Djokjakarta

Sunday 9 March 2014

Sejarah Akademi Militer

Sejarah Akademi Militer (Akmil) bermula dari didirikannya Militaire Academie (MA) Yogyakarta pada tanggal 31 Oktober 1945, atas perintah Kepala Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat, Letnan Jenderal TNI Oerip Soemohardjo. Pimpinan Akmil Yogyakarta pertama telah ditetapkan oleh Letjen Oerip Sumohardjo dengan mengangkat Jenderal Mayor Soewardi sebagai Direktur Akmil Yogyakarta. Pada tahun 1950, MA Yogyakarta setelah meluluskan dua angkatan, karena alasan tehnis, ditutup untuk sementara dan taruna angkatan ketiga menyelesaikan pendidikannya di KMA Breda, Nederland. Pada kurun waktu yang sama diberbagai tempat lain (Malang, Mojoangung, Salatiga, Tangerang, Palembang, Bukit Tinggi, Brastagi, Prapat) didirikan Sekolah Perwira Darurat untuk memenuhi kebutuhan TNI AD / ABRI pada waktu itu.
        Pimpinan Markas Besar Tentara telah membuka Akademi Militer dengan kesadaran bahwa perlawanan terhadap Belanda yang terus mengadakan usaha menjajah kembali Indonesia akan berlangsung lama. Oleh karena itu diperlukan tenaga pimpinan yang bisa melanjutkan perjuangan melawan penjajah untuk jangka waktu lama. Maka karena itu sifat Akmil Yogyakarta tertuju untuk mempersiapkan tenaga pimpinan itu untuk menghadapi penjajah Belanda pada tahun 1945. Makanya tujuan Akmil Yogyakarta dan setiap Akademi Militer adalah membentuk Perwira-Perwira yang menjalankan Kepemimpinan Angkatan Perang dinegaranya. Oleh karena itu pembentukan Keperwiraan hakikatnya adalah pembentukan Kepemimpinan.
Sebagai akibat dari surat tersebut, maka diadakan pengumuman kepada para Pemuda terutama di lingkungan Yogyakarta. Oleh karena pada saat itu sedang ada Kongres Pemuda Indonesia maka di Yogyakarta berkumpul pemuda dari seluruh Indonesia. Dengan demikian ada kesempatan bagi pemuda-pemuda dari Republik Indonesia yang luas menjadi Taruna Akademi Militer.
      Pada akhir November 1945, diadakan tes ujian masuk yaitu tes jasmani dan wawancara yang menentukan siapa yang diterima di Akmil Yogyakarta. Pada akhir November 1945 pendidikan militer Akmil Yogyakarta dimulai. Inilah Angkatan Pertama Akmil Yogyakarta.Pada waktu itu motif para pemuda masuk Akmil Yogyakarta adalah untuk siap bertempur dan mampu menjalankan berbagai tugas yang bersangkutan dengan itu. Guru-guru dan instruktur-instruktur yang ada di Akademi Militer Yogyakarta pada waktu itu terdiri dari dua macam Perwira, yaitu Perwira dari Tentara Pembela Tanah Air (PETA) jaman Jepang dan Perwira dari Tentara Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) Hindia Belanda.
      Keputusan Pimpinan Akmil Yogyakarta Jenderal Mayor Soewardi untuk menggunakan Perwira sesuai dengan kemampuannya adalah amat bijaksana. Oleh karena yang ditetapkan menjadi Komandan Kompi Taruna, Komandan Seksi Taruna (dahulu nama peleton adalah Seksi) adalah mantan Perwira PETA dan Komandan Regu Taruna adalah mantan Bintara PETA. Hal tersebut merupakan pilihan tepat karena sebagai PETA mereka telah mendapat pendidikan dari tentara Jepang yang memiliki banyak pengalamanan perang dan pertempuran dibandingkan Tentara Hindia Belanda. Para Perwira PETA dapat meneruskan kecakapan dan kemampuannya menghadapi tugas-tugas sebagai Perwira pasukan yang siap bertempur kepada Taruna. Akan tetapi kami sebagai calon Perwira juga membutuhkan pengetahuan teori, seperti ilmu taktik umum, sejarah militer, ilmu bumi militer dan lain-lain. Untuk itu mantan Perwira KNIL yang menjadi guru para taruna Akmil Yogyakarta.
      Pendidikan sebagai Angkatan Pertama Akmil Yogyakarta merupakan harmonisasi dari pendidikan militer Jepang dan Hindia Belanda. Hal tersebut sangat bermanfaat. Pimpinan Akmil Yogyakarta berpendapat bahwa Keperwiraan membutuhkan pendidikan oleh raga yang baik, mendalam dan intensif. Untuk itu Akmil Yogyakarta membuka bagian dengan nama Sekolah Olah Raga (SORA) yang ditempatkan di Sarangan di kaki Gunung Lawu. Di Sarangan terdapat komunitas Jerman yang sejak pendudukan Jepang ada di tempat itu (pada Perang Dunia II Jepang dan Jerman merupakan sekutu). SORA dipimpin oleh Mayor Dr. Singgih dengan guru-guru dan instruktur-instruktur bangsa Indonesia dan Jerman. Di samping pendidikan olah raga, SORA dimanfaatkan juga untuk mendidik para Taruna dalam bahasa asing, khususnya bahasa Jerman dan bahasa Inggris.
      Pendidikan olah raga meliputi pendidikan atletik, permainan dan senam. Pada awalnya kami tidak dapat melakukan salto, tetapi setelah mendapatkan pendidikan senam, kebanyakan dari kami dapat melakukan salto sebagai hal yang normal. Hal tersebut berkat pendidikan guru-guru dan pendidikan jasmani yang bermutu, diantaranya bernama Herr Hupfer yang pada tahun 1936 menjadi pelatih Tim Senam Jepang untuk menghadapi Olimpiade. Guru bahasa Inggris dan Jerman juga cukup kompeten. Pendidikan di Yogyakarata yang bersifat pendidikan militer di kelas maupun di lapangan ditambah pendidikan olah raga telah membentuk para taruna angkatan pertama ini sebagai perwira TNI yang dapat diandalkan. Hal mana dapat dibuktikan setelah selesai pendidikan dan ditugaskan pada pasukan-pasukan TNI.
      Pendidikan yang dijalankan di Akmil Yogyakarta tertuju kepada persiapan perwira-perwira yang cukup handal di medan pertempuran. Sebab itu, di samping pendidikan di sekolah juga mendapat kewajiban melakukan tugas lapangan yang secara langsung menghadapi masalah operasi dengan pihak Belanda. Pada akhir Desember 1945, Jenderal Mayor Soewardi membawa 27 Taruna menjalankan tugas lapangan di Front Mojokerto Jawa Timur, selama dua bulan sebelum kembali ke Yogyakarta untuk bersama-sama Taruna yang lain menjalankan kuliah.
      Pada tahun 1946 dilaksanakan tugas lapangan di Bandung Utara, dimana Jenderal Mayor Dr. Mustopo memimpin Divisi P. Bapak Mustopo meminta Pak Suwardi untuk menugaskan Taruna di Bandung Utara untuk membantu beliau. Maka satu Kompi Taruna bertugas selama ± 4 (empat) bulan di Bandung Utara.Pada tahun 1946 kembali diadakan penerimaan untuk menjadi Taruna Akmil Yogyakarta yang merupakan Angkatan Kedua dari Akmil Yogyakarta. Pada saat itu di Malang dibuka Sekolah Tentara oleh Divisi setempat. Kemudian ada keinginan untuk mengintegrasikan pendidikan tersebut dengan Akmil Yogyakarta. Penggabungan itu merupakan bagian dari Angkatan kedua Akademi Militer Yogyakarta.Pada waktu itu sebenarnya digunakan istilah Kadet bagi siswa Akademi Militer, sedangkan istilah Taruna baru digunakan setelah tahun 1947.
      Tugas lapangan yang berikut adalah ketika Belanda melakukan serangan atau Aksi Militer ke-1 pada 21 Juli 1947. Dalam aksi militer kesatu itu, para Taruna ditugaskan di berbagai daerah, khususnya untuk menyiapkan Perlawanan Gerilya oleh rakyat bersama TNI. Setiap pendidikan tentu melakukan ujian akhir untuk menentukan keberhasilan para siswa / pelajar, demikian pula Akmil Yogyakarta. Sebenarnya ujian akhir untuk pendidikan olah raga telah dilakukan di Sarangan. Ujian akhir Akmil Yogyakarta meliputi tes semua mata pelajaran yang telah diperoleh, termasuk bongkar pasang senjata, tes olah raga dan lain Tes teori meliputi, antara lain ilmu taktik umum, sejarah militer, hukum militer, ilmu bumi militer dan lain-lain.Karena banyaknya mata pelajaran yang diuji, ujian akhir belum selesai ketika kami berangkat ke Solo karena beberapa taruna ada yang ikut PON I.
        Pada PON I, beberapa Taruna Akmil Yogyakarta ikut serta. Para taruna turut bertanding dalam cabang olah raga sepak bola, atletik dan bola keranjang mewakili daerah Yogyakarta. Pada waktu itu, senam bukan merupakan cabang yang dipertandingkan, dan para Taruna Akmil Yogyakarta memberikan demonstrasi senam lantai yang bermutu.
      Pada bulan September 1948 setelah selesainya PON I di Surakarta, terjadi pemberontakan PKI di Madiun. Setelah PON I selesai dan ketika para taruna Akmil Yogyakarta bermaksud kembali ke Yogyakarta, terjadi pertempuran di Serambatan, yaitu satu pasukan Angkatan Laut yang berpihak kepada PKI menyerang satu kompi Siliwangi. Pada saat itu di Madiun dimulai pemberontakan yang dipimpin oleh Muso. Akibat pertempuran di Solo maka para peserta PON tidak dapat kembali ke daerah masing-masing termasuk para Taruna. Baru setelah beberapa hari kereta api berjalan normal kami dapat kembali ke Yogyakarta. Akan tetapi, baru tiga hari kembali Akmil Yogyakarta mengirim bantuan pasukan untuk ditugaskan pada Gubernur Militer Surakarta yang dipimpin oleh Kolonel Gatot Subroto.
      Kompi dari Akmil Yogyakarta yang ditugaskan di Gubernur Militer Surakarta terdiri dari tiga seksi. Kemudian oleh Bapak Gatot Subroto Kompi ini ditugaskan pada Batalyon Nasuhi Siliwangi yang sedang melakukan operasi merebut kembali Wonogiri. Kompi Akmil Yogyakarta turut dengan Batalyon Nasuhi operasi di Solo Selatan sampai Pacitan dan kemudian menghadapi PKI di Cemoro Sewu. Bertugas menghadapi pemberontakan di Madiun memberikan banyak pengalaman kepada para taruna, terutama ditugaskan mendampingi Batalyon Nasuhi. Sebagai contoh, pada saat taruna yang bernama Sayidman Suryohadiprojo menjadi Komandan Seksi, terjadi pertempuran untuk merebut jembatan Sumo Ulun yang melintasi Bengawan Solo Peretempuran itu meruapakan pengalaman pertama melakukan serangan penyebrangan sungai. Dengan berbagai pengalaman berharga ini, pelajaran teori telah dilengkapi dengan baik. Ujian baru dapat diakhiri setelah kembali menghadapi pemberontakan di Madiun.
      Dari Angkatan Pertama pada tanggal 28 November 1948 ditetapkan 196 orang sebagai Letnan Dua TNI dan dilantik oleh Presiden RI Soekarno di Gedung Negara. Setelah Akmil Yogyakarta dapat meluluskan Angkatan Pertama pada akhir tahun 1948, terjadi kembali serangan Belanda terhadap RI dan merebut Yogyakarta. Untuk menghadapi serangan Belanda, Akmil Yogyakarta melakukan Opersi Gerilya di Wehrkreise Yogyakarta dan menempati Sub-Wehrkreise (SWK) 104. Pasukan Akmil Yogyakarta dipimpin oleh Gubernur Akmil yang kedua, yaitu Kolonel GPH Djatikoesumo. Pasukan Akmil Militer aktif dalam pertempuran-pertempuran menghadapi Belanda, dan nantinya juga ikut serta dalam Serangan Umum 1 Maret terhadap Yogyakarta. Serangan pertama dilakukan Akmil Yogyakarta terhadap lapangan udara Meguwo. Diikuti kemudian dengan serangan terhadap posisi Belanda di jalan Gondokusuman Yogyakarta. Serangan menghadapi Gondokusman telah mengakibatkan gugurnya Taruna Lili Rochli.
      Pertempuran Plataran secara khusus memberikan motivasi kepada mantan Akmil Yogyakarta di manapun ia berada. Pertempuran Plataran bermula ketika Pasukan Belanda bermaksud mengadakan pembersihan terhadap pasukan Akmil Yogyakarta. Dalam serangan sebelumnya, seorang Taruna bernama Abdul Jalil tertembak oleh Belanda dan gugur. Dan di sakunya terdapat buku saku yang berisi catatan-catatan cukup jelas tentang posisi pasukan Akmil Yogyakarta. Berdasarkan informasi tersebut, Belanda pada 24 Februari 1949 melakukan operasi pembersihan yang ditujukan pada desa Kringinan. Sebab menurut catatan Abdul Jalil di desa itu terdapat pimpinan Akmil. Gugurnya Abdul Jalil menimbulkan kewaspadaan kepada Pimpinan Pasukan Akmil Yogyakarta untuk meninggalkan Kringinan dan pindah ke desa-desa di sebelah utaranya. Untuk mengamankan gerakan pemindahan Pimpinan Pasukan Akmil Yogyakarta, sekelompok pasukan Akmil Yogyakarta berada di desa Plataran. Pasukan Belanda yang kecewa karena tidak mendapatkan pasukan Akmil di Kringinan, kemudian bergerak ke timur. Dan di Plataran terjadi pertempuran yang dilakukan pasukan Akmil di Plataran yang mengamankan pemindahan Pasukan Pimpinan. Pertempuran Pelataran merupakan tindakan pengabdian yang bersifat pengorbanan yang dilakukan anggota Pasukan Akmil.
Sebagai akibat dari pertempuran tersebut, telah gugur 8 (delapan) anggota Akmil, yaitu :
1. Letnan Dua Utoyo Notodirdjo selaku Pemimpin Pasukan.
Utoyo telah menunjukan ketauladanan, ketika mengambil oper senjata Bren dari Taruna yang terkena tembak dan melanjutkan penembakannya sehingga ia sendiri gugur.
Saudara Utoyo karena sejak jaman Belanda menjadi anggota Kepanduan Arjuna di Semarang. Utoyo selalu menjadi tauladan di dalam kehidupannya. Apa yang diperbuat di dalam pertempuran Plataran memang sesuai dengan sifatnya yang ditunjukkan sepanjang hidupnya.
2. Letnan Dua Sukotjo.
Kedua Perwira itu baru saja dilantik pada tanggal 28 Nopember 1948.
Selain itu telah gugur 5 (lima) Taruna lain dan seorang anggota Tentara Pelajar (TP) yang bergabung dengan Akmil.
      Pada akhir tahun 1949 (setelah akhir Perang Kemerdekaan II), Angkatan Kedua Akmil Yogyakarta melakukan ujian akhir tetapi tidak seluas Angkatan Pertama karena keterbatasan waktu.Dengan berbagai tugas lapangan dan tugas pertempuran, nyata sekali Akmil Yogyakarta mempunyai peran yang tidak dapat diabaikan dalam penyelamatan RI. Pada tahun 1950, setelah diterima Angkatan Ketiga Akademi Militer yang sedikit jumlahnya, Pimpinan Angkatan Darat Kolonel A.H Nasution berpendapat bahwa Angkatan Darat segogianya lebih memberikan perhatian kepada pembinaan Perwira yang sudah ada. Pimpinan Angkatan Darat memutuskan Akmil Yogyakarta, ditutup. Pada saat itu, penerimaan Akmil Yogyakarta baru 8 orang yang kemudian bersama para Pemuda yang baru lulus SMA dikirim ke Koninklijke Militaire Academie (KMA) Breda, Belanda.
      Penutupan Akmil Yogyakarta sebenarnya merupakan tindakan yang tidak memperhatikan segi idiil dari pendidikan Perwira, sebab tidak mungkin pembentukan Keperwiraan untuk TNI bersifat lengkap dengan jiwa kepatriotan jika dilaksanakan di luar negeri, karena hanya di dalam negeri seorang Pemuda dapat dibentuk dan tumbuh menjadi seorang Perwira yang mengabdi kepada bangsa dan negara, membela Pancasila sebagaimana ditetapkan didalam Sapta Marga. Sejak tahun 1950, Akmil Yogyakarta tidak ada lagi. Total jumlah kadet MA yang gugur rentang waktu antara tahun 1945 sampai denga 1950 adalah 27 anggota yang terdiri dari 12 orang yang telah dilantik sebagai Letnan Dua dan 15 orang Taruna :
1. Serma Kadet E. Mustofa
2. Serma Kadet Sudarto
3. Vanderik Cadet Sugiarto
4. Vanderik Cadet Hardo S.
5. Vanderik Cadet Muh Lili. R.
6. Vanderik Cadet Muh Abdullili Rahli
7. Vanderik Cadet Husaen
8. Vanderik Cadet Sunarto
9. Vanderik Cadet Suharsono
10. Vanderik Cadet Soesanto
11. Vanderik Cadet Subiyakto
12. Vanderik Cadet Sudibya
13. Vanderik Cadet Tarjono
14. Letda Kusno Danudjo
15. Letda Prayitno
16. Letda RM Utoyo Notodiharjo
17. Letda Sukoco
18. Letda Suroto
19. Letda Suseno Utoro
20. Letda Susbanderisman
       Dalam perkembangan jaman disadari bahwa tidak mungkin suatu negara tanpa memiliki Akmil. Kolonel GPH Djatikusumo (Mantan Gubernur Akmil kedua) ketika menjabat sebagai Direktur Zeni Angkatan Darat meminta Kolonel A.H Nasution untuk membuka Sekolah Perwira Zeni yang berkembang menjadi Akademi Zeni. Usaha Kolonel GPH Djatikusumo telah mendorong dan menyadarkan bahwa Indonesia memerlukan suatu Akademi Militer.
      Pada tanggal 1 Januari 1951 di Bandung didirikan SPGi AD (Sekolah Perwira Genie Angkatan Darat), dan pada tanggal 23 September 1956 berubah menjadi ATEKAD (Akademi Teknik Angkatan Darat). Sementara itu pula pada tanggal 13 Januari 1951 didirikan pula P3AD (Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat) di Bandung. Mengingat pada saat itu banyak sekolah perwira TNI AD, maka muncul gagasan dari pimpinan TNI AD untuk mendirikan suatu Akademi Militer, gagasan ini pertama kali dimunculkan pada sidang parlemen oleh Menteri Pertahanan pada tahun 1952. Setelah melalui berbagai proses, maka pada tanggal 11 Nopember 1957 pukul 11.00 Presiden RI Ir Soekarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI, meresmikan pembukaan kembali Akademi Militer Nasional yang berkedudukan di Magelang. Akademi Militer ini merupakan kelanjutan dari MA Yogyakarta dan taruna masukan tahun 1957 ini dinyatakan sebagai Taruna AMN angkatan ke-4. Pada 11 November 1957 telah dibuka kembali Akmil yang ditempatkan di Magelang, berdasarkan keputusan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno dengan tulisan tangan :
“Dengan ini, maka Akademi Militer Nasional dengan angkatannya yang keempat saya buka kembali, dan saya resmikannya dalam kompleks A.M.N yang bersifat sementara”.
Magelang 11 November 1957.
Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia.
Soekarno.

    

Pada tahun 1961 Akademi Militer Nasional Magelang di integrasikan dengan ATEKAD Bandung dengan nama Akademi Militer Nasional dan berkedudukan di Magelang. Mengingat pada saat itu masing-masing angkatan (AD, AL, AU dan Polri) memiliki Akademi, maka pada tanggal 16 Desember 1965 seluruh Akademi Angkatan (AMN, AAL, AAU dan AAK) diintegrasikan menjadi Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI). Sesuai dengan tuntutan tugas, maka pada tanggal 29 Januari 1967 Akabri di Magelang diresmikan menjadi Akabri Udarat, yang meliputi dua Akabri bagian di bawah satu pimpinan, yaitu Akabri Bagian Umum dan Akabri bagian Darat. Akabri Bagian Umum mendidik taruna TK-I selama satu tahun, termasuk Pendidikan Dasar Keprajuritan Chandradimuka, sedangkan Akabri bagian Darat mendidik taruna Akabri Bagian Darat mulai TK-II sampai dengan TK-IV. Pada tanggal 29 September 1979 Akabri Udarat berubah namanya menjadi Akabri Bagian Darat.
Dalam rangka reorganisasi di lingkungan ABRI, maka pada tanggal 14 Juni 1984 Akabri Bagian Darat berubah namanya menjadi Akmil (Akademi Militer).
Pada tanggal 1 April 1999 secara resmi Polri terpisah dari tiga angkatan lainnya, dan ABRI berubah menjadi TNI. Sejak itu pula Akademi Kepolisian terpisah dari AKABRI. Kemudian AKABRI berubah namanya menjadi Akademi TNI yang terdiri dari AKMIL, AAL, AAU.
Berdasarkan Perpang Nomor :Perpang/ 28/ V/ 2008 tanggal 12 Mei 2008 Pendidikan Dasar Keprajuritan Chandradimuka dan Integratif Akademi TNI pola 12 bulan langsung dibawah Mako Akademi TNI. Kemudian AKMIL menyelenggarakan pendidikan khusus Taruna Angkatan Darat tingkat II, III dan IV.
Sumber :  http://www.akmil.ac.id/index.php?option=com_content&view=section&id=5&Itemid=65
               Buku :  Taruna Akademi Militer Yogyakarta Turut Menyelamatkan NKRI
                           Letjen TNI (Purn) Sayidman Suryohadiprojo

1 comment:

  1. Alangkah Senang nya kami, keluarga Besar M.Lily Rochli bisa mengenal sejarah kepahlawanan beliau. Semoga menjadi suri tauladan rasa nasionalisme kami kepada bangsa dan negara Indonesia tercinta. Untunk mengenag jasa beliau, Di desa kelahirannya, di Tasikmalaya, nama beliau dijadikan nama jalan.

    ReplyDelete