Djokjakarta

Sunday, 28 December 2014

Kiprah SWK 106 Kulonprogo, 1948-1949


Pada hari senin wage tanggal 27 Desember 1948 jam 10 jembatan Bantar di duduki Belanda. Rumah Pawirodaliyo dijadikan markas Belanda menduduki desa Bantar melalui 2 arah yaitu sebagian dari mereka menyerang ke barat Kali Progo dengan merangkak pada jembatan kereta api yang telah di rusak para gerilyawan , sedangkan sebagian lagi langsung melalui jembatan Bantar itu sendiri.
                Jembatan yang strategis itu dijaga Belanda baik dari sebelah timur ditempatkan 81 orang serdadu termasuk pemimpinnya dan di sebelah barat ditempatkan 30 orang serdadu. Persenjataan mereka serba lengkap, dapur umum ditempatkan sebelah timur bantar dengan mengambil juru masak dari rakyat sekitar bantar.
                Dengan mengambil juru masak dari rakyat ini jelas menguntungkan pihak pejuang karena juru masak mengerti secara jelas situasi markas Belanda tiap harinya. Para pemuda sering menggunakan kesempatan menanyakan kepada juru masak tersebut dan saling memberikan informasi yang menguntungkan perjuangan seperti mengenai tempat penyimpanan persenjataan Belanda, rencana penyerangan yang akan dilakukan Belanda terhadap para pejuang dll. Informasi ini diberikan setelah juru masak itu pulang dari kerja.
                Oleh para pembesar militer ternyata bahwa markas Belanda yang ada di Bantar ini mendapat perhatian serius. Di Kulon Progo yaitu  di desa Semaken pernah ada pertemuan antara Letkol Suharto, Letkol Sudarto dan Mayor Ventje Sumual dimana intisarinya adalah Suharto merasa bahwa serangan umum malam hari kurang memuaskan dan bertanya bagaimana pendapat yang hadir pada saat itu apabila mengadapi kondisi seperti ini, Ventje Sumual mengusulkan bahwa Yogya harus di serang pada siang hari dan Suharto menyatakan setuju dan Suharto apabila serangan siang siang hari dilaksanakan dia meminta Letkol Sudarto untuk mengikat Belanda yang ada di jembatan Bantar agar tidak memberikan bantuan ke Yogyakarta. Letkol Sudarto sebagai pimpinan Sub Wehrkreise 106 mengatakan bahwa senja tanggal 28 Februari 1949 pasukan SWK 106 meninggalkan pangkalan masing-masing di Nanggulan (Ton pengawal), Sentolo (Ki Noer Moenir) dan Wates (Satuan Teritorial/gerilya desa) bergerak mendekati sasaran, pembagian posisinya yaitu Sektor tengah Ton Pengawal Oetoro sedangkan Sektor kiri dan kanan oleh Satuan Teritorial/gerilya desa. Pertempuran di mulai jam 06.00 – 12.00 dan selanjutnya mengundurkan diri dan kembali ke pangkalan.
                Sebelum di lakukan Serangan umum 1 Maret sebenarnya Jembatan Bantar ini telah di serang juga pada tanggal 4 Februari dan Tanggal 13 februari 1949 dengan tujuan mengadakan pengecekan terhadap kesiapan serangan umum siang hari dan untuk pengalihan perhatian Belanda yang berada di luar kota  dengan taktik penyesatan. Penyerangan tanggal 13 februari  komandan WK III mengerahkan pasukan SWK 103A, SWK 106, Yon 151 dan kompi Soedarsono dari Batalion III brigade 10. Dan serangan ini kembali di ulang pada tanggal 23 dan 24 februari dengan unsur pasukan yang sama dengan sasaran yang sama.

Sumber : Buku Patra Widya seri penelitian
               Buku Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, 1990

Friday, 26 December 2014

Kisah Menarik Soal Kepangkatan Militer Pasca Proklamasi

10 Menit Dapat Dua Pangkat
Di masa pembentukan BKR/TKR, tokoh-tokoh masyarakat yang merasa memiliki banyak pengikut, membentuk pasukan atau lascar, dan mengangkat dirinya menjadi perwira-perwira, walaupun mereka sebelumnya tidak memiliki latar belakang militer, seperti mantan anggota KNIL,  Heiho atau PETA, ataupun badan-badan keamanan lain bentukan Jepang. Bahkan tidak tanggung-tanggung, ada yang mengangkat dirinya menjadi Laksamana ataupun Jenderal, seperti dalam kisah Jenderal Naga Bonar.
Kebanyakan laskar-laskar itu tidak memiliki senjata, atau kalaupun ada, rasio jumlah senjata dengan jumlah pasukan satu berbanding lebih dari sepuluh. Artinya satu senjata peninggalan atau yang dirampas dari tentara Jepang, untuk sepuluh orang atau lebih.
Oleh karena itu, pada tahun 1948 dilaksanakan yang dinamakan Reorganisasi dan  Rasionalisasi (Re-Ra) di tubuh TNI, di mana semua laskar-laskar dilebur ke dalam tubuh TNI dengan sistim kepangkatan yang jelas. Rasio senjata dengan jumlah serdadu ditetapkan menjadi satu banding empat. Boleh dikatakan, semua perwira dan bintara mengalami penurunan pangkat.
Terjadi penurunan pangkat besar-besaran, yang tentu diiringi dengan ketidak puasan mereka yang diturunkan pangkatnya. Perwira tinggi yang tidak bersedia pangkatnya diturunkan, memilih untuk mengundurkan diri dari dinas ketentaraan, dan tetap menyandang pangkat terakhir yang dimilikinya.
Setelah Re-Ra, yang menyandang pangkat perwira tinggi hanya tinggal dua orang, yaitu Letnan Jenderal Sudirman, yang adalah Panglima Besar/Kepala Staf Angkatan Perang, dan Mayor Jenderal Oerip Soemohardjo, Kepala Staf Umum. Pada waktu itu, TNI masih mengikuti sistim kepangkatan tentara Belanda, yang tidak mengenal pangkat Brigadir Jenderal. Setelah Oerip Soemohardjo (akhir 1949) dan Sudirman (Januari 1950) meninggal, TNI tidak memiliki seorang perwira tinggi dengan pangkat Jenderal. Pangkat tertinggi waktu itu adalah kolonel.
Untuk mendapat gambaran mengenai pengangkatan perwira dan kepangkatan di tahun 1945, ada beberapa ceritera yang menarik, antara lain dari Ruslan Abdulgani dan Kol. TNI (Purn.) Alex Evert Kawilarang.
Di Surabaya, setelah selesai pertempuran tanggal 28 – 30 Oktober 1945, sebagai hasil perundingan Sukarno-Hawthorn, disepakati untuk  membentuk suatu joint committee (komisi bersama) yang terdiri dari wakil-wakil Republik dan Sekutu. Ruslan Abdulgani ditunjuk sebagai salah seorang yang mewakili Republik di badan tersebut. Karena counterpartnya adalah seorang Kapten, Ruslan Abdulgani menuturkan bagaimana “lahirnya” seorang kapten (Lihat: Batara R. Hutagalung, 10 November ’45. Mengapa Inggris membom Surabaya?, Millenium Publisher, Jakarta, 2001,  hlm. 244 – 245. Disampaikan oleh Roeslan Abdulgani dalam Seminar Internasional “The Battle of Surabaya, November 1945. Back Ground and Consequences” di Lemhannas pada 27 Oktober 2000.):

 Akhirnya, sebelum pulang diadakan satu pembicaraan dan satu persetujuan, bahwa sekarang ada truce agreement dan bahwa di dalam truce agreement itu akan diadakan satu joint committee dan di dalam joint committee dari Inggris adalah Brigadir Jenderal Mallaby, Kolonel Pugh, Mayor Hudson, Kapten Shaw, Wing Commander Groom. Dari pihak Indonesia adalah Residen Sudirman, Dul Arnowo, Atmaji, Muhamad, Sungkono, Suyono, Kusnandar, Ruslan Abdulgani, Kundan.  Saya sekretaris, sana Kapten Shaw. Kapten, sekretaris juga. Des Alwi sama lain lain itu masuk:
“Eh, Cak, kamu itu berunding dengan siapa?”,
“Itu Kapten Shaw”,
“Lha  pangkat mu opo?”, (pangkatmu apa?)
Ndak duwé opo-opo”, (Nggak punya apa-apa)
“Ayo jadi Kapten”,
because Shaw is a Captain, I should also be a Captain, terus lapor nanggoné Mustopo. (karena Shaw adalah Kapten, saya harus jadi Kapten juga. Terus melapor ke tempat Mustopo)
“Mus!”,
Opo!”, (apa)
“Ruslan dadékno kapten!”, (Ruslan kamu jadikan kapten!)
Kenopo!”, (mengapa)
Ngadepi Kapten!”, (menghadapi kapten!)
Dadékno kono!” (jadikan sana!)
Terus pergi ke Sungkono saya dapat pakaian dengan bintang tiga. Baru saya ngerti kalau kapten itu bintang tiga.
Terus dibisiki: “Cak, engko né ono letnan, kon ojo ngéné (maksudnya hormat-red), letnané kudu ngéné”, [Cak, nanti kalau ada letnan, kamu jangan gini (beri hormat- pen.), letnannya yang harus begini]
“Oh, ya”
“Itu nék kolonel kon sing ngéné”, (itu kalau kolonel, kamu yang harus gini)
Nék podo kapten?”, (kalau sama-sama kapten?)
Menengo waé!” (Ya diam saja!)
Maafkan saudara, a Captain is born. (seorang kapten telah lahir)
Demikian tutur Ruslan Abdulgani.
Ceritera lain yang juga “unik” mengenai kepangkatan disampaikan oleh Alex Evert Kawilarang, yang sebagai orang sipil langsung “mendapat” pangkat kapten, dan 10 menit kemudian naik pangkat menjadi mayor. Pada bulan November 1945, Kawilarang dan Akhmad Yunus Mokoginta serta Kusno Utomo telah bertugas di lingkungan ketentaraan/TRI, namun belum mempunyai pangkat. Pada suatu hari, ketika mereka menghadap Mayor Jenderal Didi Kartasasmita, mereka dibawa ke Menteri Pertahanan Mr. Amir Syarifuddin Harahap. Dalam Otobiografinya Kawilarang menuturkan peristiwa tersebut (Lihat: Alex Evert Kawilarang, Untuk Sang Merah Putih, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hlm. 56 – 58):

  "Sudah waktunya you dapat pangkat, Kapten,” kata jenderal Didi tiba-tiba.
Lalu beliau mengetuk pintu kamar kerja Menteri Amir Syarifuddin dan membukanya.
Minister,” kata Jenderal Didi memulai pembicaraan. Seperti biasa, percakapan dilakukan dalam bahasa Belanda. “Vindt U goed dat ik hem Kapitein maak? Hij heeft nog geen rang.” (Apakah Anda setuju saya jadikan dia Kapten? Ia belum mempunyai pangkat.)
O zeker, zeker,” (O, tentu saja, tentu saja) kata Menteri Amir. Beliau cuma manggut-manggut saja. Tak sedikit pun mengangkatkan dagunya. Apalagi melihat kepada sayapun, tidak.
Wel gefeliciteerd!” (Selamat!) katanya. Lalu meneruskan dengan tugasnya: membaca apa yang dipegangnya, sehelai kertas, entah apa isinya.
“Panggil Mokoginta dan Kusno Utomo,” kata Jenderal Didi kemudian, di luar kamar kerja Menteri.
Saya pergi, menyeberangi jalan dan menyampaikan panggilan Jenderal Didi. Mokoginta dan Kusno Utomo kelihatan kaget.
“Apakah Pak Didi masih marah?” tanya salah seorang di antara mereka.
“Tidak,” jawab saya. “Saya rasa, kalian akan diberi pangkat.”
Ternyata memang benar begitu. Pak Didi mengantarkan mereka ke kamar Menteri dan masuk.
Minister, vindt U goed dat ik hen beiden Kapitein maak?” (Bapak Menteri, apakah Anda setuju saya jadikan mereka berdua Kapten?)
Menteri menjawab lagi, “Zeker-zeker, wel gefeliciteerd.” (Tentu, tentu, selamat).
Mereka lalu keluar dari kamar kerja Menteri. Lalu Jenderal Didi berkata, “Dulu, kalian bertiga satu kelas di KMA atau di CORO?”
“Bukan,” jawab Mokoginta dan Kusno Utomo hampir berbarengan. “Kusno di CORO, Mokoginta di KMA. Dan Kawilarang satu kelas lebih tinggi di KMA.”
“Kalau begitu, panggil lagi Kawilarang!” kata Jenderal Didi.
Saya, yang sudah tidak di gedung itu, dipanggilnya lagi.
Waktu sudah ada di depan Jenderal Didi, saya harus mendengarkan Jenderal itu berkata, “Jij was een klas hoger. Je wordt majoor. Kom mee naar de Menteri!” (Kamu dulu satu kelas lebih tinggi. Kamu jadi Mayor. Mari ikut saya ke Menteri).
Maka saya dibawa lagi ke kamar kerja Menteri Amir. Jenderal Didi mengetuk pintu kamar kerja Menteri dan kami masuk.
Minister, hij was een klas hoger. Vindt U goed dat ik hem majoor maak?” (Bapak Menteri, dia ini dulu satu kelas lebih tinggi. Apakah Anda setuju saya jadikan dia mayor?).
Menteri Amir menjawab:”Zeker, zeker. Wel gefeliciteerd!” (Tentu, tentu. Selamat!).
Sesudah sepuluh menit berpangkat kapten, saya “dipromosikan” atau diubah pangkat saya menjadi mayor. Memang begitulah di zaman revolusi.
Demikian penuturan Kawilarang.
Catatan:
KMA = Koninklijke Militaire Academie (Akademi Militer Kerajaan Belanda).
CORO = Corps Opleiding Reserve Officieren (Korps Pendidikan Perwira Cadangan)
Sumber : http://batarahutagalung.blogspot.com/2012/05/jenderal-naga-bonar-bukan-cerita-fiktif.html

Wednesday, 24 December 2014

Kedudukan Pasukan Belanda di Yogyakarta,1948


KEDUDUKAN PASUKAN BELANDA
DI YOGYAKARTA, 1948
Pasukan Belanda di Daerah Istimewa Yogyakarta berkekuatan 1 Brigade Infanteri (Brigif T). Brigade ini juga di perkuat dengan satuan para,satuan lapis baja (tank dan panser), unsure bantuan tempur dan unsurer bantuan administrasi. Brigade T dipimpin oleh Kol. Van Langen, menempatkan markas komandonya di hotel Tugu dan terdiri 3 batalion infanteri. Dua Yonif berada di luar kota dan satu Yonif di dalam kota. Secara fsik kekuatan Brigade T lebih besar dari 3 Yonif,karena di perkuat juga dengan satuan Knil. Pasukan belanda yang berada di dalam kota berkekuatan 1 Batalion dari 1-15 RI diperkuat satuan tank dan panser serta satuan Knil di bawah komando Mayor J.F.Scheers.
Di dalam kota :
1.       Markas komando : Benteng Vredeburg (1-15RI)
2.       1 Kompi campuran antara tentara belanda dan Knil berada di kompleks vredeburg,
       Gedung Agung dan kantor pos. di benteng vredeburg juga terdapat satuan tank dan panser.
3.       1 Kompi berada di kompleks kota baru dan gondokusuman
4.       2 peleton di pabrik Watson , pasukan belanda disini sebagian besar terdiri dari Knil.
5.       1 peleton di kompleks Hotel Tugu dan Hotel Merdeka
6.       1 peleton di kompleks Taman Sari dan Pojok Benteng
7.       1 peleton di pabrik Ainem.
8.       Masing-masing 1 regu campuran tentara belanda dan Knil berada di sekitar :
a.       Pertigaan Ngabean (sebelah utara statsiun KA)
b.      Wirogunan
c.       Lempuyangan (kantor DPLAD)
d.      Ngampilan
e.      Pingit
f.        Asrama Sentul
g.       MBT
h.      Sosrowijayan
9.       Gondolayu
10.   1 peleton di kantor kedaulatan rakyat
11.   1 peleton di kantor polisi ngupasan
12.   Pos Belanda terdiri dari kelompok sampai 4 orang ditempatkan di sepanjang jalan
      Malioboro, pertigaan ngabean, Jetis dan tempat strategis lainnya seperti alun-alun utara dan
      Klitren.

Di luar kota :

Ada 2 Yonif Belanda yang berada di luar kota ialah Yonif 5-5 RI dan Yonif 3-15 RI. Yonif 5-5RI dipimpin Letkol Giraad dan bermarkas di Bantul. Yonif 3-15 RI di pimpin Mayor Vaessens dan bermarkas di Tanjung tirto. Kedudukan pasukan belanda yang diluar kota bila dilihat berdasarkan pembentukan SWK adalah sebagai berikut :
1.  Pasukan belanda di daerah SWK 102. Induk pasukan Yonif 5-15RI berada di Bantul, dengan satuan-    satuannya :
a.       1 Ton di Kota Gede
b.      1 Ki di Bantul
c.       1 Ru di Barongan
d.      Gesikan (pabrik gula)
e.      1 Ru di Padokan (pabrik gula)
f.        1 Ton di Plered
g.       1 Ru di Karangsemut

2.       Pasukan Belanda di daerah SWK 103/A :
a.       1 Ton di Medari
b.      1 Ton di Beran
c.       1 Ton di Cebongan (pabrik gula)
d.      1 Ton di Tempel

3.       Pasukan Belanda di daerah SWK 103 :
a.       1 Ton di Pedes
b.      1 Ton di Gamping

4.       Pasukan Belanda di daerah SWK 104 :
a.       1 Ki di Kaliurang
b.      1 Ton di Pakem
c.       1 Ton di Kalasan
d.      1 Ton di Prambanan

5. Pasukan Belanda di daerah SWK 105. Induk Pasukan Yonif 3-15RI di Tanjungtirto, dengan satuan-satuanya :
a.       1 Ki di Maguwo ( pangkalan udara )
b.      1 Ki di Tanjungtirto ( pabrik gula )
c.       1 Ton di Berbah ( pabrik gula )
d.      1 Ton di Piyungan
e.      1 Ton di Pos Cot Patuk

6. Pasukan Belanda di daerah SWK 106 ; 1 Ki Bantuan (OST) di bantar dari Yonif 5-5RI. Kompi ini bertugas untuk mengamankan Bantar/Klangon

Pasukan Belanda yang dapat di kerahkan dalam waktu singkat untuk memperkuat Brigade T di Yogyakarta adalah :
1.       1 Brigif pimpinan Kolonel Van Zanten yang berkedudukan di Magelang. Brigif ini mampu mengerahkan   1 Yonif diperkuat dengan satuan Tank dan Panser, terkenal sebagai Batalion Gajah Merah dan Andjing NICA yang mempunyai pengalaman tempur di Burma, Bali (1946), dan Palembang (1947).
2.  Dari Semarang minimal dapat dikerahkan 1 Yonif diperkuat dengan satuan tank dan panser. Dibandingkan dengan pengerahan Yonif belanda di Magelang, Pengerahan satuan dari Semarang memerlukan waktu lebih lama.

Sumber : Buku Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, Latar Belakang dan Pengaruhnya
                 Hal 165 - 172

Tuesday, 23 December 2014

Kisah Kesederhanaan Seorang Instruktur MA


          Letkol Sahirjan adalah seorang instruktur dan dosen sejak MA sampai AKABARI UDARAT Magelang yang populer dikalangan kadet. Populer karena sikapnya yang dekat dengan anak didik serta sikap tindakannya yang penuh humor. Jiwa Pak Sahirjan sebagai tenaga pendidik itu dikarenakan beliau ada seorang guru yang kemudian pertama kali terjun ke dunia kemiliteran di masa pendudukan jepang sebagai Cudanco Peta. Kehidupan pribadinya amat sederhana,tipe dari seorang pejabat yang jujur dan bersih. Pada tanggal 19 Desember 1948 saat belanda menyerbu Yogyakarta beliau mendapat perintah dari Kolonel Djatikusumo untuk membumi hanguskan komplek MA, namun nasib malang sebelum beliau melaksanakan tugasnya beliau tertangkap tentara belanda yang kemudian ditawan di penjara wirogunan yogya. Semangat juangnya tidak padam mendorong beliau berusaha lari dari penjara, dan benar beliau akhirnya bisa lolos dari penjara dengan cara naik dan meloncat dari tembok penjara yang cukup tinggi dan kemudian menggabungkan diri dan bergerilya dengan pasukan kadet MA.
         Kepribadian beliau yang sederhana terutama kalau beliau sudah buka baju seragamnya dan hanya menggunakan celana pendek dan kaos oblong yang lusuh orang yang belum mengenalnya bisa salah sangka kepada beliau. Ini pernah terjadi pada suatu peristiwa saat beliau menjadi dosen AKABARI saat itu. Ada seorang prajurit taruna AKABRI baru pulang dari cutinya turun dari becak dengan membawa kopor dan bermacam-macam bungkusan oleh-oleh, ketika taruna itu melihat ada lelaki tua kurus bercelana pendek dan berkaos lusuh tidak jauh dari dia turun dari becak dengan nada memerintah dia memanggil lelaki tua tersebut “ Eh pak tolong angkatkan kopor saya !”. Orang yang dipanggil cepat dating dan membantu mengangkatkan kopor tersebut. Setelah tiba di asrama taruna itu hendak memberikan persen kepada lelaki tua yang disangkanya pesuruh itu, tetapi dengan nada hormat si “pesuruh” tersebut menolaknya. Setelah “pesuruh” tua itu pergi seorang taruna senior dating mendekati taruna juniornya tadi dan membentaknya “Tahu Lu siapa orang yang kau suruh bawa kopor tadi itu ?!” . Prajurit taruna yang ditanya gelagapan “ siap, tidak tahu!” , dengan mata melotot si senior membentak lagi “ Tahu lu, dia adalah seorang…….Brigadir Jendral, dan guru besar kita!” maka spontan lemaslah prajurit taruna itu,menyesal.
        Pak Sahirjan adalah satu-satunya guru/instruktur MA yang sejak jaman MA ditahun 1945 sampai jaman AKABRI di akhir hayatnya (wafat tahun 1975) tetap bertahan menjadi guru di Akademi Militer.

Sumber : Buku Akademi Militer Yogya Dalam Perjuangan Pisik 1945 - 1949