10
Menit Dapat Dua Pangkat
Di masa pembentukan BKR/TKR, tokoh-tokoh masyarakat
yang merasa memiliki banyak pengikut, membentuk pasukan atau lascar, dan
mengangkat dirinya menjadi perwira-perwira, walaupun mereka sebelumnya tidak
memiliki latar belakang militer, seperti mantan anggota KNIL, Heiho atau PETA, ataupun badan-badan keamanan
lain bentukan Jepang. Bahkan tidak tanggung-tanggung, ada yang mengangkat
dirinya menjadi Laksamana ataupun Jenderal, seperti dalam kisah Jenderal Naga
Bonar.
Kebanyakan laskar-laskar itu tidak memiliki senjata,
atau kalaupun ada, rasio jumlah senjata dengan jumlah pasukan satu berbanding
lebih dari sepuluh. Artinya satu senjata peninggalan atau yang dirampas dari
tentara Jepang, untuk sepuluh orang atau lebih.
Setelah Re-Ra, yang menyandang pangkat perwira
tinggi hanya tinggal dua orang, yaitu Letnan Jenderal Sudirman, yang adalah
Panglima Besar/Kepala Staf Angkatan Perang, dan Mayor Jenderal Oerip
Soemohardjo, Kepala Staf Umum. Pada waktu itu, TNI masih mengikuti sistim
kepangkatan tentara Belanda, yang tidak mengenal pangkat Brigadir Jenderal.
Setelah Oerip Soemohardjo (akhir 1949) dan Sudirman (Januari 1950) meninggal,
TNI tidak memiliki seorang perwira tinggi dengan pangkat Jenderal. Pangkat
tertinggi waktu itu adalah kolonel.
Di
Surabaya, setelah selesai pertempuran tanggal 28 – 30 Oktober 1945, sebagai
hasil perundingan Sukarno-Hawthorn, disepakati untuk membentuk suatu joint committee (komisi bersama) yang terdiri dari wakil-wakil
Republik dan Sekutu. Ruslan Abdulgani ditunjuk sebagai salah seorang yang
mewakili Republik di badan tersebut. Karena counterpartnya
adalah seorang Kapten, Ruslan Abdulgani menuturkan bagaimana “lahirnya” seorang
kapten (Lihat: Batara R. Hutagalung, 10
November ’45. Mengapa Inggris membom Surabaya?, Millenium Publisher,
Jakarta, 2001, hlm. 244 – 245.
Disampaikan oleh Roeslan Abdulgani dalam Seminar Internasional “The Battle of Surabaya, November 1945. Back
Ground and Consequences” di Lemhannas pada 27 Oktober 2000.):Akhirnya, sebelum pulang diadakan satu pembicaraan dan satu persetujuan, bahwa sekarang ada truce agreement dan bahwa di dalam truce agreement itu akan diadakan satu joint committee dan di dalam joint committee dari Inggris adalah Brigadir Jenderal Mallaby, Kolonel Pugh, Mayor Hudson, Kapten Shaw, Wing Commander Groom. Dari pihak Indonesia adalah Residen Sudirman, Dul Arnowo, Atmaji, Muhamad, Sungkono, Suyono, Kusnandar, Ruslan Abdulgani, Kundan. Saya sekretaris, sana Kapten Shaw. Kapten, sekretaris juga. Des Alwi sama lain lain itu masuk:
“Eh, Cak, kamu itu berunding dengan siapa?”,
“Itu Kapten Shaw”,
“Lha pangkat mu opo?”, (pangkatmu apa?)
“Ndak duwé opo-opo”,
(Nggak punya apa-apa)
“Ayo jadi Kapten”,
because Shaw
is a Captain, I should also be a Captain,
terus lapor nanggoné Mustopo. (karena
Shaw adalah Kapten, saya harus jadi Kapten juga. Terus melapor ke tempat
Mustopo)
“Mus!”,
“Opo!”, (apa)
“Ruslan dadékno
kapten!”, (Ruslan kamu jadikan kapten!)
“Kenopo!”,
(mengapa)
“Ngadepi Kapten!”,
(menghadapi kapten!)
“Dadékno kono!”
(jadikan sana!)
Terus pergi ke Sungkono saya dapat pakaian dengan bintang
tiga. Baru saya ngerti kalau kapten itu bintang tiga.
Terus dibisiki: “Cak,
engko né ono letnan, kon ojo ngéné (maksudnya hormat-red), letnané kudu ngéné”, [Cak, nanti kalau
ada letnan, kamu jangan gini (beri hormat- pen.), letnannya yang harus begini]
“Oh, ya”
“Itu nék kolonel kon sing ngéné”, (itu kalau kolonel,
kamu yang harus gini)
“Nék podo kapten?”,
(kalau sama-sama kapten?)
“Menengo waé!” (Ya
diam saja!)
Maafkan saudara, a
Captain is born. (seorang kapten telah lahir)
Demikian tutur Ruslan Abdulgani.
Catatan:
KMA = Koninklijke Militaire Academie (Akademi
Militer Kerajaan Belanda).
CORO = Corps Opleiding Reserve Officieren
(Korps Pendidikan Perwira Cadangan)
Sumber : http://batarahutagalung.blogspot.com/2012/05/jenderal-naga-bonar-bukan-cerita-fiktif.html
No comments:
Post a Comment