Djokjakarta

Friday, 30 January 2015

Monumen Juang Soma Bren

Peristiwa Gunung Simping

Peristiwa pembantaian rakyat di desa di kaki gunung simping yang letaknya kurang lebih 3 Km dari kota Cilacap yang menewaskan 54 penduduk desa tersebut tanpa alasan yang jelas. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 1 Agustus 1949 pada malam hari di rumah Somadihardja yang sedang melakuan hajatan pernikahan anaknya dengan mengadakan pertunjukan wayang. Saat itu Belanda menerapkan jam malam berbeda dengan seperti biasanya yaitu dimulai jam 22.00 sampai jam 05.00 pagi di rubah jam malam dari jam 01.00 sampai jam 05.00 pagi, sehingga pelaksanaan hajatan dilakukan sebelum jam malam. Acara tersebut sudah mendapat izin dari pemerintah pendudukan ( Belanda ) bahkan dituangkan dalam izin tertulis. Dengan adanya izin tersebut masyarakat tidak merasa khawatir bahkan yang datang cukup banyak mengingat acara wayangan saat itu termasuk langka.
Disaat rakyat bergembira tiba-tiba pada pukul 21.00 terdengar dentuman dan rentetan senapan-senapan otomatis dari jarak dekat. Kekacauan mulai timbul,rakyat panik,saling injak dan berlari tidak tentu arah. Udara penuh teriakan dan jeritan. Tidak berapa lama tembakan-tembakan dihentikan dan terdengar suara keras memerintahkan : “ Semua orang keluar !! kalau tidak saya bakar rumah ini !! “ , setelah itu tiba-tiba ada orang membuka pintu belakang dan terdengar ada suara bertanya : Siapa!!?? TNI ??!! , kemudian terdengar jawaban : “ Bukan saya orang tani..”  tetapi jawaban itu di jawab dengan dua tembakan dan tersungkur dua badan jatuh ke lantai. Tidak berapa lama terdengar bunyi peluit dan perintah-perintah dalam bahasa belanda dan tak lama kemudian terdengar bunyi kendaraan menjauh meninggalkan lokasi begitu saja.
Setelah belanda pergi maka yang selamat mulai mendekat dan menyalakan lampu-lampu yang sebelumnya dimatikan, dan terlihat banyak korban bergelimpangan mulai dari anak-anak sampai orang dewasa dan menurut perhitungan saat itu yang meninggal berjumlah 27 orang dan yang menderita luka-luka berat kurang lebih juga sama jumlahnya, pada malam itu juga para korban yang luka berat segera di tolong sedapat mungkin namun yang mengecewakan adalah tidak adanya persediaan obat-obatan.
Dewan Kabupaten Cilacap mengajukan protes kepada pihak Belanda sehingga perkara ini sempat di bahas dan menjadi bahan perbincangan di parlemen Belanda. Seorang Sosialis Belanda bernama Goedhardt telah menuntut agar Letnan II Frans yang memimpin pasukan tersebut di hadapkan ke pengadilan militer. Hasil dari pembahasan di parlemen itu tidak jelas dan hanya tersiar kabar Letnan II Frans dipindahkan ke Purwokerto, namun beberapa bulan kemudian tersiar kabar di alun-alun Purwokerto terjadi insiden yang yang menyebabkan beberapa pemuda dan pemudi kita tewas. Dan Pelakunya Letnan II Frans juga.
Dewan Kabupaten Cilacap membentuk panitia penyelidikan tentang kasus gunung simping tersebut akan tetapi peredaran politik ternyata lebih cepat daripada usaha panitia tersebut, akan tetapi panitia tersebut sempat melakukan gerakan rakyat untuk mengumpulkan sumbangan untuk para korban gunung simping tersebut.
Karena peristiwa itu bertempat dirumah Sumodiharjo dan menggunakan senjata bren, maka monument tersebut dinamakan Monumen Juang Soma Bren.

Sumber : Buku Propinsi Djawa-Tengah, terbitan tahun 1953

Monday, 26 January 2015

Perangko masa tahun 1948 - 1949

Perangko ini beredar 3 hari sebelum terjadinya Operatie Kraii
 
The first stamps with the inscription RepOEblik were available for the public on the main post office in Djokjakarta at December 15th 1948, 3 days before the start of the 2nd Police Action. Many of these stamps carry the imprint 'RESMI' (= service) and are thus produced officially. The stock of stamps got destroyed in the fights.
The trader Stolow was ordered to make a new series of stamps. Apart from new values, also 13 images from the first series had been replaced by new designs. This time, due to the change of spelling that was introduced in 1947, this series was provided with the text RepUblik instead of RepOEblik. But, as said, our motorcycle stamp is unfortunately not part of this second series.
 
Setelah pengakuan Kedaulatan, Perangko ini kembali beredar dengan penambahan tulisan pada perangkonya tersebut.

After the recognition of the independency and the depart of the Dutch from 'our' India Soekarno held a parade into Djokjakarta on July 6th 1949. To remember this for the Republicans memorable event, the Republican PTT decided on December 7th 1949 to overprint all stamps of the Republic with the imprint 'Merdeka Djokjakarta 6 Djuli 1949'. Stamps with this overprint were immediately valid for franking.
 
Sumber :  http://www.mfnl.nl/Nieuwsbrief/NB100/NB100NieuweInzichtenEng.html
 

Sunday, 25 January 2015

Sejarah Batalion V Andjing Nica


       Ketika ‘masa bersiap’ mencekam banyak orang Eropa maupun Ambon dan Menado. Nyawa mereka terancam oleh kacaunya revolusi Indonesia yang diwarnai kebencian kepada hal-hal berbau Belanda, termasuk orang-orang Belanda dan semacamnya. Tidak heran jika banyak orang-orang Belanda dan Ambon pro Belanda menaruh dendam atas kebencian orang-orang Indonesia di kemudian hari. Dua bulan, antara September hingga November, setidaknya menjadi masa mengerikan bagi beberapa orang itu.
      Istilah Andjing NICA lebih banyak diketahui orang sebagai julukan atau stigma kepada orang-orang Indonesia pro Belanda. NICA sendiri adalah pemerintahan sipil di Hindia Belanda. Sebuah badan untuk mengambil-alih kembali kekuasaan belanda atas Hindia Belanda sebagai bagian dari republik Indonesia. Orang Indonesia pro Belanda tersebut biasanya, orang-orang pribumi/Indonesia yang menjadi pegawai sipil maupun militer pada pemerintah Hindia Belanda.
      Melihat kondisi tersebut Kapten JC Pasqua membentuk Batalyon Infantri V Knil dibekas gedung KMA di Cimahi Bandung yang merupakan mantan para tahanan tentara Jepang di Cimahi pada 02 November 1945.
      Terbentuknya batalyon V dianggap bisa menjadi solusi mereka. Dengan bersenjata dan berpasukan, mereka bisa menjaga diri dan terlepas dari rasa takut atas serangan kekacauan revolusi. Masa mencekam itu segera tertutup oleh rasa benci tak terhingga pada orang-orang Indonesia pro-kemerdekaan 17 Agustus 1945.
       Batalyon V bertempur dengan ganasnya. Banyak bekas pejuang kemerdekaan mengetahui betapa mengerikannya pasukan ini jika bertempur. Pasukan ini menyebut dirinya sebagai Andjing NICA. Lambang badge atau emblem kebanggan mereka adalah logo anjing galak berwarna merah. Batalyon ini terlibat dalam beberapa serangan militer Belanda ke Jawa Tengah. Di seragamnya, mereka selalu menuliskan kata “Andjing NICA”. Masyarakat Indonesia kemudian lebih mengenal pasukan ini sebagai Andjing NICA!!, julukan mengerikan sekaligus sarat ejekan.

Kompi dari Brigade Infantri V mengenakan Cie yang berwarna berbeda untuk menunjukan asal mereka yaitu :

    Cie berwarna Hijau    : Eropa
    Cie berwarna Merah : Ambon
    Cie berwarna Biru     : Campuran
    Cie berwarna Hitam  : Timor

 Diterjunkan ke wilayah operasi militer :

    T.T.C Jawa Barat,
    T.T.C Jawa Tengah

Ditugaskan ke Brigade :

    Brigade W
    Brigade T

Operasi militer yang pernah dilaksanakan Batalyon Infantri V meliputi daerah :

    Bandung
    Cimahi
    Gombong
    Sumpiah
    Magelang
    Temanggung

Komandan Batalyon Infantri V antara lain :

    Kapten J. C. Pasqua 02 Desember 1945/12/02 s/d 21 Januari 1946
    Mayor Wilier 21 Januari 1946 s/d 02 Desemer 1946
    Mayor J.A. Scheffelaar 02 Desember 1946 s/d 05 Mei 1947
    Mayor A. van Zanten 05 Mei 1947 s/d 25 Juli 1949
    Mayor Loon 25 Juli 1949/07/25 s/d 13 Desember 13 Desember 1949
    A.E.J. Schlosmacher 13 Desember 1949

Jumlah pasukan yang tewas : 59 orang
Tanggal 15 April 1946, batalyon itu termasuk dalam Brigade V dan pindah ke Bandung Selatan. Malam sebelum aksi polisi pertama menarik cie. melalui Palin Tang ke Tandjoengsari jalan ke Cirebon membuka.

Agresi Militer Belanda I

Tanggal 18 Desember 1945, menguasai dari seluruh sektor di luar utara dari Cimahi diwarisi dari tentara Inggris. Ada pada saat itu pertempuran waktu yang berat.
Tanggal 21 Juli 1947, menarik Brigade V disertai batalyon melalui Sumedang ke Cirebon.
Tanggal 29 Juli 1947, adalah munculnya Brigade V lanjut dan dalam perjalanan berani melintasi Slamat pegunungan di selatan. Setelah pendudukan Poerbalingga, Poerwokerto dan jembatan di atas Serajoe.
Tanggal 3 Agustus 1947, dan terus ke arah Kroya Soempiah dan dorong sebelum gencatan senjata dengan pergi Gombong. Setelah tindakan, batalion itu ditempatkan di Gombong dengan posting ao Soempiah dan Poering. Akhir tahun 1947 melakukan bagian dari batalion tindakan di pantai selatan di arah Pangadaran Parigi. Tindakan lain yang besar, untuk Karanganjar, di mana sejumlah besar bahan peledak yang disimpan juga terjadi pada waktu itu.
Awal tahun 1948 batalyon itu dilengkapi oleh tentara dari Inf I terkait dengan demobilisasi dan cuti penyembuhan. Akhir tahun 1948, gejolak lagi.


Agresi Militer Belanda 2

Tanggal 19 Desember 1948, batalyon ditugaskan ke Brigade W. Ditugaskan untuk melatih dan wegcolonne adalah awal dari Gombong melalui Kebumen digunakan untuk Purworejo.
 Tanggal 21 Desember 1948, Magelang diduduki. Setelah melakukan aksi militer batalion berkemah untuk kemudian menyertakan Salaman, Purworejo, Temanggung dan Parakan.
Tanggal 22 Maret 1949, batalyon memperkuat Brigade Infantri IV. Di luar daerah setempat adalah batalyon aktif ao, Solo, Semarang, dan kemudian evakuasi Yogjakarta sebagai rute Evakuasi Command (CoCer).
Antara bulan Oktober dan Desember 1949 batalion mundur secara bertahap dari daerah sekitar Magelang 13 dan 17 Desember 1949 dipindahkan ke Kalimantan Timur.

Hingga datanglah KMB (Konferensi Meja Bundar) yang begitu menguntungkan Indonesia sebenarnya. Jadilah KNIL sebagai orang kalah secara politis. Ternyata kemenangan militer Belanda tidak diikuti kemenangan politis dalam diplomasi. Serdadu-serdadu KNIL lalu gelisah. Sebuah poin KMB adalah bahwa KNIL akan dimasukan dalam TNI. Padahal TNI adalah musuh KNIL selama hampir lima tahu revolusi Indonesia.
Pasca penandatangan KMB, 27 Desember 1949, pikiran mereka terganggu. Hingga dengan mudah diajak oleh jaringan Westerling untuk bertindak rusuh. Kekecewaan KNIL di Makassar pun tidak terbendung lagi. Sepasukan TNI yang terdiri dari satu batalyon pimpinan mayor Hein Worang dikirim ke Makassar. Pemerintah RI begitu bernafsu dan gegabah mengirimkan pasukan Worang. KNIL di Makassar itu menolak kedatangan pasukan pemerintah karena merekalah yang brwenang menjaga kota Makassar. Peristiwa Andi Azis tentu tidak akan terjadi jika pasukan TNI tidak dikirim kesana. Pemerintah harusnya bersbar dan menunda pasukan Worang mendarat. Karenanya, bentrokan KNIL dan TNI disana tidak bisa dihindari.

Agenda pembubaran KNIL 26 Juli 1950, tentu membuat banyak KNIL frustasi. Meski mereka diberi pilihan untuk masuk TNI atau masuk KL dan ikut ke Negeri Belanda. Selama masa penantian itu mereka biasa berbuat rusuh. Mereka begitu tempramentalnya dengan membuat keributan. Mereka tampak belum puas bertempur melawan tentara Indonesia. Sebelum KNIL dinyatakan bubar pada 26 Juli 1950, beberapa kerusuhan antara KNIL dan TNI kerap terjadi. Seperti di Bandung, Jakarta, Bogor, Makassar dan Malang. Di Jakarta, Bandung dan Bogor masih terkait dengan peristiwa Westerling.
 Pada tanggal 25 Juli 1950, Dirk Cornelis Buurman van Vreeden komandan KNIL menyerahkan markas besar KNIL ke Tentara Nasional Indonesia. Buurman adalah komandan KNIL terakhir menggantikan Simon Hendrik Spoor yang meninggal pada tanggal 25 Mei 1949.

Berdasarkan keputusan kerajaan tanggal 20 Juli 1950, maka pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah berumur sekitar 120 tahun, KNIL dinyatakan bubar.

Berdasarkan hasil keputusan Konferensi Meja Bundar, mantan tentara KNIL yang jumlahnya diperkirakan sekitar 60.000 yang ingin masuk ke "Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat" (APRIS) harus diterima dengan pangkat yang sama.

Jumlah orang KNIL dari Ambon diperkirakan sekitar 5.000 orang, yang sebagian besar ikut dibawa ke Belanda dan tinggal di sana sampai sekarang.

sumber :
CIC Leger Musium
Het Depot
Sumber-sumber lainnya

Friday, 23 January 2015

Kisah Mayor Daan Mogot Direktur Militer Akademi Tanggerang berusia 17 tahun






KAMI BUKAN PEMBANGUN CANDI
KAMI HANYA PENGANGKUT BATU
KAMILAH ANGKATAN YANG MESTI MUSNAH
AGAR MENJELMA ANGKATAN BARU
DIATAS PUSARA KAMI LEBIH SEMPURNA..
(Tulisan ini di temukan dalam saku salah seorang perwira saat gugur bersama adik-adiknya siswa Akademi Militer Tanggerang dalam tugas misi damai menerima penyerahan senjata dari tentara Jepang di lengkong yang tanpa di duga menjadi pertempuran tidak seimbang sehingga membawa banyak korban..)

     Mayor Daan Mogot dilantik menjadi Direktur Militer Akademi Tangerang (MAT) pada waktu ia berusia 17 tahun. Sebenarnya di Yogyakarta juga berdiri Militer Akademi Yogya (MA Yogya) hampir bersamaan, yaitu tanggal 5 November 1945. Ide mendirikan sebuah akademi militer ini memang seperti yang diangan-angankan oleh Daan Mogot.
     Pada tahap awal ada 180 orang Calon Taruna pertama yang dilatih. Di antara mereka terdapat mahasiswa yang berasal dari Sekolah Kedokteran Ika Daigaku Jakarta. Ada di antara mereka yang menjadi komandan peleton, komandan kompi bahkan komandan batalyon. Sejumlah perwira dan bintara yang menjadi pelatih/instruktur MAT antara lain Kapten Taswin, Kapten Tommy Prawirasuta, Kapten Rukman, Kapten Kemal Idris, Kapten Oscar (Otje) Mochtan, Kapten Jopie Bolang, Kapten Endjon Djajaroekmantara, Sersan Bahruddin, Sersan Sirodz. Di Resimen Tangerang Taswin bertugas di staf sedangkan Kemal Idris di pasukan.

     Pada tanggal 24 Januari 1946 Mayor Daan Yahya menerima informasi bahwa pasukan NICA Belanda sudah menduduki Parung dan akan melakukan gerakan merebut depot senjata tentara Jepang di depot Lengkong (belakangan diketahui bahwa Parung baru diduduki NICA bulan Maret 1946). Tindakan-tindakan provokatif NICA Belanda itu akan mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang dan Akademi Militer Tangerang secara serius. Sebab itu pihak Resimen IV Tangerang mengadakan tindakan pengamanan. Mayor Daan Yahya selaku Kepala Staf Resimen, segera memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang.
     Tanggal 25 Januari 1946 lewat tengah hari sekitar pukul 14.00, setelah melapor kepada komandan Resimen IV Tangerang Letkol Singgih, berangkatlah pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna MA Tangerang (MAT) dan delapan tentara Gurkha. Selain taruna, dalam pasukan itu terdapat beberapa orang perwira yaitu Mayor Wibowo, Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo. Kedua Perwira Pertama ini adalah perwira polisi tentara (Corps Polisi Militer/CPM sekarang). Ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu diserahkan kepada KNIL-NICA Belanda yang waktu itu sudah sampai di Sukabumi menuju Jakarta.
     Setelah melalui perjalanan yang berat karena jalannya rusak dan penuh lubang-lubang perangkap tank, serta penuh barikade-barikade, pasukan TKR tersebut tiba di markas Jepang di Lengkong sekitar pukul 16.00. Pada jarak yang tidak seberapa jauh dari gerbang markas, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dalam formasi biasa. Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti berjalan di muka dan mereka bertiga kemudian masuk ke kantor Kapten Abe. Pasukan Taruna MAT diserahkan kepada Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo untuk menunggu di luar.
     Gerakan pertama ini berhasil dengan baik dan mengesankan pihak Jepang. Di dalam kantor markas Jepang ini Mayor Daan Mogot menjelaskan maksud kedatangannya. Akan tetapi Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta, karena ia mengatakan belum mendapat perintah atasannya tentang perlucutan senjata. Ketika perundingan berjalan, rupanya Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para taruna memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana dengan kerelaan dari anak buah Kapten Abe. Sekitar 40 orang Jepang disuruh berkumpul di lapangan.
     Kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak diketahui dari mana datangnnya. Bunyi tersebut segera disusul oleh rentetan tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang tersembunyi yang diarahkan kepada pasukan taruna yang terjebak. Serdadu Jepang lainnya yang semula sudah menyerahkan senjatanya, tentara Jepang lainnya yang berbaris di lapangan berhamburan merebut kembali sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke dalam truk.
Dalam waktu yang amat singkat berkobarlah pertempuran yang tidak seimbang antara pihak Indonesia dengan Jepang, Pengalaman tempur yang cukup lama, ditunjang dengan persenjataan yang lebih lengkap, menyebabkan Taruna MAT menjadi sasaran empuk. Selain senapan mesin yang digunakan pihak Jepang, juga terjadi pelemparan granat serta perkelahian sangkur seorang lawan seorang.
     Tindakan Mayor Daan Mogot yang segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran namun upaya itu tidak berhasil. Dikatakan bahwa Mayor Daan Mogot bersama rombongan dan anak buahnya Taruna Akademi Militer Tangerang, meninggalkan asrama tentara Jepang, mengundurkan diri ke hutan karet yang disebut hutan Lengkong.
Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet. Mereka mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni yang dimiliki. Sering peluru yang dimasukkan ke kamar-kamarnya tidak pas karena ukuran berbeda atau sering macet. Pertempuran tidak berlangsung lama, karena pasukan itu bertempur di dalam perbentengan Jepang dengan peralatan persenjataan dan persediaan pelurunya amat terbatas.
     Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.
     Akhirnya 33 taruna dan 3 perwira gugur dan 10 taruna luka berat serta Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, sedangkan 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri pada 26 Januari dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi hari.
Pasukan Jepang bertindak dengan penuh kebengisan, mereka yang telah luka terkena peluru dan masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah keluar dari tempat perlindungan, lalu diserahkan kepada Kempetai Bogor. Beberapa orang yang masih hidup menjadi tawanan Jepang dan dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya. Sungguh suatu kisah yang pilu bagi yang masih hidup tersebut. Dalam keadaan terluka, ditawan, masih dipaksa menggali kuburan untuk para rekan-rekannya sedangkan nasib mereka masih belum jelas mau diapakan.
Tanggal 29 Januari 1946 di Tangerang diselenggarakan pemakaman kembali 36 jenasah yang gugur dalam peristiwa Lengkong disusul seorang taruna Soekardi yang luka berat namun akhirnya meninggal di RS Tangerang. Mereka dikuburkan di dekat penjara anak-anak Tangerang. Selain para perwira dari Tangerang, Akademi Militer Tangerang, kantor Penghubung Tentara, hadir pula pada upacara tersebut Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir, Wakil Menlu RI Haji Agus Salim yang puteranya Sjewket Salim ikut gugur dalam peristiwa tersebut beserta para anggota keluarga taruna yang gugur. Pacar Mayor Daan Mogot, Hadjari Singgih memotong rambutnya yang panjang mencapai pinggang dan menanam rambut itu bersama jenasah Daan Mogot. Setelah itu rambutnya tak pernah dibiarkan panjang lagi.

Sumber :  http://id.wikipedia.org/wiki/Daan_Mogot

Tuesday, 20 January 2015

Kronologi Operatie Kraai








Rencana Operasi Belanda
                Letnan Jenderal Spoor sebagai Panglima tentara Belanda di Indonesia dalam menyusun konsep umum operasi pada tanggal 19 Desember 1948 tidak hanya bertujuan merebut Jogjakarta ternyata juga dalam waktu yang bersamaan dilancarkan operasi di Jawa Tengah yang dilakukan melalui darat dalam gerakan kolone. Berdasarkan konsep umum tersebut maka komandan Divisi B segera menyusun rencana operasi divisi dengan membentuk kolone, sebagai berikut :
a.       Kolone I di bawah pimpinan Kolonel Van Langen bertugas menduduki Maguwo dengan pasukan para. Setelah Maguwo dikuasai akan didaratkan pasukan tempur “M” yang bertugas menduduki Yogyakarta. Pasukan lain dari kolone I ini bergerak ke Surakarta melalui poros Boyolali dan Kartasura.
b.      Kolone II di bawah pimpinan Kolonel De Vries bertugas membersihkan dan menguasai jalan raya Salatiga – Solo dan menguasai kota Solo.
c.       Kolone III di bawah pimpinan Letkol Schilperoord bergerak ke Cepu melalui Kudus, Rembang dan Blora untuk menguasai kota-kota tersebut.
d.      Kolone IV dibawah pimpinan Van Zanten, bertugas pokok bergerak dari Gombong melalui Kebumen ke Purworejo kemudian melalui Salaman ke Magelang. Kolone ini bekerjasama dengan Kolone I yang bergerak dari Yogya melalui 2 poros ke Magelang.
e.      Kolone V dibawah pimpinan Letkol Bastiaanse dengan tugas melalui poros Banjarnegara – Wonosobo untuk menguasai kota ini.

Kronologi  Operatie Kraai 19 Desember 1948
Adapun persiapan dan pelaksanaan operatie kraai tanggal 19 Desember 1948 yang dimulai dari  persiapan di lapangan Andir berdasarkan kronologi kejadiannya adalah sebagai berikut :

1.       Pukul 02.00 : Parasut-parasut sudah dibagikan kepada pasukan Para 1 dan Kompi Para KST. Sesudah itu perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan lainnya dimasukan ke pesawat-pesawat angkut C-47 A.
2.        Pukul 03.00 : Disampaikan Perintah Operasi terakhir kepada para awak pesawat, dan seperempat jam kemudian Komandan Pasukan Para disertai Panglima Teritorial Jawa Barat Mayor Jenderal Engels tiba di lapangan udara Andir.
3.       Pukul 04.00 : Letnan Jenderal Spoor dan Mayor Jenderal Engels melakukan inspeksi pasukan.
4.       Pukul 04.20 : Anggota pasukan yang akan diterjunkan di maguwo menaiki pesawat-pesawat yang sudah ditentukan.
5.       Pukul 04.30 : Pesawat C-47 A pertama meninggalkan landasan yang kemudian di ikuti pesawat-pesawat lainnya , pesawat terakhir yang berangkat melakukan lepas landas pada pukul 04.46.
6.       Pukul 06.00 : Lapangan Udara Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 buah Kittyhawk. Pesawat-pesawat ini sebelumnya melakukan redez-vous di udara diatas korvet Mr.Ms Torenvalkyang lego jangkar di pantai selatan jawa tengah pada kedudukan 08’.05’ lintang selatan dan 110’.10’ bujur timur . Dari sini pesawat-pesawat tersebut terbang ke utara menuju Maguwo.
7.       Kurang lebih pukul 08.25 : Pesawat angkut C-47 yang  pertama dari Group Tempur “M” mendarat di Maguwo . Komandan Group Tempur ini mengambil alih pimpinan atas group para.
8.        Sampai pukul 11.00 gerakan menuju kota Yogyakarta belum dimulai sebab masih menanti kedatangan Batalion Infanteri yakni 1-15 Regiment Infantrie pimpinan Mayor Scheers.
9.       Pukul 09.30 di Kalibanteng Semarang : Rombongan Batalion 1-15 RI dengan pesawat angkut melakukan tinggal landas menuju Yogyakarta. Rombongan terakhir tiba di Yogyakarta 2 Jam kemudian. Batalion ini terdiri dari 4 kompi dan 1 kompi markas.
Dalam operasi menduduki kota Yogyakarta ini di bagi dalam 2 sektor gerakan yaitu sektor utara dan sektor selatan dengan batas jalan kereta api. Batalion 1 bergerak ke utara dengan tugas menduduki kota Yogyakarta bagian utara dan Pasukan KST bergerak ke selatan melalui semaki dengan batas akhir kali/sungai Gajahwong. Menurut versi Belanda gerakan menuju kota Yogyakarta adalah merupakan gerakan perluasan pancangan kaki.
10.   Kurang lebih pukul 17.00 : tempat-tempat penting di kota Yogyakarta dikuasai oleh Belanda.

Sumber : Buku Serangan Umum 1 Maret 1949, Latar Belakang dan Pengaruhnya. Hal 83 – 93.

Thursday, 1 January 2015

Serangan-Serangan Umum menjelang SO 1 Maret 1949

Serangan Umum Ke 1 ( 29 Desember 1948 dan peristiwa gugurnya DanYon 151 / Brigade X )

      Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah puncak dari seluruh serangan umum yang di selenggarakan sebelumnya. Adapun yang membedakan adalah Serangan Umum sebelumnya di lakukan pada malam hari, berbeda dengan Serangan Umum 1 Maret yang dilakukan pada pagi hingga siang hari. Serangan Umum pertama dilakukan oleh seluruh sektor telah direncanakan sejak tanggal 26 Desember 1948  akan dilaksanakan pada tanggal 30 Desember yang dipimpin langsung oleh komandan brigade X merpakan "Hadiah Tahun Baru" bagi tentara Belanda. Rencana itu terpaksa di undur 1 hari karena tanggal 28 Desember belanda bergerak dari kota ke barat dan terus ke selatan menuju Bantul. Tanggal 29 Desember jam 21.00 tembakan di mulai, sasaran kantor pos, secodiningratan,ngabean,patukpakuningratan,sentul,pengok dan gondokusuman.
         Sektor utara, Batalion 151/Brigade X pimpinan Kapten F.Hariadi pada tanggal 31 Desember 1948 menjelang tahun baru 1 Januari 1949 melakukan serangan terhadap kedudukan Belanda yang berada di Kaliurang. Tanggal 1 Januari 1949 jam 12.00 siang paskan ini berhasil menduduki pakem dan berhasil memutus jalur komunikasi pasukan Belanda antara Kaliurang dengan Yogyakarta. Dini hari tgl 2 Januari 1949 menghadang konvoi belanda yang bergerak dari medari menuju Yogyakarta. Tanggal 3 Januari 1949 melancarkan serangan terhadap kedudukan Belanda di Medari, kemudian mengundurkan diri ke utara dan beristirahat di Turi. Tanggal 4 Januari dini hari pasukan belanda dari medari menyerang kedudukan Yon 151 di turi secara frontal namun jam 11.00 pasukan belanda berhasil di desak mundur kembali ke medari. Pada sore hari Yon 151 kembali ke pangkalan di desa Tunggul , barat Kaliurang untuk konsolidasi.
           Pada tanggal 5 Januari 1949 dini hari Pasukan Belanda dari muntilan menyerang kedudukan Yon 151 ditunggul dengan kekuatan 1 seksi. Jam 09.00 pasukan belanda berhasil di pukul mudur  dengan korban 3 tentara belanda, sedangkan dari pihak Yon 151 gugur komandan batalion 151 Kapten F. Hariadi. untuk mengisi kekosongan pimpinan pada tanggal 9 Januari komandan brigade X mengukuhkan Lettu Harjosoedirdjo sebagai Fungered (pejabat) komandan batalion 151.

Serangan Umum ke 2 ( 9 Januari 1949 )

Berdasarkan Surat Perintah Panglima Divisi III tanggal 1 Januari 1949 No.4/5/cop I maka komandan WK III mengeluarkan perintah siasat No. 09/S/Cop/49 tertanggal 7 Januari 1949 yang di tujukan kepada semua komandan SWK untuk melakukan serangan umum ke 2. Adapun sektor0-sektor serangan adalah :

a. Sektor A ( Kraton ke selatan jalan parangtritis - Imogiri - Bantul ).
b. Sektor B ( Wirobrajan - Ngabean - Kraton ke barat ).
c. Sektor C ( Gandekan, statsiun kereta api ke barat jalan magelang )
d. Sektor D ( Jalan Kaliurang - Jalan Solo ).
e. Sektor E ( Sentul - Balapan ).

Setiap sektor - sektor yang telah ditetapkan maka tiap-tiap komandan SWK telah ditentukan wilayah-wilayah serangannya yaitu :

a. Sektor A ( Mayor Sardjono / SWK 102, tugasnya selain menduduki sektor A juga mengadakan
    hubungan erat dan memberikan bantuan dengan sektor
   B dan E.
b. Sektor B ( Letkol Soehoed / SWK 103 )
c. Sektor C ( Letkol Rappar / SWK 103 A )
d. Sektor D ( Kolonel Djatikusumo / SWK 105 A , Selain menduduki sektor D juga mengadakan
    hubungan erat dengan sektor A dan sektor E )
e. Sektor E ( Kapten Erman / SWK 101 )
f. Kapten Hariadi (yang kemudian di gantikan oleh Lettu Hardjosoedirdjo / peristiwa 5 Januari 1949)
   / SWK 104 melakukan serangan antara Yogya - Tempel.
g. Mayor Soedjono / SWK 105 sasarannya Yogya - Prambanan lapangan udara Maguwo dan
     bangunan-bangunan di Maguwo.

     Sebagaimana serangan umum yang pertama , serangan umum yang kedua juga dilaksanakan malam hari. Sebagai tanda pengenal adalah pemakaian janur kuning atau lengan kiri di acungkan ke atas , kata sandi "Mataram - Menang". Serangan umum ini berhasil sesuai dengan rencana dan mengakibatkan korban yang cukup banyak di pihak Belanda.

  Serangan Umum ke 3 ( 16 Januari 1949 )

Meskipun setiap serangan umum yang dilancarkan selalu dibalas dengan aksi pembersihan dan patroli yang diperketat oleh pihak Belanda hal ini tidak membuat kendur pihak Indonesia, bahkan Komandan WK III segera mengeluarkan perintah siasat No.10/S/Cop/49 tanggal 11 Januari 1949 yang berisi perintah kepada masing-masing komandan SWK untuk mengadakan serangan,penghancuran,penghadangan di sektornya masing-masing. Selain itu selama mengadakan serangan sendiri-sendiri supaya tetap bergerak secara serentak, serangan umum ketiga ini dilaksanakan pada tanggal 16 Januari 1949. Serangan ketiga ini tidak hanya dilaksanakan malam hari tapi juga sore hari.  Dalam serangan umum ketiga ini komandan WK III bergerak kearah timur sambil mengantarkan Lettu Marsoedi dan Lettu Amir Moertono  untuk membentuk SWK 101 tersebut dalam kota. Salah satu tujuan pembentukan SWK 101 itu adalah meningkatkan perlawanan gerilya dalam kota dan koordinasi dengan pasukan-pasukan dari SWK 102 sampai dengan 106.

  Serangan Umum ke 4 ( 4 Februari 1949 )

Pada serangan umum yang ke 4 ini koordinasi antara sesama SWK dan pemerintah sipil yang dipimpin Sri Sultan Hamengku buwono IX semakin mantap. Selain itu serangan umum ke 4 ini  dimaksudkan mengadakan pengecekan terhadap kesiapan serangan umum yang akan diadakan pada siang hari. Terlebih dahulu diadakan serangan - serangan ke pos-pos Belanda diluar kota guna mengalihkan perhatian Belanda dengan taktik penyesatan.

Sumber : Buku Serangan Umum 1 Maret 1949 Di Yogyakarta , Latar Belakang dan Pengaruhnya