KAMI BUKAN PEMBANGUN CANDI
KAMI HANYA PENGANGKUT BATU
KAMILAH ANGKATAN YANG MESTI MUSNAH
AGAR MENJELMA ANGKATAN BARU
DIATAS PUSARA KAMI LEBIH SEMPURNA..
(Tulisan ini di temukan dalam saku salah seorang perwira saat gugur bersama adik-adiknya siswa Akademi Militer Tanggerang dalam tugas misi damai menerima penyerahan senjata dari tentara Jepang di lengkong yang tanpa di duga menjadi pertempuran tidak seimbang sehingga membawa banyak korban..)
Mayor Daan Mogot dilantik menjadi Direktur Militer Akademi Tangerang (MAT) pada waktu ia
berusia 17 tahun. Sebenarnya di Yogyakarta juga berdiri Militer Akademi
Yogya (MA Yogya) hampir bersamaan, yaitu tanggal 5 November 1945. Ide
mendirikan sebuah akademi militer ini memang seperti yang
diangan-angankan oleh Daan Mogot.
Pada tahap awal ada 180 orang Calon Taruna pertama yang dilatih. Di
antara mereka terdapat mahasiswa yang berasal dari Sekolah Kedokteran
Ika Daigaku Jakarta. Ada di antara mereka yang menjadi komandan peleton,
komandan kompi bahkan komandan batalyon. Sejumlah perwira dan bintara
yang menjadi pelatih/instruktur MAT antara lain Kapten Taswin, Kapten
Tommy Prawirasuta, Kapten Rukman, Kapten Kemal Idris, Kapten Oscar
(Otje) Mochtan, Kapten Jopie Bolang, Kapten Endjon Djajaroekmantara,
Sersan Bahruddin, Sersan Sirodz. Di Resimen Tangerang Taswin bertugas di
staf sedangkan Kemal Idris di pasukan.
Pada tanggal 24 Januari 1946 Mayor Daan Yahya menerima informasi
bahwa pasukan NICA Belanda sudah menduduki Parung dan akan melakukan
gerakan merebut depot senjata tentara Jepang di depot Lengkong
(belakangan diketahui bahwa Parung baru diduduki NICA bulan Maret 1946).
Tindakan-tindakan provokatif NICA Belanda itu akan mengancam kedudukan
Resimen IV Tangerang dan Akademi Militer Tangerang secara serius. Sebab
itu pihak Resimen IV Tangerang mengadakan tindakan pengamanan. Mayor
Daan Yahya selaku Kepala Staf Resimen, segera memanggil Mayor Daan Mogot
dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen
IV Tangerang.
Tanggal 25 Januari 1946 lewat tengah hari sekitar pukul 14.00,
setelah melapor kepada komandan Resimen IV Tangerang Letkol Singgih,
berangkatlah pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan
berkekuatan 70 taruna MA Tangerang (MAT) dan delapan tentara Gurkha.
Selain taruna, dalam pasukan itu terdapat beberapa orang perwira yaitu
Mayor Wibowo, Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo.
Kedua Perwira Pertama ini adalah perwira polisi tentara (Corps Polisi
Militer/CPM sekarang). Ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai
senjata Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu diserahkan kepada
KNIL-NICA Belanda yang waktu itu sudah sampai di Sukabumi menuju
Jakarta.
Setelah melalui perjalanan yang berat karena jalannya rusak dan penuh
lubang-lubang perangkap tank, serta penuh barikade-barikade, pasukan
TKR tersebut tiba di markas Jepang di Lengkong sekitar pukul 16.00. Pada
jarak yang tidak seberapa jauh dari gerbang markas, truk diberhentikan
dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dalam
formasi biasa. Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti
berjalan di muka dan mereka bertiga kemudian masuk ke kantor Kapten Abe.
Pasukan Taruna MAT diserahkan kepada Letnan Soebianto dan Letnan
Soetopo untuk menunggu di luar.
Gerakan pertama ini berhasil dengan baik dan mengesankan pihak
Jepang. Di dalam kantor markas Jepang ini Mayor Daan Mogot menjelaskan
maksud kedatangannya. Akan tetapi Kapten Abe meminta waktu untuk
menghubungi atasannya di Jakarta, karena ia mengatakan belum mendapat
perintah atasannya tentang perlucutan senjata. Ketika perundingan
berjalan, rupanya Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan
para taruna memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di
sana dengan kerelaan dari anak buah Kapten Abe. Sekitar 40 orang Jepang
disuruh berkumpul di lapangan.
Kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak
diketahui dari mana datangnnya. Bunyi tersebut segera disusul oleh
rentetan tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang
tersembunyi yang diarahkan kepada pasukan taruna yang terjebak. Serdadu
Jepang lainnya yang semula sudah menyerahkan senjatanya, tentara Jepang
lainnya yang berbaris di lapangan berhamburan merebut kembali sebagian
senjata mereka yang belum sempat dimuat ke dalam truk.
Dalam waktu yang amat singkat berkobarlah pertempuran yang tidak
seimbang antara pihak Indonesia dengan Jepang, Pengalaman tempur yang
cukup lama, ditunjang dengan persenjataan yang lebih lengkap,
menyebabkan Taruna MAT menjadi sasaran empuk. Selain senapan mesin yang
digunakan pihak Jepang, juga terjadi pelemparan granat serta perkelahian
sangkur seorang lawan seorang.
Tindakan Mayor Daan Mogot yang segera berlari keluar meninggalkan
meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran namun upaya itu
tidak berhasil. Dikatakan bahwa Mayor Daan Mogot bersama rombongan dan
anak buahnya Taruna Akademi Militer Tangerang, meninggalkan asrama
tentara Jepang, mengundurkan diri ke hutan karet yang disebut hutan
Lengkong.
Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara
pohon-pohon karet. Mereka mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni
yang dimiliki. Sering peluru yang dimasukkan ke kamar-kamarnya tidak pas
karena ukuran berbeda atau sering macet. Pertempuran tidak berlangsung
lama, karena pasukan itu bertempur di dalam perbentengan Jepang dengan
peralatan persenjataan dan persediaan pelurunya amat terbatas.
Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan
dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin
mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan
menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari
berbagai penjuru.
Akhirnya 33 taruna dan 3 perwira gugur dan 10 taruna luka berat serta
Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, sedangkan 3 taruna, yaitu
Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri pada 26 Januari
dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi hari.
Pasukan Jepang bertindak dengan penuh kebengisan, mereka yang telah
luka terkena peluru dan masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada
yang tertangkap sesudah keluar dari tempat perlindungan, lalu
diserahkan kepada Kempetai Bogor. Beberapa orang yang masih hidup
menjadi tawanan Jepang dan dipaksa untuk menggali kubur bagi
teman-temannya. Sungguh suatu kisah yang pilu bagi yang masih hidup
tersebut. Dalam keadaan terluka, ditawan, masih dipaksa menggali kuburan
untuk para rekan-rekannya sedangkan nasib mereka masih belum jelas mau
diapakan.
Tanggal 29 Januari 1946 di Tangerang diselenggarakan pemakaman
kembali 36 jenasah yang gugur dalam peristiwa Lengkong disusul seorang
taruna Soekardi yang luka berat namun akhirnya meninggal di RS
Tangerang. Mereka dikuburkan di dekat penjara anak-anak Tangerang.
Selain para perwira dari Tangerang, Akademi Militer Tangerang, kantor
Penghubung Tentara, hadir pula pada upacara tersebut Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir, Wakil Menlu RI Haji Agus Salim
yang puteranya Sjewket Salim ikut gugur dalam peristiwa tersebut
beserta para anggota keluarga taruna yang gugur. Pacar Mayor Daan Mogot,
Hadjari Singgih memotong rambutnya yang panjang mencapai pinggang dan
menanam rambut itu bersama jenasah Daan Mogot. Setelah itu rambutnya tak
pernah dibiarkan panjang lagi.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Daan_Mogot
No comments:
Post a Comment