Djokjakarta

Friday 26 December 2014

Kisah Menarik Soal Kepangkatan Militer Pasca Proklamasi

10 Menit Dapat Dua Pangkat
Di masa pembentukan BKR/TKR, tokoh-tokoh masyarakat yang merasa memiliki banyak pengikut, membentuk pasukan atau lascar, dan mengangkat dirinya menjadi perwira-perwira, walaupun mereka sebelumnya tidak memiliki latar belakang militer, seperti mantan anggota KNIL,  Heiho atau PETA, ataupun badan-badan keamanan lain bentukan Jepang. Bahkan tidak tanggung-tanggung, ada yang mengangkat dirinya menjadi Laksamana ataupun Jenderal, seperti dalam kisah Jenderal Naga Bonar.
Kebanyakan laskar-laskar itu tidak memiliki senjata, atau kalaupun ada, rasio jumlah senjata dengan jumlah pasukan satu berbanding lebih dari sepuluh. Artinya satu senjata peninggalan atau yang dirampas dari tentara Jepang, untuk sepuluh orang atau lebih.
Oleh karena itu, pada tahun 1948 dilaksanakan yang dinamakan Reorganisasi dan  Rasionalisasi (Re-Ra) di tubuh TNI, di mana semua laskar-laskar dilebur ke dalam tubuh TNI dengan sistim kepangkatan yang jelas. Rasio senjata dengan jumlah serdadu ditetapkan menjadi satu banding empat. Boleh dikatakan, semua perwira dan bintara mengalami penurunan pangkat.
Terjadi penurunan pangkat besar-besaran, yang tentu diiringi dengan ketidak puasan mereka yang diturunkan pangkatnya. Perwira tinggi yang tidak bersedia pangkatnya diturunkan, memilih untuk mengundurkan diri dari dinas ketentaraan, dan tetap menyandang pangkat terakhir yang dimilikinya.
Setelah Re-Ra, yang menyandang pangkat perwira tinggi hanya tinggal dua orang, yaitu Letnan Jenderal Sudirman, yang adalah Panglima Besar/Kepala Staf Angkatan Perang, dan Mayor Jenderal Oerip Soemohardjo, Kepala Staf Umum. Pada waktu itu, TNI masih mengikuti sistim kepangkatan tentara Belanda, yang tidak mengenal pangkat Brigadir Jenderal. Setelah Oerip Soemohardjo (akhir 1949) dan Sudirman (Januari 1950) meninggal, TNI tidak memiliki seorang perwira tinggi dengan pangkat Jenderal. Pangkat tertinggi waktu itu adalah kolonel.
Untuk mendapat gambaran mengenai pengangkatan perwira dan kepangkatan di tahun 1945, ada beberapa ceritera yang menarik, antara lain dari Ruslan Abdulgani dan Kol. TNI (Purn.) Alex Evert Kawilarang.
Di Surabaya, setelah selesai pertempuran tanggal 28 – 30 Oktober 1945, sebagai hasil perundingan Sukarno-Hawthorn, disepakati untuk  membentuk suatu joint committee (komisi bersama) yang terdiri dari wakil-wakil Republik dan Sekutu. Ruslan Abdulgani ditunjuk sebagai salah seorang yang mewakili Republik di badan tersebut. Karena counterpartnya adalah seorang Kapten, Ruslan Abdulgani menuturkan bagaimana “lahirnya” seorang kapten (Lihat: Batara R. Hutagalung, 10 November ’45. Mengapa Inggris membom Surabaya?, Millenium Publisher, Jakarta, 2001,  hlm. 244 – 245. Disampaikan oleh Roeslan Abdulgani dalam Seminar Internasional “The Battle of Surabaya, November 1945. Back Ground and Consequences” di Lemhannas pada 27 Oktober 2000.):

 Akhirnya, sebelum pulang diadakan satu pembicaraan dan satu persetujuan, bahwa sekarang ada truce agreement dan bahwa di dalam truce agreement itu akan diadakan satu joint committee dan di dalam joint committee dari Inggris adalah Brigadir Jenderal Mallaby, Kolonel Pugh, Mayor Hudson, Kapten Shaw, Wing Commander Groom. Dari pihak Indonesia adalah Residen Sudirman, Dul Arnowo, Atmaji, Muhamad, Sungkono, Suyono, Kusnandar, Ruslan Abdulgani, Kundan.  Saya sekretaris, sana Kapten Shaw. Kapten, sekretaris juga. Des Alwi sama lain lain itu masuk:
“Eh, Cak, kamu itu berunding dengan siapa?”,
“Itu Kapten Shaw”,
“Lha  pangkat mu opo?”, (pangkatmu apa?)
Ndak duwé opo-opo”, (Nggak punya apa-apa)
“Ayo jadi Kapten”,
because Shaw is a Captain, I should also be a Captain, terus lapor nanggoné Mustopo. (karena Shaw adalah Kapten, saya harus jadi Kapten juga. Terus melapor ke tempat Mustopo)
“Mus!”,
Opo!”, (apa)
“Ruslan dadékno kapten!”, (Ruslan kamu jadikan kapten!)
Kenopo!”, (mengapa)
Ngadepi Kapten!”, (menghadapi kapten!)
Dadékno kono!” (jadikan sana!)
Terus pergi ke Sungkono saya dapat pakaian dengan bintang tiga. Baru saya ngerti kalau kapten itu bintang tiga.
Terus dibisiki: “Cak, engko né ono letnan, kon ojo ngéné (maksudnya hormat-red), letnané kudu ngéné”, [Cak, nanti kalau ada letnan, kamu jangan gini (beri hormat- pen.), letnannya yang harus begini]
“Oh, ya”
“Itu nék kolonel kon sing ngéné”, (itu kalau kolonel, kamu yang harus gini)
Nék podo kapten?”, (kalau sama-sama kapten?)
Menengo waé!” (Ya diam saja!)
Maafkan saudara, a Captain is born. (seorang kapten telah lahir)
Demikian tutur Ruslan Abdulgani.
Ceritera lain yang juga “unik” mengenai kepangkatan disampaikan oleh Alex Evert Kawilarang, yang sebagai orang sipil langsung “mendapat” pangkat kapten, dan 10 menit kemudian naik pangkat menjadi mayor. Pada bulan November 1945, Kawilarang dan Akhmad Yunus Mokoginta serta Kusno Utomo telah bertugas di lingkungan ketentaraan/TRI, namun belum mempunyai pangkat. Pada suatu hari, ketika mereka menghadap Mayor Jenderal Didi Kartasasmita, mereka dibawa ke Menteri Pertahanan Mr. Amir Syarifuddin Harahap. Dalam Otobiografinya Kawilarang menuturkan peristiwa tersebut (Lihat: Alex Evert Kawilarang, Untuk Sang Merah Putih, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hlm. 56 – 58):

  "Sudah waktunya you dapat pangkat, Kapten,” kata jenderal Didi tiba-tiba.
Lalu beliau mengetuk pintu kamar kerja Menteri Amir Syarifuddin dan membukanya.
Minister,” kata Jenderal Didi memulai pembicaraan. Seperti biasa, percakapan dilakukan dalam bahasa Belanda. “Vindt U goed dat ik hem Kapitein maak? Hij heeft nog geen rang.” (Apakah Anda setuju saya jadikan dia Kapten? Ia belum mempunyai pangkat.)
O zeker, zeker,” (O, tentu saja, tentu saja) kata Menteri Amir. Beliau cuma manggut-manggut saja. Tak sedikit pun mengangkatkan dagunya. Apalagi melihat kepada sayapun, tidak.
Wel gefeliciteerd!” (Selamat!) katanya. Lalu meneruskan dengan tugasnya: membaca apa yang dipegangnya, sehelai kertas, entah apa isinya.
“Panggil Mokoginta dan Kusno Utomo,” kata Jenderal Didi kemudian, di luar kamar kerja Menteri.
Saya pergi, menyeberangi jalan dan menyampaikan panggilan Jenderal Didi. Mokoginta dan Kusno Utomo kelihatan kaget.
“Apakah Pak Didi masih marah?” tanya salah seorang di antara mereka.
“Tidak,” jawab saya. “Saya rasa, kalian akan diberi pangkat.”
Ternyata memang benar begitu. Pak Didi mengantarkan mereka ke kamar Menteri dan masuk.
Minister, vindt U goed dat ik hen beiden Kapitein maak?” (Bapak Menteri, apakah Anda setuju saya jadikan mereka berdua Kapten?)
Menteri menjawab lagi, “Zeker-zeker, wel gefeliciteerd.” (Tentu, tentu, selamat).
Mereka lalu keluar dari kamar kerja Menteri. Lalu Jenderal Didi berkata, “Dulu, kalian bertiga satu kelas di KMA atau di CORO?”
“Bukan,” jawab Mokoginta dan Kusno Utomo hampir berbarengan. “Kusno di CORO, Mokoginta di KMA. Dan Kawilarang satu kelas lebih tinggi di KMA.”
“Kalau begitu, panggil lagi Kawilarang!” kata Jenderal Didi.
Saya, yang sudah tidak di gedung itu, dipanggilnya lagi.
Waktu sudah ada di depan Jenderal Didi, saya harus mendengarkan Jenderal itu berkata, “Jij was een klas hoger. Je wordt majoor. Kom mee naar de Menteri!” (Kamu dulu satu kelas lebih tinggi. Kamu jadi Mayor. Mari ikut saya ke Menteri).
Maka saya dibawa lagi ke kamar kerja Menteri Amir. Jenderal Didi mengetuk pintu kamar kerja Menteri dan kami masuk.
Minister, hij was een klas hoger. Vindt U goed dat ik hem majoor maak?” (Bapak Menteri, dia ini dulu satu kelas lebih tinggi. Apakah Anda setuju saya jadikan dia mayor?).
Menteri Amir menjawab:”Zeker, zeker. Wel gefeliciteerd!” (Tentu, tentu. Selamat!).
Sesudah sepuluh menit berpangkat kapten, saya “dipromosikan” atau diubah pangkat saya menjadi mayor. Memang begitulah di zaman revolusi.
Demikian penuturan Kawilarang.
Catatan:
KMA = Koninklijke Militaire Academie (Akademi Militer Kerajaan Belanda).
CORO = Corps Opleiding Reserve Officieren (Korps Pendidikan Perwira Cadangan)
Sumber : http://batarahutagalung.blogspot.com/2012/05/jenderal-naga-bonar-bukan-cerita-fiktif.html

No comments:

Post a Comment