bersifat pendidikan militer di kelas maupun di lapangan ditambah pendidikan olah raga telah membentuk para taruna angkatan pertama ini sebagai perwira TNI yang dapat diandalkan. Hal mana dapat dibuktikan setelah selesai pendidikan dan ditugaskan pada pasukan-pasukan TNI.
      Pendidikan yang dijalankan di Akmil Yogyakarta tertuju kepada persiapan perwira-perwira yang cukup handal di medan pertempuran. Sebab itu, di samping pendidikan di sekolah juga mendapat kewajiban melakukan tugas lapangan yang secara langsung menghadapi masalah operasi dengan pihak Belanda. Pada akhir Desember 1945, Jenderal Mayor Soewardi membawa 27 Taruna menjalankan tugas lapangan di Front Mojokerto Jawa Timur, selama dua bulan sebelum kembali ke Yogyakarta untuk bersama-sama Taruna yang lain menjalankan kuliah.
      Pada tahun 1946 dilaksanakan tugas lapangan di Bandung Utara, dimana Jenderal Mayor Dr. Mustopo memimpin Divisi P. Bapak Mustopo meminta Pak Suwardi untuk menugaskan Taruna di Bandung Utara untuk membantu beliau. Maka satu Kompi Taruna bertugas selama ± 4 (empat) bulan di Bandung Utara.Pada tahun 1946 kembali diadakan penerimaan untuk menjadi Taruna Akmil Yogyakarta yang merupakan Angkatan Kedua dari Akmil Yogyakarta. Pada saat itu di Malang dibuka Sekolah Tentara oleh Divisi setempat. Kemudian ada keinginan untuk mengintegrasikan pendidikan tersebut dengan Akmil Yogyakarta. Penggabungan itu merupakan bagian dari Angkatan kedua Akademi Militer Yogyakarta.Pada waktu itu sebenarnya digunakan istilah Kadet bagi siswa Akademi Militer, sedangkan istilah Taruna baru digunakan setelah tahun 1947.
      Tugas lapangan yang berikut adalah ketika Belanda melakukan serangan atau Aksi Militer ke-1 pada 21 Juli 1947. Dalam aksi militer kesatu itu, para Taruna ditugaskan di berbagai daerah, khususnya untuk menyiapkan Perlawanan Gerilya oleh rakyat bersama TNI. Setiap pendidikan tentu melakukan ujian akhir untuk menentukan keberhasilan para siswa / pelajar, demikian pula Akmil Yogyakarta. Sebenarnya ujian akhir untuk pendidikan olah raga telah dilakukan di Sarangan. Ujian akhir Akmil Yogyakarta meliputi tes semua mata pelajaran yang telah diperoleh, termasuk bongkar pasang senjata, tes olah raga dan lain Tes teori meliputi, antara lain ilmu taktik umum, sejarah militer, hukum militer, ilmu bumi militer dan lain-lain.Karena banyaknya mata pelajaran yang diuji, ujian akhir belum selesai ketika kami berangkat ke Solo karena beberapa taruna ada yang ikut PON I.
        Pada PON I, beberapa Taruna Akmil Yogyakarta ikut serta. Para taruna turut bertanding dalam cabang olah raga sepak bola, atletik dan bola keranjang mewakili daerah Yogyakarta. Pada waktu itu, senam bukan merupakan cabang yang dipertandingkan, dan para Taruna Akmil Yogyakarta memberikan demonstrasi senam lantai yang bermutu.
      Pada bulan September 1948 setelah selesainya PON I di Surakarta, terjadi pemberontakan PKI di Madiun. Setelah PON I selesai dan ketika para taruna Akmil Yogyakarta bermaksud kembali ke Yogyakarta, terjadi pertempuran di Serambatan, yaitu satu pasukan Angkatan Laut yang berpihak kepada PKI menyerang satu kompi Siliwangi. Pada saat itu di Madiun dimulai pemberontakan yang dipimpin oleh Muso. Akibat pertempuran di Solo maka para peserta PON tidak dapat kembali ke daerah masing-masing termasuk para Taruna. Baru setelah beberapa hari kereta api berjalan normal kami dapat kembali ke Yogyakarta. Akan tetapi, baru tiga hari kembali Akmil Yogyakarta mengirim bantuan pasukan untuk ditugaskan pada Gubernur Militer Surakarta yang dipimpin oleh Kolonel Gatot Subroto.
      Kompi dari Akmil Yogyakarta yang ditugaskan di Gubernur Militer Surakarta terdiri dari tiga seksi. Kemudian oleh Bapak Gatot Subroto Kompi ini ditugaskan pada Batalyon Nasuhi Siliwangi yang sedang melakukan operasi merebut kembali Wonogiri. Kompi Akmil Yogyakarta turut dengan Batalyon Nasuhi operasi di Solo Selatan sampai Pacitan dan kemudian menghadapi PKI di Cemoro Sewu. Bertugas menghadapi pemberontakan di Madiun memberikan banyak pengalaman kepada para taruna, terutama ditugaskan mendampingi Batalyon Nasuhi. Sebagai contoh, pada saat taruna yang bernama Sayidman Suryohadiprojo menjadi Komandan Seksi, terjadi pertempuran untuk merebut jembatan Sumo Ulun yang melintasi Bengawan Solo Peretempuran itu meruapakan pengalaman pertama melakukan serangan penyebrangan sungai. Dengan berbagai pengalaman berharga ini, pelajaran teori telah dilengkapi dengan baik. Ujian baru dapat diakhiri setelah kembali menghadapi pemberontakan di Madiun.
      Dari Angkatan Pertama pada tanggal 28 November 1948 ditetapkan 196 orang sebagai Letnan Dua TNI dan dilantik oleh Presiden RI Soekarno di Gedung Negara. Setelah Akmil Yogyakarta dapat meluluskan Angkatan Pertama pada akhir tahun 1948, terjadi kembali serangan Belanda terhadap RI dan merebut Yogyakarta. Untuk menghadapi serangan Belanda, Akmil Yogyakarta melakukan Opersi Gerilya di Wehrkreise Yogyakarta dan menempati Sub-Wehrkreise (SWK) 104. Pasukan Akmil Yogyakarta dipimpin oleh Gubernur Akmil yang kedua, yaitu Kolonel GPH Djatikoesumo. Pasukan Akmil Militer aktif dalam pertempuran-pertempuran menghadapi Belanda, dan nantinya juga ikut serta dalam Serangan Umum 1 Maret terhadap Yogyakarta. Serangan pertama dilakukan Akmil Yogyakarta terhadap lapangan udara Meguwo. Diikuti kemudian dengan serangan terhadap posisi Belanda di jalan Gondokusuman Yogyakarta. Serangan menghadapi Gondokusman telah mengakibatkan gugurnya Taruna Lili Rochli.
      Pertempuran Plataran secara khusus memberikan motivasi kepada mantan Akmil Yogyakarta di manapun ia berada. Pertempuran Plataran bermula ketika Pasukan Belanda bermaksud mengadakan pembersihan terhadap pasukan Akmil Yogyakarta. Dalam serangan sebelumnya, seorang Taruna bernama Abdul Jalil tertembak oleh Belanda dan gugur. Dan di sakunya terdapat buku saku yang berisi catatan-catatan cukup jelas tentang posisi pasukan Akmil Yogyakarta. Berdasarkan informasi tersebut, Belanda pada 24 Februari 1949 melakukan operasi pembersihan yang ditujukan pada desa Kringinan. Sebab menurut catatan Abdul Jalil di desa itu terdapat pimpinan Akmil. Gugurnya Abdul Jalil menimbulkan kewaspadaan kepada Pimpinan Pasukan Akmil Yogyakarta untuk meninggalkan Kringinan dan pindah ke desa-desa di sebelah utaranya. Untuk mengamankan gerakan pemindahan Pimpinan Pasukan Akmil Yogyakarta, sekelompok pasukan Akmil Yogyakarta berada di desa Plataran. Pasukan Belanda yang kecewa karena tidak mendapatkan pasukan Akmil di Kringinan, kemudian bergerak ke timur. Dan di Plataran terjadi pertempuran yang dilakukan pasukan Akmil di Plataran yang mengamankan pemindahan Pasukan Pimpinan. Pertempuran Pelataran merupakan tindakan pengabdian yang bersifat pengorbanan yang dilakukan anggota Pasukan Akmil.
Sebagai akibat dari pertempuran tersebut, telah gugur 8 (delapan) anggota Akmil, yaitu :
1. Letnan Dua Utoyo Notodirdjo selaku Pemimpin Pasukan.
Utoyo telah menunjukan ketauladanan, ketika mengambil oper senjata Bren dari Taruna yang terkena tembak dan melanjutkan penembakannya sehingga ia sendiri gugur.
Saudara Utoyo karena sejak jaman Belanda menjadi anggota Kepanduan Arjuna di Semarang. Utoyo selalu menjadi tauladan di dalam kehidupannya. Apa yang diperbuat di dalam pertempuran Plataran memang sesuai dengan sifatnya yang ditunjukkan sepanjang hidupnya.
2. Letnan Dua Sukotjo.
Kedua Perwira itu baru saja dilantik pada tanggal 28 Nopember 1948.
Selain itu telah gugur 5 (lima) Taruna lain dan seorang anggota Tentara Pelajar (TP) yang bergabung dengan Akmil.
      Pada akhir tahun 1949 (setelah akhir Perang Kemerdekaan II), Angkatan Kedua Akmil Yogyakarta melakukan ujian akhir tetapi tidak seluas Angkatan Pertama karena keterbatasan waktu.Dengan berbagai tugas lapangan dan tugas pertempuran, nyata sekali Akmil Yogyakarta mempunyai peran yang tidak dapat diabaikan dalam penyelamatan RI. Pada tahun 1950, setelah diterima Angkatan Ketiga Akademi Militer yang sedikit jumlahnya, Pimpinan Angkatan Darat Kolonel A.H Nasution berpendapat bahwa Angkatan Darat segogianya lebih memberikan perhatian kepada pembinaan Perwira yang sudah ada. Pimpinan Angkatan Darat memutuskan Akmil Yogyakarta, ditutup. Pada saat itu, penerimaan Akmil Yogyakarta baru 8 orang yang kemudian bersama para Pemuda yang baru lulus SMA dikirim ke Koninklijke Militaire Academie (KMA) Breda, Belanda.
      Penutupan Akmil Yogyakarta sebenarnya merupakan tindakan yang tidak memperhatikan segi idiil dari pendidikan Perwira, sebab tidak mungkin pembentukan Keperwiraan untuk TNI bersifat lengkap dengan jiwa kepatriotan jika dilaksanakan di luar negeri, karena hanya di dalam negeri seorang Pemuda dapat dibentuk dan tumbuh menjadi seorang Perwira yang mengabdi kepada bangsa dan negara, membela Pancasila sebagaimana ditetapkan didalam Sapta Marga. Sejak tahun 1950, Akmil Yogyakarta tidak ada lagi. Total jumlah kadet MA yang gugur rentang waktu antara tahun 1945 sampai denga 1950 adalah 27 anggota yang terdiri dari 12 orang yang telah dilantik sebagai Letnan Dua dan 15 orang Taruna :
1. Serma Kadet E. Mustofa
2. Serma Kadet Sudarto
3. Vanderik Cadet Sugiarto
4. Vanderik Cadet Hardo S.
5. Vanderik Cadet Muh Lili. R.
6. Vanderik Cadet Muh Abdullili Rahli
7. Vanderik Cadet Husaen
8. Vanderik Cadet Sunarto
9. Vanderik Cadet Suharsono
10. Vanderik Cadet Soesanto
11. Vanderik Cadet Subiyakto
12. Vanderik Cadet Sudibya
13. Vanderik Cadet Tarjono
14. Letda Kusno Danudjo
15. Letda Prayitno
16. Letda RM Utoyo Notodiharjo
17. Letda Sukoco
18. Letda Suroto
19. Letda Suseno Utoro
20. Letda Susbanderisman
       Dalam perkembangan jaman disadari bahwa tidak mungkin suatu negara tanpa memiliki Akmil. Kolonel GPH Djatikusumo (Mantan Gubernur Akmil kedua) ketika menjabat sebagai Direktur Zeni Angkatan Darat meminta Kolonel A.H Nasution untuk membuka Sekolah Perwira Zeni yang berkembang menjadi Akademi Zeni. Usaha Kolonel GPH Djatikusumo telah mendorong dan menyadarkan bahwa Indonesia memerlukan suatu Akademi Militer.
      Pada tanggal 1 Januari 1951 di Bandung didirikan SPGi AD (Sekolah Perwira Genie Angkatan Darat), dan pada tanggal 23 September 1956 berubah menjadi ATEKAD (Akademi Teknik Angkatan Darat). Sementara itu pula pada tanggal 13 Januari 1951 didirikan pula P3AD (Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat) di Bandung. Mengingat pada saat itu banyak sekolah perwira TNI AD, maka muncul gagasan dari pimpinan TNI AD untuk mendirikan suatu Akademi Militer, gagasan ini pertama kali dimunculkan pada sidang parlemen oleh Menteri Pertahanan pada tahun 1952. Setelah melalui berbagai proses, maka pada tanggal 11 Nopember 1957 pukul 11.00 Presiden RI Ir Soekarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI, meresmikan pembukaan kembali Akademi Militer Nasional yang berkedudukan di Magelang. Akademi Militer ini merupakan kelanjutan dari MA Yogyakarta dan taruna masukan tahun 1957 ini dinyatakan sebagai Taruna AMN angkatan ke-4. Pada 11 November 1957 telah dibuka kembali Akmil yang ditempatkan di Magelang, berdasarkan keputusan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno dengan tulisan tangan :
“Dengan ini, maka Akademi Militer Nasional dengan angkatannya yang keempat saya buka kembali, dan saya resmikannya dalam kompleks A.M.N yang bersifat sementara”.
Magelang 11 November 1957.
Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia.
Soekarno.

    

Pada tahun 1961 Akademi Militer Nasional Magelang di integrasikan dengan ATEKAD Bandung dengan nama Akademi Militer Nasional dan berkedudukan di Magelang. Mengingat pada saat itu masing-masing angkatan (AD, AL, AU dan Polri) memiliki Akademi, maka pada tanggal 16 Desember 1965 seluruh Akademi Angkatan (AMN, AAL, AAU dan AAK) diintegrasikan menjadi Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI). Sesuai dengan tuntutan tugas, maka pada tanggal 29 Januari 1967 Akabri di Magelang diresmikan menjadi Akabri Udarat, yang meliputi dua Akabri bagian di bawah satu pimpinan, yaitu Akabri Bagian Umum dan Akabri bagian Darat. Akabri Bagian Umum mendidik taruna TK-I selama satu tahun, termasuk Pendidikan Dasar Keprajuritan Chandradimuka, sedangkan Akabri bagian Darat mendidik taruna Akabri Bagian Darat mulai TK-II sampai dengan TK-IV. Pada tanggal 29 September 1979 Akabri Udarat berubah namanya menjadi Akabri Bagian Darat.
Dalam rangka reorganisasi di lingkungan ABRI, maka pada tanggal 14 Juni 1984 Akabri Bagian Darat berubah namanya menjadi Akmil (Akademi Militer).
Pada tanggal 1 April 1999 secara resmi Polri terpisah dari tiga angkatan lainnya, dan ABRI berubah menjadi TNI. Sejak itu pula Akademi Kepolisian terpisah dari AKABRI. Kemudian AKABRI berubah namanya menjadi Akademi TNI yang terdiri dari AKMIL, AAL, AAU.
Berdasarkan Perpang Nomor :Perpang/ 28/ V/ 2008 tanggal 12 Mei 2008 Pendidikan Dasar Keprajuritan Chandradimuka dan Integratif Akademi TNI pola 12 bulan langsung dibawah Mako Akademi TNI. Kemudian AKMIL menyelenggarakan pendidikan khusus Taruna Angkatan Darat tingkat II, III dan IV.
Sumber :  http://www.akmil.ac.id/index.php?option=com_content&view=section&id=5&Itemid=65
               Buku :  Taruna Akademi Militer Yogyakarta Turut Menyelamatkan NKRI
                           Letjen TNI (Purn) Sayidman Suryohadiprojo

Herman Johanes

Herman Johannes menjadi mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) sejak tahun 1934, namun dengan jatuhnya Hindia Belanda pada tanggal 8 Maret 1942 THS Bandung ditutup. Tahun 1944 Jepang membuka kembali sekolah ini dengan nama Bandung Kogyo Daigaku (BKD), setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945 BKD diubah menjadi Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandung yang kemudian hijrah ke Yogyakarta menjadi Sekolah Tinggi Teknik Bandung di Yogyakarta di awal tahun 1946. Sekitar bulan Oktober 1946 Herman Johannes menyelesaikan studinya di STT Bandung di Yogya yang kemudian menjadi cikal bakal Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada di mana dia termasuk salah satu perintisnya. Herman Johannes banyak mengabdikan dirinya kepada kepentingan negara dan bangsanya, terutama rakyat kecil. Hingga menjelang akhir hayatnya, ia masih melakukan penelitian yang menghasilkan kompor hemat energi dengan briket arang biomassa. Keprihatinannya akan tingginya harga minyak bumi, selalu mendorongnya untuk mencari bahan bakar alternatif yang bisa dipakai secara luas oleh masyarakat. Herman Johannes pernah meneliti kemungkinan penggunaan lamtoro gung, nipah, widuri, limbah pertanian, dan gambut sebagai bahan bakar.
Meski lebih banyak dikenal sebagai pendidik dan ilmuwan, Herman Johannes tercatat pernah berkarier di bidang militer.[1]. Tanggal 4 November 1946 Herman Johannes menerima Surat Perintah yang ditadatangani Kapten (Kavaleri) Soerjosoemarno (kemudian menjadi ayah dari Yapto Soerjosoemarno) yang mengatasnamakan Kepala Staf Umum Kementerian Keamanan Rakyat Letjen Urip Sumohardjo, yang isinya agar segera hadir dan melapor ke Markas Tertinggi Tentara di Yogyakarta. Ternyata Herman Johannes diminta membangun sebuah laboratorium persenjataan bagi TNI, karena pemerintah Indonesia saat itu sedang mengalami krisis persenjataan. Permintaan ini diterimanya dengan satu syarat, yakni jika laboratorium itu sudah bisa berdiri dan berproduksi, maka penanganannya harus dilanjutkan orang lain sebab Herman Johannes ingin melanjutkan kariernya di bidang pendidikan. Di bawah pimpinan Herman Johannes, Laboratorium Persenjataan yang terletak di bangunan Sekolah Menengah Tinggi (SMT) Kotabaru ini selama perang kemerdekaan berhasil memproduksi bemacam bahan peledak, seperti bom asap dan granat tangan.
Keahlian Herman Johannes sebagai fisikawan dan kimiawan ternyata berguna untuk memblokade gerak pasukan Belanda selama clash I dan II. Bulan Desember 1948, Letkol Soeharto sebagai Komandan Resimen XXII TNI yang membawahi daerah Yogyakarta meminta Herman Johannes memasang bom di jembatan kereta api Sungai Progo. Karena ia menguasai teori jembatan saat bersekolah di THS Bandung, Johannes bisa membantu pasukan Resimen XXII membom jembatan tersebut. Januari 1949, Kolonel GPH Djatikoesoemo meminta Herman Johannes bergabung dengan pasukan Akademi Militer di sektor Sub-Wehrkreise 104 Yogyakarta. Dengan markas komando di Desa Kringinan dekat Candi Kalasan, lagi-lagi Herman Johannes diminta meledakkan Jembatan Bogem yang membentang di atas Sungai Opak. Jembatan akhirnya hancur dan satu persatu jembatan antara Yogya-Solo dan Yogya-Kaliurang berhasil dihancurkan Johannes bersama para taruna Akademi Militer. Aksi gerilya ini melumpuhkan aktivitas pasukan Belanda sebab mereka harus memutar jauh mengelilingi Gunung Merapi dan Gunung Merbabu melewati Magelang dan Salatiga untuk bisa masuk ke wilayah Yogyakarta.
Pengalamannya bergerilya membuat Herman Johannes juga ikut serta dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang menyerbu kota Yogyakarta di pagi buta dan bisa menduduki ibukota Republik selama enam jam. Herman Johannes juga menjadi saksi sumbangan Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Letnan Soesilo Soedarman dan Letnan Djajadi, Mayor Johannes pernah bertugas ke Wedi, Klaten, untuk melakukan koordinasi perjuangan. Mereka bertiga berangkat memakai seragam baru hadiah dari Sultan Yogya. Sultan pun memberi gaji seratus rupiah Oeang Republik Indonesia (ORI) setiap bulan kepada para taruna Akademi Militer.
Dalam sebuah makalahnya Herman Johannes pernah mengemukakan bahwa Sri Sultan dan Paku Alam bersama Komisi PBB menjemput para gerilyawan masuk kota Yogyakarta pada 29 Juni 1949. Pasukan Akademi Militer masuk kota dari arah Pengok dan dijemput langsung Paku Alam VIII, dan Herman Johannes kemudian harus berpisah dengan teman-teman seperjuangannya utuk kembali ke dunia pendidikan. Jasanya di dalam perang kemerdekaan membuat Herman Johannes dianugerahi Bintang Gerilya pada tahun 1958 oleh Pemerintah RI. Almarhum Herman Johannes mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Yudhoyono dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 2009.
 
 http://id.wikipedia.org/wiki/Herman_Johannes