1. WEHRKREISE (DAERAH PERLAWANAN) III YOGYAKARTA
Istilah Wehrkreise ini pertama kali timbul di dalam
Perintah Siasat No. 1/Stop/48 yang dikeluarkan oleh Panglima Besar
Angkatan Perang RI Letnan Jenderal Soedirman pada tanggal 12 Juni 1948.
Kemudian pada bulan Juli/Agustus diadakan rapat oleh Staf Angkatan
Perang di Magelang untuk menjelaskan isi Perintah Siasat tersebut kepada
para Panglima Divisi/Komandan Brigade/Resimen dan pimpinan setaraf.
Di dalam Perintah Siasat tersebut terdapat perkiraan
tentang kemungkinan serangan Belanda, yang memperkirakan adanya dua
poros menyerbu ibukota RI Yogyakarta. Satu poros datang dari arah
Semarang ke Magelang dan terus ke Yogyakarta. Satu poros lagi dari
Surabaya ke Madiun dan terus ke Yogya. Brigade X bertanggungjawab atas
pertahanan Yogyakarta dibuat menghadap ke arah barat dan utara.
Pasukan-pasukan didislokasi di perbatasan menghadapi garis status-quo di
sekitar Purworejo dan Magelang.
Pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 Belanda
menyerang dengan hari pertama mendaratkan pasukan payung di lapangan
udara Maguwo (Lanud Adisucipto) dan terus menyerbu ke jantung kota
Yogya. Karena tidak ada pasukan di dalam kota, serbuan Belanda berjalan
lancar.
Pasukan-pasukan Divisi Siliwangi yang berdiam di
Yogyakarta, segera bergerak ke arah Jawa Barat, sesuai dengan isi
Perintah Siasat No. 1/Stop/48, yaitu melaksanakan gerakan Wingate
kembali ke daerah asal, yang sebenarnya sudah dimulai sejak rapat
Magelang bulan Juli/Agustus 1948. (Catatan: Gerakan Wingate adalah
konsep menyusup ke belakang kedudukan musuh, diambil dari peristiwa di
Burma (Myanmar) waktu Perang Dunia ke-2, pasukan-pasukan Inggris
dipimpin oleh Jenderal Wingate menyusup di belakang pasukan-pasukan
Jepang di utara Burma (Myanmar).
Dengan demikian pertahanan Yogyakarta dilakukan oleh
Letkol Suharto, Komandan Brigade X dengan pasukan-pasukan seadanya dan
didampingi Kapten Widodo, seorang komandan kompi yang sedang cuti di
Yogyakarta dari Batalyon yang tugas di Purworejo.
Sore hari Belanda sudah sampai di batas kota sebelah
barat dan sudah menawan Presiden Soekarno, Wakil Presiden/Perdana
Menteri Moh. Hatta dan beberapa menteri kabinet.
Pada waktu rapat di Magelang, Staf Angkatan Perang sudah
menjelaskan pokok inti Perintah Siasat yang berisi niat akan meneruskan
perang perlawanan, walaupun Belanda diperkirakan menduduki kota-kota.
Dan sudah dijelaskan sistem perlawanan yang disebut WEHRKREISE (WK) dan
sistem penomoran WEHRKREISE kepada para Panglima Divisi dan komandan
bawahannya.
Intisarinya ialah, semua rakyat dan Angkatan Perangnya
akan melawan terus terhadap Belanda. Meskipun pimpinan negara tertawan,
ibukota RI diduduki musuh, dan masih belum tahu bahwa Panglma Besar
telah bergerak ke luar kota, dan pemerintah darurat telah dinyatakan ada
di Sumatera Barat, pasukan-pasukan di Yogyakarta yang belum terima
perintah apa-apa dari komandannya, sudah melakukan perlawanan.
Dalam satu dua hari, komandan Brigade X menghubungi
pasukan-pasukan sekitar Yogyakarta dan memberi nomor SUB WEHRKREISE.
Kemudian penomoran dan penugasan perlawanan ini dikukuhkan oleh Panglima
Divisi III, Kolonel Bambang Sugeng, di dalam Perintah Siasat No.
4/S/Cop. 1 yang diterbitkan pada tanggal 1 Januari 1949. Pada waktu
perintah ini diterbitkan, Brigade X sudah melakukan serangan-serangan ke
pos-pos Belanda di kota Yogyakarta dan sekitarnya. Pada tanggal 30
Desember 1948 diadakan serangan yang terkoordinasi dan telah dinamakan
serangan umum pertama. Hari itu pula dinyatakan kemudian hari jadi
WEHRKREISE III Yogyakarta.
Sesudah terbit Perintah Siasat No. 4/S/Cop. 1, Komandan
Brigade memberi penomoran baru bagi SUB WEHRKREISE (SWK), yaitu 101,
102, 103, 103A, 104, 105. Kemudian terjadi pergeseran pasukan yang
menyebabkan perubahan penomoran lagi menjadi SWK 101, 102, 103, 103A,
104, 105, dan 106.
Karena dislokasi pasukan-pasukan Brigade X ada di
Purworejo dan Kebumen, maka kedua daerah ini oleh Divisi disetujui masuk
WEHRKREISE III, meskipun berada di luar Yogyakarta.
Kemudian dibentuk juga komando teritorial, yang
konsepnya adalah membebaskan pasukan-pasukan tempur dari beban logistik.
Komando Distrik Militer dan Komando Onder-distrik Militer menyediakan
makan, penampungan dan perawatan untuk pasukan-pasukan tempur. Dengan
demikian Brigade X telah terkonsolidasi dengan waktu relatif cepat, dan
dapat melaksanakan operasi-operasi serangan balas, dengan cara
patroli-patroli pertempuran, penghadangan konvoi, dan serangan-serangan
serentak dan terkoordinasi yang dinamakan serangan-serangan umum.
- Tanggal 30 Desember 1948 merupakan serangan umum pertama.
- Tanggal 7 Januari 1949 diperintahkan serangan umum kedua, tapi baru terlaksana pada tanggal 9 Januari 1949.
- Tanggal 16 Januari 1949 serangan umum ketiga yang diwarnai dengan serangan yang dilakukan masih terang matahari pada sore hari.
- Sebelum serangan umum keempat Brigade X mengadakan pergeseran kedudukan pasukan, yaitu Batalyon 151 dipindahkan dari utara ke barat, masuk ke SUB WEHRKREISE 103A. Tanggal 4 Januari 1949 serangan umum keempat, yang diwarnai kecuali koordinasi antara sesama SWK, juga dengan pemerintah sipil yang dibawah pimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Dengan demikian Brigade X/WK III memenuhi tugas pokoknya
yaitu melakukan perang perlawanan terhadap pasukan-pasukan Belanda.
Pasukan-pasukan ini ternyata mendapat dukungan yang hebat dari rakyat
Yogyakarta yang mendengarkan sabda Sultannya yaitu Sri Sultan Hamengku
Buwono IX, yang menyatakan tekadnya tidak akan menyerah kepada musuh.
Dari beberapa kejadian yang dilihat oleh para pelaku, ada di antaranya
seorang lurah ditembak pasukan Belanda karena tidak mau tunduk pada
perintahnya.
Rumah-rumah rakyat dibakar, panen padi dijarah oleh
pasukan-pasukan Belanda, namun tidak membuat rakyat takluk kepada musuh.
Kesan para pelaku sesudah selesai perang adalah, bagaimana mungkin kita
melanjutkan perang jika tanpa dukungan rakyat yang demikian hebatnya.
Salah satu pasukan pada tanggal 29 Juni 1949 sesudah gencatan senjata,
mengadakan penghitungan amunisi, mendapat tiap pucuk senjata rata-rata
tinggal 16 butir. Namun sebelum gencatan senjata, tidak pernah turun
semangat tempurnya pasukan yang didampingi rakyat Yogyakarta yang
demikian itu.
Pada tanggal 5 Januari 1949 Komandan Batalyon 151
(Batalyon yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar), Kapten Haryadi,
gugur di daerah utara Yogyakarta. Komandan Brigade X mengangkat seorang
Komandan kompi, Letnan I Haryasudirja, sebagai Pejabat Komandan
Batalyon.
Selama periode pendudukan Belanda Presiden Soekarno
menetapkan Sultan Hamengku Buwono IX berfungsi sebagai pemegang
kekuasaan penuh pemerintah RI, kecuali juga kedudukannya sebagai Kepala
Daerah Kesultanan Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwono IX juga menyandang
pangkat tituler, Jenderal Mayor dalam TNI. Kedudukan-kedudukan inilah
yang menentukan hubungan dengan pasukan-pasukan TNI, yang malahan dalam
laporan-laporan pemerintah Belanda disebut kecurigaannya bahwa Sultan
Hamengku Buwono IX selalu memimpin gerakan perlawanan terhadap Belanda
dari singgasananya.
2. SERANGAN UMUM 1 MARET 1949
Serangan Umum ke-5 dilaksanakan pada tanggal 1 Maret
1949. Bunyi sirine kota Yogyakarta tanda habisnya jam malam dipergunakan
oleh WEHRKREISE III sebagai tanda mulai serangan.
Penyerbuan dilakukan dari empat jurusan. Dari selatan
oleh pasukan SWK 102 dipimpin oleh Mayor Sardjono. Dari arah barat oleh
pasukan SWK 103A dipimpin oleh Mayor HNV Sumual. Dari arah utara pasukan
SWK 104 dipimpin oleh Mayor Soekasno. Dari arah timur pasukan SWK 105
dipimpin oleh Mayor Soedjono. Komandan WEHRKREISE III Letkol Soeharto
menempatkan pos komandonya di sektor barat. Pos komando bergerak
meninggalkan Pathuk memasuki jalan Malioboro. Di sebelah timur Sungai
Winongo di pinggir barat kota Yogyakarta komandan WEHRKREISE III bertemu
dan memeriksa gerak maju pasukan-pasukan SWK 105 yang dipimpin Mayor
Sumual. Di tempat tersebut ada juga Letnan Harjasudirdja dengan
pasukannya.
Pukul 04.00 pasukan-pasukan ini telah menyeberangi
sungai Winongo dan bergerak memasuki kota lewat Pathuk dan pada pukul
06.00 pagi berbarengan dengan bunyi sirine, dimulailah tembakan-tembakan
dan serangan-serangan.
Letnan Harjadisudirdja sesudah pukul 12.00 bergerak
meninggalkan kota dan bertemu komandan WEHRKREISE III di Wirobrajan,
dekat pabrik Aniem (PLN-disel).
Demikian terjadi pertempuran yang kita namakan
pendudukan enam jam di ibukota perjuangan RI Yogyakarta yang diduduki
tentara Belanda.
Waktu yang pendek ini membuat gejolak di dalam politik
di Dewan Keamanan PBB di New York. Boleh dikatakan secara langsung
berpengaruh kepada keputusan-keputusan yang diambil oleh PBB mengenai
penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda.
Salah pemicu pembicaraan tentang serangan atas
Yogyakarta ini adalah sampainya berita tentang serangan itu yang
disiarkan ke media dunia lewat AII India Radio New Delhi, kira-kira
sekitar 5 Maret 1949.
Tentang sampainya berita ini di New Delhi, telah
diketemukan kisahnya. Komandan WEHRKREISE III mengirim seorang perwira
perhubungan Mayor Purhadi ke pos radio di Playen yang dioperasikan oleh
seorang perwira Angkatan Udara, Kapten Udara Boediardjo (Marsekal Madya
TNI, Menteri Penerangan dalam Kabinet pada tahun 1970-an). Kapten
Boediardjo mengirim berita lewat morse dengan pemancarna di Playen,
dengan menggunakan teks berita yang ia terima dari Pejabat kepala Staf
Angkatan Perang RI, Kolonel TB Simatupang dari kedudukannya di
Kulonprogo, barat Yogyakarta. Teks berita ini ada otentiknya yang
disimpan oleh penerimanya di Sumatera Barat, waktu itu Sersan Mayor
Udara Umar Said Noor (Kolonel Udara Purnawirawan). Penerima ini
melaporkan penerimaan berita itu kepada Kapten Penerbang Dick Tamimi,
dan bersama menghadap Pjs. Presiden Pemerintah Darurat RI, Syafruddin
Prawiranegara. Oleh Pjs Presiden disuruh meneruskan ke pos pemancar di
Takengon, Aceh dan dari Takengon ke pemancar radio di Burma (Myanmar),
yang kemudian diterima oleh AII India Radio New Delhi, dan dijadikan
siaran berita ke seluruh pendengar di dunia.
Berita ini oleh para pejuang diplomatik RI di Dewan
Keamanan PBB di New York dipergunakan sebagai argumen dalam meja
perundingan.
Di dalam Official Records Dewan Keamanan PBB, Fourth
Year No. 19 tertanggal 10 Maret 1949 di halaman 28, dinyatakan oleh
Ketua Delegasi RI, LN Palar: “… situasi militer cukup digambarkan oleh
serangan pasukan-pasukan kita di Yogyakarta baru-baru ini, dan
didudukinya kota Yogyakarta pada akhir Februari 1949 (catatan: di New
York tanggal 28 Februari 1949 sama dengan 1 Maret 1949 di Yogyakarta).
Taktik gerilya kita tidak menduduki kota secara
permanen, karena akan mengundang serangan panser lawan. Maka setelah
tercapai tujuan dengan menyerang Yogyakarta, mereka menarik diri lagi.
Tetapi kalau Belanda tetap mengadakan gerakan pembersihan dengan dibantu
kapal perang dan bomber-bomber, saya dapat meramalkan bahwa kota-kota
seperti Batavia dan Surabaya akan mendapat penetrasi gerilya. Ini adalah
petunjuk-petunjuk dari kesiapan tempur pasukan-pasukan kita untuk
menyelesaikan persoalan Belanda di medan perang….”.
LN Palar melanjutkan lagi tanggapan atas sikap Belanda
yang mengulur-ulur waktu menyerahkan kedaulatan kepada RI, seperti telah
diputuskan oleh resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949 No.
S/1270 dan S/1270/Corr. 1, dengan pidatonya empat hari kemudian pada
tanggal 14 Maret 1949, yang dimuat dalam Official Records, Fourth Year
No. 21, halaman 10: “Tidak dapat disangsikan bahwa gerilya kita, dengan
dibantu rakyat, mampu membuat lelah Belanda secara militer. Tetapi ini
diperbuat dengan kehilangan jiwa dan harta yang besar,
kehilangan-kehilangan yang kami pemimpin politik mencoba menghindarinya
dengan membawa ke meja perundingan. Tetapi kami berjanji dengan
peringatan tegas kepada Belanda, bahwa apabila mereka tetap dengan
politiknya sekarang, secara politis dan militer, gerilya kita akan
menyelesaikan persoalan ini.”
Dari kedua dokumen resmi PBB ini ternyata bahwa delegasi
RI dengan tangkas menggunakan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di
Yogyakarta sebagai argumen/titik tekan yang penting dalam
perundingan-perundingan di Dewan Keamanan.
Pada tanggal 23 Maret 1949 diterima resolusi Kanada di
Dewan Keamanan PBB yang disebut “Pedoman Kanada” (Canadian Directive)
dalam rangka membantu Belanda dan RI mencapai persetujuan dalam hal:
1. Pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta.
2. Penghentian gerakan militer Belanda dan perang gerilya RI.
3. Waktu dan syarat mengadakan konferensi di Den Haag untuk merundingkan penyelesaian akhir masalah Indonesia-Belanda.
Demikianlah, kemudian Konferensi Meja Bundar terjadi di
Den Haag, disusul dengan penyerahan kedaulatan atas Nederlands-Indie
oleh Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) tanggal 27 Desember
1949, dan pada tanggal 17 Agustus 1950 RIS ditiadakan oleh Republik
Indonesia.
3. BEBERAPA CATATAN SEKITAR SERANGAN UMUM 1 MARET 1949
a. Mengenai
prakarsa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta telah ada uraian yang
luas dan lingkup di dalam buku Bapak Jenderal AH Nasution jilid 2A dari
“Memenuhi Panggilan Tugas” hal. 245 s/d 247 yang tidak mempersoalkan
prakarsa, tetapi yang menyimpulkan bahwa “inisiatif operasional” untuk
melakukan serangan adalah wajar di tangan komandan WEHRKREISE
b. Peranan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang perlu diperingati adalah sikap beliau menghadapi Belanda.
Di dalam laporan Jenderal Spoor, Panglima Belanda,
disebutkan tentang pertemuan Jenderal Meyer, Panglima Belanda untuk Jawa
Tengah yang disertai Kolonel van Langen, Komandan Brigade T, Dr.
Angenent dan Resident Stok dengan Sultan Hamengku Buwono IX di Keraton
Yogyakarta pada tanggal 2 Maret 1949, di mana Sultan Hamengku Buwono IX
menyatakan akan turun tahta, karena merasa terhina oleh Belanda tidak
percaya pernyataannya bahwa tidak memberi suaka kepada gerilyawan, dan
menyatakan bila Keraton di geledah, hanya dapat dilakukan lewat
mayatnya.
Ucapan ini meyakinkan Belanda akan tekad Sultan Hamengku
Buwono IX untuk setia kepada RI dan memberikan semangat yang besar
kepada perlawanan Yogyakarta terhadap Belanda.
c. Buku-buku
“Aksi Polisionil” karangan Pierre Heyboer, yang terbit pada tahun 1979
di hal 152 dengan judul paragraf: Serangan Yogya oleh TNI, dikisahkan
mengenai peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Heyboer menyebutkan
secara “keliru” serangan pertama yang diundur tanggal 28 Februari 1949
terjadi karena kekeliruan tahun kabisat 1949 berarti ada tanggal 29
Februari 1949. Ini tidak benar, tahun 1949 adalah bukan tahun kabisat.
Tetapi memang serangan 28 Februari 1949 diundur menjadi tanggal 1 Maret
1949.
Pada kesimpulan paragraf ini Heyboer mengatakan bahwa
serangan dan pendudukan yang pendek itu, yaitu 6 jam, 0dan dengan korban
gugur 3000 orang di pihak RI, membuat kesalahan yang besar buat Belanda
di mata dunia.
d. Karena
kegusarannya, tentara Belanda mengadakan operasi-operasi pembalasan
atas serangan 1 Maret 1949 ke tempat-tempat yang mereka perkirakan
vital.
Wonosari mereka serang pada tanggal 10 Maret 1949 dengan
22 pesawat terbang dan 2 batalyon pasukan. Hasilnya nihil, karena yang
mereka perkirakan Panglima Besar Soedirman berada di situ, ternyata
tidak ada.
Juga mereka tidak berhasil meniadakan pemancar radio kita.
Godean, juga diserang dengan panser dan pasukan kaki
pada tanggal 18 Maret 1949. Korban rakyat banyak, yang kemudian oleh
pasukan-pasukan kita dikuburkan.
Satu rumah yang ditempati seorang komandan kompi Batalyon 151 Letnan Satu Soebono Mantovani, oleh Belanda dibakar habis.
Ada seorang bapak penduduk Godean yang merangkul dua
anaknya sembunyi di bawah jerami, mati terbakar ketiga-tiganya, waktu
jerami itu dibakar oleh tentara Belanda.
e. Bulan
Mei 1949 pasukan-pasukan sudah mulai diperintahkan menghentikan
permusuhan dengan Belanda. Di dalam buku laporan belanda terdapat bahwa
sampai bulan Juni 1949 pasukan Belanda masih melakukan operasi-operasi
militer di daerah yang diduduki sebelum dan sesudah 19 Desember 1948.
Batalyon 151 bergerak dari Yogya barat ke Yogya timur, menyusur kota
Yogyakarta. Atas permintaan rakyat di Yogya timur mereka menyerang pos
Belanda di desa Serut dengan berhasil menghancurkan beberapa panser dan
truk tentara kolonial. Atas laporan kemudian ternyata bahwa Belanda
menderita kerugian di Serut itu yang terbesar dalam satu pertempuran,
sepanjang konflik Indonesia-Belanda.
f. Catatan Tambahan Aksi-aksi TNI CS di luar Yogyakarta
Belanda melepaskan Indonesia pada Desember 1949 dengan beberapa faktor yang mendorong Belanda mengambil keputusan tersebut.
Faktor-faktor tersebut kami gali dari pencatatan Belanda
yang termuat dalam bukunya, yang ditulis oleh Dr. PMH Groen yang
berjudul “Marsroutes en Dwaalsporen” – Strategi Militer Belanda di
Indonesia 1945-1950.
Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Kekeliruan
militer Belanda yang memberi prioritas kemenangan militer atas TNI dan
kurang memperhatikan dalam mengambil hati rakyat dalam melaksananakan
perang.
Rakyat ternyata membantu TNI dengan sistem teritorial
yang diadakan TNI untuk mendapatkan bantuan dan kerja sama rakyat dalam
berperang melawan tentara Belanda yang lebih superior dalam
persenjataan, teknik perang dan organisasi militer.
Bantuan rakyat itu terbaca dalam halaman 249, yang
memuat tabel jumlah kepala desa dan pegawai Pangreh Praja yang diculik
dan dibunuh oleh TNI. Di Jawa Tengah tercatat 124 kepala desa dan 15
pegawai Pangreh Praja. Dari angka ini tidak ada satupun yang terdapat di
Yogyakarta. Karena memang di Yogyakarta Belanda tidak berhasil
mengangkat seorangpun kepala desa dan pegawai Pangreh Praja. Hal ini
berkat pengaruh dan ketaatan rakyat kepada Sultan Hamengku Buwono IX,
yang dengan sikapnya yang tegar menentang kerja sama dengan Belanda dan
setia kepada Republik Indonesia.
2. Beban moril dan materiil Belanda selama konflik dengan Indonesia.
Tidak dapat diperoleh angka-angka pengeluaran uang
Belanda untuk mempertahankan kondisi perang dengan Indonesia. Tetapi
dana yang keluar adalah tidak kecil, memindahkan pasukan beberapa divisi
dari negeri Belanda ke Indonesia, membentuk kembali tentara KNIL,
memperlengkapinya, melatihnya, memelihara infrastruktur pemerintah
penjajahan, jelas menelan biaya yang tidak kecil selama empat setengah
tahun. Faktor biaya ini menimbulkan kecurigaan pada pensuplai dana dalam
rangka MARSHALL PLAN, yang mendukung Belanda selesai Perang Dunia II.
Ada tekanan-tekanan dari AS untuk menghentikan pengeluaran dan yang
besar ini, guna mempertahankan koloni Hindia Belanda.
Secara moril terjadi tekanan-tekanan pada pemuda-pemuda
tentara Belanda yang direkrut oleh KL (Tentara Kerajaan) dan dikirm ke
Indonesia.
Laporan tentang desersi tidak diperoleh. Laporan “sakit”
pada tanggal 2 Januari 1949 di Jawa terdapat 4,3%, Sumatera 3,4%, ini
naik pada 27 Februari 1949 menjadi 5,68% dan 4,11%.
Penolakan perintah dinas terdapat di Jawa Tengah,
menurut Pengadilan Militer di lapangan sejak Maret 1949 sampai Agustus
1949 terdapat 20 kasus, terutama terdapat pada prajurit-prajurit remaja.
Sikap dan tindakan kontra teror oleh tentara Belanda
terjadi di beberapa tempat oleh beberapa kesatuan. Hal ini makin
menimbulkan antipati rakyat. Jenderal Spoor, Panglima Tentara Belanda
memandang perlu untuk mengurangi aksi-aksi ini dengan teguran kepada
pasukan-pasukannya yang antara lain menyebutkan “agar tindakan tegas,
adil dan tidak menjauhi tindakan keras bila diharuskan oleh kebutuhan
taktis atau keamanan, tetapi tidak boleh melupakan bersikap sebagai
prajurit yang berwibawa, terkendali dan berperikemanusiaan”.
Kalau bagi TNI di dalam perang tersedia “tenaga
pengganti” yang besar jumlahnya, tidak demikian dengan tentara Belanda.
Kerugian-kerugian yang mereka derita sukar mendapat ganti tenaga baru.
Di halaman 259 dimuat daftar kerugian KL/KNIL selama dan
sesudah aksi militer ke-2, antara 19 Desember 1948 sampai 10 Agustus
1949.
Gugur : Di Jawa 1005, Sumatera 184, total 1189.
Khusus di Jawa Tengah 504.
Luka-luka : Di Jawa 2052, Sumatera 487, total 2539.
Khusus di Jawa Tengah 1330.
Hilang : Di Jawa 106, Sumatera 17, total 123.
Khusus di Jawa tengah 71.
Halaman 254 lampiran 9
Serangan TNI pada kota-kota yang diduduki Belanda sesudah Aksi Militer ke-2. Tabel terlampir di halaman 14.
3. Dukungan internasional kepada Indonesia.
Sejak proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 negara-negara Australia dan Mesir segera mengakui RI.
Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB menyebut delegasi dari Indonesia sudah dengan sebutan delegasi Republik Indonesia.
Aksi Militer Belanda ke-1, tanggal 21 Juli 1947, membuat hujan protes dan kecaman-kecaman dari banyak negara kepada Belanda.
Aksi Militer Belanda ke-2, 19 Desember 1948, membuat
negara-negara yang bersahabat marah dan muncul resolusi-resolusi Dewan
Keamanan bertubi-tubi, sampai tanggal 29 Januari 1949 menelorkan
resolusi yang mengharuskan Belanda menyerahkan kedaulatan atas Hindia
Belanda kepada Republik Indonesia.
Dewan Keamanan sendiri memungkinkan RI melakukan
perundingan secara sejajar dengan Belanda, sampai dalam satu rapat,
ketua delegasi RI LN Palar mengeluarkan gebrakan-gebrakan dengan
menggunakan aksi-aksi militer TNI di Indonesia sebagai dasar
perundingan, sehingga pada tanggal 23 Maret 1949 muncul “CANADIAN
DIRECTIVE” yang disusul dengan keputusan mengadakan konferensi meja
bundar RI-Belanda di Den Haag. Dan sejarah telah mencatat penyerahan
kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 dan tanggal 17 Agustus 1950 RIS
kembali menjadi RI.
Demikianlah rangkuman singkat sebagian peristiwa-peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.
Nilai dan Makna Semangat Serangan Umum 1 Maret 1949
Satu Maret 1949 adalah salah satu rangkaian harihari
bersejarah bagi perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan negara
Republik Indonesia yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus
1945, menghadapi serangan tentara kolinial asing yang hendak
mengembalikan penjajahan di bumi pertiwi kita.
Pada tanggal 1 Maret 1949 telah dilancarkan serangan
umum bersenjata serentak oleh Tnetara Nasional Indonesia bersama satuan
pemuda dan rakyat terhadap tentara kolonial, yang menduduki ibukota
perjuangan Republik Indonesia Yogyakarta pada waktu itu.
Prolog persitiwa heroik ini terjadi 63 tahun yang lalu,
setelah melalui meja perundingan, aksi-akasi polisionil serta
pembentukan negara-negara boneka oleh pemerintah kolonial tidak berhasil
meniadakan Republik Indonesia, maka kemudian disusul tindakan-tindakan
ingkar janji (persetujuan Renville – Linggarjati), dengan serbuan udara
pasukan para tentara Belanda di lapangan terbang Maguwo (Lanud
Adisucipto) pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948, pada waktu
suasana kehidupan ibukota Yogyakarta, yang berusia tiga tahun merdeka,
baru saja tenang, setelah beberapa minggu menyelesaikan tugas menumpas
peristiwa pemberontakan PKI di daerah Madiun, 18 September 1948.
Satuan-satuan Tentara Nasional Indonesia masih terpencar
di daerah-daerah perbatasan garis demarkasi pendudukan Belanda, untuk
menghadapi kemungkinan serbuan tentara kolonial melalui darat dari arah
utara dan barat. Meskipun jumlah dan kekuatan satuan tentara kita di
sekitar lapangan terbang Maguwo tidak seimbang menghadapi serbuan
tentara kolonial, namun dengan semangat patriotik “cinta bangsa dan tanah air”, satuan tentara kita beserta rakyat tetap bertahan dan terus mengadakan perlawanan.
Akhirnya, dengan melewati korban pahlawan-pahlawan kita,
tentara kolonial kemudian dapat memasuki kota Yogyakarta dari arah
timur (Maguwo) serta menawan beberapa pimpinan Pemerintahan Tertinggi
RI. Oleh karenanya dibentuklah pemerintah darurat RI yang berkedudukan
di Sumatera Barat, namun pasukan serta TNI langsung bergerak keluar kota
Yogyakarta dan memasuki daerah kantong-kantong perlawanan masing-masing
sesuai Perintah Siasat No. 1/Stop/48 dari Panglima Besar Soedirman dan
beserta rakyat tetap bertekad untuk meneruskan perlawanan rakyat semesta
(gerilya).
No comments:
Post a Comment