Djokjakarta

Sunday 21 December 2014

Pembentukan SWK 103/A dan Peranannya Dalam Serangan Umum 1 Maret




 SERANGAN UMUM 1 MARET

Agresi besar-besaran yang dilancarkan tentara Belanda pada 19 Desember 1948 merupaka keberhasila luar biasa dipihak mereka, baik secara militer maupun politik. NKRI yang secara de facto sudah mengecil wilayahnya, kali ini langsung sekaligus hendak dimusnahkan dengan cara menduduki langsung Ibukotanya, Yogyakarta. Pemerintah Belanda ternyata sudah merancang dengan sangat matang agresi mereka kali ini. Semua perlengkapan dan mesin perang termodern yang ada dalam inventorinya dikerahkan. Dengan mengandal kan armada udaranya beserta pasukan lintas udara, langsung menghujam ke jantung pemerintahan RI.

Serangan berlangsung pada hari Minggu agar tidak terduga, karena Belanda yang Kristen biasanya ke Gereja. Pasukan mereka sejak dinihari lagi mulai bergerak menuju Jogja, saat semua orang masih terlelap dimalam dingin penghujung Bulan Desember yang biasanya selalu turun hujan. Dan dipagi buta itu juga, PM Kerajaan Belanda dan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dr. L.J.M. Bell mengumumkan secara sepihak pembatalan gencatan senjata dan perjanjian Renville. Pengumuman yang tentu saja hanya tatakrama, agar didengar di dunia internasional.

Pukul 05.45, 13 pesawat tempur Belanda membombardir Lapangan Terbang Maguwo, kemudian diikuti dengan Dakota yang menerjunkan pasukan Linud. Pertahanan Mgauwo ternyata sangat lemah, tidak seperti yang digembargemborkan beberapa perwira MBT. Maguwo hanya dijaga oleh seratusan tentara dengan persenjataan minim. Mitraliyur 12.7 hanya sebuah. Ada 1 Kompi AD, tapi entah kenapa beberapa jam sebelum serangan justru ditarik keluar Jogja. 14 pesawat milik kita, antaranya 8 buah dalam hanggar, hancur terbakar. Ditambah sebuah pesawat Catalina AURI yang kembali dari Sumatera dan tidak mengira kalau Maguwo sudah dikuasai oleh musuh, ditembak jatuh. Setelah tidak sampai 1 jam Maguwo sudah dikuasai, berturut-turut tiba Dakota menerjunkan pasukan dalam jumlah besar. 15 Dakota Belanda mondar mandir Semarang-Maguwo menjemput dan menerjunkan pasukan dan peralatan. Sementara digerbang Jogja pasukan darat Belanda lengkap dengan lapis bajanya merengsek dengan cepat memasuki Kota Jogja.

Pukul 10.00 posisi-posisi vital di Jogja sudah menerima tekanan hebat dari Belanda baik darat maupun udara. Kekuatan Pasukan Pertahanan Kota sangat kecil dan tidak dapat berbuat banyak menghadapi serangan dadakan ini. Ini juga karena memang sudah adanya perintah menyingkir ke daerah gerilya yang langsung dilaksanakan pada jam itu juga.

Pasukan Belanda dengan Tijger Brigade nya dibawah pimpinan Kolonel Van Langen menyerbu Gedung Agung, tempat kediaman Presiden dan Wakil Presiden. Pucuk pimpinan RI, beberapa Menteri, KSAU kemudian menjadi tawanan dan diseret untuk menghadap Mayjen Meir, pimpinan Agresi Belanda untuk dipaksa menyerahkan kekuasaan. Karena Bung Karno menolak, dia beserta Hatta dan sejumlah menteri diasingkan ke Sumatera. Sejak ditangkap, maupun saat sudah ditempat pengasingan, beberapa kali Bung Karno dan Bung Hatto nyaris dihabisi.


Menjadi Komandan Sektor Barat, SWK 103 / SWK 103A

Pesawat-pesawat tempur Belanda sejak pagi menderu-deru dilangit Yogyakarta. Ada sekitara 20 pesawat yang terdiri dari Jager, Bomber, dan Fighter bergentayangan sambil terus menerus memuntahkan tembakannya. Mereka menembak setiap objek yang terlihat dan bergerak. Mobil, delman, gerobak, kereta api, sepeda, mobil, juga penduduk yang berlarian mengungsi tidak luput dari hantaman mereka. Mayat bergelimpangan, korban jatuh dimana-mana.

Saya melaju dengan sepeda ke arah Pingit, Markas Brigade XVI. Maksud saya, sebagai Komandan Depo Persenjataan/Perbekalan, mau mengajak staf Brigade yang saya tahu ada di markas : Piet Ngantung, Empie Kanter, Eddy Gagola, serta para perwira lainnya untuk mengatur kordinasi pasukan.

Dalam perjalanan menuju Pingit, saya beberapa kali berpapasan dengan pasukan darat Belanda yang sedang menyerbu masuk ke tengah kota Jogja. Tapi saya sempat menghindar, walau sempat ditembaki juga. Tapi karena saya sedang menuju utara-Pingit, sedangkan Belanda masuk dari arah utara, maka makin sering saya berpapasan dengan mereka, bahkan sempat nyaris dalam posisi terkepung. Maka saya putuskan untuk berbelok ke arah kiri, menjauh ke arah barat, nanti kemudiannya cari jalan lagi kearah Pingit.

Ternyata di barat saya bertemu rombongan-rombongan pasukan yang mengungsi, termasuk rombongan Brigade XVI. Pertama saya bertemu dengan rombongan Kapten Frits Runtunuwu dan Jan Wowiling, saya langsung menggabungkan diri dengan mereka. Kemudian kami bertemu juga dengan rombongan pasukan pimpinan Gerard Lombogia. Dipinggiran barat Jogja terdapat Markas Batalyon salah satu pasukan kami, yaitu Yon Palar. Maka saya putuskan untuk berhenti saja disini, tidak mengungsi terlalu jauh. Rombongan Brigade XVI pun secara bertahap berhenti di markas Yon Palar, stelling mengantisipasi serangan musuh. Rombongan TNI mengungsi melewati daerah Yon Palar semakin banyak, mengalir dari dalam kota lengkap dengan keluarganya masing-masing. Stelling kami di daerah Yon Palar secara tidak langsung melindungi bagian belakang pengungsian pasukan-pasukan TNI yang mengalir dari dalam kota mengungsi kearah selatan, menghindari gempuran pasukan Belanda dari arah utara.

Untuk lebih mengamankan pengungsian pasukan yang tidak putus-putus, khususnya ribuan pasukan Siliwangi yang bergerak kearah barat daya, untuk kemudiannya kembali ke Jawa Barat sesuai dengan rencana induk gerilya, pasukan Brigade XVI setelah konsolidasi singkat kembali ke arah kota. Secara hit and run kami bertempur dengan ujung tombak pasukan Belanda yang mencoba mengejar rombongan-rombongan pasukan Siliwangi yang hendak melaksanakan long march. Begitulah, hingga sore kami terus menerus kucing-kucingan dengan tentara Belanda. Setelah kami pastikan rombongan Siliwangi sudah cukup jauh kearah barat daya, dan dengan perkiraan tidak ada lagi pasukan TNI yang mengungsi dari dalam kota, kami pun kembali stelling di tempat semula, daerah Yon Palar sebelah barat kota Jogja.

Sekitar pukul 16.00, saya melihat serombongan kecil perwira TNI datang dari arah barat daya. Drai jauh langsung terkesan, mereka lagi mengiringi seorang pimpinan tinggi TNI. Ternyata mereka rombongan dari MBKD (Markas Besar Komando Djawa), dipimpin Letkol Sukanda Bratamanggala. Ada Mayor Abdul Ghani juga, mereka sedang berkeliling melakukan konsolidasi. Letkol Sukanda Bratamanggala adalah Wakil Kepala Staf Teritorial, tapi sekarang ia satu-satunya perwira tertinggi Komando Djawa yang ada di ibukota. Para pejabat lainnya sedang mengikuti Panglima MBKD Kolonel AH. Nasution ke Jawa Timur sejak beberapa hari lalu. Saya dengan Pak Sukanda sudah slaing kenal sebelumnya. Setelah saya jelaskan tentang kami, Brigade XVI, Letkol Sukanda lalu bertanya,

“ Je, mau mengungsi kemana? ”

“ Tidak, kami disini saja,” jawab saya.

Dia heran, sebab posisi kami sekarang sebenarnya beelum terhitung pengungsian, masih terlalu dekat dalam jangkauan musuh yang sudah menguasai kota. Saya balas,

“ Kan kita sekarang bergerilya......”

“ ohh..ya..ya! Betul” kata Pak Sukanda. Ia tersenyum senang

Saya juga menjelaskan kalau wilayah ini memang tanggungjawabnya salah satu pasukan kami, Yon Palar.

“ Baiklah kalau begitu. Mulai sekarang Mayor Sumual kami angkat menjadi komandan disektor ini. Sektor Barat!”

“ Siappp!”

Kembali ternyata kami salah duga, ternyata masih ada lagi rombongan-rombongan pasukan TNI yang mengungsi melewati pasukan kami, terus mengalir sampai malam. Kamu mulai menyiapkan akomodasi untuk pasukan-pasukan. Mulai berusaha mengenali medan, buat tempat berlindung. Markas Komanda saya akan ditempatkan lebih ke barat, tepatnya didesa Jering, Godean. Tidak menunggu lama, sayapun sudah mempersiapkan pasukan untuk melakukan gangguan kedalam kota malamnya.

Sekitar jam 20.00 saat pasukan sedang mengaso dalam perjalana masuk ke kota, dari arah selatan datang rombongan kecil, dikawal oleh beberapa naak buah saya. Ternyata rombongan Letkol Soeharto, Komandan Brigade X. Letkol Soeharto sedang berkeliling melakukan konsolidasi. Teritori Brigade X memang meliputi seluruh wilayah Kesiltanan Yogyakarta, termasuk daerah Godean ini. Markas komandonya sekarang berpindah ke Segoroyoso, sebelah timur Kali Opak, sebelah tenggara kota Jogja. Jadi ia sudah jauh berkeliling melakukan konsolidasi

Sebelum sampai ke markas saya, ia mampir dulu kerumah keluarganya di Rewulu. Katanya, semula ia mengira pasukan-pasukan kami adalah rombongan Siliwangi yang akan meneruskan perjalanan ke Jawa Barat. Saya dan Pak Harto memang sudah saling mengenal, kami kemudian larut dalam perbicaraan. Dia bercerita pengalamannya dalam kota saat serangan Belanda tiba tadi pagi, lalu mengungsi ke selatan, kemudian konsolidasi sejak siang tadi.

“ Terus, Tje mau bergerilya kemana? ” tanya Letkol Soeharto.

“ Disini. Kami disini saja. “

“ Apa ndak terlalu dekat markas Belanda? Saya dengar mereka di Tugu.”

“ Ah jauh. Ndak apa-apa,” jawab saya.

“ Baiklah. Sekarang saya angkat Mayor Sumual jadi Komandan Sektor Barat “

Jadi dalam beberapa jam saya saya sampai dua kali diangkat menjadi Komandan Sektor Barat. Mungkin karena saya tidak suka banyak bicara, saya tidak bilang ke Soeharto tentang pengangkatan saya oleh MBKD sebelumnya. Memang saya merasa tidak perlu mempermasalahkan masalah ini. Istilah “Pasukan Gerilya Sektor Barat” tersebut lantas dipakai terus, walaupun kemudian sudah ada nama SWK, Sub-Wehrkreise. Malam tanggal 19 Desember itu juga, kami di Sektor Barat melakukan serangan kedalam kota. Masih saya ingat pertempuran seru di Jl.Tanjung yang dilancarkan Pasukan Combat Brigade XVI pimpinan Letnan Sigar.

Penyerangan malam ini memang tidak direncanakan sebelumnya, namun diperjalanan bergabung pasukan Yon 151 yang dari sektor lain. Memang serangan kami ini hanya spontan saja, begitu juga Yon 151 yang spontan bergabung. Dalam kontak senjata di daerah Tugu, Komandan Yon 151 Kapten F. Hariadi gugur bersama sepuluhan anggotanya. Selanjutnya Yon 151 yang baru saja kehilangan pimpinannya meminta bergabung dengan kami untuk seterusnya.

Pasukan Sektor Barat kami hampir tiap malam melakukan penyusupan-penyusupan dan serangan kedalam kota. Inilah sebetulnya konsep prinsip gerilya, kami yang menentukan kapan dan dimana untuk bertempur, bukan pihak musuh. Begitu juga ketika tanggal 22 Desember Letkol Soeharto meminta bantuan saat ia memimpin pasukan masuk kedaerah Taman Sari dekat Kraton, saya kirim pasukan Combat Brigade XVI yang dipimpin langsung oleh komandannya, Kapten Kandou, biasa dipanggil Bos!.
Pengorganisasian baru berlangsung awal Januari 1949. Letkol Soeharto memimpin Wehrkreise III atau WK-III. Membawahi 6 Sub-Wehrkreise atau SWK :

SWK 101 di daerah Bantul Timur dengan Komandan Mayor Sekri Soenarto.
SWK 102 di daerah Bantul Barat dengan Komandan Mayor Sardjono.
SWK 103 di daerah Godean dengan Komandan Mayor Ventje HN. Sumual.
SWK 104 di daerah Sleman dengan Komandan Mayor Soekasno.
SWK 105 di daerah Gunung Kidul dengan Komandan Mayor Sardjono.
SWK 106 di daerah Kulon Progo dengan Komandan Letkol R. Soedarto.

Dalam perkembangan selanjutnya disesuaikan dengan pergeseran real di pasukan-pasukan, juga dengan pertimbangan-pertimbangan lain. Sejak pertengahan Januari, beberapa perubahan dilakukan.

1. SWK 101 untuk clandestine dalam kota Jogja, lebih sebagai mata-mata dan satuan penghubung gerilya. Komandan Letnan Marsudi.

2. SWK 102, Komandannya tetap Mayor Sardjono, tapi wilayahnya sudah mencakup hingga Bantul Timur yang sebelumnya masuk SWK lain.

3. SWK 103, bermarkas di Gamping dengan Komandan Letkol Suhud.

4. SWK 103A, didaerah Godean tetap saya pegang. Hanya nama berubah ditambah huruf A untuk membedakan dengan SWK 103. Terkesan kami hanya bagian dari SWK 103.

5. SWK 104, di daerah Sleman tetap dengan Komandan Soekasno.

6. SWK 105, di daerah Gunung Kidul tetap dengan Komandan Soejono.

7. SWK 106, di daerah Kulon Progo tetap dengan Komandan Soedarto.

Ada yang menjelaskan kepada saya, bahwa kami menjadi SWK 103A sedangkan 103 Untuk Suhud karena pangkatnya Letkol, sehingga jangan dimasukkan komando saya yang Mayor. Padahal Gamping adalah daerah teritori kami. Memang jabatan Letkol Suhud sebelumnya bahkan pararel dengan Letkol Soeharto. Soeharto adalah Komandan Brigade X yang berkedudukan di Yogyakarta, sedangkan Suhud justru adalah Komandan Sub-Teritorium Divisi III untuk wilayah Yogyakarta.

Saya sendiri sama sekali tidak memikirkan soal-soal begitu. Rupanya meski dalam suasana darurat, dalam gerilya ada saja orang yang tetap merasa penting akan formalitas jabatan seperti itu. Padahal, dalam suasana begini yang terpenting hanyalah soal besarnya kekuatan real, jumlah pasukan, senjata, dan berani apa nggaknya maju ke medan front. Bukan soal levelitas jabatan!

Pasukan saya SWK 103A adalah yang terbesar. Ada 4 Yon Mobile, yaitu Yon Lukas Palar, Yon Andi Mattalatta (Resimen Hasanuddin), Yon Palupessy (Dulu Divisi Pattimura), dan Yon 151 dengan pimpinan Hardjosoedirjo menggantikan pimpinan asal yang gugur. Semua sektor teritori gerilya kami penuh terisi dengan pasukan dan dibagi dalam 5 sektor. Sektor 1 dipimpin oleh Kapten Frits Runtunuwu, Sektor 2 Letnan Wim Sigar, Sektor 3 Mayor Palupessy, Sektor 4 dikomandani Widarto bersama Asmasmarmo, dan Sektor 5 oleh Letnan Goenarso. SWK-SWK lain hanya berkekuatan 1 Batalyon plus, bahkan SWK 105 dan 103 hanya berkekuatan 2 Kompi plus. Juga SWK 101 yang memang tidak perlu mengefektifkan pasukan besar sebab khusus untuk clandestine dalam kota. Komandan Yon 151 Kapten F. Hariadi yang gugur dalam pertempuran malam 19 Desember, dan sejak itu pula Yon 151 ikut dalam pasukan saya. Danyon kemudiannya dipegang oleh Letnan P.C. Hardjosoedirjo. Letkol Soeharto yang langsung datang ke markas saya melantiknya.

Sejak hari-hari pertama bergerilya, telah datang bergabung dengan kami di Sektor Barat sejumlah pasukan dari luar Brigade XVI. Ada 2 pasukan Mobile Brigade Kepolisian dipimpin oleh Ajatiman dan Soebroto. Lalu ada Kolonel Laut Darwis Djamin, Panglima ALRI Pangkalan Tegal bersama-sama anak buahnya juga mengungsi kesektor kami. Pasukan Marinirnya sebenarnya punya persenjataan yang bagus dan canggih, kami beruntung mereka bergabung disektor kami dan bahu membahu bergerilya. Ada pula Laskar Burhanuddin Harahap, yang bersama beberapa politisi berlindung di sektor kami, mengkonsolidasi Barisan Hizbullah. Banyak tokoh politik berlindung di daerah sektor saya termasuk Mr. Kasman Singodimedjo, Sukarni dari KNIP, juga apa Pandu Wiguna, Ir. Sakirman, Setiadi. Chairul Saleh juga sempat berlindung disektor saya, kemudian mengatakan akan ke daerah Jawa Barat, bergerilya disana. Banyak juga yang mendapatkan jodohnya disektor ini, dan saya membantu acara pernikahan mereka.

Masih dalam suasana Natal tanggal 26 Desember 1948, saya menerima Surat Perintah Operasi dari Lekol Soeharto agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk serangan umum tanggal 29 Desember 1948. Inilah serangan umum yang pertama. Pukul 7 malam kami mulai bergerak, hampir seluruh pasukan di Sektor Barat, baik regular Brigade XVI maupun yang berlindung di sektor ini saya kerahkan. Secara tersamar kami mendekati pinggiran kota, menuju sasaran maisng-masing. Pasukan kami dibagi menjadi dua, sebagian melambung ke utara, masuk Jogja dari arah utara, sebagiannya pula langsung menyerbu dari barat.

Serangan dimulai tepat pukul 21.00. Tembakan bergema diseantero kota. Letusan senjata yang diselingi siulan mortir terdengar dahsyat dari seluruh penjuru kota. Tujuan utama operasi adalah untuk mengembalikan kepercayaan rakyat, disamping mengetes dan mengetahui kekuatan pasukan lawan. Cukup banyak prajurit yang gugur malam itu. Diantaranya asisten saya sendiri, Letnan Karel Pondaag. Ia ex-KNIL, gugur berjibaku dengan brencarrier Belanda. Pertempuran berlanjut hingga pukul 03.00 dinihari, kami mengundurkan diri. Walau kelelahan ditambah udara yang cukup dingin karena musim penghujan, saya menyiapkan serangan balasan selanjutnya. Beberapa prajurit diperintahkan mengurusi jenazah mereka yang gugur, termasuk jenazah Letnan Karel Pondaag yang sudah tidak utuh lagi.

Serangan balasan tanggal 31 Desember malam berlangsung singkat namu efektif, dengan titik-titik sasaran yang tegas, serangan dari Sektor Barat ini saya pimpin sendiri. Sejumlah komandan operasi andalan Brigade XVI pun turun lapangan. Diantaranya Kapten Willy Sumanti, Kapten Runtunuwu, Mayor Gustav Kamagie, Letnan Kailola. Begitu juga jagoan-jagoan tempur Tim Khusus Combat Brigade XVI seperti Latnan Kandou, Letnan Woimbon, Letnan Sigar, dan lain-lain.

Kembali dari bertempur, kami langsung ke daerah Jering, karena harus sibuk persiapan menyambut malam perpisahan tahun. Ini memang hari terakhir tahun 1948. Sejal awal masa gerilya 1945, orang-orang asal Minahasa dalam laskar KRIS tidak pernah alpa dengan tradisi perayaan dari kampung halamannya ini. Demikian seterusnya dari tahun ke tahun, sehingga prajurit dari daerah manapun dalam Brigade XVI ini sudah ikut turut mentradisiknnya. Dan sekarang, lebih banyak teman-teman baru yang berasal dari Sulawesi Utara dalam kesatuan gerilya Sektor Barat. Malam tahun baru kami rayakan dengan meriah, walaupun tentu secara sederhana. Rakyat disektor kami turut serta bergabung bersama-sama. Terasa suasana keakraban dan persaudaraan antara TNI, Pejuang dan Rakyat. Inilah nyawa dari peperangan gerilya sebenarnya.

Rapat Kecil di Desa Semaken
Usul Serangan Umum Bergema Internasional
Suatu sore, tanggal 12 Februari, saat itu saya sedang memimpin penyerangan terhadap Pos Besar tentara Belanda di Jembatan Bantar, seorang anak buah datang menghadap menyerahkan sepucuk surat yang dihantar oleh kurir. Ternyata surat dari Letkol Soedarto, Komandan SWK 106. Saya diminta untuk datang ke Kulon Progo, di Desa Semaken, ada pertemuan besoknya dengan Komandan WK-III Letkol Soeharto. Malamnya, komando pertempuran saya percayakan ke Letnan Harjosoedirjo. Besoknya, hari Minggu pagi-pagi sekali saya berangkat ke Kulon Progo ditemani Bob Mandagie. Sengaja saya bawa Mandagie karena memang ia kenal daerah Kulon Progo dan bisa berbahasa Jawa. Ini penting buat perjalanan di wilayah pedalaman. Di Kulon Progo, kami dijemput oleh utusan Soeharto dan mengantar kami ketempat pertemuan. Ternyata yanga akan rapat cuma kami bertiga, Soharto, Soedarto, dan saya.

Tanpa membuang waktu, Soeharto langsung memulai pertemuan dan masuk kepokok rapat. Strategi kedepan, sambil mengevaluasi langkah-langkah yang sudah dan sedang dilaksanakan. Kedepan, sesuai dengan strategi umum perang gerilya, tentu saja juga mengenai serangan umum lagi. Itu memang sudah digariskan, sudah menjadi teori umum dalam konsep perang gerilya. Langsung saja kemudian saya ajukan usul,

“ Pak Harto, kita kan sudah beberapa kali melakukan serangan umum, tapi semuanya dimalam hari. Bagaimana kalau kemudian kita lakukan pada siang hari, supaya mendapat perhatian luas, diberitakan dikoran-koran, sebab berita di Koran selama ini hanya menguntungkan pihak Belanda.”

Soeharto setuju, “ Itu baik. Serang pada waktu siang,” katanya sambil mangut-mangut.

“ Baiklah, nanti dipikirkan cara-caranya. Harinya akan saya tentukan” sambung Pak Harto lagi.

Kami bertiga kemudian masuk ke pembahasan teknis untuk pelaksanaan serangan umum. Masing-masing memberi masukan ini itu. Soeharto mengatakan ke Letkol Soedarto,

“ Nanti waktu serangan ke dalam kota, Pak Darto mengikat Belanda yang di Bantar. Supaya mereka ndak pergi membantu temenya yang kita serang dalam kota”

“ Siap!” kata Soedarto.

Seperti beberapa hal yang disampaikan Soeharto pada kami, bukan lagi sekadar usul tentang strategi, melainkan sudah harus kami terima sebagai perintah. Pos Belanda di Jembatan Bantar itu memang adakalanya dijaga sampai lebih 1 Kompi. Mereka sering kami serang, seperti juga penyerangan yang saya pimpin beberapa hari terakhir ini. Tapi Belanda tidak mau meninggalkan posisi disitu, karena merupakan gerbang penghubung Yogyakarta dengan semua wilayah-wilayah di barat.

1 Maret 1949 Pukul 01.00 - 06.00 - 12.00
Perintah operasi serangan umum kelima yang akan dilakukan pada hari tanggal 1 Maret saya terima tidak melalui surat yang diedaran Markas WK-III melalui kurir, melainkan langsung oleh Komandan WK-III Letkol Soeharto. Ya, Pak Harto memang sering datang ke markas saya di Godean. Mungkin karena dia merasa sreg kalau selalu bisa memastikan langsung pasukan terbesar yang paling dekat saat penyerbuan ke markas utama tentara Belanda dalam kota Jogja. Setiap kami ngobrol, dia pasti menanyakan satu persatu keadaan pasukan-pasukan yang tergabung dalam SWK 103A ini. Tapi mungkin juga sebab sederhana saja, daerah Godean adalah kampung halamannya. Hari-hari menjelang 1 Maret, Pak Harto semakin sering singgah berkunjung ke Markas saya.

Waktu markas kami diserbu oleh pasukan Belanda tanggal 27 Februari pagi, Pak Harto juga ada. Untung dia cepat menyelamatkan diri, padahal serangan Belanda ini terbilang cukup besar. Belanda sudah sangat geram pada kami, karena pasukan-pasukan dari Godean tidak hentinya menyerang kedudukan pos-pos mereka, terutama Jembatan Bantar. Tentara Belanda, walaupun dengan konvoi takut keluar kota, apalagi kewilayah barat, karena pasti akan kami sergap. Penyerbuan ini dapat kami pukul mundur, selanjutnya kami berbalik mengejar mereka secara. Terbirit-birit tentara Belanda melarikan diri dan bertahan dengan kuatnya di Jembatan Bantar. Satu pertanyaan saya, mengapa Belanda bisa mengetahui dengan detail posisi pasukan-pasukan saya? Rupanya mereka sudah lama menyusupkan mata-mata, mempelajari posisi pasukan dan markas komando saya di Godean.

Pagi-pagi Belanda menyerbu dengan kekuatan besar mengepung dari beberapa jurusan, disertai bantuan tembakan dari pesawat udara. Dalam duel sengit jarak dekat di daerah perbukitan Godean, dipihak kami gugur 3 orang. Yaitu Letnan Bos Kandou, Sersan Jack Runtukahu, dan Ipda Toet Harsono. Bos Kandou adalah sorang perwira lapangan jago perang kami, ia pernah mengikuti pendidikan di Akademi Militer. Runtukahu juga seorang jagoan perang pemberani yang sudah bersama dengan kami sejak di KRIS lagi. Ipda Harsono bersama saya saat tertembak. Waktu itu, musuh sudah mengepung kami, tapi saya cepat melompat kebelakang tiarap tepat pada detik terlihat kilasan peluru dari permukaan air. Beberapa angota kami patah kaki lantaran nekad melompat ke dalam jurang menghindari sergapan Belanda.

Mereka yang gugur kemudian dikebumikan mengikut upacara keagamaan masing-masing. Pemakaman Bos Kandou juga dilaksanakan, banyak penduduk yang menghadiri kebaktiannya. Ternyata banyak juga penduduk disekitar Sektor Barat yang beragama Kristen. Mereka ikut menangis, sebab walaupun Kandou dan Jack adalah pendatang, tapi sudah akrab dan sering bantu-bantu pekerjaan warga.

Besoknya sejak pagi, perhatian kami tertuju pada persiapan-persiapan serangan umum. Jam 7 malam saya kumpulkan staf dan semua komandan pasukan, termasuk komandan pasukan yang mengungsi dan berlindung di Sektor Barat. Rapat dilaksanakan di Pasar Jering. Sengaja dibikin malam hari, karena harus menunggu los-los yang sudah kosong, sudah tidak ada yang berjualan. Disini, saya memberikan briefing terakhir untuk pelaksanaan operasi besok pagi. Gerakan pasukan ke dalam kota akan dilepas mulai tengah malam nanti.

Sekitar jam 01.00 pasukan sudah bergerak kearah timur, menuju kota Jogja. Tidak dalam barisan bersaf banyak, melainkan berbanjar satu persatu, ada juga yang berdua. Sengaja saya intruksikan agar tidak bersaf banyak karena akan berisik tentunya. Pasukan berjalan memanjang menembus kegelapan malam. Saya berjalan cepat disamping barisan panjang ini yang langsung dipimpin oleh komandannya masing-masing. Semua kekuatan Brigade XVI, simpatisan pejuang, pasukan –pasukan luar yang berlindung di sektor barat, ALRI, Brigade Mobile Kepolisian, satuan AURI, Resimen Hasanuddin, Resiman Pattimura, Resimen Bali, pasukan Hizbullah, bergabung menjadi satu dalam barisan yang sangat panjang. Inilah kekuatan terbesar dalam serangan umum ini.

Saat melewati sebuah pasar, masih di daerah Godean bagian timur, dari kegelapan terdengar di depan saya seruan-seruan memberi salam, “Merdeka!...Merdeka!...Merdeka! ”. Ternyata anak buah saya didepan melihat Letkol Soeharto sedang berdiri sendirian dipinggir jalan. Anak-anak memang pada umumnya sudah mengenal Komandan WK-III ini karena sering berkunjung kemarkas kami. Saya langsung menghampirinya, dia bertanya,

“ Tje, ini pasukannya? “

“ Ya, ini,” saya menunjuk mereka yang terus berjalan kearah timur.

“ Banyak juga ya,” sambung Pak Harto menyaksikan barisan panjang pasukan saya yang seperti tidak ada putus-putusnya.

“ Ya..masih banyak dibelakang Pak. “ balas saya.

Kami berbincang-bincang sebentar sambil mengamati pasukan yang terus menerus mengalir melewati kami. Hanya sebentar, saya kemudiannya pamit. Saya ingin berada tepat di depan pasukan saat menjelang detik-detik penyerbuan yang sudah ditetapkan. Saya hanya membawa sepucuk pistol yang selalu tergantung dipinggang saya, sesuai tradisi komando saja. Tapi kalau saat mulai pertempuran, saya akan menggunakan senjata laras panjang juga.

Sesuai dengan intruksi Letkol Soeharto, semua pasukan yang akan menyerbu mengenakan sehelai janur-daun kelapa yang masih berwarna kuning muda, diikat dipangkal lengan kiri atau meneggantung dibahu. Dengan sandi ini pasukan gerilya maju mengalir dari seluruh penjuru mengepung kota Jogja dari semua arah.

Belum pukul 05.00 semua pasukan SWK 103A dari Sektor Barat sudah berada ditepian barat kota Jogja. Sesuai dengan rencana saya, mereka lalu memecah dalam dua kelompok besar. Kelompok pasukan yang pertama lebih dulu bergerak cepat kekiri untuk memasuki kota dari arah utara. Sedangkan saya yang memimpin kelompok besar lainnya maju terus perlahan-lahan mulai mengambil posisi didalam kota. Semua pasukan memasuki kota melalaui jalur dan kearah sasaran, dipandu oleh personil dari Sektor 1 dan 2. Pasukan dari dua sektor ini yang dikomandani oleh Kapten Runtunuwu dan Letnan Sigar ini memang yang paling menguasai seluk beluk jalur didalam kota, karena 2 sektor ini semenjak gerilay saya tempatkan menguasai teritori daerah gerilya kami paling timur, dekat kota. Selama bergerilya, anak buah Runtunuwu dan Sigar ini mondar mandir sesukanya kedala kota tanpa takut. Tak selalu tugas untuk mata-mata, sering cuma buat keperluan-keperluan kecil, seperti nonton bioskop, atau membeli makanan yang enak-enak, Mereka memang rata-rata bernyali besar. Banyak dari mereka adalah termasuk Pasukan Khusus Combat Brigade XVI.

Makin mendekati sasaran pasukan mulai mengendap-endap, bahkan lainnya harus tiarap. Semua sudah siap dengan senjata masing-masing dalam jarak tembak yang efektif. Sekitar pukul 05.45 semua pasukan sudah dalam posisi senjata terbidik pada titik sasaran masing-masing. Tinggal menunggu saat yang tepat, yaitu sirene berakhirnya jam malam pukul 06.00 tepat, sirene ini dibunyikan tiap hari oleh pemerintah pendudukan Belanda di Jogja. Jadi tentara Belanda sendiri yang akan memberikan komando bagi semua pasukan kami untuk mulai menembaki mereka.

Pertempuran Pecah
Tepat pukul 06.00 sirene Belanda itu berbunyi meraung-raung, namun langsung tenggelam oleh bunyi letusan ribuan tembakan, ledakan granat, siulan mortir yang serentak dan terus menerus, sehingga tidak ada lagi yang mendengar bunyi sirene kapan berhentinya. Serangan ini luar biasa dahsyatnya, petempuran pecah seantero kota disemua tangsi dan pos dan markas-markas tentara Belanda. Serangan Umum 1 Maret yang kemudian terkenal ini sudah dimulai.

Kami dari SWK-103A diserah kan untuk menghantam Markas Brigade Tjiger, Markas Yon 1-15RI di Benteng Vredeburg, Hotel Merdeka yang menjadi sarang perwira-perwira Belanda. Sebagian pasukan juga menyerbu pos-pos Belanda yang berada disepanjang jalan Malioboro. Bahkan semakin semangatnya, satu pasukan kami dibawah pimpinan Letnan Ajatiman menyerbu jauh, sampai Lempuyangan. Mungkin juga Ajatiman melihat pasukan kmi sudah cukup besar untuk menghantam sasaran-sasaran yang ditargetkan. Begitu juga pasukan kami yang menyerang Benteng Vredeburg, ternyata sangat cepat karena ada juga pasukan dari SWK yang ada disana. Benteng Vredeburg diobrak-abrik sehingga tentara Belanda lari kearah Kotabaru.

Pasukan yang saya pimpin langsung menekan tentara Belanda yang bermarkas di daerah Tugu, sehingga mereka terkepung, hanya bisa bertahan didalam markas masing-masing. Saya lantas membuat Pos Komando di daerah Dagen. Dari sini saya mengendalikan pasukan dengan sejumlah kurir yang berlarian kesana sini, soalnya alat komunikasi sangat tidak memadai. Pasukan kami yang menuju ke arah Malioboro setelah melewati Ngampilan dan Notoyudan, dibelakang pertokoan dikasih makanan enak-enak oleh ibu-ibu Cina. Banyak susu disediakan, padahal pasukan kami sudah lama tidak minum susu. Hasilnya banyak yang mencret-mencret dan sakit perut, namun sambil tetap bertempur.

TNI dan gerilyawan memenuhi hampir kesemua jalan-jalan raya dipusat kota Jogja, terlebih disepanjang jalan Mlaioboro dan daerah Tugu. Pekik “ Merdeka!” terdengar dimana-mana. Kalau Belanda sudah sempat menaikkan bendera bendera dikantor-kantor resminya pasti ada yang menggantinya dengan merah putih atau merobek bagian birunya. Jadi tentara Belanda itu lebih mementingkan nyawanya masing-masing daripada kewajiban menaikan bendera yang merupakan eksitensi kekuasaan negaranya. Sepanjang pagi hingga siang, TNI dan gerilyawan menguasai kota Jogja. Hanya kami memang tidak berencana untuk masuk dan menduduki markas-markas Belanda, kecuali di Benteng Vredeburg, Pabrik Anem, dan beberapa pos yang kami kuasai sepenuhnya. Pasukan Belanda yang berada ditempat-tempat tersebut sudah lebih dulu melarikan diri meninggalkan mayat teman-temannya.

Belanda di Jogja shock!. Tentaranya terdesak dimana-mana, walau sudah mengerahkan seluruh mesin-mesin perangnya di Jogja. Mereka meminta bantuan pasukan dari kota-kota disekitar Jogja, dan ini bisa karena TNI di daerah lain tidak diperintahkan oleh pucuk pimpinan untuk untuk mengikat kedudukan tentara Belanda diwilayahnya masing-masing. Satu kesalahan strategi menurut saya. Barangkali kalau serangan umum ini serentak juga terhadap kota-kota disekitar Yogyakarta, apalagi seluruh Jawa Tengah, mungkin sejarah akan mencatat lain. Tentara Belanda pasti bisa langsung dihabisi dan merebut kota jogja pada waktu itu juga.

Pengunduran dan Masuknya Bantuan Tentara Belanda
Setelah melakukan pengintaian dengan pesawat Auster, Kolonel Van Zanten, Komandan Brigade tentara Belanda di Magelang, mengirimkan 2 batalyon andalannya. Batalyon “Andjing Nica” dan Batalyon “Gadjah Merah”. Sekitar jam 11.00 mereka sudah tiba di Jogja, tapi itupun harus mengalami hambatan dan penghadangan oleh pasukan-pasukan TNI, antaranya Kompi Martono. Sesudah jam 11.00 situasi mulai berubah. Terutama karena pasukan-pasukan kita memang sesuai rencana operasi sudah saatnya mundur ke pangkalan masing-masing. Tembakan-tembakan yang kami lepaskan hanya sebagai penghambatan. Pasukan saya agak terlambat mundur. Bala bantuan tentara Belanda sudah berdatangan dengan tank, panser, bahkan hujan peluru dari pesawat udara. Sejumlah mobil yang dilengkapi dengan senapan mesin mengejar gerilyawan disetiap ruas jalan. Pertempuran dari lorong ke lorong, jalan ke jalan berlanjut.

Kami harus mengundurkan diri ke arah selatan lebih dulu, karena jalan yang ke barat sudah diblokade dan dipenuhi pasukan musuh. Saya perintahkan pasukan saya untuk jangan lagi sibuk menembaki musuh, jangan masih terbawa dengan suasana beberapa jam lalu saat kita masih diatas angin. Berupaya menyelamatkan diri, masuk ke selokan atau gorong-gorong. Mundur dengan teratur dan taktis, perhatikan samping kanan dan kiri, jangan sampai terkepung. Pasukan saya terus sampai ke Winongo, menyeberangi kali sudah lumayan aman, tetapi harus masih tetap berlari cepat dan dalam posisi terlindung menuju Wirobrajan. Ternyata di Wirobrajan kami sudah ditunggui, sudah ada pasukan Belanda disana. Tembak menembak pun pecah lagi. Dalam situasi tembakmenembak dengan musuh, sambil sebagian pasukan tetap melaju kearah barat, seorang dari pasukan saya tertembak dan gugur. Namanya Sunaryo dari Kompi Brigade Mobile pimpinan Ipda Ajatiman.

Jam 14.00 kami sudah berada diwilayah yang diluar jangkauan musuh. Hanya Yon Mattalatta yang tercecer, ketinggalan sehingga harus bermalam dikota. Kenapa Yon Mattalatta tidak segera mengundurkan diri? Apakah perintah saya tidak sampai kepasukannya? Ternyata Batalyon Kapten Andi Mattalatta sebetulnya sudah terlebih dahulu mengundurkan diri bersama SWK-SWK lain begitu balabantuan Belanda tiba. Namun, setelah pisah arah dengan SWK lain, makin ke barat makin terasa mereka hanya sendiri. Mana pasukan lainnya? Mana pasukan-pasukan dari Sektor Barat? Masih dikota kah? Terkepung tentara Belanda? Mungkin mereka tertanya-tanya seperti itu.

Batalyon yang dipimpin oleh Kapten Andi Mattalatta ini, yang didalmnya juga ada Letkol Kahar Muzakkar, jadi merasa tidak enak hati. Mereka mengira sudah meninggalkan teman sendiri. Maka para pemberani ini segera balik kanan, masuk lagi kedalam kota, bertempur dengan tentara Belanda yang sudah menguasai kota. Ternyata pasukan Belanda sudah begitu kuatnya. Bala bantuannya sudah banyak mengalir dari kota-kota tetangga. Yon Matalatta sedapat mungkin berusaha bertahan namun musuh demikian kuat serta berusaha mencari pasukan-pasukan Sektor Barat yang dikira terkepung didalam kota. Ya sudah, mereka kemudian menghindar dari posisi-posisi musuh, sampai lepas tengah malam baru mereka bergerak keluar kota. Begitulah gara-gara tidak adanya alat komunikasi.

Pagi-pagi sekali Mattalatta datang melapor ke Markas saya, sambil semua tertawa-tawa. Lucu bercampur gembira karena sudah selamat, dan terutama gembira karena sudah memenangkan misi pertempuran, berjalan sesuai rencana. Jadi, kalau TNI lainnya Cuma menduduki kota Jogja selama 6 jam, Yon Mattalatta mendudukinya selama 14 jam. Bahkan setelah bala bantuan Belanda datangpun mereka masih bertempur, sebab merasa pasukannya tinggal sendiri. Mengira kami semua sudah dihabisi Belanda didalam kota. Pikirnya mungkin, kalau memang Ventje dan semua pasukan-pasukan yang ada di Sekor Barat gugur, kenapa saya tinggal diam? Mending berjibaku masuk kedalam kota bertempur sampai mati!. Begitulah mungkin pikiran para pemberani jagoan perang ini.

Kontroversi Sejarah Pencetus Ide SU 1 Maret 1949 dan
Salah Siapa Jatuhnya Ibukota RI Yogyakarta
Dikemudian hari terjadi kontoversi berkenaa sejarah perang gerilya periode Desember 1948 – Maret 1949 yang dramatis itu, sampai ada 2 kontoversi. Kontoversi yang satu bersifat saling tuding, sedangkan kontoversi satunya lagi bersifat saling mengaku. Yaitu saling menuding kesalahan berkenaan jatuhnya Ibukota RI pada 19 Desember 1948, dan kemudian saling mengaku sebagai pengasas Serangan Umum 1 Maret 1949 yang terbukti telah membawa Indonesia pada kemerdekaan nasional secara de facto.

Perbedaan lain dari dua kontroversi tersebut ialah waktu pecahnya. Kontoversi mengenai siapa pencetus ide SU 1 Maret 1949 itu, bisa saya pastikan baru akan berkembang lama dikemudian hari, selama cara saya mengisahkan peranan saya dalam sejarah itu biasa-bisa saja tanpa disertai nada meng-claim bahwa yang benar ini dan yang itu salah. Sedangkan slaing tuding suapa yang paling bersalah atas jatuhnya Ibukota RI Yogyakarta hanya dalam tempo beberapa jam pada 19 Desember 1949, kontoversinya langsung pecah pada masa itu juga. Siapa yang paling bertanggungjawab atas fakta begitu mudahnya Ibukota RI jatuh ketangan musuh, langsung ditudingkan pada AH. Nasution.

Mengenai siapa yang paling bertanggungjawab atas fakta begitu mudahnya Ibukota RI jatuh ketangan musuh pada pagi hari 19 Desember 1949, pada hari-hari itu juga langsung ditudingkan kepada Kolonel AH. Nasution sebagai Panglima Komando Djawa. Terlebih, karena pada hari-hari itu Panglima Besar Sudirman baru aktif kembali setelah lama cuti sakit, sementara Nasution yang padahal sudah tahu pasti segera akan terjadinya agresi Belanda itu ternyata masih sempat-sempatnya melakukan perjalanan meninggalkan ibukota sampai beberapa hari tanpa lebih dulu melakukan persiapan-persiapan yang matang dalam menghadapi serangan Belanda, sebagaimana dikatakan perwira intelijen Kolonel Zulkifli Lubis, sudah diketahui jelas akan terjadi! Nasution bersama hampir semua staf Markas Besar Komando Djawa sejak beberapa hari sebelum 19 Desember sedang melakukan perjalanan dinas ke Jawa Timur. Lantaran itulah, maka para perwira dan pemimpin politik yang menyesalkan tindakan Nasution tersebut lantas memunculkan sindiran : “MBKD itu singkatan dari Markas Belanda Keliling Djawa!”

Lapangan terbang Maguwo yang sudah jelas menjadi gerbang utama masuknya tentara Belanda, persiapannya sangat jauh dari memadai. Bom-bom yang sudah dipasang di sisi-sisi landasan belum bisa difungsikan alat pemicu ledaknya, cuma tinggal detonatornya tapi ternyata juga tidak beres. Satuan keamanan lapangan terbang cuma berjumlah seratusan orang dengan persenjatana sangat minim. Tadinya sempat ditambah perkuatan pasukan AD dengan persenjataaan lengkap, tapi hnya 1 Kompi, dan itupun malah ditarik lagi hanya beberapa jam sebelum serangan Belanda tiba. Akibatnya parah. Pesawat-pesawat AURI yang ada di Maguwo dihancurkan semua. Pasukan payung Belanda diterjunkan dengan aman, pesawat-pesawat Dakota pengangkutnya bolak balik lenggang kangkung dengan amannya mendrop pasukan dan perlengkapan. Di Jogja, TNI kocar kacir tanpa adanya kordinasi yang memadai. Baik kordinasi untuk melakukan perlawanan seperlunya, maupun pengungsian kedaerah gerilya. Meski sudah ada Perintah Siasat Panglima Besar sejak bulan Juni 1948 untuk bergerilya, tapi pada 19 Desember itu ternyata tetap saja banyak pasukan yang bingung mau melakukan apa dan bagaimana. Hasilnya ya seperti saya lihat sendiri pada jam-jam serangan Belanda tiba. Eksodeus dan pengungsian pasukan-pasukan TNI beserta keluarganya mengalir dengan banyaknya kearah barat. Cuma sedikit satuan yang berinisiatif melakukan penghambatan. Diantaranya Brigade X Letkol Soeharto yang tetap bertempur menghambat kemajuan musuh dari Maguwo, juga Brigade XVI pasukan saya yang berinisiatif sendiri melakukan penghambatan dan memberi perlindungan dibelakang pasukan-pasukan Siliwang yang ribuan jumlahnya ber long march untuk kembali ke Jawa Barat.

Dikemudian hari, antara lain oleh Jenderal AH. Nasution, kontoversi peristiwa 19 Desember itu dialihkan topiknya. Bukan lagi soal siapa yang paling bertanggungjawab atas kenyataan begitu gampangnya ibukota jatuh ketangan musuh, tapi ke soal Soekarno-Hatta yang tidak mau bergerilya. Topik ini dikembangkan sampai menuju perdebatan mengenai peranan pihak mana yang lebih penting, militer atau politisi sipil? Perang gerilya atau diplomasi internasional?. Terjadi polarisasi bersifat hitam putih, terbentuk dikotomi opini. Perdebatan membesar hingga sedemikian rupa, sehingga pada sepanjang puluhan tahun pemerintahan Jenderal Soeharto, dimana banyak sejarahwan berusaha menyenangkan hati pihak militer, sampai terbentuk opini yang serba memuja pihak militer, semua sejarah peran militer jadi serba mulia tanpa cacat. Apa yang sebelumnya dikritik para pengamat sebagai kelalaian besar Nasution, jadi terlupakan. Meski peran diplomasi pun tidak sampai dinihilkan sama sekali.

Langkah Soekarno-Hatta tidak turut bergerilya sebenarnya memang sudah menjadi keputusan Sidang Pemerintah RI dan dalam sidang kabinet 19 Desember pagi itu pun terlibat para pimpinan APRI, kecuali Nasution tentunya yang sedang tour keluar kota. Pertemuan dan hasil sidang ini sudah disepakati bersama Panglima Besar Sudirman. Ternyata kemudian langkah politik Soekarno-Hatta ini sangat tepat. Jenderal Spoor, pucuk pimpinan tentara Belanda, kecewa luar biasa mendengar laporan bahwa tidak terjadi pertempuran dikediama Presiden dan Wakil Presiden RI. Karena itu berarti tidak bisa menembak pucuk pimpinan RI itu. Tatakrama politik internasional hanya bisa memaklumi kalau tewas pada saat pertempuran, killed during action.

Jenderal Spoor lebih marah besar lagi mendengar Soekarno-Hatta ditawan karena menyerah, tidak melakukan perlawanan. Padahal dalam rencana operasi militer Belanda ini, bilamana pucuk pimpinan RI turut bergerilya maka pasukan elit Belanda yang sudah dipersiapkan dan dilengkapai perlengkapan tempur dalam jumlah besar akan langsung menyerbu kemanapun Soekarno-Hatta berada. Belanda berpikir, dengan begitu maka sempurnalah operasi pemusnahan RI, Agresi Militer ke II Ibukota RI diduduki, dan pucuk pemerintahan RI tewas terbunuh dalam pertempuran. Nmaun karena hanya menyerah maka hanya bisa ditawan, tidak bisa dieksekusi pada saat itu.

Setelah dicoba untuk memaksa pemerintahan Soekarno-Hatta untuk menyerahkan kekuasaan, seperti ketika pucuk pemerintaha Belanda menyerahkan kekuasaan kepada tentara Jepang tahun 1942 , maka diperintahkan agar diusahakan agar Bung Karno-Hatta terdorong untuk melarikan diri, supaya ada alasan untuk ditembak ditempat. Namun semua muslihat Belanda gagal. Dengan langkah serta sikap Bung Karno-Hatta yang berani dan konsisten itu maka perjuangan diplomasi diarena politik internasional pun mancapai hasil yang terbaik.

Beda dengan kontroversi sejarah peristiwa 19 Desember 1948 yang sudah cukup ramai semenjak masa di Jogja dulu, mengenai sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 baru terjadi kontroversi lama kemudiannya. Baru setelah kepemimpinan Jenderal Soeharto sebagai Kepala Negara mulai banyak dikritik. Sebelumnya, SU 1 Maret 1949 itu tidak dibahas, dan umunya orang Cuma tahu pemimpin perangnya adalah Soharto. Dimasa Orede Baru, saat peran militer pada umumnya dan peran Soeharto pada khususnya sedang diagung-agungkan, juga dalam rangka legitimasi historis doktrin politik Dwi-Fungsi ABRI, maka sejarah 1 Maret 1949 diangkat sampai mendetail. Kemudian sampai muncul bahasan untuk membedakan antara pemimpin pelaksana operasi perang dan pencetus ide. Sebanya ada beberapa, yaitu :
Satu, karena banyak pelaku sejarah yang ingat bahwa sebelum Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letkol Soeharto Komandan Brigade X, memang sudah ada perintah untuk serangan umum, bahkan sudah menjadi teori yang seharusnya dalam perang gerilya. Maka mulai ada keraguan pada peran Soeharto dalam hal asalnya ide atau keaslian ide. Dua, karena perintah yang ada itu dari pihak yang lebih tinggi dari Soeharto, biasanya perintah pelaksaan, dan simpul mereka Soeharto hanya sebagai pelaksana. Tiga, karena munculnya suara saksi-saksi hidup, seperti Marsoedi yang bersaksi tentang pertemuan rahasia antara Soeharto dan Sultan. Lalu ada lagi kesaksian yang bicara tentang perintah Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng untuk Letkol Soeharto. Dan lain-lain kesaksian berkaitan dengan pemimpin lain diatas Soeharto. Semua sebab tersebut menjadi satu, menjadi sangat kuat menopang pendapat bahwa bukan Soeharto pencetus ide yang sebenarnya, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX atau Kolonel Bambang Sugeng. Sehingga menjadi 3 nama yang paling sering dibicarakan di media massa, sebab Soeharto secara eksplisit menegaskan perananya itu sambil menolak pendapat yang menyebut nama Sultan.

Dalam perkembangan selanjutnya, para peneliti mendapat kejelasan bahwa Bambang Sugeng pasti bukan. Karena Surat Perintahnya sebagai Panglima Divisi III untuk Letkol Soeharto itu itu baru bertanggal 1 Januari 1949 dan entah kapan tiba ditangan Soeharto, sementara Soeharto sendiri sudah melaksanakan serangan umum sejak 29 Desember 1948 dengan surat perintah operasi dari Soeharto sendiri yang diedarkan ke seluruh SKW-SWK sekitar menjelang Natal 1948. Tidak mungkin menghubungkan dalam sebuah garis komando antara SP Bambang Sugeng tanggal 1 Januari itu dengan serangan umum yang dilaksanakan pada 1 Maret 1949. Karena sesudah Januari, ada 3 kali serangan umum sebelum serangan umum 1 Maret. Meskipun ada perintah lain, perintah tersebut tidak membicarakan tentang serang pada siang hari atau menduduki posisi musuh.

Khusus dalam persiapan serangan umum 1 Maret, saya termasuk yang turut dalam dalam pertemuan-pertemuan dengan Soeharto yang terjadi menjadi sangat sangat sering, terutama menjelang hari H nya. Satu orang lainnya Letkol Soedarto. Juga dalam pertemuan-pertemuan itu, saya tidak pernah sama sekali mendengar Soeharto menyebut tentang kordinasi dengan pasukan WK-1 dan WK-II. Hal yang tentunya tidak mungkin kalau kordinasi Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng itu memang ada, karena pasti sangat penting, baik untuk kepentingan teknis operasional maupun moral pasukan kami. Juga kalau memang benar ide SU dari Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng, mengapa pasukan-pasukan yang berada di SWK I dan SWK II yang juga organik dari Divisi III tidak sama-sama melancarkan serangan umum ke Jogja? Atau setidaknya mengikat pasukan Belanda yang berada diwilayah teritori masing-masing, agar tidak membantu temen-teman mereka yang dikepung gerilyawan di dalam kota Jogja. Kenyataannya bala bantuan pasukan Belanda mengalir dari Semarang, Magelang, Solo, dan kota-kota kecil lainnya memasuki kota Jogja. Serangan Umum 1 Maret 1949 murni hanya dilakukan oleh pasukan-pasukan SWK III, terutamanya organik Brigade X dan Brigade XVI, disamping juga tentunya pasukan-pasukan lain yang menyingkir dari pendudukan Belanda, berlindung diwilayah SWK III.

Sekarang tinggal dua, antara Sultan dan Soeharto, belakangan menjadi tiga. Nama saya dimasukkan belakangan. Beda dengan pertentangan antara pendukung pendapat mengenai peran Sultan dan peran Soeharto, yang tidak ada saksi dalam pertemuan mereka kecuali mereka berdua saja, perhadapan antara peran saya sebagai pengusul ide dan pengakuan Soeharto yang yang tidak menyebut peran saya (walau juga tidak pernah membantah, karena mungkin tidak ada yang mengingatkannya) itu ada saksi lain disamping saya dan Soeharto, yaitu Letkol Soedarto. Kelak Letkol Soedarto pensiun dengan pangkat Mayjen TNI jabatan terakhir di militer Kepala Direktoret Zeni TNI-AD dan selaku Pemimpin Proyek Pembnagunan Masjid Istiqlal Jakarta.

Di bab terdahulu sudah saya singung tentang rapat kami bertiga. Dalam rapat kami, Soeharto, Soedarto, dan saya di Semaken Kulon Progo, saya dan Soedarto ingat persis bahwa Soeharto tidak pernah sekalipun menyebut-nyebut tentang usul atau perintah dari siapapun. Tidak sekalipun Soeharto dalam rapat mengucapkan kata-kata bahwa pertemuan ini adalah untuk penjabaran atau untuk menindak lanjuti perintah dari atas, atau seseorang. Juga tidak pernah ada ucapan Soeharto yang mengomentari bahwa usul saya tersebut sama dengan yang diusulkan sebelumnya oleh siapa-siapa. Padahal kalau memang ada, sebagai pemimpin perang, Soeharto tentu akan dengan semangatnya menyampaikan kepada kami bahan penting bagi kebutuhan teknis operasi militer maupun untuk membesarkan moril kami sebagai pelaksana operasi yang akan maju ke fornt terdepan. Lagi pula tidak ada alasan untuk Soeharto menyembunyikan hal itu pada kami berdua. Toh, waktu itu belum ada urusan meng-claim siapa pencetus ide. Malah sebagai pemimpin yang baik tentu Soeharto akan menyebut usul saya itu dengan mengatakan, “Bagus! Usul kamu sama dengan Sri Sultan!” atau paling tidak mengatakan “Bagus, Saya juga berpikir seperti itu” Tapi ternyata tidak satupun komentar seperti itu yang saya dan Soedarto dengan dalam rapat bertiga kami.

Mayjen Ir. H.R. Soedarto selalu, dan dimana-mana, bersaksi bahwa sayalah yang pertama kali mencetuskan ide seranagn umum di siang hari, serangan umum yang akan dimuat di media massa sehingga membawa dampak yang resonasi yang luas. Pak Soedarto bahkan, kalau dia lihat saya yang diam saja pada saat orang-orang merayakan peristiwa bersejarah itu, sering bicara ke saya dengan nada mengingatkan bahwa sayalah pencetus ide aslinya. Di mengira saya lupa karena saya memang lebih suka diam.

Pak Darto menceritakan dimana-mana, dan bukan nanti setelah Soeharto tidak berkuasa lagi sebagai Presiden. Soedarto meninggal sebelum Soeharto turun. Banyak teman-teman kami di Yayasan Serangan Umum 1 Maret maupun PaguyubanWehrkreise III, yang semula tidak tahu, dia cerotakan. Soedarto bahakn sering menceritakan peran saya itu pada orang-orang sejak dulu. Bahkan sebelum Soeharto menjadi Presiden, jauh sebelum Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 mendapat apresiasi oleh masyarakat seperti sekarang. Pada tahun 1950-an hingga 1960-an, kisah perjuangan kami yang dimulai dengan Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 itu memang kurang dirayakan. Mungkin karen apemimpin militer pada saat itu, Nasution tidak terlalu suka kalao cerita itu diungkit-ungkit. Setelah masa orde baru, pada saat peran militer pada umunya, dan lebih khusus lagi peran Jenderal Soeharto diangkat luar biasa, Soedarto beberapa kali mengisahkan cerita yang sebenarnya mengenai usul saya sata kami rapat didaerah sektornya itu kepada para wartawan-wartawan yang mewawancarainya. Tapi katanya, ternyata tidak ditulis oleh wartawan-wartawan tersebut. Mungkin dianggap soal kecil.

Tahun 1996, dalam rangka menyongsong 50 Tahun Perang Gerilya yang akan dirayakan pada tahun 1998, Yayasan 19 Desember 1948 menyiapkan penerbitan buku sejarah dan kesaksian-kesaksian para pelaku sejarah. Judulnya, Perang Gerilya - Perang Rakyat Semesta. Di dalam buku ini, pada kesaksian tertulis Mayjen TNI Purn. Ir. HR. Soedarto menegnai pengalaman perang gerilya, tegas dikatakan peran saya sebagai pencetus ide serangan umum disiang bolong. Saya juga diminta untuk menulis pengalaman perang gerilya dalam buku itu, dan saya pun menceritakan tentang usul saya kepada Soeharto untuk melakuka serangan umum disiang hari, dan kalau bisa menduduki kota Jogja walau cuma beberapa jam saja. Buku ini diterbitkan dimasa puncaknya kekuasaan Jenderal Soeharto, penerbitannya pun menjadi apresiasi luar biasa bagi Soeharto, karena pada tahun 1997 dianugerahkan pangkat Jenderal Besar Bintang Lima. Sama sekali tidak ada bantahan Soeharto mengenai tulisan dibuku tersebut.

Lain dengan orang-orang yang bermacam latar belakang dan motivasi berusaha mengecilkan peran sejarah Soeharto, terlebih setelah Soeharto tidak berkuasa lagi, Pak Soedarto tidak ada alasan untuk mengecilkan peran sejarah Pak Harto. Seperti saya, Soedarto pun sangat sering memuji-muji jasa-jasa dan kelebihan Soeharto yang memang nyata. Memang beda dengan Pak Soedarto yang bersaksi, atau orang lain. Kalau saya, karena masalah ini sudah sedemikian ramai, saya justru jadi sungkan, ndak enak hati. Apalagi kalau langsung membantah peran orang lain, kecuali kalau ditanya, pasti akan saya jelaskan dengan serincinya. Bukan takut, saya hanya tidak mau berbantahkan dengan Pak Harto. Lagipun Soeharto juga tidak pernah mengiyakan maupun membantah kenyataan saya. Pak Harto tidak pernah, langsung maupun tidak langsung mengucapkan kata-kata yang bernada negatif mengenai diri saya maupun peran sejarah saya itu. Tidak pernah sekalipun. Di bab-bab selanjutnya akan dijelaskan mengenai hubungan baik saya dengan Soeharto, semenjak saya ditahan akibat Permesta, maupun setelah kami sama-sama sepuh. Hubungan kami cukup rapat.
Sumber : Buku Memoar Ventje H.N. Sumual. Suntingan Sdr. Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE Matindas. - Terbitan Bina Insani Jakarta 2009.

No comments:

Post a Comment